Kamis, 21 Oktober 2010

AGAMA SEBAGAI SUMBER KONFLIK ATAU HARMONI SOSIAL

PENDAHULUAN


Agama di negara Indonesia adalah sebuah pencarian yang belum selesai dan mungkin, tak akan pernah selesai. Secara formal, menilik dokumen-dokumen terpenting yang menjadi dasar pembentukan negara Indonesia , agama memainkan peran yang amat penting. Pancasila yang menjadi landasan konseptual kenegaraan Indonesia dimulai dengan sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”, yang dipahami sebagai “menjiwai sila-sila lainnya”. Dalam Undang-Undang Dasarnya pun, satu pasal berbicara khusus tentang agama. Fakta penting lain adalah adanya kemajemukan agama.
Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Pada hakikatnya, tidak ada agama yang mengajarkan tentang kekerasan dan penindasan terhadap setiap orang yang berbeda agama. Tetapi setiap agama mengajarkan nilai-nilai perdamaian, kebersamaan, dan memberikan kemaslahatan kepada masing-masing yang lain. Tetapi pada tataran sosiologis, meminjam istilah Afif Muhammad yang dikutip oleh Dadang Kahmad, ”agama acapkali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda”. Seperti yang dikatakan juga oleh Johan Effendi yang menyatakan bahwa agama pada suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan, dan persaudaraan, namun pada waktu yang lain menampakkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang dan menyebar konflik, bahkan tak jarang, seperti dicatat dalam sejarah, menimbulkan peperangan.
Wajah agama tidak seideal seperti yang diharapkan dalam kerangka normatif jika dipandang dalam tataran sosiologis. Banyak kepentingan-kepentingan yang diatas namakan agama dalam beberapa kasus. Menurut Ridlwan Nasir, demikian itu sebenarnya bukan kesalahan ajaran agama itu sendiri, namun lebih diakibatkan human error, yakni sikap sebagian para pemeluknya yang kadangkala menafsirkan ajaran teologis normatif secara serampangan. Meskipun kadangkala konflik juga dapat disebabkan oleh kepentingan politik , ekonomi, dan lain-lain, tetapi apabila variabel human error yang lebih dominan muncul ke permukaan, maka keharmonisan kehidupan akan menjadi terancam.
Melihat masalah yang seperti ini, maka tidak boleh langsung menjudgement bahwasannya segala permasalahan yang terjadi adalah karena faktor agama dan menjadikan agama sebagai source of conflict. Tetapi dalam hal ini di butuhkan kejelian untuk menelusuri akar dari konflik yang terjadi di sejumlah daerah, kemudian mulai memilah-milah dan mengenali pola konflik yang terjadi, sehingga mudah untuk mengetahui akar permasalahannya dan dapat memberikan solusi.



PEMBAHASAN


Definisi agama menurut sosiologi agama adalah definisi yang empiris. Sosiologi tidak pernah memberikan definisi agama yang evaluatif (menilai). Sosiologi ”angkat tangan” mengenai hakikat agama, baiknya atau buruknya agama atau agama-agama yang tengah diamatinya. Dari pengamatan ini sosiologi hanya sanggup memberikan definisi yang deskriptif (menggambarkan apa adanya), yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya.
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut ”agama” (religious). Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam superstruktur. Agama terdiri atas tipe-tipe simbol, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. Akan tetapi, karena agama juga mengandung komponen ritual, maka sebagian agama tergolong juga dalam struktur sosial.
Fungsi agama bagi para ahli sosiologi berbeda satu sama lain. Menurut Thomas F. O’Dea, agama memiliki beberapa fungsi, yaitu: sebagai pendukung, pelipur lara, dan rekonsiliasi, sarana hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara ibadat, penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada, pengkoreksi fungsi yang sudah ada, pemberi identitas diri, dan pendewasaan agama.
Hendropuspito mengatakan bahwasannya agama mempunyai beberapa fungsi, yaitu: fungsi edukatif, fungsi penyelamatan, fungsi pengawasan sosial, fungsi memupuk persaudaraan, dan fungsi transformatif.
Dari beberapa paparan diatas, seolah-olah agama berfungsi sebagai sesuatu yang dapat memberikan jaminan keselamatan, kebaikan, keadilan dan lain sebagainya. Tetapi, pada kenyataan sosial, seringkali agama dianggap sebagai sumber konflik. Wajah sejuk agama sangat tidak mungkin dilekatkan dengan wajah panas kekerasan, tetapi fakta seringkali menunjukkan bahwa agama dapat memicu terjadinya tindak kekerasan. Kekerasan atas nama agama dapat diterjemahkan sebagai kekerasan yang melibatkan agama sebagai premium variant. Kekerasan adalah suatu sifat atau keadaan yang mengandung kekuatan, tekanan dan paksaan. Kekerasan antara pemeluk agama tidak selalu diwujudkan secara fisik, terkadang kekerasan atas nama agama melibatkan tekanan non fisik. Misalnya dengan memuat dimensi politis, sosiologis, dan antropologis. Objek kekerasan atas nama agama tidak terbatas kepada personal semata, terkadang kekerasan agama menimpa sekelompok pemeluk agama tertentu.
Terhadap kekerasan atas nama agama ini, Karen Amstrong berpendapat bahwa eskalasi gerakan kekerasan atas nama agama pada masa modern disebabkan oleh cultural shock pemeluk agama dalam menanggapi gelombang modernisasi dan sekularisasi yang menjauhkan masyarakat dari Tuhan.
Fakta yang paling penting adalah di dunia ini tidak hanya terdapat satu agama saja, melainkan terdapat pluralitas agama. Pluralitas dapat muncul pada masyarakat di mana pun ia berada. Ia selalu mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin cerdas dan tidak ingin dibatasi oleh sekat-sekat sekterianisme. Dari pluralitas agama inilah, kemudian muncul truth claim yang terkadang muncul secara over load dari para pemeluk agama. Pluralitas inilah yang menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknai dan dibahasakan. Sebab, perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang yang diambil peyakin dari konsepsi ideal turun ke bentuk-bentuk normatif yang bersifat kultural.

A. Konflik Antar Agama dan Kajian Teoritis
Konflik sebagai kategori sosiologis bertolak belakang dengan pengertian perdamaian dan kerukunan. Dalam hal ini, fokus kajiannya adalah pada masalah konflik atau bentrokan yang berkisar pada agama. Dalam konteks ini, konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua pihak (golongan) yang berbeda agama, bukannya sebagai konstruksi konsepsional, melainkan sebagai fakta sejarah yang masih sering terjadi pada zaman sekarang juga.
Konflik atau conflictus berasal dari bahasa Latin yang berarti pertentangan merupakan perwujudan dan atau pelaksanaan beraneka pertentangan antara dua pihak yang dapat merupakan dua orang bahkan golongan besar seperti negara. Konflik adalah gejala-gejala sosial yang ada dalam setiap masyarakat. Konflik melekat dengan masyarakat, dimana konflik itu selalu ada selama masyarakat itu ada sehingga tidaklah mungkin menghapus konflik seperti yang menjadi angan-angan para diktator; sebaliknya tidaklah mungkin konsensus dipertahankan terus menerus sekalipun dengan cara-cara kekerasan yang juga merupakan keinginan para penguasa otoriter.
Konflik adalah fenomena sosial dan ia merupakan kenyataan bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya. Artinya masyarakat menyadari dan merasakan bahwa konflik itu muncul dalam dalam dunia sehari-hari. Konfllik juga sebagai suatu proses sosial, proses perubahan dari tatanan sosial yang lama ke tatanan sosial yang berbeda. Konflik antar komunitas dalam masyarakat difenisikan sebagai suatu kondisi wajar tetapi bila sudah melibatkan kekerasan, kewajaran konflik menjadi tidak lagi. Konflik bersifat inheren dalam kesadaran masyarakat sehingga selalu ada gambaran yang nyata tentang fenomena tersebut. Bahkan masyarakat menyimpan pengalaman tentang konflik sebagai pengetahuan dan realitas sosial mereka.
Menurut Hobbes, konflik sosial merupakan gejala instrinsik yang tidak mungkin dihindarkan dalam kehidupan manusia, semua literatur paradaban manusia mencatat konflik sosial pada masanya. Sebagaian kalangan bahkan berpendapat tanpa konflik sosial sebuah peradaban tidak akan lahir. Karl Marx menyatakan dengan tegas, bahwa sebuah perubahan sosial yang terjadi di masyarakat hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perlawanan terhadap kelompok borjuis dengan mengumpulkan segenap potensi golongan proletar. Pasca kemenangan kelompok proletar atas kelompok borjuis dalam conflicts class, peradaban ideal dapat ditegakkan.
Dalam wacana, teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan di antara kelompok dan kelas serta berkecenderungan ke arah perselisihan, ketegangan, dan perubahan. Yang harus di garis bawahi pada pernyataan ini adalah ”masyarakat”. Tampaknya, masyarakat menjadi lahan di mana konflik dapat tumbuh subur di sana. Bibitnya dapat bermacam-macam faktor, seperti ekonomi, politik, sosial, bahkan agama.
Mengenai teori konflik, Masdar Hilmy berpendapat bahwa ada dua madzhab besar yang membahas masalah konflik ini, yaitu madzhab struktural dan madzhab kultural. Bagi madzhab struktural, pendekatan teoritik yang seringkali dikembangkan biasanya berkisar pada analisis sosial, politik, maupun ekonomi. Analisis semacam ini bersandar pada asumsi teoritik bahwa konflik agama-etnik dalam tataran substantif bukanlah konflik agama-etnik itu sendiri yang disebabkan oleh faktor-faktor etnisitas ataupun doktrin-doktrin agama. Di tingkat artifisial, konflik-konflik semacam itu memang terkesan konflik agama-etnik, yang distimulasi oleh faktor-faktor primordialoistik yang berasal dari faktor etnisitas dan doktrin agama. Untuk memperkuat basis teoritiknya, ilmuan madzhab ini menggunakan sejumlah teori konflik yang beragam, yaitu:
1. Teori Konspirasi
Teori ini menghasilkan kesimpulan bahwa konflik agama-etnik merupakan hasil konspirasi tingkat tinggi para elit politik dengan cara ”mengacak-acak” struktur sosial yang sudah mapan. Kemunculan konflik agama-etnik pada dasarnya tidak lebih dari sekedar intermediary target guna memenuhi tujuan berikutnya, yakni ambisi politik dan vasted interest jangka pendek, sekalipun harus melalui pengorbanan masyarakat bawah. Penggunaan teori ini sebagai pisau analisis setidaknya pernah muncul ke permukaan sebagai akibat kesombongan sebagian penguasa di akhir rezim Orde Baru yang ”mengacak-acak” wilayah tertentu dari Indonesia yang dianggap memiliki titik-titik kerawanan sosial, seperti Indonesia bagian Timur.
2. Teori Kesenjangan Ekonomi (social gap)
Teori ini mengandaikan bahwa sebab-sebab timbulnya konflik tidak bisa dilepaskan dari tingkat kehidupan ekonomi antar berbagai agama-etnik yang tidak seimbang sehingga berujung pada munculnya kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial ini pada akhirnya menciptakan kontestasi sosial-ekonomi yang tidak sehat di antara kelompok-kelompok masyarakat yang bersaing. Cara-cara kekerasan fisik tidak jarang dipakai sebagai jalan terakhir ketika cara-cara elegan menemui jalan buntu. Kesenjangan kehidupan sosial-ekonomi juga bisa berarti kesenjangan antara pemerintah pusat yang dianggap telah mengeksploitasi kekayaan alam yang dimiliki di daerah di satu sisi, dengan masyarakat daerah yang tetap berada dalam deraan kemiskinan sekalipun mereka memiliki kekayaan yang berlimpah.
3. Teori Mobilisasi Sosial
Teori ini dipakai untuk menganalisis gejala mobilisasi sosial yang terlalu cepat di kalangan kelompok masyarakat agama-etnik pendatang baru (new comers) yang biasanya menciptakan gejala kecemburuan sosial di kalangan penduduk lokal.
4. Teori Relasi Kuasa (power relation) dan Teori Struktural-Fungsional
Kedua teori ini seringkali dipakai secara bersamaan untuk menjelaskan fenomena sosial politik rezim Orde Baru yang teramat sentralistik; semuanya ditentukan oleh pemerintah pusat, sementara daerah tidak diberi wewenang sedikitpun untuk mengurusi persoalannya sendiri. Contoh kecil dari fenomena ini adalah penunjukan orang tertinggi, baik di tingkat Provinsi maupun kabupaten, yang selalu ditentukan oleh ”pusat”, sehingga putra-putra terbaik daerah selalu terpinggirkan perannya.
Oleh Syarief Ibrahim Alqadrie kesemua faktor tersebut diatas diringkas menjadi satu sebagai faktor-faktor struktural (structural factors).
Selanjutnya adalah madzhab kultural. Madzhab ini berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya konflik agama-etnik adalah faktor kultural. Tetapi madzhab struktural tidak pernah, minimal jarang sekali, menunjuk secara langsung faktor kultural sebagai penyebab terjadinya konflik agama-etnik. Ini berati bahwa konflik agama-etnik tidak akan pernah muncul hanya karena perbedaan nilai-nilai budaya dan agama yang dibawa oleh beberapa kelompok masyarakat yang berbeda, tanpa didahului oleh faktor-faktor struktural. Masyarakat dengan tingkat heterogenitas seekstrim apapun bisa hidup saling berdampingan (modus vivendi) sepanjang diikat oleh manajemen konflik yang baik.
Jadi, dalam melihat realitas konflik agama-etnik, maka tidak hanya perspektif struktural saja yang dapat dijadikan sebagai faktor penyebab terjadinya konflik, melainkan perspektif struktural juga tidak boleh dikesampingkan. Selama ini para peneliti sosial mayoritas menjadikan pendekatan struktural dalam melihat realitas konflik, padahal Indonesia dan beberapa negara di dunia adalah negara yang multikultural.
Asumsi teoritik madzhab kultural yang berusaha dikembangkan dalam hal ini adalah bahwa system of belief mengambil peran yang sangat penting dalam terjadinya konflik agama-etnik. Dalam konteks etnisitas, system of belief mencakup kebanggan terhadap identitas etnik, loyalitas askriptif terhadap etnosentrisme yang mengalahkan loyalitas ekonomi-politik, pengorbanan terhadap diri dan kelompoknya, konsep mempertahankan harga diri (self esteem) dan kehormatan (honor), penghormatan terhadap arwah leluhur, dan semacamnya. System of belief hakikatnya menjadi ruh, spirit, atau nafas dari apa yang kemudian populer sebagai budaya, tradisi, dan adat dalam pengertian bahwa istilah pertama melandasi seluruh aktivitas manusia yang dikerangkai oleh istilah-istilah yang kedua.
System of belief mengambil peran yang sangat penting dalam terjadinya konflik agama-etnik, sekalipun tidak selalu berposisi sebagai sebab utama terjadinya konflik, melainkan sekedar pemercepat konflik. Asumsi teoritik ini bisa saja dibalik menjadi: ”konflik agama-etnik tidak akan terjadi sepanjang system of belief tidak berpotensi melahirkan konflik, sekalipun terdapat alasan-alasan (struktural) yang kuat bagi lahirnya konflik.”
B. Agama dan Kekerasan / Kerusuhan di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang pluralis, baik dari segi agama, budaya, bahasa dan lain sebagainya. Berdasarkan data statistik BPS tahun 2005, penduduk Indonesia berjumlah 213.375.287 jiwa, dengan rincian: pemeluk agama Islam 189.014.015 (88,58 %), pemeluk agama Kristen 12.356.404 (5,79%), pemeluk agama katolik 6.558.541 (3,07%), pemeluk agama Hindu 3.697.971 (1,73%), pemeluk agama Budha 1.299.565 (0,61%), pemeluk agama Kong Hu Cu 205.757 (0,10%), dan lainnya 243.034 (0,11%).
Dalam sebuah negara yang multikultural pasti terdapat kelompok mayoritas dan kelompok minoritas, yang mana kelompok mayoritas terkadang mendominasi dan menekan kelompok minoritas, sehingga tidak heran jika kemudian muncul konflik.
Salah satu agenda besar kehidupan berbangsa dan bernegara adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan membangun kesejahteraan hidup bersama seluruh warga negara dan umat beragama. Hambatan yang cukup berat untuk mewujudkan kearah keutuhan dan kesejahteraan adalah masalah kerukunan nasional, termasuk di dalamnya hubungan antar agama dan kerukunan hidup umat beragama. Persoalan ini semakin krusial karena terdapat serangkaian kondisi sosial yang menyuburkan konflik, sehingga terganggu kebersamaan dalam membangun negeri ini. Demikian pula kebanggan terhadap kerukunan dirasakan selama bertahun-tahun yang mengalami dekradasi, bahkan menimbulkan kecemasan terjadinya disintegrasi bangsa.
Kecenderungan disintegrasi yang muncul belakangan ini bukan disebabkan faktor perbedaan ideology dan keyakinan agama. Persoalan ini lebih didorong oleh faktor yang sangat kompleks. Masalah ketidakadilan di bidang ekonomi, politik, sosial, agama, budaya dan hukum, ketegangan-ketegangan primordial yang kurang terjembatani dalam jangka waktu yang lama; otokrasi pemerintahan; keteladanan para pemimpin politik, agama dan tokoh masyarakat yang semakin merosot, semuanya turut menyumbang dan memperparah berbagai konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Adapun variant dominan pemicu kekerasan antar pemeluk agama di Indonesia hingga hari ini masih debatable. Menurut Kasman Singodimejo, keterlibatan agama dalam jejak kekerasan Indonesia didasari atas tujuh faktor, yaitu dangkalnya pengertian dan kesadaran beragama, fanatisme negatif, propaganda dan objek dakwah yang salah, subversif , sisa G 30 S PKI, perlakuan tidak adil penguasa, dan religio-politik. Sebagian kalangan lebih menekankan kekerasan agama Indonesia disebabkan renggangnya komunikasi antara umat beragama dan faktor sosio-politik. Sedangkan sebagaian yang lain beranggapan bahwa gejala kekerasan agama di Indonesia disebabkan kegagalan pemerintah mengakomodasi nilai-nilai agama dalam masyarakat.
Selain itu, dalam keputusan Menteri Agama RI No. 84 tahun 1984 ditunjukkan dengan jelas bahwa kekerasan agama di Indonesia didominasi dalam beberapa masalah laten, yaitu pendirian tempat peribadahan, penyiaran agama, bantuan luar negeri, perkawinan beda agama, perayaan hari besar, penodaan agama, kegiatan aliran sempalan dan aspek sosio-politik yang mempengaruhi.
Jadi, beberapa potensi internal yang menyebabkan gejala kekerasan agama di Indonesia adalah mencakup doktrin eksklusif agama dan doktrin misi keagamaan. Eksklusifitas agama adalah ajaran-ajaran yang mengajarkan keistimewaan, keunggulan, dan semangat dominasi satu agama atas agama lain. Semangat ini dimiliki seluruh pemeluk agama. Sebagai contoh, doktrin eksklusifitas dalam agama Islam adalah adanya doktrin agama yang benar di sisi Allah hanyalah agama Islam, sehingga ajaran agama selain Islam tidak dapat diterima.
Sedangkan dalam sisi doktrin misi keagamaan, ada dua macam kelompok agama, yakni, agama dakwah dan agama non dakwah. Agama dakwah memberikan kewajiban pemeluk agama untuk menyampaikan ajaran agama mereka, sedangkan pemeluk agama non dakwah tidak wajib menyebarkan agama kepada pihak lain. Akibat dari pembagian ini, muncul gejala pendekatan numerik -mayoritas vis-a-vis minoritas- dalam penyebaran agama. Gejala negatif ini bersumber dari pemahaman makna sukses sebuah misi agama selalu dikaitkan dengan tolak ukur kuantitas pengikut agama berdasarkan statistik angka-angka dan tidak selalu memiliki pengaruh positif dan keterkaitan langsung dengan normatifitas agama. Seharusnya, kesuksesan misi agama harus diukur dari seberapa besar pengaruh positif moralitas agama dalam masyarakat.
Puncak dari semua persoalan itu, beberapa tahun terakhir muncul kerusuhan di sejumlah tempat di wilayah Indonesia. Kerusuhan itu tidak saja menimbulkan korban harta benda dan jiwa, yang tak kalah penting adalah rusaknya harmoni kehidupan masyarakat yang telah terbentuk sekian lama. Kecurigaan dan dendam melanda berbagai kelompok masayarakat. Masyarakat kini telah kehilangan panutan dan norma hidup berbangsa dan bernegara. Sementara para pemimpin baik pemimpin politik dan ormas kemasyarakatan lebih mengutamakan kepentingan politik dan kelompok. Mereka semakin menggelorakan fanatisme kelompok lewat kesukuan, kedaerahan, politik dan bahkan kegamaan. Kondisi ini menyebabkan terganngunya kerukunan berbangsa dan beragama.
Sebagai contoh, dari data Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia Tahun 2008, pada bulan Juni 2008, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang membatasi langkah gerak anggota dan pengurus Jemaat Ahamdiyah Indonesia. Masalah yang dianggap sebagai penodaan agama ini diawali oleh konflik antar masyarakat dan kemudian berlanjut ke pengadilan. Pada tingkat tertentu, sudah jelas bahwa MUI (yang pastinya akan menegakkan hukum-hukum Islam) dan beberapa ormas keislaman dan kelompok kepentingan memiliki andil besar untuk mendorong proses munculnya tuduhan penodaan agama Islam di tingkat masyarakat sipil. Hal ini kemudian menyebabkan sebagian kasus konflik di tingkat masyarakat (umumnya di lingkungan masyarakat yang tidak mengerti tentang masalah multi-budaya) jatuh kepada usaha penyerangan atau tindakan kekerasan kepada kelompok minoritas (Ahmadiyah) tersebut.
Selain itu bisa dilihat contoh pada beberapa kasus lain, seperti pentingnya agama dalam menentukan siapa yang berhak memilih siapa dalam jabatan publik, yang mana hal ini mengakibatkan ketegangan antar kelompok keagamaan. Seperti yang terjadi di Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar), Sumatera Barat, puluhan aktivis organisasi Islam menolak rencana pengangkatan Viktor, S.H sebagai ketua Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Pasaman Barat, disebabkan perbedaan agama. Menurut mereka, di negeri Minangkabau yang mayoritas berpenduduk muslim tidak sepatutnya memiliki seorang pemimpin yang beragama Kristen. Contoh lain adalah kasus Rudolf M. Pardede, mantan Gubernur Sumatera Utara, yang sempat menyerukan masyarakat untuk memilih calon gubernur yang seiman (Kristen).
Politisasi agama di dalam Pemilu juga menjadi salah satu faktor timbulnya konflik. Banyak kaum elite yang menggunakan agama untuk mendukung kepentingan mereka, atau dengan agama pemerintah dapat menentukan kebijakan. Akan tetapi penggunaan dasar agama ini tentu hanya berdasar pada satu agama tertentu saja (mayoritas) yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial. Contohnya MUI di empat propinsi di Kalimantan merekomendasikan bahwa Golput adalah tindakan yang dilarang agama. Meskipun kekritisan umat dan pemimpin agama cukup tinggi dalam hal politisasi agama, namun usaha-usaha ke arah politisasi agama masih terus terjadi.
Selain peristiwa tersebut di atas, tragedi yang tidak kalah tragis adalah tragedi berdarah Maluku yang merupakan refleksi dari pertikaian antara elit politik, baik politisi di Jakarta maupun para penguasa lokal di Maluku sendiri. Terlepas dari berbagai faktor pemicu timbulnya tragedi di Maluku tersebut. Konflik berdarah tersebut semula bersumber dari ketidakadilan politik yang dilakukan rezim Orde Baru terhadap kelompok Kristen Ambon. Mereka menganggap bahwa rezim Orde Baru tidak mendistribusikan kekuasaan birokrasi kepada mereka secara proporsional, hingga keterwakilannya tidak sepadan dengan jumlah mereka yang relatif berimbang dengan populasi Muslim di wilayah Ambon.
Meskipun konflik Maluku berawal dari persaingan politik untuk menguasai jabatan birokrasi pemerintahan, konflik ini kemudian difahami menjadi sebuah perseteruan antar penganut agama. Kesan seperti itu memang tidak bisa dihindari, mengingat mereka yang terlibat dalam konflik tersebut telah memanipulir simbol agama yang menjadi identitas khas masing-masing. Mereka membakar simbol institusi agama yakni masjid dan gereja, untuk menegaskan bahwa perseteruan tersebut merupakan konflik antara pengikut Islam dan Kristen. Kesan ”perang agama” menjadi semakin mengemuka, setelah mereka juga telah berhasil memanipulir simbol verbal agama yakni jihad dan crusade. Tragisnya, para politisi kemudian ikut memanfaatkan simbol verbal tersebut untuk membangkitkan sentimen keagamaan para pengikutnya. Sekalipun mereka mengetahui bahwa seruan jihad dan crusade tersebut dapat memperkeruh suasana konflik, mereka tetap menggunakan teriakan perang untuk memperkokoh hubungan emosional dengan para pendukungnya di wilayah pergolakan maluku. Suasana konflik menjadi semakin anarkis, ketika para politisi mengerahkan masa, untuk menyatakan dukungan dukungan mereka terhadap salah satu kelompok agama yang bertikai di Maluku.
Dari contoh-contoh di atas, dapat dilihat implikasi dari teori konflik Marx yang menyatakan bahwa agama menjadi kekuatan kaum elite politik atau kelompok-kelompok tertentu untuk mempertahankan pengaruhnya (kekuasaannya) sehingga akan terjadi konflik karena kaum minoritas akan melakukan berontak untuk merebut kekuasaan (sesuai dengan teori dialektis).

C. Kontribusi Agama sebagai Gerakan Anti Kekerasan
Setiap agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja antarmanusia, tetapi juga antarsesama makhluk Tuhan penghuni semesta ini. Di dalam terminologi al-Qur’an, misi suci itu disebut rahmah lil al-’alamin (rahmat dan kedamaian bagi semesta). Agama merasa ikut bertanggung jawab atas adanya norma-norma susila yang baik yang diberlakukan atas masyarakat manusia umumnya. Maka, agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang ada dan mengukuhkan yang baik sebagai kaidah yang baik dan menolak kaidah yang buruk untuk ditinggalkan sebagai larangan atau tabu. Agama memberi sangsi-sangsi yang harus dijatuhkan kepada orang yang melanggarnya dan mengadakan pengawasan yang ketat atas pelaksanaannya.
Setiap agama mengajarkan perdamaian, kebersamaan sekaligus menebar misi kemaslahatan bagi lingkungan sekitarnya. Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan saling membunuh satu sama lain. Jika pada realitas sosial, terjadi konflik atas nama agama, maka itu karena adanya faktor-faktor lain yang menyebabkannya, baik masalah struktural maupun kultural.
Setiap agama melarang umatnya untuk berbuat kerusakan dan menganjurkan untuk saling menebar kasih sayang dan kedamaian antar sesama. Sebagai contoh, dalam Islam, tertulis di dalam al-Qur’an ”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.......”, dan adanya keyakinan dari umat Kristen ”Damai di bumi bagi semua orang yang berkehendak baik.”
Islam secara tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagamaan. al-Qur’an menyatakan bahwa “tak ada paksaan dalam agama.” Selain itu Tuhan mempersilahkan siapa saja yang mau beriman atau kufur terhadap-Nya. Islam sama sekali tidak menafikan agama-agama yang ada. Islam mengakui eksistensi agama-agama tersebut dan tidak menolak nilai-nilai ajarannya. Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain adalah ajaran agama, disamping itu memang merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat majemuk. Dengan demikian, membela kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain dianggap sebagai bagian dari kemusliman. Ini merujuk kepada ayat al-Qur’an yang menyatakan keharusan membela kebebasan beragama yang disimbolkan dengan sikap mempertahankan rumah-rumah ibadah seperti biara, gereja, sinagog, dan masjid.
Agama Protestan beranggapan bahwa aspek kerukunan hidup beragama dapat diwujudkan melalui Hukum Kasih Sayang yang merupakan norma dan pedoman hidup yang terdapat dalam Al-Kitab. Hukum Kasih tersebut ialah mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia (Mat 22:37;Rum 13:10; Kor 13:4-7 dan 13). Menurut agama Kristen protestan kasih adalah hukum utama dan yang terutama dalam kehidupan umat Kristen.
Dalam agama Hindu, untuk mencapai kerukunan hidup antar umat beragama manusia harus mempunyai dasar hidup yang disebut Catur Purusa Artha; Dharma, Artha, Kama, Moksha. Keempat dasar ini dapat memberikan sikap hormat-menghormati, saling menghargai, tidak saling mempersalahkan dan dapat menumbuhkan sikap saling bekerjasama.
Sedangkan andangan agama Budha mengenai kerukunan hidup umat beragama terdapat dalam pengajaran Budha Gautama kepada manusia yakni:(a) Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat ditembus oleh pikiran manusia, (b) Metta, welas asih terhadap semua makhluk sebgai kasih ibu terhadap putranya yang tunggal, (c) Karunia, kasih sayang terhadap semua makhluk, kecenderungan untuk selalu meringankan penderitaan makhluk lain, (d) Mudita, perasaan turut bahagia dengan kebahagiaan makhluk lain tanpa benci, iri hati, perasaan prihatin bila makhluk lain menderita, (e) Karma, tumimbal lahir (reinkarnasi) atau hukum umum yang kekal, karena ini ada hukum dari sebab akibat. Dan karma adalah jumlah seluruhnya dari perbuatan-perbuatan baik dan tidak baik.
Dari beberapa contoh di atas maka, dapat dikatakan bahwasannya agama mempunyai kontribusi dalam gerakan anti kekerasan. Tetapi malah sebaliknya, agama menyuruh kepada umatnya agar saling menghormati, mengasihi dan menghindari permusuhan antar pemeluk agama.



KESIMPULAN


Tiap-tiap agama mempunyai ajaran yang mengajarkan tentang kebaikan, perdamaian, keadilan dan segala sesuatu yang memberikan kemaslahatan bagi umatnya. Tetapi pada tataran sosial, seringkali agama menampakkan wajah ganda tidak seideal seperti yang diharapkan dalam kerangkan normatif.
Pada tataran sosial, seringkali agama dianggap sebagai sumber konflik. Agama dijadikan sebagai alat pemicu munculnya kekerasan dalam masyarakat. Pada masyarakat yang multikultural, seringkali muncul konflik-konflik yang mengatas namakan agama. Kita tidak bisa langsung menjudgement bahwasannya tiap-tiap konflik adalah sumbernya selalu karena agama. Ini memang karena masyarakat yang berkonflik adalah masyarakat yang beragama. Jadi tidak heran jika terjadi konflik selalu agama dilibatkan. Setiap pemeluk agama meyakini bahwasannya agamanyalah yang paling benar, dalam tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif oleh setiap pemeluk agama.
Konflik yang muncul dalam masyarakat sesungguhnya karena adanya faktor struktural yakni kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi, serta adanya faktor kultural dalam masyarakat yang multikultural yang kemudian selalu mengkait-kaitkannya dengan agama sebagai pembelaan. Banyak para politisi demi mencapai kepentingannya selalu melibatkan agama di dalamnya, sehingga tidak heran jika kemudian muncul konflik maka selalu agama yang dijadikan kambing hitam.
Setiap agama mengajarkan perdamaian dan kasih sayang kepada semua makhluk, tidak ada agama yang megajarkan kekerasan dan saling berbuat kerusakan. Agama selalu mengajarkan hubungan sosial yang baik bagi umatnya, baik itu hubungan antar umat beragama maupun intern umat beragama. Jika kemudian muncul kekerasan atas nama agama, maka kemungkinan pemeluk agamanya salah dalam menginterpretasi agamanya disamping faktor-faktor struktural dan kultural.






DAFTAR PUSTAKA

Alqadrie, Syarief Ibrahim. “Factors in Ethnic Conflict, Etnic Identity and Consciousness, and the Indications of Disintegrative Processes in West Kalimantan,” dalam Chaidar S. Bamualim & Karlina Helamnita (eds), Communal Conflicts in Contemporary Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan The Konrad Adenauer Foundation, 2002.
Amstrong, Karen. The Battle of God. New York: Alfred Knopf, 2001.
Arnold, T. W. The Preaching of Islam. Delhi: Low Price Publication, 1995.
Assegaf, Arifin. “Konflik antar Iman,” dalam Th. Sumartana et al., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei, 2001.
Bagir, Zainal Abidin dkk. “Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia Tahun 2008”, Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2008.
Basri, Faisal H. “Perkembangan dan Prospek Politik Pasca Pemilu,” Analisis, no. 4, tahun 28, 1999.
Beuken, Wim dan Karl Joseph Kuschel. Agama Sebagai Sumber Kekerasan, Terj. Imam Baihaqie. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Effendi, Johan. ”Dialog Antar Umat Beragama, Bisakah Melahirkan Teologi Kerukunan”, Prisma, (No. 5 Juni 1978).
Eliade, Mircea. “Mission”, dalam Mircea Eliade (ed.), Encyclopedia of Religion, vol. IX. New York: MacMillan Library, 1996.
Hamim, Thoha dkk. Resolusi Konflik Islam Indonesia. Surabaya: LSAS & IAIN Press, 2007.
Hasyim, Umar. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam sebagai dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antara Agama. Surabaya: Bina Ilmu, 1978
Hendropuspito. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Ishomudin. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Khaldun, Ibnu. The Muqaddimah: an Introduction to History, terj. Franz Roshental (Princenton: Princenton University Press, 1967), 136; R. H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, Terj. Alimandan. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Rauf, Maswadi. Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000.
Natsir, Haidar. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
O’Dea, Thomas F, The Sociology of Religion, terj. Tim Penerjemah Yasodara. Jakarta: Rajawali, t.t.
Poerwodarminto, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1961.
Pringondigdo. Ensiklopedia Umum. Yogyakarta: Kanisius, 1973.
Schwarz, A. A Nation in Waiting. New South Wales: Allen and Unwin, 1999.
Sudarto. Konflik Islam Kristen: Menguak akar Masalah Hubungan Antara Umat Beragama di Indonesia. Semarang: Pustaka Rizki, 1999.
Van Harskamp, Anton. Conflicts in Social Science. London and New York: Routledge, t.t.
Windu, Marsana. Kekuatan dan Kekerasan menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Yayasan Cipta Loka. Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila. Jakarta: Yayasan Cipta Loka, 1984.
REVIEW BUKU "ISLAM JAWA: KESALEHAN NORMATIF VERSUS KEBATINAN KARYA MARK R. WOODWARD

PENDAHULUAN


Buku ”Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan” adalah sebuah tesis hasil karya Mark R. Woodward, seorang etnolog yang meneliti Islam Jawa sebagai tugas akhir tesisnya. Sebelum melakukan penelitian ini, ia membekali dirinya dengan mengambil kuliah indologi dan mempelajari buku-buku mengenai filsafat dan ritual Hindu-Budha, selain itu ia belajar banyak tentang Indonesia dan Islam Jawa kepada teman-temannya yang faham terhadap studi-studi Islam klasik. Penelitian ini didanai oleh Institute for International Education, The Graduate College Researcd Board, dan Department of Anthropology, University of Illionis. Sedangkan untuk penelitian teksnya didukung oleh Social Science Research Council dan The Center for Asian Studies, Arizona State University.
Awalnya ia ingin meneropong unsur-unsur “Hindu” yang terdapat dalam ritual Islam Jawa, salah satunya adalah garabeg maulud yang merupakan upacara memperingati lahirnya Nabi Muhammad yang diadakan oleh keraton Yogyakarta. Setelah ia pelajari ternyata ia tidak menemukan prototype Hindu-Budha terhadap ideologi dan modalitas ritual tersebut.
Buku Mark R. Woodward ini merupakan antitesis dari buku “The Religion of Java” karya Clifford Geertz. Namun, bagi Woodward buku karya Geertz tersebut telah banyak membantunya dalam memahami karakter Islam Jawa. Jika Geertz melahirkan paradigma kajian Islam lokal yang bercorak sinkretik, lain halnya dengan Woodward, ia memunculkan paradigma Islam yang bercorak akulturatif. Karya Geertz terlalu dipengaruhi oleh madzhab Islam modernis yang beraliran syari’ah modernis. Islam hanya diidentikkan dengan madzhab modern, sedangkan tradisi lokal yang ada di masyarakat Islam Jawa dianggapnya sebagai sesuatu yang asli atau berlatar belakang dari Hindu-Budha. Dari penelitian Geertz inilah Marshal G. S. Hodgson dalam bukunya “The Venture of Islam”, mempertanyakan mengapa Islam dapat dengan begitu cepat merambah ke seluruh aspek kehidupan orang Jawa. berawal dari keinginan untuk menjawab pertanyaan yang dimunculkan oleh Hodgson dan dari karya Geertz yang menurutnya problematik itulah akhirnya Woodward mencoba melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengurai hubungan antara kesalehan normatif dalam Islam dengan kepercayaan keraton Yogyakarta (kebatinan).




PEMBAHASAN


A. Kajian Terdahulu
Sejak abad XVII sarjana Barat telah memulai melakukan kajian terhadap Islam Nusantara, yakni ketika para teolog dan pemerintah kolonial Belanda mengalami kesulitan untuk memahami dan mengawasi masyarakat Islam Jawa, Sumatera, dan wilayah Indonesia bagian timur. Orang-orang Barat yang mengkaji Timur itulah yang kemudian disebut sebagai kaum orientalis, yakni mereka yang bekerja untuk kepentingan misionaris dan kolonialis. Beberapa teolog dan sarjana pelopor tradisi orientalisme yang telah dicatat oleh Woodward tersebut adalah: Andrian Reland, Snouck Hurgronje, Edward Gibson,J. F. C Gericke, Pigeaud, dan Rassers. Para sarjana dan teolog tersebut melakukan kajian secara intens dan menghasilkan karya-karya yang sangat berpengaruh dan mampu membentuk suatu paradigma bagi kajian Islam Indonesia seperti yang dilakukan oleh Ben Anderson dan Clifford Geertz. Di kalangan anak bangsa, ada nama Simuh, Damardjati Supadjar, Darmanto Jatman, Purwadi (Kang Pur), dan mungkin beberapa orang lain. Tetapi pengetahuan yang paripurna hanya dapat diperoleh dari pengalaman sehari-hari (sebagai orang Jawa).
Sebelum Woodward melakukan penelitian terhadap Islam Jawa, Clifford Geertz telah melakukan kajian lebih dahulu yang kemudian menghasilkan karya The Religion of Java yang menggantikan karya Hurgronje dengan judul The Acehnese yang sebelumnya telah menjadi buku rujukan standar untuk mengenal Islam Indonesia.
Geertz, dalam bukunya The Religion of Java memilah masyarakat Jawa menjadi tiga golongan, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Meskipun buku ini telah banyak dikritik oleh beberapa peneliti, tetapi karya Geertz ini masih selalu dijadikan rujukan. Beberapa peneliti yang memberikan kritik terhadap karya Geertz tersebut adalah Harsja W. Bachtiar (1972) dan Pursudi Suparlan (1976).
Secara sederhana penulis paparkan pandangan Geertz tentang tipologi masyarakat Jawa adalah sebagai berikut:
1. Abangan yaitu kelompok masyarakat desa yang bekerja sebagai petani di Jawa, meskipun Geertz juga mengakui adanya komunitas abangan di kota. Agama yang dianutnya adalah agama sinkretik, maksudnya adalah campuran dari animisme, Hinduisme, Islam, dan kepercayaan terhadap roh-roh serta ilmu hitam atau perdukunan.
2. Santri yaitu komunitas muslim ortodoks yang menitik beratkan pada kewajiban-kewajiban yang diperintahkan agama dan lebih islami. Kelompok santri terdiri dari para pedagang di kota, meskipun Geertz juga tidak menafikan adanya santri di pedesaan, terutama di pesantren.
3. Priyayi yaitu kelompok yang memiliki kecenderunagn Hindu-mistisisme dalam cara beragama mereka, sehingga mereka sering mengabaikan rukun Islam. Pada umumnya mereka bekerja sebagai pegawai.
Selain Clifford Geertz, juga ada Ben Anderson yang juga meneliti tentang kebudayaan Jawa. Gagasanya tentang kebudayaan Jawa, secara eksplisit merujuk kepada studi-studi kolonial mengenai kerajawian Hindu-Jawa dan karakterisasi Geertz mengenai Indonesia sebagai Negara Hindia.
Jika Geertz meneliti Islam Jawa melalui ketegangan antara Islam ortodoks dan sinkretisme, sebaliknya, Woodward memahami Islam Jawa telah diwarnai akan adanya ketegangan antara penafsiran legal dan penafsiran mistik.

B. Review Karya Mark R. Woodward
Bermula dari keinginan Mark R. Woodward untuk melengkapi kajian Clifford Geertz di Mojokuto, Jawa Timur pada sekitar tahun 1950-an yang menghasilkan teori aliran masyarakat jawa yang terdiri dari : abangan, santri, dan priyayi, maka Woodward membuahkan karyanya dengan judul Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, yang sebelumnya didahului dengan melakukan penelitian di keraton Yogyakarta.
Dalam desain awal penelitiannya, Woodward ingin mempelajari asal-usul keraton Jawa dan agama rakyat (popular religion) hingga prototype Indianya. Dengan bekal latihan sebagai Indolog dan sejumlah buku mengenai filsafat dan ritual Hindu-Budha, ia dating tepat empat hari sebelum di adakan upacara garebeg maulud, yaitu sebuah ritual keraton untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Ia menghabiskan beberapa hari untuk menelusuri elemen Hindu dari modalitas dan ritual upacara tersebut, tetapi hasilnya nihil. Usahanya untuk menemukan prototipe-prototipe Hindu-Budha dari mistisisme Jawa sangat mengecewakan. Hasil penelitiannya menunjukkan tidak adanya sistem Teravada, Mahayana, Siva, atau Vaisnava, kecuali hanya kesamaan yang sepele menurut informan Jawanya. Selain itu filsafat wayang Jawa yang bersumber pada epik besar Hindu yakni dalam cerita Mahabarata dan Ramayana, secara khusus tidak nampak India lagi.
Berawal dari kekecewaannya itu akhirnya Woodward mulai mempelajari doktrin dan ritual Islam kepada seorang anggota pengurus masjid lingkungan ia tinggal. Informan tersebut meyakinkannya bahwa ritual-ritual keraton dan sistem mistik kejawen diderivasi dari Islam. Walaupun tidak murni dari ajaran Nabi Muhammad, tapi menurutnya tetap Islam. Dari sinilah akhirnya ia mulai mempelajari segala hal yang bisa ia temukan di Indonesia berkaitan dengan ritual, doktrin dan sejarah Islam dan ia mulai menyisihkan koleksi buku Indologinya.
Dari sini akhirnya Woodward merancang penelitiannya untuk membahas hubungan antara teks-teks keagamaan, wacana sosial dan keagamaan. Usahanya adalah dengan menyatukan teori neo-Tylorian yakni agama merupakan suatu sistem penjelasan (explanatory system) dengan antropologi kognitif kontemporer seperti apa yang disebut Ortner sebagai teori praktek (practice theory). Untuk mencapai al itu maka harus melalui analisis kebudayaan sebagai sebuah sistem pengetahuan aksiomatik sehingga dapat memberikan penyelesaian teoritis, baik historis maupun etnografis terhadap pertanyaan Hodgson.
Sebagai jawaban atas pertanyaan Hodgson tersebut adalah Islam masuk begitu cepat dan mendalam ke dalam struktur kebudayaan Jawa sebab ia dipeluk oleh keraton sebagai basis untuk negara teokratik. Sufisme (Islam mistik) membentuk inti kepercayaan negara (state cult) dan teori kerajawian sebagaimana tampak dari kerajaan-kerajaan Bali yang terindianisasi dan daratan Asia Selatan, merupakan model utama agama rakyat.
Metode yang digunakan Woodward adalah dengan membandingkan teks-teks Jawa dengan data etnografis. Metode tersebut sangat fundamental untuk menganalisis agama Jawa, terutama menyangkut hubungan antara kebatinan (mysticism) dan kesalehan Islam normatif. Inilah yang membedakan antara Geertz dengan Woodward. Dengan kedua metode tersebut, Woodward menilai bahwa selametan adalah bagian dari ritus Islam. Jadi sorang peneliti tidak boleh menjudgement suatu ritual tanpa melakukan analisis terhadap tradisi lokal dan tradsisi tekstual. Selain itu Woodward juga menggunakan metode penelitian lapangan observasi partisipatif (penelitian terlibat). Dalam hal ini Woodward melakukan wawancara berulang-ulang kepada informan dengan tujuan untuk menentukan bagaimana individu membuat masuk akal seluruh agama Jawa, yakni tidak hanya untuk memahai kepercayaan mereka, tapi bagaimana juga mereka memandang kepercayaan orang lain.
Bagi Woodward Islam dan budaya lokal itu adalah sesuatu yang bersifat akulturatif sesuai dengan prosesnya masing-masing. Jadi, antara Islam dan budaya lokal (Jawa) bukanlah suatu yang antonim, tetapi bersifat kompatobel. Hasil kajian Woodward mengenai Islam Jawa inilah dapat dikatakan telah memberi perspektif lain di tengah-tengah dominasi paradigma Geertz dan peneliti-peneliti sebelumnya.
Sebagai hasil akhir dari penelitiannya itu, akhirnya ia menyimpulkan bahwa cerminan dari,ogika teoretis bahwa agama dan masyarakat Jawa adalah Islam, sebab aspek-aspek doktrin Islam telah menggantikan Hinduisme dan Budhisme sebagai aksioma kebudayaan Jawa.

C. Hubungan Kesalehan Normatif versus Kebatinan
Untuk menghindari karakteristik berpikiran shari>’ah (shari>’ah mindedness) dalam kajiannya, Woodward menggunakan istilah kesalehan normatif. Hal ini karena di Jawa seorang muslim paling saleh sekalipun umumnya tidak menjalankan seluruh bagian shari>’ah secara kaku. Shari>’ah adalah hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’a>n dan h}adi>th nabi Muhammad, sehingga shari>’ah membentuk inti Islam normatif. Kesalehan normatif dipahami sebagai seperangkat tingkah laku yang telah digambarkan Allah melalui utusan-Nya, yaitu Muhammad bagi umat Islam. Kesalehan normatif merupakan bentuk tingkah laku agama di mana ketaatan dan ketundukan merupakan hal yang sangat penting.
Sufisme merupakan variasi dalam Islam yang doktrin sucinya adalah bahwa gnosis atau kesatuan dengan Allah bisa dicapai melalui jalan mistik. Sufisme lebih mengatur bentuk-bentuk mental dari pada tingkah laku, dengan tujuan transformasi jiwa, yakni membebaskannya dari segala keinginan dan hawa nafsu duniawi yang menghalangi manusia dari perwujudan sebagai citra, dan akhirnya menyatu dengan Allah. Kalangan sufi kebanyakan meyakini bahwa doktrin ini melampaui shari>’ah, penjelmaan kebenaran dan kunci keselamatan.
Adapun hubungan antara kesalehan normatif dengan sufisme pada umumnya sering digambarkan dalam istilah perbedaan antara lahir dan batin. Salah satu prinsip utama dalam pemikiran keagamaan Jawa adalah segala sesuatu yang ada tersusun dari wadah dan isi. Alam, bentuk fisik tubuh dan kesalehan normatif semuanya adalah wadah. Allah, sultan, jiwa, iman, dan mistisisme semua merupakan isi. Tujuan wadah adalah untuk menjaga, menahan dan membatasi isi, sebaliknya isi, justru untuk ”meruntuhkan” itu semua. Kalangan mistikus Jawa meyakini, pada akhirnya isi lebih berarti dari pada wadah sebab merupakan kunci kesatuan mistik. Tetapi dengan menerima hubungan kosmologis dan metafisik, dua konsep tersebut, maka tidak ada yang bisa diabaikan. Meskipun sebagian besar orang Jawa setuju wadah normatif diperlukan untuk mengembangkan pengetahuan mistik, persoalannya justru apakah wadah yang sempurna tetap terbuka. Dalam istilah-istilah perilakuan (behavioral), ini berarti bahwa pada tingkat mana kalangan mistik harus sesuai dengan norma-norma tingkah laku shari>’ah menjadi kontroversi besar. Dengan demikian, kendati telah dibangun dalam bentuk kosmologi yang lebih koheren, hubungan antara kesalehan normatif dan sufisme tetap problematik.
Menurut Woodward, baik Islam normatif dan berbagai versi Islam Jawa berkaitan dengan kepercayaan keraton (royal cult), hubungan antara shari>’ah dan doktrin mistik adalah termasuk tema penting dalam teks-teks keagamaan yang menjadi dasar agama keraton. Terhadap problem ini, teks-teks Jawa sampai pada dua pemecahan. Pertama, Islam normatif menurut para mistikus harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan shari>’ah. Kedua, praktek-praktek ritual yang digariskan shari>’ah dapat dikesampingkan. Pembedaan secara umum dalam seluruh tradisi Islam ini digunakan sebagai basis teokrasi sufi.

PENUTUP
Seperti halnya karya Clifford Geertz, karya Mark R. Woodward juga tidak lepas dari kritik-kritik mendasar dari beberapa penulis sesudahnya, seperti Andre Beatty dalam bukunya Varieties of Javanese dan Andre Moller dalam bukunya Ramadhan di Jawa Pandangan dari Luar. Meskipun banyak mendapat kritikan, tetapi karya Woodward ini tetap menjadi rujukan terhadap kajian-kajian terhadap studi tentang agama dan kebudayaan Jawa. Yang paling menarik dalam tesis Woodward ini adalah kedua corak religiusitas (normatif dan kejawen) tersebut dikatakan sama-sama Islam, bahkan dalam karyanya yang lain ia berani mengatakan bahwa selametan merupakan salah satu dari ritus Islam.

Minggu, 04 Juli 2010

AGAMA BUKANLAH ALAT POLITIK

AGAMA BUKANLAH ALAT POLITIK

Oleh : Lailatuzz Zuhriyah, S. Th. I[*]

Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan momentum yang paling tepat digunakan oleh beberapa cabup dan cawabup untuk mendapatkan dukungan dan simpatik dari berbagai lapisan masyarakat di daerah. Serangkaian program dan janji-janji ditawarkan kepada masyarakat dengan harapan dapat meraih kursi cabup dan cawabup. Hal ini memang sudah menjadi political culture jika ingin mendapatkan kekuasaan. Berbagai macam cara digunakan oleh cabup dan cawabup demi memuluskan jalannya menuju ke kursi bupati dan wakil bupati. Tak jarang terkadang cabup dan cawabup menjadikan agama sebagai alat politiknya. Hal ini dapat dilihat ketika mendekati pilkada, mereka berkampanye dengan membawa-bawa nama agama dan simbol-simbol agama. Memang penduduk Indonesia adalah penduduk yang agamis, sehingga tak jarang agama dijadikan sebagai alat penjaring untuk mendapatkan suara dari rakyat.

Sebenarnya apa yang salah dalam hal ini? Memang sekilas tidak ada yang salah dengan menjadikan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Tetapi, jika ditelusuri lebih jauh sebenarnya dengan menggunakan agama sebagai alat politik -- meminjam istilah kasus century -- ”akan berdampak sistemik”. Mengapa demikian? Wilayah agama merupakan wilayah yang amat sensitif. Jika sewaktu-waktu wilayah ini terganggu sedikit saja, maka kemungkinan terjadinya konflik akan sangat mungkin sekali. Dengan menjadikan agama sebagai alat politik, akan mencemari nilai suci agama yang selama ini menjadi pedoman hidup manusia. Agama akan kehilangan wibawa di mata pemeluknya.

Beberapa bakal calon (balon) terkadang ketika kampanye atau melalui media mengklaim dirinya NU-is, Muhammadiyah-is, Islamis, agamis dan lain-lain untuk menarik simpati masyarakat yang religius, sehingga layak untuk dijadikan pemimpin. Masyarakat yang melihat hal itu akan menganggap bahwa balon tersebut merupakan bakal pemimpin yang merepresentasikan nilai-nilai agama mereka, padahal belum tentu nantinya ketika berada dalam political practis para pemimipin tersebut merepresentasikan nilai-nilai agama tersebut, karena di sini agama hanyalah dijadikan sebagai alat politik penjaring suara rakyat ketika kampanye. Oleh karena itu, dikhawatirkan tatkala pemimpin tersebut mempunyai citra yang buruk ketika sudah menjadi pemimpin, maka orang akan menilai bahwa pemimpin ”yang katanya” seorang yang saleh, agamis, dan memerintah negeri ini dengan nilai-nilai agama itu ternyata tidak sesuai harapan. Rakyat akan merasa kecewa dengan agamanya, karena secara tidak langsung structure of behaviour pemimipin yang katanya ”agamis” merupakan representasi dari nilai-nilai agamanya.

Apabila suatu saat terjadi permusuhan diantara calon pemimpin atau kekalahan salah satu calaon pemimpin dalam pilkada yang menggunakan simbol-simbol agama, maka tidak menutup kemungkinan akan memunculkan ketegangan massa pendukung dari golongan agama tertentu yang mendukung masing-masing pemimpin yang merupakan representasi dari golongan agamanya.

Menurut Karl Marx, agama merupakan candu bagi masyarakat yang berada di struktur basis (bawah). Bagi mereka yang berada di wilayah basis, berharap agama dapat memberikan jaminan kebahagiaan. Oleh karena itu, mereka tertarik dengan pemimpin yang menyuarakan dirinya sebagai pemimpin yang agamis, NU-is, Muhammadiyah-is dan lain-lain. Tetapi tatkala melihat realitas agama hanya dijadikan sebagai alat politik oleh para pemain politik (political player), maka agama tererosi sedemikian rupa sehingga wajah agama tak seindah yang diharapkan. Orang akan mulai ragu dengan agamanya.

Tidak jarang konflik antar agama di Indonesia sebenarnya secara substantif adalah berawal dari masalah struktural khususnya politik, meskipun masalah kesenjangan ekonomi, mobilisasi sosial, kultural, dan persoalan intern agama juga ikut serta memunculkan konflik. Pada dasarnya, mayoritas konflik yang muncul adalah masalah politik, tetapi dikemas sedemikian rupa sehingga yang muncul adalah masalah agama. Konflik agama dijadikan intermediary target untuk meluluskan tujuan selanjutnya. Agama yang seharusnya menjadi moral force, berubah menjadi kambing hitam dari segala permasalahan yang ada. Dari sini akan muncul dialektika yang debatable masalah dikotomis fungsi agama, yakni agama selain mempunyai fungsi konstruktif juga destruktif.

Lalu apa yang seharusnya dilakukan? Para pelaku politik (political player), seyogianya tidak menjadikan agama sebagai alat politik, tetapi berpolitiklah dengan cara yang agamis. Masyarakat tidak perlu janji-janji dan klaim-klaim agamis dari para elit politik, tetapi dengan para elit politik yang memimpin kekuasaan dengan cara-cara yang agamis sudah dapat merepresentasikan keagamisan dari para pemimpinnya. Agama sebagai sumber nilai diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi political player untuk menjalankan pemerintahan dengan cara yang baik sesuai dengan ajaran agama dan hukum yang berlaku.

Para pemimpin agama sudah bersusah payah membangun kembali hubungan antar umat beragama yang sudah berada di titik nadir. Untuk itu, jangan merusak kembali tatanan yang sudah dibangun oleh mereka dengan menjadikan agama sebagai alat politik sehingga merusak nilai-nilai suci agama. Pada dasarnya, agama berfungsi untuk menciptakan clear government, high politic dan civil society, bukan sebagai source of conflict dan political tool.

Para pemimpin diharapkan dapat menjadi uswah hasanah bagi rakyatnya dengan menerapkan kesalehan politik dalam menjalankan pemerintahannya. Bukan menjadikan agama sebagai permainan politik untuk memuluskan tujuannya di awal saja. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahkan seperti yang tertulis dalam pasal 29 ayat 1 bahwa “Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa” dan dalam Pancasila sila pertama yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”, oleh karena itu jangan jadikan bangsa yang agamis ini mulai ragu dengan agamanya dan tidak lagi memerlukan agama karena melihat realitas agama yang sudah “teracak-acak” oleh kepentingan politik, tetapi bagaimana caranya supaya bangsa Indonesia ini tetap menjadi bangsa yang agamis. Jika ingin berpolitik, berpolitiklah sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan tuntunan agama dengan menciptakan civic culture yang baik.



[*] Mahasiswi Program Pascasarjana Jurusan Pemikiran Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya

AWAL PERTAMA TINGGAL DI TULUNGAGUNG DAN SERUNYA BERBELANJA DI PASAR TRADISIONAL TAMANAN TULUNGAGUNG

Saya dan Zidan (anak saya) di Alun-Alun Tulungagung saat masih seminggu tinggal di Tulungagung,   dan Zidan masih berumur 1 tahun Sudah menj...