Minggu, 04 Juli 2010

AGAMA BUKANLAH ALAT POLITIK

AGAMA BUKANLAH ALAT POLITIK

Oleh : Lailatuzz Zuhriyah, S. Th. I[*]

Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan momentum yang paling tepat digunakan oleh beberapa cabup dan cawabup untuk mendapatkan dukungan dan simpatik dari berbagai lapisan masyarakat di daerah. Serangkaian program dan janji-janji ditawarkan kepada masyarakat dengan harapan dapat meraih kursi cabup dan cawabup. Hal ini memang sudah menjadi political culture jika ingin mendapatkan kekuasaan. Berbagai macam cara digunakan oleh cabup dan cawabup demi memuluskan jalannya menuju ke kursi bupati dan wakil bupati. Tak jarang terkadang cabup dan cawabup menjadikan agama sebagai alat politiknya. Hal ini dapat dilihat ketika mendekati pilkada, mereka berkampanye dengan membawa-bawa nama agama dan simbol-simbol agama. Memang penduduk Indonesia adalah penduduk yang agamis, sehingga tak jarang agama dijadikan sebagai alat penjaring untuk mendapatkan suara dari rakyat.

Sebenarnya apa yang salah dalam hal ini? Memang sekilas tidak ada yang salah dengan menjadikan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Tetapi, jika ditelusuri lebih jauh sebenarnya dengan menggunakan agama sebagai alat politik -- meminjam istilah kasus century -- ”akan berdampak sistemik”. Mengapa demikian? Wilayah agama merupakan wilayah yang amat sensitif. Jika sewaktu-waktu wilayah ini terganggu sedikit saja, maka kemungkinan terjadinya konflik akan sangat mungkin sekali. Dengan menjadikan agama sebagai alat politik, akan mencemari nilai suci agama yang selama ini menjadi pedoman hidup manusia. Agama akan kehilangan wibawa di mata pemeluknya.

Beberapa bakal calon (balon) terkadang ketika kampanye atau melalui media mengklaim dirinya NU-is, Muhammadiyah-is, Islamis, agamis dan lain-lain untuk menarik simpati masyarakat yang religius, sehingga layak untuk dijadikan pemimpin. Masyarakat yang melihat hal itu akan menganggap bahwa balon tersebut merupakan bakal pemimpin yang merepresentasikan nilai-nilai agama mereka, padahal belum tentu nantinya ketika berada dalam political practis para pemimipin tersebut merepresentasikan nilai-nilai agama tersebut, karena di sini agama hanyalah dijadikan sebagai alat politik penjaring suara rakyat ketika kampanye. Oleh karena itu, dikhawatirkan tatkala pemimpin tersebut mempunyai citra yang buruk ketika sudah menjadi pemimpin, maka orang akan menilai bahwa pemimpin ”yang katanya” seorang yang saleh, agamis, dan memerintah negeri ini dengan nilai-nilai agama itu ternyata tidak sesuai harapan. Rakyat akan merasa kecewa dengan agamanya, karena secara tidak langsung structure of behaviour pemimipin yang katanya ”agamis” merupakan representasi dari nilai-nilai agamanya.

Apabila suatu saat terjadi permusuhan diantara calon pemimpin atau kekalahan salah satu calaon pemimpin dalam pilkada yang menggunakan simbol-simbol agama, maka tidak menutup kemungkinan akan memunculkan ketegangan massa pendukung dari golongan agama tertentu yang mendukung masing-masing pemimpin yang merupakan representasi dari golongan agamanya.

Menurut Karl Marx, agama merupakan candu bagi masyarakat yang berada di struktur basis (bawah). Bagi mereka yang berada di wilayah basis, berharap agama dapat memberikan jaminan kebahagiaan. Oleh karena itu, mereka tertarik dengan pemimpin yang menyuarakan dirinya sebagai pemimpin yang agamis, NU-is, Muhammadiyah-is dan lain-lain. Tetapi tatkala melihat realitas agama hanya dijadikan sebagai alat politik oleh para pemain politik (political player), maka agama tererosi sedemikian rupa sehingga wajah agama tak seindah yang diharapkan. Orang akan mulai ragu dengan agamanya.

Tidak jarang konflik antar agama di Indonesia sebenarnya secara substantif adalah berawal dari masalah struktural khususnya politik, meskipun masalah kesenjangan ekonomi, mobilisasi sosial, kultural, dan persoalan intern agama juga ikut serta memunculkan konflik. Pada dasarnya, mayoritas konflik yang muncul adalah masalah politik, tetapi dikemas sedemikian rupa sehingga yang muncul adalah masalah agama. Konflik agama dijadikan intermediary target untuk meluluskan tujuan selanjutnya. Agama yang seharusnya menjadi moral force, berubah menjadi kambing hitam dari segala permasalahan yang ada. Dari sini akan muncul dialektika yang debatable masalah dikotomis fungsi agama, yakni agama selain mempunyai fungsi konstruktif juga destruktif.

Lalu apa yang seharusnya dilakukan? Para pelaku politik (political player), seyogianya tidak menjadikan agama sebagai alat politik, tetapi berpolitiklah dengan cara yang agamis. Masyarakat tidak perlu janji-janji dan klaim-klaim agamis dari para elit politik, tetapi dengan para elit politik yang memimpin kekuasaan dengan cara-cara yang agamis sudah dapat merepresentasikan keagamisan dari para pemimpinnya. Agama sebagai sumber nilai diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi political player untuk menjalankan pemerintahan dengan cara yang baik sesuai dengan ajaran agama dan hukum yang berlaku.

Para pemimpin agama sudah bersusah payah membangun kembali hubungan antar umat beragama yang sudah berada di titik nadir. Untuk itu, jangan merusak kembali tatanan yang sudah dibangun oleh mereka dengan menjadikan agama sebagai alat politik sehingga merusak nilai-nilai suci agama. Pada dasarnya, agama berfungsi untuk menciptakan clear government, high politic dan civil society, bukan sebagai source of conflict dan political tool.

Para pemimpin diharapkan dapat menjadi uswah hasanah bagi rakyatnya dengan menerapkan kesalehan politik dalam menjalankan pemerintahannya. Bukan menjadikan agama sebagai permainan politik untuk memuluskan tujuannya di awal saja. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahkan seperti yang tertulis dalam pasal 29 ayat 1 bahwa “Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa” dan dalam Pancasila sila pertama yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”, oleh karena itu jangan jadikan bangsa yang agamis ini mulai ragu dengan agamanya dan tidak lagi memerlukan agama karena melihat realitas agama yang sudah “teracak-acak” oleh kepentingan politik, tetapi bagaimana caranya supaya bangsa Indonesia ini tetap menjadi bangsa yang agamis. Jika ingin berpolitik, berpolitiklah sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan tuntunan agama dengan menciptakan civic culture yang baik.



[*] Mahasiswi Program Pascasarjana Jurusan Pemikiran Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya

AWAL PERTAMA TINGGAL DI TULUNGAGUNG DAN SERUNYA BERBELANJA DI PASAR TRADISIONAL TAMANAN TULUNGAGUNG

Saya dan Zidan (anak saya) di Alun-Alun Tulungagung saat masih seminggu tinggal di Tulungagung,   dan Zidan masih berumur 1 tahun Sudah menj...