Kamis, 14 April 2011

PARADIGMA DEKONSTRUKSI JACQUES DERRIDA


ABSTRAK


Sejarah filsafat Barat, bagi Derrida adalah sejarah “pergantian dari satu pusat ke pusat lain, meski dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda”. Ciri yang menonjol dari pemikiran filsafat Barat adalah adanya kecenderungan berpikir oposisi biner (binary oppositions) yang bersifat hirarkis (esensi/eksistensi, substansi/aksiden, jiwa/badan, makna/bentuk, transenden/ empiris, positif/negatif, konsep/metaphor dan seterusnya) dengan anggapan bahwa yang pertama merupakan pusat, asal muasal, fondasi, prinsip, dan ada secara niscaya; sedang yang kedua hanya sebagai derivasi, manifestasi, pinggir dan sekunder dalam kaitannya dengan yang pertama. Pada makalah ini, penulis berusaha memperkenalkan metode dekonstruksi yang dirumuskan oleh Jacques Derrida. Yang menarik dari pemikiran Derrida adalah kemampuannya untuk menggambarkan sekaligus mengubah pikiran seseorang tentang dunia, termasuk di dalamnya tentang kematian, kehidupan, budaya, filsafat, sastra, dan tentang politik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Royle, filsafat Derrida setidaknya berdasarkan pada dua tujuan, yakni menggambarkan dan mengubah cara berpikir pembacanya ataupun pendengarnya. Tentu saja di dalam pandangan umum, tindak mengubah dan menggambarkan realitas adalah dua jenis tindakan yang berbeda. Untuk menggambarkan, berarti untuk menyatakan apa adanya realitas yang ditemui, baik itu realitas alam maupun realitas sosial. Untuk menggambarkan berarti orang sudah terlebih dahulu mengandaikan adanya kondisi-kondisi obyektif nyata yang sudah ada sebelumnya (pre-existing condition) di dalam realitas. Sebaliknya, untuk mengubah, orang perlu berpikir dengan cara yang berbeda. Namun bisakah pikiran yang berbeda juga mengubah realitas ke arah yang berbeda? Inilah pertanyaan yang kiranya menjadi titik awal yang pas untuk membahas pemikiran Derrida.
Kata kunci : Jacques Derrida, dekonstruksi, filsafat.


PEMBAHASAN


A. Biografi Jacques Derrida
Jacques Derrida adalah seorang tokoh filsafat Prancis yang dilahirkan di Aljazair pada tahun 1930 dari keluarga Yahudi Sepharadic. Ketika menginjak usia 19 tahun ia kuliah ke Perancis, kemudian tahun 1956-1957 memperoleh beasiswa untuk belajar di Harvard. Sekitar tahun 1960-an, Derrida menjadi seorang intelektual muda yang menulis jurnal avant garde, Te Quel. Derrida sering dikaitkan dengan GREPH (Groupe de Recherche de L’Enseignement Philosophique), yaitu sebuah gerakan mahasiswa yang mengkhususkan diri pada masalah-masalah pengajaran filsafat secara institusional. Selain itu, ia juga menjadi profesor tamu di Johns Hopkins University dan di Yale University. Dia sangat berpengaruh di kalangan intelektual pantai timur Atlantik― Cambridge, New York, Baltimore―yang seringkali disebutnya ”Amerika”. Pada awalnya, memang hanya tempat-tempat inilah yang terpengaruh tapi lama kelamaan hampir seluruh daratan Amerika Serikat mendapat pengaruh intelektual Derrida.
Derrida termasuk seorang ilmuan dan kritikus yang produktif, hal ini terbukti dengan adanya beberapa buku yang ia kritisi dan ia beri kata pengantar. Karyanya yang pertama adalah buku terjemahan dari tulisan Edmund Husserl yang berjudul ”Origin of Geometry”. Buku yang telah diterjemahkannya ini diberi pengantar kritis yang lumayan panjang. Dari buku terjemahan tersebut, kemudian ia mulai mengeluarkan karya berikutnya dengan judul ”La Voix et le Phenomene”, yang mengkritik teori makna Husserl. Sebelum buku tersebut diterbitkan, Derrida telah menghasilkan beberapa essai yang dikumpulkan menjadi satu dan diberi judul ”L’ecriture et la Difference”. Setelah itu, Derrida memunculkan karyanya lagi dengan judul ”De la Grammatologie”, ”La Dissemination”, dan ”Marges de la Philisohie”. Selain itu, ada sebuah pengantar singkat Derrida dengan judul ”L’archeologie du Frivole” yang dimuat dalam essai karya Condilac yang berjudul ”Sui L’origine des Connaissances Humanies”. Ada juga karyanya yang lain yaitu ”Position”, yang berisi tentang wawancara Derrida terhadap beberapa tokoh. Pada tahun ini juga karyanya yang monumental berjudul ”Glas’ diterbitkan.

B. Latar Belakang Pemikiran Jacques Derrida
Jacques Derrida adalah seorang tokoh filsafat perancis yang dibesarkan dalam tradisi pemikiran era 1950-an sampai 1970-an. Pada era ini dimeriahkan oleh pergeseran besar-besaran dari pemikiran modernitas ke postmodernitas dan dari strukturalisme menuju postrukturalisme. Strukturalis-modernis diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Ferdinand de Saussure, Noam Chomsky, Roman Jakobson, Levi Strauss, sedangkan nama-nama Lacan, Kristeva, Derrida, Foucault, Barthes, Baudrillard dan sebagainya ”bisa dikatakan” sebagai wakil postrukturalis-posmodernis.

1. Posmodernitas
Istilah postmodernitas memiliki pengertian yang sangat remang, jika pengertian diartikan sebagai sesuatu yang dapat disepakati, tunggal dan bulat, karena persis kesepakatan, ketunggalan dan kebulatan itulah yang tidak dimaui postmodernis. Yang dapat dilakukan hanya mengira-ngira apa ciri-ciri postmodern, dan jika begitu, terpaksa dibuat pengelompokan, barulah arti postmodern itu dapat ditangkap, meskipun tetap dalam keadaan samar.

a. Kelompok pertama, yaitu pemikiran-pemikiran yang merevisi pemikiran modernitas. Kelompok ini, cenderung kembali ke pola pemikiran pra-modern, misalnya metafisika New Age. Biasanya para pemikir dengan gaya ini berasal dari wilayah fisika baru, seperti: F. Capra, Garry Zukav dan sebagainya.
b. Kelompok kedua, yaitu pemikiran-pemikiran yang terikat erat dengan dunia sastra dan linguistik. Para pemikir ini ingin melampaui bahasa yang secara tradisional dipandang sebagai cermin untuk menggambarkan dunia atau realitas. Salah satu caranya adalah dengan mendekonstruksi gambaran dunia, sehingga cenderung anti gambaran dunia sama sekali. Gambaran dunia yang ingin dibongkar tersebut misalnya: diri, Tuhan, tujuan, makna, kebenaran, dunia nyata, dan sebagainya. Pemikiran ini diwakili oleh Foucault, Vattimo, Lyotard, dan Derrida.
c. Kelompok ketiga, yaitu pemikiran yang ingin merevisi modernisme tanpa menolaknya mentah-mentah, melainkan melakukan perbaikan di sana-sini yang dinilai perlu. Bisa dikatakan bahwa pemikiran kelompok ini merupakan kritik imanen terhadap modernisme dalam rangka mengatasi konsekuensi negatifnya. Sebagai contoh, para pemikir ini tidak menolak sains dalam dirinya sendiri, yang mereka tolak adalah sains yang dijadikan ideologi dan saintisme. Ringkasnya, sumbangan modernisme terhadap peradaban manusia mau tak mau harus diakui keberadaannya. Tokohnya antara lain; A. N. Whitehead, Habermas, Gadamer, Rorty, Ricoueur dan sebagainya.
Mengapa modernitas perlu untuk direvisi, bahkan ada yang bersikeras membuangnya? Di sini, perlu disadari bahwa setiap pemikiran tentu ada konsekuensi-konsekuensinya, baik itu positif maupun negatif. Konsekuensi negatif inilah yang menggelisahkan manusia, khususnya para pemikir di paro pertama abad ke-20. dua perang dunia cukup kiranya membuat manusia harus merenung ulang, kalau tidak menyesali, mengapa bencana itu bisa terjadi. Hingga sampai saat ini pun,dampak negatif itu masih terasa. Krisis ekologi, carut-marut ekonomi-politik global, imperialisme budaya dan sebagainya adalah contoh konsekuensi negatif modernitas yang dapat dikemukakan.
Yang menyebabkan modernisme berdampak negatif adalah seperti yang tersimpul dalam pemikiran Hegel, yaitu ide universal tentang emansipasi progresif, rasio dan kebebasan. Menurut Hegel, manusia sebagai subjek harus menentukan sendiri landasan nilai dan kriteria-kriteria dalam kehidupannya. Manusia modern tidak memerlukan landasan nilai, kebebasan dan legitimasi kebenaran selain yang berasal dari dalam dan untuk dirinya sendiri. Landasan tersebut adalah akal budi. Manusia sebagai subjek akan selalu ”bergerak ke depan”, dia akan selalu mengacu kepada kebenaran ideal, sementara kebenaran ideal itu sendiri tetap dalam proses ”becoming”. Proses bergerak ke depan menuju kebenaran ideal inilah yang disebut ”kemajuan”, progresifitas. Manusia modern ingin selalu jadi yang paling progresif, paling di depan, paling di atas. Secara konseptual, ini adalah hal yang ideal dan luhur, tapi sesampainya di lapangan yang acap kali terjadi malah penindasan sesama manusia dan pemerkosaan alam.
Selain itu, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap dampak positifnya, karena modernitas telah berusaha memanusiakan manusia dengan segala kemajuan, rasio dan kebebasannya. Kemajuan melahirkan kesejahteraan, rasio melahirkan sains dan teknologi, dan kebebasan melahirkan demokrasi. Tapi ”cucu” dari ketiga hal tadilah yang negatif, yaitu eksploitasi, saintisme dan imperialisme politik dan budaya.
Pada tulisan di atas tadi dikatakan bahwa dekonstruksi adalah bagian dari kelompok postmodernis yang ingin lepas putus dengan modernitas, maka pandangannya terhadap modernitas itulah yang jadi intinya. Oleh karena itu, pandangan Derrida terhadap modernitas tidak bisa dilepaskan.

2. Strukturalisme
Pemikiran Derrida sangatlah sulit untuk dicerna, maka mungkin dengan melacak kronologi pemikirannya akan sedikit memudahkan kita, yaitu dengan sedikit membicarakan strukturalisme Saussurean yang nota bene bernuansa modernitas.strukturalisme merupakan paham yang mengatakan kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur. Sedangkan struktur sendiri adalah hubungan mutual dari konstituen, bagian-bagian atau unsur-unsur pembentuk keseluruhan, sebagai penyusun sifat khas, atau karakter dan koeksistensi dalam keseluruhan bagian-bagian yang berbeda.
Metode struktural ditemukan Saussure ketika menyelidiki bahasa. Oleh sebab itu, berbicara strukturalisme, setidaknya akan memperbincangkan bahasa. Bila bahasa dilihat secara struktural, maka akan di dapat kesimpulan bahwa bahasa bisa ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem perbedaan ini adalah oposisi biner (binary oposition). Oposisi biner inilah inti dari pemikiran struktural Saussurean. Oposisi antara penanda/petanda, tuturan/tulisan, language/parole. Oposisi dalam linguistik ini berjalan berdampingan dengan hal yang sama dalam tradisi filsafat Barat; makna/bentuk, jiwa/badan, transendental/imanen, baik/buruk, benar/salah dan sebagainya. Dalam oposisi biner ini, menurut tradisi filsafat Barat, istilah-istilah yang pertama lebih superior dari yang kedua.
Karena oposisi biner dalam bahasa berjalan berdampingan dengan oposisibiner dalam tradisi filsafat Barat, maka menurut Derrida istilah-istilah tersebut adalah milik Logos—kebenaran” atau ”kebenaran dari kebenaran”. Sedangkan istilah-istilah yang kedua adalah representasi palsu dari yang pertama, atau bersifat inferior. Tradisi ini dinamakannya logosentrisme dan dipergunakannya untuk menerangkan asumsi adanya hak istimewa yang disandang istilah pertama dan ”pelecehan” terhadap istilah kedua.
Dalam linguistik Saussurean, terjadi penganak emasan tuturan dan pelecehan tulisan. Tuturan menurut Saussure adalah kesatuan petanda dan penanda yang dianggap kelihatan menjadi satu dan sepadan, yang membangun sebuah tanda (sign). Kebenaran adalah petanda, yaitu isi yang diartikulasikan oleh penanda yang berupa suara/bentuk. Kebenaran yang sebelumnya eksternal dari penanda kemudian menjadi lekat dengan penanda itu sendiri dalam bahasa, dia bisa hadir lewat penanda. Kesatuan antara bentuk (penanda) dengan isi (petanda) inilah yang disebut Derrida metafisika kehadiran (metaphysics of presence). Metafisika kehdiran adalah asumsi bahwa sesuatu yang bersifat fisik (penanda) dan yang melampaui fisik (petanda) dapat hadir secara bersamaan, dan hal ini hanya mungkin dalam tuturan, bukan tulisan.
Dari sini kita bisa melihat hubungan Derrida, terutama dekonstruksinya, dengan linguistik struktural. Dekonstruksi yang dikembangkab Derrida adalah penyangkalan terhadap oposisi ucapan/tulisan, ada/tak ada, murni/tercemar dan akhirnya penolakan terhadap kebenaran tunggal atau logos itu sendiri. Tulisan menurut Derrida, bila dilihat denga cara lain, merupakan prakondisi dari bahasa, dan bahkan telah ada sebelum ucapan oral. Dengan demikian, bisa dikatakan, tulisan malah lebih ”istimewa” dari pada tuturan. Tulisan adalah bentuk permainan bebas unsur-unsur bahasa dan komunikasi. Dia merupaka proses perubahan makna terus menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos). Dalam hal ini Derrida melihat tulisan sebagai jejak—bekas-bekas tapak kaki yang harus kita telusuri terus menerus jika ingin tahu siapa si empunya kaki. Proses berpikir, menulis dan berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida sebagi Differance.
Differance adalah kata Perncis bila diucapkan, pelafalannya persis sama dengan kata difference. Berasal dari kata differer, yang bisa berarti ”berbeda” sekaligus ”menangguhkan”. Di sinilah letak keistimewaan kata in yang sekaligus membuktikan tulisan lebih unggul dari pada tuturan, sebagaimana yang diyakini Derrida. Differance adalah permainan perbedaan-perbedaan, jejak-jejak dari erbedaan-perbedaan, penjarakan (spacing) yang dengan cara tersebut unsur-unsur dikaitkan satu sama lain.
Bila dikaitkan dengan linguistik-struktural Saussurean, proses differance ini adalah penolakan terhadap adanya petanda absolut atau ”makna absolut”, makna transendental, makna universal, yang diklaim ada oleh Saussure, dan oleh pemikiran modern umumnya.
Penolakan ini mesti dilakukan, dan menurut Derrida sudah pasti terjadi, karena dengan adanya penjarakan dan proses differance tadi, apa yang dianggap sebagai petanda absolut akan selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu saja ada celah antara penanda dan petanda, anatara teks danmaknanya. Celah inilah yang menyebabkan pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah kebenaran ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak kebenaran lain yang ada dibelakangnya.
Dengan demikian, apa yang dicari dan diburu manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang ada ”di depan” tidak ada, tidak satu pun yang bisa dijadikan pegangan, karena satu-satunya yang bisa dikatakan pasti ternyata, menurut Derrida, adalah ketidakpastian, permainan. Semuanya harus ditangguhkan (deffered) sembari kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan postmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.

C. Derrida dan Dekonstruksi
1. Mengubah Teks
Mengubah realitas menurut Derrida juga berarti mengubah teks, dan teks itu sendiri adalah realitas kehidupan manusia. Untuk mengubah realitas orang perlu terlebih dahulu mampu memahami dan menggambarkan realitas. Ada keterkaitan yang mendalam antara menggambarkan (to describe) dan mengubah (to transform). Titik berangkat Derrida adalah teori tindakan tutur (speech act theory) yang banyak dikembangkan di dalam teori komunikasi maupun linguistik. Sebelum merumuskan pemikirannya sendiri secara orisinil, ia banyak mendalami teori tindakan tutur, terutama seperti yang dirumuskan oleh J.L Austin. Buku yang menjadi acuan utama Derrida adalah How to do Things with Words, karangan Austin. Menurut Austin setiap tindakan berbicara manusia dapat diartikan dengan dua cara, yakni secara konstatif, atau secara performatif.
Pernyataan konstatif adalah pernyataan tentang fakta sebagaimana adanya. Biasanya pernyataan ini sifatnya deskriptif, yakni menggambarkan sesuatu secara langsung tanpa penilaian apapun. Misalnya saya sedang menulis di notebook. Atau anda sedang membaca tulisan ini. Kedua pernyataan itu adalah pernyataan konstatif. Di sisi lain pernyataan performatif adalah pernyataan yang tidak hanya melibatkan kata-kata, tetapi juga perbuatan yang menyertai kata-kata itu. Biasanya pernyataan performatif itu berbentuk janji, ancaman, doa, pengakuan, tantangan, taruhan, deklarasi perang, dan deklarasi. Dengan kata lain pernyataan performatif tidak hanya berusaha menggambarkan fakta, melainkan juga mau mengubahnya. Menyatakan secara performatif berarti menyatakan sekaligus melakukan suatu tindakan.
Di dalam upacara pernikahan, mempelai pria dan wanita menyatakan bahwa mereka siap untuk selalu setia sampai mati, baik dalam kondisi susah maupun senang. Pernyataan “saya bersedia” tidak hanya berupa pemaparan atas keputusan masing-masing mempelai, tetapi juga pernyataan yang membuahkan tindakan. Dengan kata lain sejak hari itu, kedua mempelai siap untuk saling mencintai secara penuh satu sama lain. Hal yang sama kiranya berlaku untuk pernyataan perang. Sebuah negara yang menyatakan perang terhadap negara lain juga mengandaikan adanya tindakan nyata, seperti memobilisasi pasukan, mengungsikan warga-warga di daerah berbahaya, dan sebagainya.
Tulisan-tulisan Derrida seringkali berupa pembacaan ulang terhadap salah satu teks yang cukup berpengaruh di dalam sejarah filsafat. Di dalam proses pembacaannya, ia tidak hanya menggambarkan apa yang menjadi maksud asli pengarang teks, tetapi juga mengubah pemahaman kita tentang teks tersebut. Akan tetapi janganlah buruk sangka terlebih dahulu. Derrida adalah seorang pembaca yang sangat cermat. Ia sangat sabar meneliti teks-teks yang ia baca. Beberapa teks yang pernah dimaknainya kembali adalah tulisan Plato yang berjudul ”Phaedrus”, tulisah Shakespeare yang berjudul ”Romeo and Juliet”, tulisan Kafka yang berjudul ”Before the Law”, dan bahkan ”American Declaration of Independence”.
Sekilas orang akan mengira, bahwa Derrida hanya menggambarkan kembali apa yang sudah tertulis di dalam teks. Namun pendapat ini hanya separuh benar. Derrida memang seorang pembaca dan pengajar yang sangat tajam dan detail. Namun Derrida juga mengubah pemahaman seseorang tentang teks-teks yang sedang dibaca. Derrida berusaha menjauh dari tafsiran dominan, dan membuat tafsirannya sendiri atas teks-teks yang dibaca. Di tangan Derrida teks-teks kuno itu berubah menjadi suatu teks yang menyegarkan dan penuh dengan pemahaman-pemahaman baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dapatlah dikatakan bahwa Derrida tidak hanya melakukan tindakan konstatif, yakni menggambarkan teks, tetapi juga tindakan performatif, yakni mengubah teks tersebut menjadi sesuatu yang baru.
2. Dekonstruksi
Dengan demikian Derrida tidak hanya menggambarkan maksud teks-teks yang dibacanya secara persis, tetapi juga mengubahnya menjadi teks yang memiliki makna baru. Dua konsep itu yakni deskripsi/penggambaran (description) dan transformasi (transformation) dapat digabungkan menjadi dekonstruksi (deconstruction). Sekilas konsep dekonstruksi ini tampak aneh dan kontradiktif. Bagaimana mungkin membaca secara tepat sekaligus mengembangkan makna teks dengan mengubahnya? Namun itulah yang kiranya dilakukan Derrida. Menurut penelitian Nicholas Royle, Derrida sendiri tidak begitu suka dengan kata tersebut. Konsep itu pun melepaskan diri dari Derrida, dan mulai menjadi sebuah paham, yakni sebuah isme. Sejak saat itu konsep dekonstruksi terus menjadi subyek perdebatan banyak pemikir lintas displin ilmu.
Royle bahkan berpendapat bahwa kita dapat memahami filsafat Derrida tanpa menggunakan konsep dekonstruksi sama sekali. Memang hal itu akan sangat sulit, namun bukan berarti tidak mungkin. Di dalam kamus filsafat dan kamus Bahasa Inggris, seperti dikutip oleh Royle, dekonstruksi didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk mengubah konstruksi dari suatu benda. Di dalam kamus filsafat, dekonstruksi didefinisikan sebagai suatu strategi analisis yang dikaitkan dengan filsuf Perancis, Jacques Derrida, yang bertujuan untuk membuka pengandaian-pengandaian metafisis yang sebelumnya tidak dipertanyakan, serta membuka kontradiksi internal di dalam filsafat maupun teori-teori bahasa
Royle sendiri mendefinisikan dekonstruksi sebagai sesuatu yang bukan seperti yang dipikirkan orang banyak, pengalaman akan yang tak mungkin, cara berpikir untuk menggoyang apa yang sudah dianggap mapan, apa yang membuat identitas dari sesuatu itu juga sekaligus bukan merupakan identitas, dan masa depan yang masih belum ada itu sendiri. Tentu saja beragam definisi tersebut pasti membuat orang bingung. Namun Derrida sendiri tidak pernah secara jelas mendefinisikan arti dari konsep dekonstruksi. Ia hanya menerapkannya dan membiarkan pembacanya merumuskan sendiri. Maka dapatlah dikatakan bahwa hakekat dari dekonstruksi itu sifatnya plural. Tidak ada satu definisi utuh yang bisa menjelaskan makna terdalam dari dekonstruksi.
Dekonstruksi juga tidak hanya bergerak di tataran filsafat, melainkan juga menyentuh literatur, politik, seni, arsitektur, dan bahkan ilmu-ilmu alam. Di dalam kajian lintas ilmu, dekonstruksi dapat digambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah dan membelah kepastian dan pakem-pakem lama yang tidak lagi dipertanyakan. Di dalam tulisan-tulisannya, Derrida berulang kali menuliskan bahwa kekuatan untuk mengubah dan membelah itu sebenarnya sudah terkandung di dalam teks itu sendiri. Yang ia lakukan hanyalah mengaktifkan kekuatan itu, dan kemudian menyebarkannya ke keseluruhan teks. Derrida mau melakukan de-sedimentasi terhadap teks, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam arti ini ia mau menciptakan gempa di dalam teks.
3. Dekonstruksi sebagai Gempa Tekstual
Di dalam teks dekonstruksi hendak menciptakan gempa dengan terlebih dahulu mengungkapkan kontradiksi di dalam teks tersebut. Hal tersebut hanya bisa dilakukan, bila teks sudah dibaca dan dimengerti secara teliti. Sekecil apapun kontradiksi yang ada, tetap saja ia mampu membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tak terpikirkan bagi keseluruhan teks terkait. Di dalam proses penelusurannya terhadap teks-teks filsafat yang ada, Derrida tidak memperlakukan para filsuf sebelum dia sebagai individu, melainkan sebagai suatu teka teki yang harus dipahami dan kemudian dipecahkan. Inilah yang menyebabkan tulisan-tulisan Derrida terasa bagai labirin yang tak berujung. Ini juga yang menyebabkan sulitnya kita menentukan posisi khas Derrida.
Setiap karyanya harus selalu ditempatkan pada situasi dan konteks yang tepat, yang melatarbelakangi teks tersebut. Dekonstruksi yang diterapkan Derrida tidak mau memberikan pandangan umum mengenai filsafat, melainkan lebih tertarik bermain dengan detil-detil yang sebelumnya tidak diperhatikan. Bahkan satu kalimat kecil yang tampaknya tidak bermakna bisa menjadi titik tolak untuk mengubah makna keseluruhan teks. Derrida lebih jauh menambahkan, bahwa dekonstruksi sudah selalu berada di dalam teks itu sendiri. Dengan kata lain setiap teks sudah selalu memiliki potensi untuk medekonstruksi, atau men-destabilisasi, dirinya sendiri. Dengan dasar ini ia pernah menyatakan, bahwa segala sesuatu di dalam teks selalu bisa dipisah dan dibagi terus menerus. Tidak ada bagian dari teks yang sifatnya stagnan atau permanen. Tidak ada atom di dalam teks.
Jika tidak ada kesatuan utuh yang sifatnya permanen di dalam teks, maka teks selalu bisa dibaca dan dimengerti dengan cara yang selalu berbeda. Tidak ada tafsiran dominan yang sifatnya otoritatif. Dengan ini kita bisa memahami beberapa konsep lainnya yang kiranya identik dengan pemikiran Derrida, yaknidifferance, jejak-jejak, dan iterabilitas. Kata differance adalah kata yang aneh. Kata ini tidak terdapat di dalam kamus bahasa manapun. Kata itu sendiri terdiri dari dua kata yakni untuk membedakan (to differ), dan untuk menunda kepastian (to defer). Kebenaran dan makna di dalam teks harus terus dibedakan dan ditangguhkan kepastiannya.
Karena kebenaran selalu harus, dan mampu, ditangguhkan dan dibedakan terus menerus, maka kebenaran itu sendiri pada dasarnya tidak ada. Menurut Derrida yang bisa kita temukan dan ketahui adalah jejak-jejak dari kebenaran itu sendiri, dan bukan kebenarna pada dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud dengan konsep jejak (trace) di dalam pemikiran Derrida. Sementara iterabilitas adalah kemampuan suatu teks untuk selalu dimaknai terus menerus di dalam konteks yang berbeda-beda. Teks adalah sesuatu yang lentur dan lincah. Teks adalah tanda yang bisa terus diulang dan dibedakan sesuai dengan horison pembaca dan penafsirnya.
Di dalam bukunya tentang Derrida, Royle mengajukan tesis bahwa dekonstruksi Derrida adalah sebuah gempa tekstual. Tujuan utama dekonstruksi adalah untuk menggoyang, memindahkan, dan mengubah semua konsep bahasa, psikologis, tekstual, estetis, historis, etis, sosial, politik, dan bahkan religiusitas. Di dalam tulisannya tentang Plato, Derrida tidak hanya menggambarkan kembali apa yang ingin disampaikan oleh Plato, tetapi ia juga secara kreatif mengubah dan menafsirkan apa yang dimaksud Plato secara baru dan tak terduga. Hal yang sama juga diterapkannya pada tulisan-tulisan cerita pendek yang ditulis oleh Kafka, dan bahkan skenario drama yang ditulis oleh Shakespeare. Dalam arti ini dekonstruksi lebih dari sekedar metode, terutama jika metode dipahami secara sempit sebagai suatu cara untuk mendekati dan memahami realitas. Dekonstruksi adalah suatu upaya untuk memahami teks, baik teks literatur ataupun realitas itu sendiri, lalu mengubahnya untuk memperoleh makna yang baru. Royle bahkan menegaskan bahwa dekonstruksi itu memiliki sifat mistik untuk mengubah dan menggoyang kepastian makna teks.
Derrida juga menambahkan bahwa inti dekontruksi adalah mengaburkan perbedaan-perbedaan yang telah dibuat oleh manusia, terutama perbedaan yang sifatnya oposisi, seperti baik-buruk, ada-tidak ada, dan sebagainya. Tidak hanya itu dekonstruksi juga mau memahami arti kata ‘dan’ dengan cara berbeda. ‘Dan” fungsinya adalah membedakan sekaligus menambahkan; baik ‘dan’ buruk, Ani dan Dewi, makan nasi dan minum air. Lebih jauh Derrida juga menambahkan, bahwa karena kata ‘dan’ selalu memiliki dua arti, maka tidak ada kepastian di dalamnya. Dengan kata lain arti kata ‘dan’ tidaklah pernah stabil. ‘Dan’ bisa berarti oposisi sekaligus menambahkan. Karena itu oposisi dan menambahkan itu sifatnya saling terkait. Maka oposisi tidak pernah stabil, karena itu memiliki potensi untuk mengubah, dan menambahkan apa yang sebelumnya tidak ada.
Menurut Derrida setiap teks selalu sudah mengandung tegangan dan paradoks di dalamnya. Bahkan dapat juga dikatakan, yang terpenting di dalam teks adalah menemukan apa yang tak terkatakan, dan kemudian mengolahnya menjadi suatu pemaknaan yang baru. Di dalam pembacaannya terhadap tulisan-tulisan Austin, terutama yang terkait dengan linguistik (filsafat bahasa), Derrida menemukan kontradiksi di dalam konsep Austin mengenai pernyataan performatif. Bagi Derrida setiap bentuk pernyataan performatif, yakni pernyataan yang disertai dengan tindakan ataupun penegasan, selalu terkandung kemungkinan untuk tidak menjadi tindakan ataupun penegasan. Misalnya di dalam pernyataan “saya berjanji”, ada kemungkinan janji tersebut tidak akan terwujud, sehingga pernyataan itu tidak akan menjadi pernyataan performatif. Kemungkinan bahwa suatu pernyataan performatif tidak akan pernah menjadi tindakan bukanlah kemungkinan sampingan, melainkan sudah selalu merupakan kontradiksi di dalam pernyataan itu sendiri.

D. Dekonstruksi Jacques Derrida Sebuah Tinjauan
Dekonstruksi merupakan madzhab kontroversial yang diilhami oleh pemikiran Derrida. Pemikirannya memancing emosi yang cukup kuat bagi orang-orang yang belum membaca karyanya atau hanya sekedar mendengar tentang dirinya dan pemikiran dekonstruksinya. Belakangan ini ada lelucon yang muncul dan sering diulang-ulang bahwa perbedaan antara Mafia dan dekonstruksi adalah yang pertama memberi tawaran yang tak dapat ditolak, sedangkan yang kedua memberi tawaran yang tak dapat dipahami.
Hampir sejak permulaan karirnya yang panjang, kurangnya pemahaman pada kenyataannya telah mengiringi Derrida. Adanya suatu keadaan dimana ada ketidakjelasan yang terkesan disengaja dalam beberapa tulisannya yang tidak menawarkan sesuatu yang dapat disanggah. Christoper Norris sebagai pendukungnya pun terpaksa mengakui bahwa Derrida telah berhasil memberi masalah pemahaman yang sangat besar. Dalam bukunya, Norris memberikan pendapat tentang gaya tulisan Derrida
akan memancing kebanyakan filsuf – terutama mereka yang berada dalam tradisi Anglo – Amerika yang dominan – untuk mengatakannya sebagai gaya permainan metafor yang berlebih-lebihan. Mereka akan cenderung berpendapat bahwa permainan kata seperti ini itu paling-paling hanya akan menjadi semacam kegiatan corat-coret yang sok canggih di sepanjang pinggiran wacana yang bersungguh-sungguh dan mengupayakan kebenaran.

Beberapa kritisi memberikan kritik yang cukup pedas terhadap pemikiran Derrida ini. Bahkan beberapa dari mereka memberikan tuduhan yang bermacam-macam, mulai dari pesimisme yang tak bertanggung jawab sampai pada upaya destruksi terhadap subyek filsafat itu sendiri. Sebagai contoh kritikan yang dilontarkan oleh Wayne C. Booth yang mengkitik dengan cukup geram bahwa analisis Derrida ”tak berkesudahan, culas dan mengerikan”.
Di dalam kesusasteraan kontemporer serta debat filsafat, karya Jacques Derrida merupakan sebuah kekuatan utama. Tetapi hal ini tidak dapat diprediksi apakah pemikirannya ini merupakan kontribusinya yang paling besar. Sebagai seorang filsuf dan pembaca teks-teks filsafat, tradisi filsafat Barat yakni ’logocentrisme’ atau ’metafisikan kehadiran’ ditekuninya. Bagi Derrida, perbedaan antara teori dan tesis filsafat adalah merupakan versi dari suatu sistem tunggal, meskipun untuk meninggalkan sistem ini tidak dapat diharapkan, namunsetidaknya dapat mengidentifikasikan kondisi dari pemikiran yag ditawarkannya dengan memperhatikan pada penekanannya. Dalam keterkaitannya dengan teks-teks filsafat, suatu catatan yang sangat berpengaruh serta kritis atas pemikiran Barat telah dihasilkan oleh Derrida.
Selain sebagai seorang pembaca, Derrida juga seorang penerjemah. Adanya isyarat atas petualangan intelegensinya adalah ketika beragam teks telah dibacanya seperti teks dari – Rousseau, Saussure, Freud, Plato, Genet, Hegel, Mallarme, husserl, J. L Austin, dan Kant yang kemudian dianalisis dan diberikan penafsiran. Derrida menggunakan mode ganda dalam pembacaan dengan memperhatikan cara-cara di mana teks secara implisit dapat mengkritisi dan meruntuhkan para filsuf terkait. Ia selalu dapat menunjukkan teks yang harus dirangkai dari uraian yang tidak pernah dapat dihasilkan di dalam suatu sintesa namun secara kontinyu dapat menggantikan satu sama lainnya. Di dalam dunia kritik sastra, praktek baru pembacaan serta tulisan ini membuat proses itu sendiri dirasakan secara khusus.
Dapat dikatakan bahwa Derrida merupakan pemikir Perancis yang inovatif, selain itu Ia juga seorang poststrukturalis. Beberapa pemikirannya terhadap keragaman disiplin telah menciptakan kalau tidak sebuah pergerakan (secara tertentu ingin menekankan ketidaksetujuan satu sama lainnya), setidaknya suatu kekuatan. Derrida dan para pendukungnya menekankan berkali-kali bahwa ia tidak mengajukan suatu teori yang komprehensif serta terpadu yang akan menjelaskan sastra, bahasa, dan filsafat. Namun, Derrida selalu menulis tentang teks-teks khusus dengan tujuan untuk menginspirasikannya kepada yang lain, mengadakan penelitian secara cermat tehadap ketidakmungkinan dari penguasaan keseluruhan tersebut, ketidakmungkinan dalam mengkonstruksi suatu sistem teoritis yang bertalian serta memadai.
Yang membedakan Derrida dengan ahli teori lainnya adalah jika ahli teori lainnya membangun suatu sistem di sekitar beberapa konsep kunci, maka Derrida secara kontinyu memberikan peran yang strategis terhadap istilah baru dari teks yang sedang didiskusikan, dari sini, akhirnya istilah-istilah tersebut memperoleh suatu daya tarik dari kompleksitas struktural dari peran yang dimainkan di dalam interaksi teks Derrida dengan karya lain. Istilah-istilah baru secara kontinyu diperkenalkan Derrida untuk menggantikan yang lama, untuk mencegahnya agar tidak menjadi konsep pokok dari sistem atau teori baru.
Tentunya untuk mencegah terjadinya hal tersebut adalah sangat sulit sekali. Hal ini karena ketika karyanya dibaca serta dibahas, saat karyanya mulai mempengaruhi, secara tak terelakkan karyanya akan diperlakukan sebagai suatu teori dengan konsep pokok, dengan metode analitis, yang membuat klaim umum tentang sifat dari bahasa serta teks.
Dari ketiga karyanya (Of Gramatology, Writing and difference, dan Speech and Phenomena) menjadikan Derrida sebagai seorang tokoh utama didalam debat teoritis yang mendominasi kehidupan intelektual Perancis pada akhir tahun 1960-an. Meskipun teman-teman seangkatannya menghubung-hubungkan dirinya dengan strukturalisme, namun Derrida secara berulang-ulang menghasilkan pembacaan yang menunjukkan paradoks dari sisi strukturalis.
Penyelidikan terhadap logocentrisme Barat merupakan hasil pembacaan Derrida terhadap beberapa ragam teks serta konstruksi dari teksnya sendiri. Metafisika kehadiran menunjukkan bahwa teks-teks dapat ditunjukkan secara simultan untuk menegaskan serta merusak adalah metafisika yang orang ketahui dan mendasari semua pemikiran. Bila hal ini ditunjukkan akan menantang koherensi beserta konsistensinya. Oleh karena itu, tantangan kemungkinan merupakan penentuan atau pendefenisian wujud seperti kehadiran.
Tidaklah mudah menemukan kelemahan-kelemahan pendapat didalam setiap karya Derrida sekalipun orang telah memahami wacana Derrida sepenuhnya. Dalam wacana tersebut, sesungguhnya Derrida masih terjebak di dalam keterkuncian metafisika, meskipun Derrida telah mempertanyakannya bahwa teksnya dan teks-teks orang lain terbuka bagi interpretasi yang telah dideskripsikan? Ternyata teorinya yang sempurna belum bisa diterapkan oleh Derrida, karena sesungguhnya kesempurnaan sebuah teori akan selamanya tertangguhkan. Differance/tulisan/jejak sebagai sebuah struktur tidak lebih dari sekedar artikulasi permainan pengetahuan dan pelupaan Nietzschean.
Dekonstruksi Derrida menanggung suatu pembacaan ganda, ia menggambarkan cara-cara di mana jenis-jenis dari argumen di dalam teks yang dianalisanya mempersoalkan dasar teori mereka, serta menggunakan sistem dari konsep yang ada di dalamnya yang suatu teks berfungsi untuk menghasilkan perintah-perintah, sebagai contoh yang menantang konsistensi dari sistem tersebut adalah kata differance dan supplement. Namun pada kenyataannya bahwa antara teks Derrida maupun teks-teks yang sudah dibacanya didasarkan pada ’kohabitasi’ dari pendugaan metafisis ini dengan pola kritis sehingga memunculkan suatu persoalan yang belum bisa terpecahkan secara memuaskan sejauh ini. Dari sini, akhirnya bagaimana orang dapat membuat karakterisasi perbedaan antara ’bagian tekstual’ seperti yang disebut Derrida dalam sebuah teks grammatologis serta ’bagian tekstual’ dari tulisan-tulisan lainnya, atau perbedaan antara ’kohabitasi’ dari pola tulisan Derrida dan ’kohabitasi’ dari tulisan ahli teori kontemporer lainnya yang ia kritisi.
Jika dilakukan pendekatan dengan sudut lain, maka arti penting pertanyaan ini akan menjadi jelas. Pembacaan yang dekonstruktif, terkadang ditafsirkan sebagai serangan terhadap penulis yang sedang dibahas. Hal ini karena pembacaan dekonstruktif berusaha mengungkapkan suatu dekonstruksi diri atau pertentangan diri, sementara orang terbiasa berpikir bahwa pertentangan diri tidak mengabsahkan segala usaha intelektual. Tetapi Derrida berkata bahwa kontradiksi suatu jenis tidak dapat dihindarkan atau tidak terhindarkan oleh segala teks yang berhubungan secara mendalam dengan permasalahan utama. Kemudian, perilaku jenis apa yang harus diadopsi terhadap teks-teks ini? Derrida tampaknya memberikan tanggapan yang bermacam-macam. Husserl, Heidegger, Hegel dan Saussure diperlakukan dengan lebih hormat dari pada Rousseau ataupun Levi Strauss, sedangkan ’kekurangannya’ dicatat di dalam suatu bahasa yang sering merendahkan. Sebenarnya kekurangan dalam diri seorang pemikir selalu ada kemungkinan untuk bisa ditekan, karena penulis menulis dalam suatu bahasa serta dalam suatu logika yang sistem, aturan, serta kehidupannya yang sebenarnya tak dapat didominasi secara mutlak oleh diskursusnya. Penulis membiarkan dirinya sendiri mengikuti suatu cara dan sampai pada satu poin diatur oleh sistem. Pembacaan harus selalu tertuju pada suatu hubungan tertentu, tidak diketahui oleh penulis antara apa yang diperintahkan dan apa yang tidak diperinthakan terhadap pola-pola dari bahasa yang digunakan.
Pembacaan Derrida berusaha mengkombinasikan apa yang difikirkan seseorang sebagai permainan sastra dari bahasa dengan ketegasan filosofis, bukan dalam beberapa kompromi yang diperlakukan secara lunak, melainkan daalam bentuk yang paling radikal. Kekuatan istimewa dari tulisan Derrida adalah terletak pada kombinasi ini. Derrida memberikan pendapat di dalam suatu sistem filosofis tertentu namun pada waktu yang bersamaan berusaha melalui produktivitas bahasa untuk menerobos dan memperluas sistem itu.


KESIMPULAN


Dekonstruksi adalah sebuah metode sekaligus melampaui metode itu sendiri. Dekonstruksi tidak hanya menggambarkan teks, baik teks literatur ataupun teks sebagai realitas, apa adanya, melainkan juga mau mengungkap kontradiksi yang terletak di dalam detail teks, sehingga pemaknaan dan arti baru yang sebelumnya tidak terungkapkan bisa tampil dan justru menjadi dominan. Dalam bahasa Derrida, dekonstruksi hendak menemukan kontradiksi dan menggetarkan seluruh teks. Menurut Royle di dalam tulisannya tentang Derrida, dekonstruksi adalah sebuah gempa yang menggetarkan seluruh teks, dan mengubahnya ke arah yang sama sekali tidak terduga. Kemungkinan untuk melakukan dekonstruksi sudah selalu terkandung di dalam teks itu sendiri. Kemungkinan yang tampak seperti hantu, namun sama nyatanya seperti teks itu sendiri. Dekonstruksi itu sendiri adalah teks.




DAFTAR PUSTAKA


Booth, Wayne C. Critical Understanding: The Powers and Limits of Pluralism. Chicago and London: University of Chicago Press, 1979.
Craws, Marry. Te Quel: Text and Revolution, Diacritics 3, i. Musim Semi: t. p, 1973.
Derrida, Jacques. Speech and Phenomena, and Other Essays on Husserl’s Theory of Signs. Trans. David B. Allison. Northwestern: University Press, 1973.
Norris, Christopher. Deconstruction: Theory and Practice. Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2003.
_______________. Derrida. London: Fontana, 1987.
Royle, Nicholas. Derrida. London: Routledge, 2003.
Spivak, Gayatri Chakravorty. Membaca Pemikiran Jacques Derrida: Sebuah Pengantar. Jogjakarta: Ar-Ruuz, 2003.
Sturrock, John (ed). Structuralism and Since. Terj. Muhammad Nahar. Surabaya: Jawa Pos Press, 2004.
UPAYA MERETAS KERUKUNAN ANTAR UMAT BERGAMA MELALUI DIALOG ANTAR AGAMA



PENGANTAR


Tuhan telah menciptakan manusia terdiri dari berbagai jenis suku bangsa dan membekali manusia dengan berbagai agama. Model penciptaan manusia seperti itu jelas sekali-kali tidak dimaksudkan untuk memecah belah manusia atau menjadikan mereka saling bermusuhan satu sama lain. Sebaliknya, berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada manusia didorong untuk saling mendekat dan saling berkerjasama berlandaskan kesadaran bahwa sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, yaitu umat yang bernama manusia.
Ketika berhadapan dengan masalah perbedaan, dibenak kita biasanya akan muncul anggapan bahwa perbedaan itu adalah sebuah bentuk permusuhan atau pertikaian. Anggapan itu terkadang ada benarnya, karena beberapa kasus pertikaian yang terjadi di negeri ini disebabkan karena perbedaan. Baik itu perbedaan pendapat, perbedaaan suku, partai, agama, dan masih banyak lagi pertikaian yang terjadi akibat sebuah perbedaan. Hal ini bukanlah fenomena yang baru.
Bentuk perbedaan yang akan tetap abadi hingga akhir nanti adalah perbedaan agama. Karena, sentuhan wilayah agama begitu panjang sampai pada hidup sesudah mati. Belum lagi persoalan tentang cara pandang mengenai Tuhan, surga, neraka, dan keyakinan-keyakinan lain yang membuat pemahaman kita tentang agama menjadi berbeda. Kita ambil contoh negeri yang didalamnya terdapat banyak hal yang berbeda, Indonesia namanya. Kemajemukan bangsa Indonesia-- termasuk dalam hal agama—selain kebanggaan nasional juga kekayaan konflik. Tidak ada yang salah dengan perbedaan, yang salah hanyalah sudut pandang kita. Perbedaan bukan alasan untuk kita dapat saling memahami. Maka, disinilah letak pentingnya toleransi.
Pandangan setiap agama akan “absolutisme ajaran” kalau dilihat dari kepentingan eksistensi masing-masing agama sendiri memang sudah semestinya, mengingat agama adalah menyangkut kualitas hidup dan pilihan rohani manusia, dan dengan pandangan seperti ini akan kemungkinan setiap agama mampu mempertahankan kemurnian ajaran dan identitasnya masing-masing. Namun, dari sudut yang lain, akibat logis dari rasa keyakinan ini adalah meunculnya sikap “fanatisme” dari masing-masing pemeluk agama yang tidak saja mempercayai “kebenaran mutlak” ajaran agama yang dipilihnya, melainkan juga, meminjam istilahnya Moeslim Abdurrahaman— merasa menanggung “tugas suci”,-- bagaimana harus meyakinkan orang lain akan kebenaran mutlak ajaran agamanya tersebut. Sikap semacam itu hampir merata pada setiap pemeluk agama, sekalipun dalam kadar yang berbeda-beda. Sebab utama, mengapa kadang-kadang tampak hubungan sosial yang kurang serasi dan seringkali justru menjadi tegang antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain, diduga adalah karena faktor “fanatisme” ini, sekalipun harus diakui pula kemungkinan adanya faktor-faktor lain seperti faktor struktural dan kultural yang ikut mendorong terjadinya konflik semacam itu.
Pada perkembangan terakhir, kini telah tumbuh suatu “kesadaran baru” khususnya di kalangan tokoh agama, yaitu perlunya di selenggarakan dialog antar agama. Kesadaran itu muncul diduga karena mereka merasa dihadapkan pada tanda-tanda peradaban “modern” yang dinilai semakin hari cenderung irreligious, atau apa yang disebut oleh mereka dengan “kegersangan spiritual”, terutama akibat kemajuan teknologi yang sangat pesat. Sehingga menuntut adanya tanggung jawab bersama di antara pimpinan agama untuk mengatasi kecenderungan yang memprihatinkan tersebut.
Kita menghargai jerih payah yang dilakukan para tokoh agama dalam melakukan sosialisasi wacana toleransi, inklusivisme dan pluralisme. Dengan jalan sering melaksanakan kegiatan dialog antar agama, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Namun, yang lebih penting lagi, wacana toleransi, inklusivisme, dan pluralisme itu selama ini belum mengalami proses pembumian ke level bawah (grass root society). Oleh karena itu, dialog antar agama menjadi agenda strategis agar perlu segera “dibumikan” ke masyarakat bawah, agar masyarakat bawah mengalami proses penyerapan intelektual dan pencerahan keagamaan. Sehingga masyarakat bawah mengalami proses dialektika dan dialogis antar-umat, yang pada tahap selanjutnya dapat mempercepat proses objektivikasi ke level kesadaran umat dan menciptakan kerukunan antar umat beragama.



PEMBAHASAN



Kenyataan sosial budaya menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, bangsa yang agamis, bangsa yang beragama, bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kehidupan bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kehadiran dan perkembangan agama-agama besar: Hindhu, Budha, Islam, Kristen (Katolik dan Protestan) dan Konghucu. Oleh karena itu pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia sangat dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai agama, karena itu pula, maka kehidupan beragama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia.
Masalah hubungan antar umat beragama di Indonesia nampaknya selalu saja rawan dan dapat "meletup-letup" sewaktu-waktu. Berbagai peristiwa keretakan hubungan antar umat beragama telah terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu, menjadi sangat penting bagi para intelektual Indonesia untuk turut mengupayakan peningkatan kerukunan dan toleransi hidup antar umat beragama. Kegiatan yang nyata diantaranya dapat dilakukan melalui dialog antar umat beragama diantara para intelektual Indonesia di mancanegara dan domestik. Dialog bertujuan untuk mencari "titik temu" dalam berbagai permasalahan yang ada dan menghasilkan cara / upaya untuk "mengobatinya" guna pencapaian tujuan pembangunan dan untuk turut memelihara keberadaan negara kesatuan republik Indonesia.
Salah satu "kesepakatan bersama dan utama" yang perlu diperhatikan dan dijaga sehubungan dengan hal ini adalah hal keberadaan negara kesatuan Indonesia: dari Sabang sampai Merauke, di bawah dasar dan falsafah negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan.
Seperti telah diketahui, bahwa dalam rangka membina dan memelihara kerukunan antar umat beragama di Indonesia, pemerintah telah mencarikan jalan keluar melalui berbagai cara dan upaya, antara lain dengan menyelenggarakan dialog antartokoh agama dan memfungsikan pranata-pranata agama sebagai media penyalur gagasan dan ide. Salah satu pranata agama yang selama ini diandalkan dalam menyalurkan program pemerintah tersebut adalah tokoh-tokoh agama. Tokoh-tokoh agama ini mempunyai kedudukan dan pengaruh besar di tengah-tengah masyarakatnya, karena mereka mempunyai beberapa kelebihan yang dimiliki, baik dalam ilmu pengetahuan, jabatan, keturunan dan lain sebagainya. Tokoh agama juga merupakan pemimpin informal dalam masyarakatnya, dan secara umum mereka tidak diangkat oleh pemerintah tetapi ditunjuk atas kehendak dan persetujuan dari masyarakat setempat.

A. Pengertian Dialog Antar Agama
Kata dialog berasal dari kata Yunani “dia-logus”, artinya antara dua pihak, atau “dwiwacara”. Lawannya ialah “monolog” yang berarti “bicara sendiri”. Arti sesumgguhnya (defenisi) dari dialog ialah: percakapan antara dua orang (atau lebih) di mana diadakan pertukaran nilai yang dimiliki masing-masing pihak. Lebih lanjut berarti pula: pergaulan antar pribadi-pribadi yang saling memberikan diri dan berusaha mengenal pihak lain apa adanya. Sedang yang dimaksud dengan dialog antar umat beragama ialah percakapan antara umat beragama yang satu dengan yang lain untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh umat beragama.
Adapun defenisi dialog antaragama menurut Mukti Ali seperti yang dikutip oleh Dadang Kahmad adalah pertemuan hati dan pikiran antarpemeluk berbagai agama yang bertujuan mencapai kebenaran dan kerja sama dalam masalah-masalah yang dihadapi bersama. Dalam hal ini dialog antar agama harus menghindari perdebatan teologis antarpemeluk (tokoh) agama, sehingga pesan-pesan agama yang sudah direinterpretasi yang selaras dengan universalitas kemanusiaan menjadi modal terciptanya dialog yang harmonis.
Dialog antar agama adalah satu bentuk aktivitas yang menyerap ide keterbukaan. Sebab, dialog tidak mungkin dilakukan tanpa adanya sikap terbuka antara masing-masing pihak yang berdialog. Dialog agama dinilai penting justru untuk menyingkap ketertutupan yang selama ini menyelimuti hubungan antar agama. Ketertutupan hubungan antar agama mudah memicu kesalahpahaman. Kesalahpahaman mudah terjerembab ke dalam prasangka yang berakibat kontraproduktif bagi hubungan antaragama itu sendiri.
Berdialog merupakan kebutuhan hakiki dari manusia sebagai makhluk sosial. Dari studi psikologi-patologi disimpulkan bahwa manusia yang normal membutuhkan dialog, membuka diri kepada orang lain. Prinsip psikologis itu memang harus mendasari dialog yang sejati: (a) Keterbukaan terhadap pihak lain, (b) Kerelaan berbicara dan memberikan tanggapan kepada pihak lain, (c) saling percaya bahwa kedua belah pihak memberikan informasi yang benar dengan caranya sendiri.
Dialog berbeda dengan polemik dan dialog berbeda dengan apologi. Apologi bersifat defensive. Seorang penulis apologi berusaha membuktikan kebenaran kaidah-kaidahnya namun apabila diserang kadang-kadang bernada polemis juga. Kedua-duanya, yaitu apologi dan polemik tidak keluar dari alam pemikirannya dan tidak berusaha memasuki dan memahami pemikiran orang lain. Yang dicari dalam dialog ialah kebenaran universal yang tidak dimiliki sepenuhnya oleh masing-masing pihak. Jadi kedua belah pihak harus mengakui kebenaran universal. Dialog antar agama bukan saja untuk mencari saling pengertian akan tetapi juga untuk mengambil bagian dalam pengalaman batin orang lain. Ketentuan-ketentuan dialog yang paling baik diperhatikan ialah keterbukan, hormat, komunikasi, kesabaran, refleksi, keinginan menerima, kesediaan memberi, koreksi diri, ketaatan batin terhadap kebenaran dan kebaikan.
Dialog bukan debat, melainkan saling memberi informasi tentang agama masing-masing, baik mengenai persamaan maupun perbedaannya. Dialog antaragama tidak sama dengan usaha seseorang untuk meyakinkan orang lain terhadap kebenaran agama yang ia peluk, atau menjadikan orang, atau pasangan berrdialognya itu memeluk agama yang ia peluk. Dialog bukan menjadikan orang lain berpindah agama, ia hanya berbicara dalam teori tanpa pelaksanaan dalam perbuatan. Dialog bukan suatu usaha untuk menjadikan semua agama menjadi satu, menciptakan suatu ”agama gado-gado” yang ajarannya diambil dari berbagai macam agama. Dialog adalah suatu kerjasama di antara para pemeluk agama yang berbeda.

B. Tujuan Dialog antar Agama
Tujuan dialog diarahkan kepada penciptaan hidup rukun, pembinaan toleransi, membudayakan keterbukaan, mengembangkan rasa saling menghormati, saling pengertian, membina integrasi, berkoeksistensi di antara penganut beragama dan sebagainya.
Selain itu, dialog bisa mencapai tujuan yang lebih penting dari ko-eksistensi, yaitu pro-eksistensi. Kalau dalam ko-eksistensi dialog hanya mengutamakan terciptanya toleransi sebagai satu-satunya tujuan, maka pro-eksistensi lebih sekedar toleransi, yaitu selain mencari dan mengumpulkan segala macam persamaan doktriner, tradisi, semangat dan sejarah, melainkan juga unsur-unsur yang meliputi perbedaan, bahkan yang menyimpan konflik pun harus dinyatakan. Tujuan paling penting adalah penciptaan perdamaian dunia. Tidak akan ada damai diantara bangsa-bangsa selama tidak ada damai di antara agama-agama kalau tidak ada dialog antaragama.
Dalam konteksnya dengan kenyataan dialog umat antaragama yang berlangsung di Indonesia, maka dialog itu nampaknya mempunyai tujuan untuk melestarikan persatuan dan kesatuan bangsa, mendukung dan menyukseskan pembangunan nasional, memerangi kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan, serta kerja keras bersama mendukung terwujudnya kesejahteraan bagi semua penduduk, menghilangkan kesenjangan, dan menegakkan keadilan.

C. Bentuk-Bentuk Dialog Antaragama
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa dialog antar agama dapat berlangsung dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah dialog kehidupan, dialog kerja sosial, dialog teologis, dan dialog spiritual. Kerangka ini diadaptasi dari model Kimball yang menyebut beberapa bentuk dialog, sebagai berikut: (1) dialog parlementer (parliamentary dialogue), contohnya World’s Parliament of Religions pada 1893 di Chicago; (2) dialog kelembagaan (institutional dialogue), contohnya di Indonesia adalah yang diadakan MUI, PGI, KWI, bersama-sama dengan lembaga-lembaga dari agama Hindu, Budha, dan lain-lain; (3) dialog teologi (theological dialogue), dengan tema-tema teologis maupun ritual tertentu, contoh di Indonesia adalah seperti yang dilaksanakan di Paramadina, Interfidei, dan lain-lain; (4) dialog dalam masyarakat (dialogue in community) dan dialog kehidupan (dialogue of life); (5) dialog spiritual (spiritual dialogue), yaitu dialog yang mengambil lokus dan tema-tema esoterik dan pengalaman-pengalaman sufistik. Kadangkala juga disebut ”inner dialogue” atau dialog batini.

1. Dialog Kehidupan
Dialog kehidupan merupakan bentuk yang paling sederhana dari pertemuan antargama yang dilakukan oleh umat beragama. Di sini, para pemeluk agama yang berbeda saling bertemu dalam kehidupan sehari-hari. Mereka berbaur dalam aktivitas kemasyarakatan secara normal. Mereka melakukan kerjasama dalam berbagai bidang kegiatan sosial tanpa memandang identitas agama masing-masing.
Biasanya, dalam kehidupan sehari-hari di mana terjadi pertemuan antaruma beragama yang berbeda, agama tidak menjadi topik perbincangan mereka. Tetapi penting ditekankan bahwa di sini agama juga tidak menjadi penghalang bagi persahabatan dan kerjasama antara mereka. Dalam hal ini, problem-problem menyangkut kehidupan keagamaan antarumat diletakkan di luar agenda pergaulan sehari-hari. Karena itu, umat Kristiani, misalnya tidak mau tahu urusan umat Islam yang sedang kesulitan mencari dana untuk membangun atau memperbaiki masjid. Begitu juga umat Islam tidak akan membayar zakatnya kepada tetangganya yang non-Muslim kendatipun dia tahu tetangganya itu hidup dalam keadaan miskin. Para penganut agama yang berbeda hanya bertemu dalam aktivitas ”umum” yang relatif tidak terkait dengan agama seperti gotong-royong membersihkan parit, menggalakkan sistem pengamanan lingkungan swadaya (siskamling), mengadakan acara agustusan, dan yang sejenis itu. Inilah yang disebut Paul F. Knitter sebagai toleransi yang malas (lazy tolerance). Orang hanya bersedia mengakui hak hidup agama lain tanpa mau peduli bagaimana kehidupan agama itu sendiri di tengah-tengah mereka; apakah gereja atau pura atau kelenteng atau masjid berdiri atau sudah roboh, mereka saling tidak mau tahu. Tidak saling mengganggu atau mengusik diantara pemeluk agama, itu sudah dianggap cukup.
Dalam kehidupan sehari-hari ini, penting adanya suatu dialog antar umat beragama, terutama pada masyarakat bawah karena selama ini dialog hanya sering dilakukan oleh para pemuka dan cendekiawan agama. Dalam dialog kehidupan inilah kerjasama sosial dan dialog antaragama di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan secara intensif agar masyarakat bawah mengalami proses penyerapan intelektual dan pencerahan keagamaan. Sehingga masyarakat bawah mengalami proses dialektika dan dialogis antarumat. Inilah yang dimaksud penulis dengan ”membumikan” dialog dalam masyarakat bawah.
2. Dialog Kerja Sosial
Dialog kerja sosial merupakan kelanjutan dari dialog kehidupan, dan telah mengarah pada bentuk-bentuk kerjasama yang dimotivasi oleh kesadaran keagamaan. Dasar historis dari dialog kerja sosial dan kerjasama antaragama banyak ditemukan dalam tradisi berbagai agama. Dasar sosiologisnya adalah pengakuan akan prularisme sehingga tercipta suatu masyarakat yang saling percaya (trust society). Dalam konteks ini, pluralisme sebenarnya lebih dari sekedar pengakuan akan kenyataan bahwa kita majemuk, melainkan juga terlibat aktif di dalam kemajemukan itu. Sedangkan dasar doktrinalnya adalah keharusan untuk mencari titik temu (dalam bahasa al-Qur’an disebut kalimat sawa), dan menghindari hal-hal yang akan menghalangi dialog dan kerjasama.
Dalam pergaulan sosial sehari-hari, kaum Muslim dan Kristen di AS juga relatif bersahabat, kendati di sana-sini masih ada letupan. Dalam hal ini, Alwi Shihab mengutip hasil penelitian Katheline M. Moore, asisten Guru Besar pada Universitas Connecticut, AS, yakni umat Kristen yang berpendidikan tinggi menampakkan sikap bersahabat dengan kaum Muslim.
Dalam dialog kerja sosial, tema-tema yang dibicarakan adalah banyak hal yang menyangkut kerjasama sosial, seperti kebersihan lingkungan, penanggulangan narkoba, penanganan kenakalan remaja, membangun koperasi, membangun pusat bermain anak-anak dan perpustakaan. Tema-tema seperti itu dapat menjadi agenda kerjasama agama-agama. Untuk sampai pada kerjasama-kerjasama yang bersifat sosial semacam itu, dialog-dialog pada level tokoh harus terlebih dahulu diintensifkan. Kemudian unsur-unsur masyarakat seperti pemuda, aktivis perempuan, remaja masjid / gereja / dan sebagainya, juga dilibatkan.
Sebenarnya, sebelum digerus oleh gaya hidup modernisasi dan perkotaan, masyarakat kita sangat akrab dengan tradisi dan pola hidup gotong-royong. Sayangnya hal itu kini digantikan oleh gaya hidup individualistik. Namun demikian, tradisi gotong royong itu tidak hilang sepenuhnya. Di sinilah agama memiliki peranan untuk merevitalisasi atau menghidupkan kembali pola hidup kebersamaan, karena setiap agama memiliki spirit untuk membangun masyarakat, dan menjaga norma-norma di dalam masyarakat supaya dapat berjalan dengan baik.
3. Dialog Teologis
Dialog teologis tidak bisa diabaikan apabila kita ingin membangun hubungan antaragama yang sejati, yang melahirkan persahabatan yang juga sejati. Sebab, mengambil contoh hubungan Islam-Kristen, selama hampir 500 tahun kedua agama samawi itu berhubungan dan bersahabat usai perang salib, namun pertemuan keduanya malah melahirkan banyak sekali problem teologis. Karena itu dialog teologis kian disadari semakin penting dilakukan sebagai landasan kerukunan umat beragama.
Dialog teologis bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa di luar keyakinan dan keimanan kita selama ini, ternyata ada banyak sekali keyakinan dan keimanan dari tradisi agama-agama selain kita. Jika dialog sosial berangkat dari problem bagaimana kita menempatkan agama kita di tengah-tengah agama-agama orang lain. Maka, dialog teologis pertama-tama menghadapi persoalan bagaimana kita memposisikan iman kita kita di tengah-tengah iman orang lain.
Di kalangan Islam, dialog agama dimulai dengan pengembangan teologi inklusif-pluralis. Sumber teologis pertama adalah doktrin Islam itu sendiri yang secara inheren bersifat terbuka. Islam mengakui nabi-nabi terdahulu, dan membenarkan kitab-kitab suci yang dibawa oleh mereka. Pengakuan Islam terhadap agama lain ini dinilai unik sehingga dikatakan bahwa ”tidak ada agama mana pun di dunia ini yang menjadikan kepercayaan pada kebenaran agama lain sebagai syarat yang perlu bagi keimanan agamanya sendiri.” bahkan Cyril Glasse menyatakan, ”Kenyataan bahwa satu wahyu (Islam) menyebut wahyu-wahyu yang lain sebagai absah adalah sebuah kejadian yang luar biasa dalam sejarah agama-agama.”
Sementara itu di kalangan agama lain, Kristen misalnya, dialog juga telah menjadi semacam perintah, bahkan tugas suci, sebagaimana dideklarasikan oleh Dewan Gereja Sedunia pada 1970. dewan menganjurkan gereja-gereja untuk menciptakan dialog dengan penganut agama-agama lain. Dewan bahkan mengeluarkan pedoman dialog dan menyebut kegiatan dialog sebagai perjalan dan tugas suci gereja-gereja (the common pilgrimage of the churches). Tidak dapat dipungkiri, hasil konsili itu telah mendorong lahirnya suasana baru bagi hubungan antaragama, sebab orang mulai berani keluar dari benteng pertahanan teologinya selama ini yang bersifat eksklusif.
Sejauh mana dialog teologis antaragama bisa dilakukan? Menurut Iknas Kleden, suatu dialog antaragama adalah sama dengan dialog keselamatan yang dicita-citakan oleh masing-masing agama. Bila keselamatan dibenarkan tiap agama, dan karena keselamatan selalu tidak mentolerir usaha yang merugikan keselamatan orang lain, maka sebetulnya apapun cara yang diajarkan suatu agama untuk mencapai keselamatan, yang berarti tujuan itu, keselamatan itu sendiri akan menjaga cara yang ditempuh jangan sampai merugikan keselamatan orang lain. Karena itu, kata Ignas Selanjutnya, keselamatan yang menyiapkan kemungkinan suatu dialog antaragama, memberikan juga batas-batas yang harus dijaga agar dialog itu menjadi mungkin dapat dikembangkan dan tetap menyelamatkan semua pihak.
Dengan dialog, para pemeluk agama juga dapat belajar dari pengalaman masing-masing tentang bagaimana ajaran-ajaran agama itu dipraktekkan. Sebab memang tujuan utama dialog, sebagaimana dikatakan Leonard Swidler, Guru Besar Studi Agama dari Temple University, AS, adalah belajar. Belajar haruslah dilakukan dengan sikap tulus dan jujur, bukan dengan pretensi untuk menghakimi atau mencari-cari kesalahan orang lain. Oleh karena itu, perlu dicatat bahwa setiap pendialog tidak dibenarkan mengintervensi kebenaran teologis yang diyakini oleh umat agama lain, baik yang merupakan sistem keimanan maupun yang menjelma dalam berbagai ritus ibadahnya. Dalam setiap dialog, kata Swidler lagi, hendaknya jangan dibandingkan wawasan ideal kita dengan realitas praktis orang lain. Dalam dialog hendaklah kenyataan real dihadapkan dengan yang real, dan prinsip ideal keagamaan dengan prinsip ideal keagamaan yang lain.
4. Dialog Spiritual
Dialog spiritual bergerak dalam wilayah esoteris, yaitu ”sisi dalam” agama-agama. Sebagaimana diketahui bahwa setiap agama memiliki aspek lahir (eksoteris) dan aspek batin (esoteris). Sistem teologi dan ritus agama-agama merupakan sisi eksoteris. Sementara itu, pengalaman iman atau pengalaman akan Tuhan yang bersifat individual merupakan sisi esoteris dari agama. Dalam studi agama-agama, aspek esoterisme ini biasanya disebut dengan istilah mistik (Mysticism). Dalam Islam, dimensi mistik ini diperkenalkan di dalam tradisi tasawuf.
Pada dasarnya, pengalaman mistik atau sufistik ini adalah pengalaman ’berjumpa” dengan Tuhan yang oleh kalangan sufi disebut sebagai Sang Kekasih. Pengalaman ini merupakan pengalaman yang paling manis di dalam hidup, yang bersifat sangat pribadi, dan tidak bisa diterangkan dengan kata-kata. Kendati demikian, pengalaman ini bisa dibagi (shared) dengan orang lain yang mengalami hal yang sama. Inilah yang menjadi titik masuk bagi dilakukannya dialog spiritual.
Dialog spiritual malampaui sekat-sekat dan batas-batas formalisme agama. Sebab, sekat dan batas mengindikasikan perpecahan. Sementara kaum sufi meyakini bahwa Tuhan hanya bisa dijumpai di tempat dimana tidak ada perpecahan. Perpecahan itu, kata Muhammad R. B. Muhayyadin, menjauhkan kita dari sifat-sifat Tuhan, dari keagungan-Nya, dari kekayaan-Nya, dari keadilan-Nya. Orang-orang yang memiliki rasa perbedaan itu dalam dirinya, kata Muhayyadin lebih lanjut, tidak akan pernah menemukan kedamaian.
Dialog spiritual telah lama dilakukan oleh para mistikus dari berbagai agama. Tujuannya adalah untuk memperkaya pengalaman batin, yang dengan itu mereka menjadi semakin yakin bahwa ”semua agama mesti benar, semuanya hanyalah jalan-jalan yang berbeda yang menuju kepada satu tujuan.....”. bagi para mistikus, berbagai pengalaman spiritual bukanlah sesuatu yang tabu atau asing. Lebih-lebih dengan berbagi pengalaman itu mereka justru semakin mengenal khazanah tradisi dan kekayaan spiritual agama lain, tanpa harus berpindah agama.
Beberapa contoh dialog dan pengembaraan spiritual yang dilakukan kalangan mistikus dikemukakan di sini sebagai gambaran bahwa hal itu merupakan sesuatu yang mungkin dilakukan. Di dalam dunia Hindu, Sri Ramakrishna dan muridnya Swami Vivekanda adalah tokoh yang terkenal karena dialog spiritual mereka. Ramakrishna (1834-1886) adalah seorang mistikus Hindu yang berani melakukan pengembaraan spiritual. Selain mempelajari dan mempraktekkan berbagai aliran dalam agamanya sendiri, ia mempelajari dan mempraktekkan pula agama-agama Buddhisme, Kristen dan Islam (sufisme), namun demikian Ramakrishna tetap seorang Hindu. Pengalaman spiritualnya itu tidak membuatnya berpindah agama ke dalam (salah satu) agama-agama lain.
Contoh-contoh pengalaman spiritual seperti diatas juga terjadi pada kalangan mistikus Islam, Budha, Kristen dan lain-lain. Yang terpenting dalam dialog spiritual adalah menyatukan para pemeluk agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang berbeda dalam kearifan. Tanpa megubah agama masing-masing, setiap agama dapat memperkuat kepercayannya dan memperkaya pengalaman keagamaannya.
Demikianlah apabila seseorang ingin melakukan dialog yang sejati, maka ia harus berani memasuki jantung pengalaman-pengalaman keagamaan dan spiritual agama-agama lain untuk memperkaya dan menyuburkan pengalaman keagamaannya sebagaimana telah dilakukan oleh para mistikus, para pendukung filsafat perenial, dan para teolog yang mempunyai perhatian serius terhadap dialog. Ia harus menjumpai agama-agama lain bukan hanya sebagai bahaya yang megancam, tetapi sebagai kekayaan yang sangat berharga bagi agamanya tanpa melakukan konversi dan jatuh ke dalam sinkretisme.

D. Etika Dalam Berdialog
Dari sekian banyak pedoman etik yang telah disepakati bersama dapat dikemukakan beberapa pedoman, yang perlu diperhatikan secara khusus adalah:

1. Kesaksian yang jujur dan saling menghormati (frank witness and mutual respect).
Semua pihak tidak menghendaki supaya keyakinannya masing-masing ditekan ataupun dihapus. Justru sebaliknya, supaya setiap pihak membawa kesaksian yang terus terang tentang kepercayaan di hadapan Tuhan dan sesamanya. Dengan demikian rasa curiga dan takut dapat dihindarkan. Rasa saling menghormati mencakup juga perhatian yang halus terhadap hati nurani dan keyakinan pihak lain, simpati kepada kesukaran-kesukaran dan kekaguman akan kemajuannya.
2. Prinsip kebebasan beragama (religious freedom).
Prinsip kebebasan tersebut meliputi prinsip kebebasa perorangan dan kebebasan sosial (individual freedom and social freedom). Yang pertama cukup jelas, setiap orang mempunyai kebebasan untuk menganut agama yang disukainya, bahkan kebebasan untuk berpindah agama. Tetapi kebbasan individual tanpa adanya kebebasan sosial tidak ada artinya sama sekali. Jika seseorang benar-benar mendapat kebebasan agama, ia harus dapat mengartikan itu sebagai kebebasan sosial, tegasnya supaya agama dapat hidup tanpa tekanan sosial (social pressure).
3. Prinsip acceptance
yaitu mau menerima orang lain seperti adanya. Dengan kata lain, tidak menurut proyeksi yang dibuat sendiri. Jika kita memproyeksikan penganut agama lain menurut keinginan kita, maka pergaulan antar golongan beragama tidak akan dimungkinkan. Jadi untuk konkretnya, seorang Kristen misalnya harus rela menerima seorang penganut Islam menurut adanya; menerima seorang Hindu seperti adanya. Sebaliknya seorang Muslim atau hindu harus rela menerima orang Kristen seperti adanya, artinya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan cara berpikir dan perasaannya.
4. Berpikir positif dan percaya (positive thinking dan trustworthy)
Berpikir secara positif itu perlu dijadikan suatu sikap (attitude) yang terus menerus. Orang yang biasa berpikir secara negatif akan menemui kesulitan besar untuk bergaul dengan orang yang beragama lain. Tetapi jika ia dapat melihat hal-hal yang positif dari agama itu, sesungguhnya ia menemukan dasar untuk bergaul dengan penganut-penganut agama itu.
Prinsip percaya. Dasar pergaulan anatrumat beragama yang pertama-tama adalah saling percaya. Kesulitan yang paling besar untuk umat beragama di dalam berdialog adalah tidak adanya kepercayaan yang kolektif yang kurang disadari. Ketidakpercayaan kolektif ini mengendap di bawah sadar sebagai ”prasangka” (prejudice). Selama prasangka kolektif ini masih menguasai golongan beragama, maka dialog antaragama masih sulit dilaksanakan.

E. Hambatan-Hambatan Dialog
Dalam berdialog ada beberapa hambatan yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan utama dialog untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama. Secara umum, sifat eksklusif terhadap agama inilah yang seharusnya dibuang jauh-jauh, karena dengan adanya sikap eksklusif inilah yang sering kali menimbulkan konflik antar umat beragama.
Dalam dialog antaragama ada faktor internal yang dapat menghambat terjadinya dialog yang harmonis. Faktor internal tersebut berasal dari sekte atau sempalan-sempalan dari suatu agama itu sendiri. Terkadang masih saja ada dari sekte atau sempalan dari agama yang masih menutup diri terhadap adanya upaya dialog dan tidak bersikap inklusif terhadap sempalan lain atau agama lain. Kecenderungan pemahaman radikal-ekstrim dan fundamental-subjektif, eksklusifisme, dan literalisme terhadap ajaran agama yang dianut yang berlebihan inilah yang dapat menghambat proses dialog. Pada awalnya, term radikal dan fundamental bermakna positif, namun belakangan istilah ini telah diberi konotasi negatif seiring implikasi yang ditimbulkan gerakan pemahaman ini dalam kehidupan sosial secara universal.
Menurut Said Agil Husin al-Munawwar Sikap hedonitas dan oportunitas dengan mengatasnamakan agama sebagai komoditas kepentingan telah menjadi petaka kemanusiaan yang berkepanjangan. Sikap fanatisme terhadap agama yang berlebihan juga merupakan faktor penghambat tercapainya dialog antar umat beragama. Selain itu, hambatan-hambatan dialog juga dapat disebabkan adanya faktor eksternal, yaitu:

1. Rintangan bahasa.
Sebuah kata yag persis sama ucapannya dapat menimbulkan pengertian yang berbeda bagi orang lain. Dengan demikian, pembicaran tidak sambung, karena terjadi salah paham. Hampir setiap perkataan mempunyai latar belakang kultural dalam pembentukannya dan hampir selalu diwarnai dengan setumpuk emosi dan asosiasi yang hidup dalam situasi tertentu. Misalnya, kata ”bapa” yang sudah mempunyai arti standar. Akan tetapi setiap orang dari satuan budaya lain dapat memberikan arti khusus kepada kata ”bapa” itu yang mungkin berbeda besar dengan arti yang diberikan pihak pembicara. Apalagi kalau kata ”bapa” itu dikenakan pada masalah kegamaan, orang harus lebih berhati-hati. Demikian pula penggunaan kata ”penciptaan”, ”dosa”, ”surga”, ”neraka”, ”penebusan”, dan lain-lain.
2. Gambaran tentang orang lain yang keliru.
Kesalahan besar yang dibuat para peserta dialog ialah bahwa pihak masing-masing mempunyai gambaran keliru tentang diri kawan bicara. Biasanya gambaran itu didominasi oleh sifat kurang baik yang diperoleh dari kelompoknya atau dari sumber informasi lain yang tidak lengkap, tetapi terutama dari prasangka yang ada pada seseorang terhadap pihak lain. Misalnya, seorang Muslim mempunyai gambaran yang lain tentang seorang Kristen dan sebaliknya. Gambaran tentang pihak masing-masing merupakan warisan dari zaman ke zaman dan ditambah dengan pengalaman kawan bicara masing-masing yang biasanya kurang menyenangkan. Dengan kata singkat, gambaran-gambaran itu semuanya berbobot karikatur. Dalam keadaan yang demikian, tidak mungkin diadakan dialog yang menghasilkan buah yang bermutu.
3. Nafsu membela diri.
Peserta dalam dialog adalah manusia-manusia yang lemah, jelasnya manusia-manusia yang tidak bebas dari nafsu ingin menang, tidak senang dikalahkan, dan secara spontan mau membela diri sendiri dan kedudukannya sendiri atau kedudukan golongannya. Justru dalam dialog, nafsu bela diri tidak boleh mendapatkan tempat. Adalah lebih sulit untuk menahan nafsu itu dalam dialog antarumat beragama, karena setiap peserta berpegang teguh pada keyakinan bahwa agamanya adalah paling benar. Dan apabila tujuan dialog dibelokkan kepada mencari kemenangan dengan membela diri sekuat tenaga, lebih baik dialog itu dibatalkan saja.


F. Beberapa Dialog Antar Agama di Indonesia, Regional dan Internasional
Di Indonesia, istilah toleransi dan kerukunan antar umat beragama pertama kalinya adalah diprakarsai oleh Departeman Agama. Dalam konteks ini, perlu disebut nama Mukti Ali yang ketika itu menjadi Menteri Agama periode 1971-1978, beliau membentuk Proyek Kerukunan Hidup antar Umat Beragama yang menyelenggarakan dialog antar tokoh-tokoh agama. Depag juga membentuk Wadah Musyawarah antar Umat Bergama yang rutin menyelenggarakan pertemuan bersama. Wadah ini dibentuk bersama-sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Wali-wali Gereja se-indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi). Proyek kerukunan antarumat beragama atau toleransi dilakukan pemerintah dalam konteks integrasi nasional, atau secara spesifik untuk menciptakan stabilitas dalam menunjang pembangunan nasional.
Pada tingkat regional, khususnya di kawasan Asia Tenggara terdapat pusat dialog dari umat Katolik dan Protestan. Dari pihak Gereja Katolik yaitu ”Federation of the Asian Bishops Conferences” (FABC). Pertemuan dialog yang pertama diadakan di kota Sampran, Thailand, bulan Oktober 1979. yang kedua, diadakan di Kuala Lumpur pada November 1979 dengan tema: Hubungan Gereja Katolik dengan umat Islam. Para peserta yang hadir dari Indonesia, Malaysia, India, Bangladesh, Thailand, dan Filipina.
Untuk dialog internasional seperti yang dikutip Hendropuspito dalam Christians Meeting Moslems (WCC) Papers on Ten years of Christians-Moslem Dialogue diantaranya adalah:
1. Dialog yang diadakan di Kandy, Sailon pada 27 Pebruari- 6 Maret 1967 yang dihadiri oleh Protestan, Katolik ortodoks, Muslim dan Kristen dengan tema “Masalah Dialogi dengan Kepercayaan Lain”.
2. Dialog Muslim Kristen di Hongkong pada Januari 1975 dengan tema “Good Will, Konsultasi & Kerja Sama”.
3. Dialog di Kolombo, Srilangka pada April 1974 yang dihadiri oleh perwakilan Hindu, Yahudi, Buddha, Kristen, dan Muslim dengan tema ”Menuju ke Komunitas dunia.
4. Dialog di Cordova, Spanyol pada September 1974 yang dihadiri oleh perwakilan Muslim dan Katolik dengan tema ”Da’wah, Pendekatan & Kerjasama”. Dan lain-lain.



KESIMPULAN


Pluralitas merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari, perbedaan seringkali dapat menimbulkan konflik sewaktu-waktu, apalagi perbedaan itu adalah dalam hal agama. Dalam hal ini agenda yang paling penting adalah bagaimana upaya untuk menciptakan kerukunan antarumat beragama. Salah satu bagian penting untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama adalah perlu dilakukannya dialog antar agama. Dalam hal ini, dialog bukanlah berdebat untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi lebih kepada mencari titik temu antar agama.
Salah satu tujuan utama dari dialog adalah menciptakan rasa toleransi dan hidup rukun antar umat beragama, selain itu juga untuk melestarikan persatuan dan kesatuan bangsa, serta mendukung dan menyukseskan pembangunan nasional. Dialog dapat meliputi banyak bentuk, seperti dialog kehidupan yakni dialog dalam kehidupan sehari-hari, dialog kerja sosial, dialog teologis, dan dialog spiritual.
Dalam berdialog diperlukan sikap-sikap saling menghormati, saling percaya, sikap terbuka dan berpikir positif supaya dialog dapat berjalan dengan lancar dan membuahkan hasil. Sikap-sikap seperti fanatisme, eksklusivisme dan truth claim yang berlebihan sebaiknya dihindari agar tidak menghambat proses dialog antarumat beragama.
Dialog antaragama merupakan sebuah agenda penting bagi umat beragama di dunia untuk menciptakan kerukunan. Oleh karena itu pemuka-pemuka agama baik dari wilayah lokal, nasional, regional maupun internasional selalu mengupayakan untuk diadakannya dialog antaragama demi terciptanya kerukunan umat beragama. Mengingat pentingnya dialog antaragama ini, maka wacana dialog ini sangat penting disosialisasikan kepada masyarakat bawah juga, supaya agenda dialog ini dapat membumi. Hal ini karena masyarakat merupakan bagian mendasar dari suatu negara. Jika pada level masyarakat kerukunan sudah tercipta, maka kerukunan pada tingkat nasional dan internasional juga akan tercipta.





DAFTAR PUSTAKA


Al-Faruqi, Isma’il R. The Cultural Altas of Islam. New York: Mcmillan: Publishing Company, 1986.
Al-Munawwar, Said Agil Husin. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Andito (ed.). Atas Nama Agama dalam Dialog Bebas Konflik. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina, 1999.
Daradjat, Zakiah. Perbandingan Agama. Jakarta: Bumi Aksara, 1984.
Daya, Burhanuddin. Agama Dialogis: Merenda Dialektika, Idealita dan Realita Hubungan Antaragama. Yogyakarta: LkiS, 2004.
Glasse, Cyril. “Ahl al-Kitab”, dalam The Concise Encyclopedia of Islam. San Fransisco: Harper, 1991.
Hendropuspito, Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Hidayat, Komaruddin. Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1998.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. Passing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia dan Paramadina, 1998.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Kimball, A. Charles. “Muslim-Christian Dialogue”, dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol 3. New York: Oxford University Press, 1995.
Kleden, Ignas. “Dialog Antar Agama: Kemungkinan dan Batas-Batasnya”, Majalah Prisma, Nomor 5 (Juni, 1978).
Knitter, Paul F. No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religion. New York: Orbis Book, 1985.
Madjid, Nurcholish. Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta: Paramadina, 2004.
Muhayyadin, M. R. Bawa. Tasawuf Mendamaikan Dunia. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Nasr, Sayyed Hossein. “Dialog Kristen-Islam: Suatu Tanggapan terhadap Hans Kung”. dalam PARAMADINA, Jurnal Pemikiran Islam, Volume 1, Nomor 1, 1998.
Panitia Wali Gereja Indonesia. “Hak Kerukunan”, Terbitan Berkala Panitia Wali Gereja Indonesia Hubungan antar Agama dan Kepercayaan (untuk kalangan sendiri). Tahun. 1 Nomor 5 (November, 1979).
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimension of Islam. Chapel Hill: The University of North Carolina Press, 1990.
Shihab, Alwi. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan, 1997.
Swidler, Leonard. Theoria Praxis: How Jews, Christians, and Muslims Can Together Move from Theory to Practice. Leuven: Peeters, 1998.

Jumat, 01 April 2011

DUALITAS STRUKTRUR DAN AGENCY PERSPEKTIF ANTHONY GIDDENS

PENGANTAR

Pemikiran filsafat dan sosiologi selalu berkembang seiring dengan perkembangan jaman dengan munculnya cendekiawan-cendekiawan baru. Diantara mereka ada yang mendukung teori-teori lama lalu menyempurnakannya dan diantaranya lagi menentang teori lama dengan segenap alasannya yang logis. Diantara mereka adalah Anthony Giddens, seorang sosiolog ternama asal Inggris. Ia dikenal dengan teori strukturasinya, di mana argumen utamanya adalah bahwa antara subjek dan objek, antara strukur dan agensi bukannya bersifat dualisme (pertentangan) melainkan bersifat dualistik.
Giddens mencoba menolak dualisme yang selama ini di dengungkan oleh Descartes dan beberapa filsuf lain. Baginya struktur merupakan bagian integral dari suatu agency, bukan bersifat eksternal. Antara keduanya ada kaitan yang saling berhubungan. Bicara masalah struktur dan agency, semuanya tidak hadir dalam ruang dan waktu yang kosong, artinya bahwa tidak ada tindakan perilaku sosial tanpa ruang dan waktu. Semuanya ada dalam ruang dan waktu.
Dalam makalah singkat ini, penulis berusaha memotret pemikiran Anthony Giddens ini dengan sesederhana mungkin supaya lebih mudah dipahami, mengingat bahasan teori strukturasi dalam buku Giddens ini tergolong agak sulit dipahami. Makalah ini akan dimulai dengan membahas biografi Giddens, yang kemudian dilanjutkan dengan pemikiran strukturasinya dan beberapa point penting lainnya.

PEMBAHASAN

A. Biografi Anthony Giddens
Anthony Giddens dilahirkan di Edmonton, London utara, Inggris pada tanggal 18 Januari 1938. Ia adalah sosiolog asal Britania Raya. Giddens belajar di Universitas Hull, di the London School Economics, dan di Universitas London. Tahun 1961 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Leicester. Karya awalnya bersifat empiris dan memusatkan perhatian pada masalah bunuh diri. Tahun 1969, ia beralih jabatan menjadi dosen sosiologi di Universitas Cambridge dan sebagai anggota King’s College. Ia terlibat dalam studi tentang pencampuran kultur, menghasilkan bukunya yang pertama yang mencapai penghargaan internasional, berjudul The Class Structure of Advanced Societies (1975).
Selama dekade berikutnya, ia menerbitkan sejumlah karya teoritis penting. Dalam karya-karyanya itu selangkah demi selangkah ia mulai membangun perspektif teoritisnya sendiri, yang terkenal sebagai teori strukturasi. Tahun 1984 karya Giddens mencapai puncaknya dengan terbitnya buku The Constitution of Society : Outline of the Theory of Society, yang merupakan pernyataan tunggal terpenting tentang perspektif teoritis Giddens. Tahun 1985 ia diangkat menjadi Profesor Sosiologi di Universitas Cambridge.
Giddens berpengaruh dalam teori sosiologi lebih dari dua dekade. Ia pun berperan penting dalam membentuk sosiologi Inggris masa kini. Salah satunya, ia menjadi konsultan editor dua perusahaan penerbitan. Macmillan dan Hutchinson. Lebih penting lagi, ia adalah salah seorang pendiri Polity Press, sebuah perusahaan penerbitan yang sangat aktif dan berpengaruh terutama dalam teori sosiologi. Giddens pun menerbitkan Sociology (1987), sebuah buku ajar yang ditulisnya menurut gaya Amerika, yang mencapai sukses di seluruh dunia.
Di 1980-an, karir Giddens mengalami serangkaian perubahan menarik. Beberapa tahun terapi menggiringnya kepada ketertarikan yang lebih besar terhadap kehidupan personal dan buku-buku seperti Modernity and Self-Identity (1991) dan The Transformation of Intimacy (1992). Terapi juga memberikan kepadanya kepercayaan diri untuk menjalankan peran publik serta menjadi salah seorang penasehat Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Pada 1997 beliau menjabat sebagai direktur London School of Economic (LSE), sebuah sekolah yang sangat disegani. Beliau memperkuat reputasi akademis LSE dan pengaruhnya dalam wacana publik baik di Inggris maupun di seluruh dunia. Ada beberapa suara yang menyatakan semua ini yang mengakibatkan kemunduran kemampuan akademis Giddens (karyanya di 1990-an kurang dan membingungkan dibanding karya terdahulunya). Tapi beberapa waktu kemudian, beliau kembali berkonsentrasi untuk menjadi kekuatan yang patut dipertimbangkan di masyarakat.

B. Teori Strukturasi Anthony Giddens
Untuk memahami teori Giddens, setidaknya mempelajari pandangan-pandangannya terhadap teori fungsionalisme dan strukturalisme. Yang paling inti dalam memahami strukturasi Giddens adalah kritik kerasnya atas gejala dualisme yang melekat dalam berbagai teori, khususnya dua teori di atas. Ia tidak setuju dengan dualisme struktur dan pelaku, namun ia lebih menekankan apa yang ia sebut dengan dualitas. Atas fakta struktur dan pelaku bukanlah sesuatu yang saling menegasikan atau bertentangan, tapi keduanya saling mengandaikan.
Menurut Giddens, teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualisme (pertentangan) dan mencoba mencari pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara struktur fungsional dengan konstruksionisme-fenomenologis. Ada dua pendekatan yang kontras bertentangan dalam memandang realitas sosial. Pertama, pendekatan yang terlalu menekankan pada dominasi struktur dan kekuatan sosial (seperti, fungsionalisme Parsonian dan strukturalisme, yang cenderung ke obyektivisme). Kedua, pendekatan yang terlalu menekankan pada individu (seperti, tradisi hermeneutik, yang cenderung ke subyektivisme). Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural-fungsional, ia ingin mengakhiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.
Giddens menjelaskan hubungan antara struktur dan individu bukan merupakan sesuatu yang dikotomis atau dualisme karakter, melainkan sebagai dua hal yang saling berhubungan secara dialektis dan kontinum sehingga menghasilkan dualitas struktur yakni tindakan individu dan struktur yang saling membutuhkan. Sedangkan dualisme pada awalnya merupakan konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Jika ditarik dalam tataran sosiologis, maka dualisme berarti tidak adanya kaitan antara struktur dan agensi. Maksudnya, ’struktur’ ternyata sebagai sesuatu yang bersifat ’eksternal’ bagi tindakan manusia. Inilah yang ditolak Giddens.
Menurut Giddens, struktur bukan bersifat eksternal bagi individu-individu, melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat internal. Struktur tidak disamakan dengan kekangan (constraint) namun selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling). Manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-tujuannya, pada saat yang sama, tindakan manusia memiliki ’unintended consequences´ (konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang berdampak pada tindakan manusia selanjutnya.
Dalam memahami pemikiran Giddens, minimal bisa berangkat dari dua pokok pembicaraan. Pertama, ialah pelaku (agent) dan struktur (structur), kedua ialah ruang (space) dan waktu (time).
1. Struktur dan Agensi (Pelaku)
Inilah kritik paling menonjol dalam gagasan strukturasi Giddens. Ia mengritik keras gagasan tentang hubungan keduanya yang selalu dilekati dengan dualisme sebagai pokok analisis sosiologi dalam berbagai teori. Baginya, analisis sosial semestinya menekankan pada aspek dualitas keduanya, bukan dualisme. Bahwa pelaku dan struktur berhubungan memanglah tak disangkal. Tapi bagaimana keduanya berkaitan dalam berbagai perilaku sosial, itulah yang harus dipersoalkan. Apakah pelaku dan struktur berhubungan dengan mengedepankan perbedaan (tegangan atau pertentangan) atau dualitas (timbal balik)? Ilmu sosial, menurut Giddens, selama ini dikuasai pandangan dualisme vis a vis. Ia menolak itu dan mengenalkan hubungan keduanya dalam gagasan dualitas. Pelaku dan struktur berhubungan timbal balik atau saling mengandaikan.
’Agensi’ (Pelaku) adalah orang-orang yang kongkrit dalam arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia. Struktur dalam pengertian Giddens bukanlah totalitas gejala, bukan ‘kode tersembunyi’ khas strukturalisme, cara produksi marxis, bukan sebagian dari totalitas gejala khas fungsionalisme. ’Struktur’ adalah aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang terbentuk (dan membentuk) dari perulangan praktik sosial. Dualitas struktur dan pelaku merupakan hasil sekaligus sarana suatu praktik sosial. Praktik sosial yang seperti inilah yang seharusnya menjadi pokok pembahasan dalam analisis sosial. Dari pengertian seperti inilah teori stukturasi dibangun. Teori strukturasi sendiri mengandaikan sebuah proses yang terjadi dan memungkinkan terjadinya perulangan untuk membentuk perilaku sosial.
Perilaku sosial inilah yang semestinya menjadi obyek utama kajian ilmu sosial, bukan struktur atau pelaku secara terpisah. Praktik sosial itu bisa saja berbentuk penyebutan Idul Fitri dengan lebaran, fenomena mudik menjelang lebaran, memberikan zakat kepada fakir miskin, sholat id di lapangan atau masjid dan seterusnya. Dualitas yang dimaksud terletak pada struktur yang menuntun pelaku sebagai sarana (medium dan resources) dan menjadi pedoman praktik sosial di berbagai tempat. Sesuatu yang mirip ‘pedoman’ atau prinsip-prinsip ‘aturan’ itu merupakan sarana dalam melakukan proses perulangan tindakan sosial masyarakat. Giddens menyebut hal itu sebagai struktur.
Bila Durkheim memandang struktur bersifat mengekang (constraining), Giddens justru menyatakan struktur bersifat memberdayakan (enabling), dengan unsur timbal balik (dualitas) nya dengan pelaku, di dalam struktur itu memungkinkan terjadinya berbagai praktik sosial (sosial practices). Obyektivitas struktur yang terdapat dalam teori strukturasi dapat diandaikan sebagai ‘melekat’ dalam tindakan atau praktik sosial itu sendiri.
Ada tiga pokok yang biasanya terdapat dalam struktur sebagaimana dinyatakan dalam teori strukturasi Giddens, yaitu:
a. Struktur penandaan atau signifikasi (signification -S) yang menyangkut skema simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana.
b. Struktur dominasi / penguasaan (domination -D) yang menyangkut penguasaan dalam konteks politik maupun ekonomi.
c. Struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation -L) yang berkaitan dengan peraturan normatif dalam tata hukum.
Sebagai contoh, Menyebut ‘Idul Fitri sebagai lebaran’ merupakan struktur penandaan / signifikasi, penentuan hari H lebaran oleh Kementerian Agama merupakan struktur dominasi dalam pengertian kebijakan politik, pengaturan lalu lintas para pemudik oleh aparat polisi maupun Departemen Perhubungan merupakan praktik struktur legitimasi. Pada saat tertentu, gugus struktur di atas bisa saling terkait. Dalam bahasa lain, struktur dalam pengertian Giddens ini menyangkut simbol / wacana, tata ekonomi, tata politik dan tata hukum.
Dalam berbagai ‘tata’ di atas, dualitas antara pelaku dan struktur berlangsung setiap saat, dan struktur akan menjadi sarana praktik sosial. Ucapan ‘minal aizin wal faizin’ itu adalah ungkapan penandaan (signifikasi) seseorang / kelompok untuk meminta maaf kepada seseorang/kelompok yang akan bisa dipahami oleh seseorang / kelompok dalam masyarakat tertentu. Demikian pula untuk menentukan kapan berakhirnya puasa dan lebaran dimulai, setiap jam 7 atau jam 8 malam sebagian besar masyarakat menunggu hasil sidang isbath (pemerintah dan masyarakat) untuk menjadi keputusan pemerintah tentang penentuan hari lebaran. Hal yang sama juga pada saat aparat menyatakan akan menerjunkan para penembak gelap (sniper) untuk mengamankan lebaran, mengatur lalu lintas para pemudik, dan menghukum para pencopet terminal yang tertangkap saat menjalankan aksinya memanfaatkan momentum lebaran yang berdesakan.
Bila status pelaku (agent) dalam fungsionalisme Parsons atau materialisme historis Althusser adalah seperti halnya wayang di tangan dalang dan melakoni peran-peran yang sudah ditentukan, muncul pertanyaan lanjutan, apakah pelaku dalam dualitas struktur khas Giddens ini tahu dan sadar akan tindakannya? Apakah para pemudik itu tahu bahwa yang ia lakukan adalah sebuah proses ‘mudik’ atau sekedar rutinitas tak sadar pelaku bahwa setiap lebaran ia harus pulang kampung naik kereta berdesak-desakan? Giddens menyatakan bahwa setiap pelaku atas strukturnya tahu, walaupun tak selalu harus menyadari (conscious).
Untuk memahami kaitan ketiganya. Dalam teori strukturasi, si agen atau aktor memiliki tiga tingkatan kesadaran:
1. Kesadaran diskursif (discursive consciousness). Yaitu, apa yang mampu dikatakan atau diberi ekspresi verbal oleh para aktor, tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya tentang kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Kesadaran diskursif adalah suatu kemawasdirian (awareness) yang memiliki bentuk diskursif.
2. Kesadaran praktis (practical consciousness). Yaitu, apa yang aktor ketahui (percayai) tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Namun hal itu tidak bisa diekspresikan si aktor secara diskursif. Bedanya dengan kasus ketidaksadaran (unsconscious) adalah, tidak ada tabir represi yang menutupi kesadaran praktis.
3. Motif atau kognisi tak sadar (unconscious motives / cognition). Motif lebih merujuk ke potensial bagi tindakan, ketimbang cara (mode) tindakan itu dilakukan oleh si agen. Motif hanya memiliki kaitan langsung dengan tindakan dalam situasi yang tidak biasa, yang menyimpang dari rutinitas. Sebagian besar dari tindakan-tindakan agen sehari-hari tidaklah secara langsung dilandaskan pada motivasi tertentu.

Bagi Giddens, analisis sosial semestinya menekankan pada aspek dualitas keduanya, bukan dualisme. Bahwa pelaku dan struktur berhubungan memanglah tak disangkal. Tapi bagaimana keduanya berkaitan dalam berbagai perilaku sosial, itulah yang harus dipersoalkan. Apakah pelaku dan struktur berhubungan dengan mengedepankan perbedaan (tegangan atau pertentangan) atau dualitas (timbal balik)?
Pelaku adalah orang-orang yang kongkrit dalam arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia. Struktur dalam pengertian Giddens bukanlah totalitas gejala, bukan kode tersembunyi khas strukturalisme, cara produksi marxis, bukan sebagian dari totalitas gejala khas fungsionalisme. Struktur adalah aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang terbentuk (dan membentuk) dari perulangan praktik sosial.
Dualitas struktur dan pelaku merupakan hasil sekaligus sarana suatu praktik sosial. Praktik sosial yang seperti inilah yang seharusnya menjadi pokok pembahasan dalam analisis sosial. Dari pengertian seperti inilah teori stukturasi dibangun. Teori strukturasi sendiri mengandaikan sebuah proses yang terjadi dan memungkinkan terjadinya perulangan untuk membentuk perilaku sosial.
Dalam prakteknya, tindakan seseorang dapat dipengaruhi dan mempengaruhi beberapa struktur yang berbeda dalam waktu yang sama. Pertemuan lebih dari satu struktur ini kemungkinan akan menimbulkan:
1. Mediasi, yaitu struktur yang satu menjadi perantara munculnya struktur yang lain. Dapat dikatakan produksi dari suatu struktur dapat membentuk struktur baru atau melengkapi struktur yang sudah ada.
2. Kontradiksi, yaitu struktur yang satu mengatasi atau menghapus struktur yang lama. Hal ini disebabkan adanya pertentangan yang memicu konflik antar struktur sehingga menghasilkan perubahan struktur yang berguna untuk mengatasi munculnya konflik yang berkepanjangan ataupun menghapus struktur yang sudah tidak relevan.
2. Ruang dan Waktu
Ruang dan waktu adalah pokok sentral lain dalam teori strukturasi. Tidak ada tindakan perilaku sosial tanpa ruang dan waktu. Ruang dan waktu menentukan bagaimana suatu perilaku sosial terjadi. Mereka bukan semata-mata arena atau panggung suatu tindakan terjadi sebagaimana dipahami dalam teori-teori sosial sebelumnya. Mereka adalah unsur konstitutif dalam proses tindakan itu sendiri. Dengan mengadaptasi filsafat waktu Martin Heidegger, Giddens menegasikan bahwa ruang dan waktu semestinya menjadi bagian integral dalam ilmu sosial.
Giddens membedakan dimensi ruang dan waktu dalam menjelaskan gejala sosial. Hubungan antara ruang dan waktu bersifat kodrati dan menyangkut makna serta hakikat tindakan itu sendiri, karena pelaku dan tindakan tidak dapat dipisahkan.
Struktur merupakan usaha koseptual yang sangat berat, sifat struktur sistem sosial sampai kini hanya ada sebagai bentuk perilaku sosial yang secara terus menerus diproduksi dengan waktu dan ruang. Sentralitas waktu dan ruang diajukan untuk memecah kebuntuan dualisme statis / dinamik, sinkroni / diakroni, atau stabilitas / perubahan. Dualisme seperti ini terjadi karena waktu dan ruang biasanya diperlakukan sebagai panggung atau konteks bagi tindakan. Waktu dan ruang merupakan unsur yang konstitutif bagi tindakan. Artinya, tidak ada tindakan tanpa waktu dan ruang. Karena itu, tidak ada waktu yang melulu statistik dan melulu dinamik.
Dualitas Struktur dan sentralitas waktu dan ruang menjadi poros terbentuknya teori strukturasi dan berperan dalam menafsirkan kembali fenomena-fenomena modern, seperti negara-negara, globalisasi, ideologi, dan identitas. Teori strukturasi menunjukkan bahwa agen manusia secara kontinyu mereproduksi struktur sosial, artinya individu dapat melakukan perubahan atas struktur sosial.
Gagasan dualitas (timbal-balik) antara pelaku dan struktur diajukan untuk menepis konsep dualisme (pertentangan). Sentralitas waktu dan ruang, bersama dualitas pelaku dan struktur menjadi dua tema sentral yang menjadi poros teori strukturasi.
Perlu penegasan bahwa semua perilaku di sini berjalan dalam, bukan melalui, ruang dan waktu. Dalam pandangan Giddens, ruang-waktu bisa digunakan untuk membaca fenomena globalisasi, membedakan praktik sosial maupun menentukan perbedaan antara masyarakat modern dan tradisional. Itulah mengapa orang sekarang untuk beridul fitri cukup dengan menulis status di Facebook atau sekedar mengirim SMS. Hal yang sama tidak akan kita jumpai tahun 1970an, saat mana orang beridul fitri harus berjumpa dengan saudara atau kerabatnya.
Begitulah ruang dan waktu mempengaruhi tindakan yang sama yang dilakukan pelaku dan menghasilkan praktik sosial yang berbeda. Di zaman internet ini, kini waktu dan ruang semakin lebur sebagai batas alami yang sulit ditembus. Ruang-waktu menjadi sesuatu yang bisa diatur.

KESIMPULAN

Menurut Giddens, teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualisme (pertentangan) dan mencoba mencari pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara struktur fungsional dengan konstruksionisme-fenomenologis. Ada dua pendekatan yang kontras bertentangan, dalam memandang realitas sosial. Pertama, pendekatan yang terlalu menekankan pada dominasi struktur dan kekuatan sosial (seperti, fungsionalisme Parsonian dan strukturalisme, yang cenderung ke obyektivisme). Kedua, pendekatan yang terlalu menekankan pada individu (seperti, tradisi hermeneutik, yang cenderung ke subyektivisme). Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural-fungsional, ia ingin mengakhiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.
Giddens menyelesaikan debat antara dua teori yang menyatakan atau berpegang bahwa tindakan manusia disebabkan oleh dorongan eksternal dengan mereka yang menganjurkan tentang tujuan dari tindakan manusia. Struktur bukan bersifat eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat internal.
Struktur sebagai medium, dan sekaligus sebagai hasil (outcome) dari tindakan-tindakan agen yang diorganisasikan secara berulang (recursively). Struktur dan agency (dengan tindakan-tindakannya) tidak bisa dipahami secara terpisah. Pada tingkatan dasar, misalnya, orang menciptakan masyarakat, namun pada saat yang sama orang juga dikungkung dan dibatasi (constrained) oleh masyarakat.
Tidak ada tindakan perilaku sosial tanpa ruang dan waktu. Inilah tema sentral pokok teori strukturasi Giddens yang lain. Ruang dan waktu menentukan bagaimana suatu perilaku sosial terjadi. Unsur ruang dan waktu ini sedemikian sentralnya dalam gagasan strukturasi Giddens sehingga ia menamakan teorinya sebagai strukturasi. Tambahan -asi di dalamnya bermakna sebagai kelangsungan proses. Ada proses menjadi yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu.


DAFTAR PUSTAKA


A. F. Charisma. “Teori Strukturasi Giddens” dalam http://www.scribd.com/Teori-Strukturisasi-Giddens/d/40422607, (27 Oktober 2010).
Arif, Saiful. “Teori Struturasi Anthony Giddens” dalam http://www.jelajahbudaya.com (20 September 2010).
Giddens, Anthony. Capitalism and Modern Social Theory. An Analysis of the writings of Marx, Durkheim and Max Weber. Cambridge : Cambridge University Press, 1971.
Giddens, Anthony. The Constitution of Society. Terj. Adi Loka Sujono. Pasuruan: Pedati, 2003.
Halim, Paisal. ”Biografi Anthony Giddens”, dalam http://doktorpaisal.wordpress.com (28 Oktober 2010).
Hart, W.D. "Dualism", dalam A Companion to the Philosophy of Mind, ed. Samuel Guttenplan. Oxford: Blackwell, 1996.
Priyono, B. Herry. Anthony Giddens: suatu pengantar. Cetakan kedua. Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2003.

AWAL PERTAMA TINGGAL DI TULUNGAGUNG DAN SERUNYA BERBELANJA DI PASAR TRADISIONAL TAMANAN TULUNGAGUNG

Saya dan Zidan (anak saya) di Alun-Alun Tulungagung saat masih seminggu tinggal di Tulungagung,   dan Zidan masih berumur 1 tahun Sudah menj...