MAQAMAT DAN
AHWAL
DALAM KERANGKA BERPIKIR ’IRFANI
Oleh : Lailatuz Zuhriyah, S.Th.I. M.Fil.I
BAB I
PENDAHULUAN
Para sufi dalam berbagai aliran yang dianutnya, memiliki suatu konsepsi
tentang jalan (t}ari>qat) menuju
Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniyah (ar-riya>dhah), lalu secara bertahap menempuh
berbagai fase, yang dikenal dengan maqa>m
(tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat)
kepada Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya
banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan
melalui amalan dan metode tertentu yang disebut t}ari>qat atau jalan untuk menemukan
pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk
memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku dikalangan sufi sering
disebut sebagai sebuah metode ’Irfani.
T{ari>qat yang dimaksud
di sini bukan t}ari>qat dalam
pengertian tarekat dalam bahasa Indonesia, (pemahaman dalam bahasa
Indonesia, tarekat berarti jalan para sufi yang sudah melembaga atau
berbentuk institusi-institusi yang kita kenal, misalnya: Tarekat Naqsabandiyah,
Tijaniyah dan sebagainya), tetapi t}ari>qat
yang dimaksud di sini adalah t}ari>qat yang
belum menjadi sebuah institusi, tetapi baru hanya berupa pendekatan-pendekatan
ruhaniyah.
Lingkup ’Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas,
tetapi melalui proses yang panjang.proses yang dimaksud adalah maqa>m-maqa>m (tingkatan atau
stasiun) dan ahwa>l (jama’
dari hal). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan
menuju Tuhan. Dalam makalah ini penulis akan membahas lebih jauh maqa>m-maqa>m dan ahwa>l dalam tas}a>wuf.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Maqa>m-Maqa>m Dalam Tas}a>wuf
Jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi
untuk sampai ke tingkat dekat, berada di hadirat Tuhan merupakan proses yang
sangat panjang dan penuh rintangan. Karena itu, hanya sedikit orang yang dapat
mencapai puncak tujuan tasawuf itu.
Jalan, yang intinya penyucian diri itu, oleh kaum
sufi dibagi ke dalam stasion-stasion yang disebut maqa>ma>t. Menurut Ath-Thusi, maqa>ma>t adalah kedudukan seorang hamba
dalam perjalannanya menuju Allah melalui ibadah, kesungguhan melawan rintangan
(al-Muja>hada>t), dan
latihan-latihan rohaniah (ar-riya>dhah).[1]
Adapun jumlah maupun sistematika maqa>ma>t antara ulama’yang satu dengan
ulama’ yang lainnya terdapat perbedaan. Perbedaan ini timbul karena adanya
perbedaan pengalaman rohaniyah masing-masing ulama’ sufi. Sayyid Hosein Nasr
menganalogikan perjalanan seorang sufi dengan mendaki gunung, awal dan akhir
diketahui, tetapi jumlah dan perincian sesungguhnya dari tiap langkah yang
harus diambil serta ciri-ciri utama jalan yang ditempuh bergantung pada si
pendaki. Akan tetapi, tujuan dari perjalanan yang akan ditempuh
adalah sama, yaitu Tuhan.[2]
Sistematika maqa>ma>t yang biasa disebut dalam kitab
tasawuf adalah :
1. Tobat
Maqa>ma>t pada
umumnya diawali dengan tobat. tobat yang dimaksudkan orang sufi ialah tobat
dalam arti yang sebenarnya, yakni tobat yang tidak akan membawa kepada dosa
lagi.[3] Menurut orang sufi, yang
menyebabkan manusia jauh dari Allah adalah karena dosa, sebab dosa adalah
sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai yang suci. Oleh karena
itu apabila seseorang ingin mendekatkan diri kepada-Nya, maka ia harus terlebih
dahulu membersihkan dirinya dari segala macam dosa dengan jalan bertobat. Tobat
merupakan tingkatan awal yang dijalankan oleh para sufi sebagai jalan menuju
Allah. Ada 4 tingkatan dalam tobat, yaitu:
a. Tobat
menyangkut dosa yang dilakukan jasad atau anggota-anggota badan.
b. Disamping
menyangkut dosa yang dilakukan jasad, tobat menyangkut pula pangkal dosa-dosa,
seperti dengki, sombong, dan riya’.
c. Tobat
menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa
bersalah.
d. Tobat
berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Tobat pada
tingkatan ini adalah penolakan terhadap
segala sesuatu selain yang dapat memalingkan dari jalan Allah.[4]
2. Zuhud
Pada maqa>m kedua,
seorang sufi meninggalkan dunia kematerian. Kebersihan dari
dosa tidak cukup hanya dengan tobat, melainkan juga dengan meninggalkan dunia
materi dan kebutuhan jasmani. Setelah bersih dari dosa, seorang zahid mulai
melihat Tuhan bukan sebagai Tuhan yang ditakuti siksa-Nya, melainkan sebagai
Tuhan tempat pencari ketenteraman jiwa.[5]
Zuhud terbagi dalam 3 tingkatan, yaitu:
a. Tingkat
terendah, menjauhklan dunia agar terhindar dari hukuman di akhirat.
b. Menjauhi
dunia dengan menimbang imbalan di akhirat.
c. Tingkat
tertinggi, mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena
cinta kepada Allah. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini, akan
memandang segala sesuatu tidak mempunyai arti apa-apa kecuali Allah.
Zuhud bila diartikan sesuai dengan semangat syari’at
Islam dapat diformulasikan sebagai berikut: ”Menghindari perbudakan harta
benda, tidak rakus terhadap kemewahan duniawi, menerima nikmat Allah dengan
perasaan qana’ah, cenderung dan mengutamakan ganjaran pahala akhirat, memilih
hidup sederhana karena percaya bahwa khazanah rizki yang tidak terkira ada di
tangan Allah, rajin bekerja dan berderma, sabar, menjauhi syubhat dan tidak
meminta-minta.”[6]
3. Sabar
Sabar menurut bahasa ialah teguh hati tanpa mengeluh
ditimpa bencana. Apabila dikaitkan dengan pandangan Islam, maka sabar diartikan
tabah menerima ujian-ujian Tuhan dalam bakti dan perjuangan dengan tuhuan
memperoleh rida-Nya.[7] Menurut Al-Ghazali ada dua macam sabar,
yaitu:
a. Kesabaran
Jiwa (As}-S}abr an-Nafs), yaitu
mengekang tuntutan nafsu dan amarah. Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam
berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[8]
b. Kesabaran
Badani (As}-S}abr al-Badani), yaitu
menahan terhadap penyakit fisik. Sebagai contoh penyakit fisik adalah seperti:
sakit, hilangnya penglihatan, cacat anggota tubuh, dan lain-lain.
4. Syukur
Syukur adalah menyadari bahwa tidak ada yang memberi
kenikmatan kecuali Allah.[9] Syukur
diperlukan karena semua yang kita lakukan dan miliki di dunia adalah berkat
karunia Allah. Allah lah yang telah memberikan nikmat kepada kita, baik berupa
pendengaran, penglihatan, kesehatan, keamanan, maupun nikmat-nikmat lainnya
yang tidak terhitung jumlahnya.
Syukur itu adalah dengan hati, lisan dan
anggota-anggota tubuh lainnya. Syukur dengan hati dalah dengan menyembunyikan
kebaikan dari seluruh makhluk dan senantiasa menghadirkannya dalam dhikir kepada Allah SWT., bukan melalaikannya.
Syukur dengan lisan adalah menampakkannya dengan puji-pujian yang ditujukan
kepada-Nya. Adapun dengan anggota-anggota tubuh yang lain adalah dengan
menggunakan kenikmatan-kenikmatan Allah SWT di dalam ketaatan kepada-Nya dan
merasa takut untuk menggunakannya dalam kemaksiatan. Sebagai contoh adalah
mensyukuri kenikmatan mata dengan menutupi seluruh aib yang dilihat dari kaum
muslim.
5. Tawakal
Tawakkal menurut bahasa artinya mewakilkan atau
menyerahkan. Jika dilihat dari segi istilah, tawakkal berarti berserah diri
sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau
menanti dari suatu keadaan.[10] Tawakkal juga berarti
gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah.[11] Abu Ali Daqaq mengatakan
bahwa tawakkal terdiri dari tiga tingkatan yaitu:[12]
a. Tawakkal, yaitu
hati merasa tenteram dengan apa yang telah dijanjikan Allah. Tawakkal ini
merupakan maqam bidayah, yakni sifat bagi orang mukmin yang awam.
b. Taslim, merasa
cukup menyerahkan urusan kepada Allah, karena Allah telah mengetahui tentang
keadaan dirinya. Sikap seperti ini merupakan maqam mutawasit}, yang
menjadi sifat orang khawas.
c. Tafwit, yaitu
orang yang telah rida menerima ketentuan/takdir Allah. Sikap seperti ini adalah
sikap orang yang sudah mencapai maqam nihayah yakni orang-orang muwahhidin,
seperti Nabi Muhammad SAW.
Menurut Dzun Nun, tawakkal merupakan penyerahan diri
sepenuhnya kapada Allah disertai perasaan tidak memiliki kekuatan. Hilangnya
daya dan kekuatan seolah-olah mengandung arti pasif bahwa tawakkal adalah
kematian jiwa tatkala ia kehilangan peluang, bauk menyangkut urusan dunia dan
akhirat. Pernyataan ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh sejumlah sufi
bahwa barang siapa yang hendak melaksanakan tawakkal dengan sebenar-benarnya,
hendaknya ia menggali kubur di situ, melupakan dunia dan penghuninya. Artinya,
tawakkal mencerminkan penyerahan diri manusia kepada Allah.[13]
6. Rela (Rida)
Yang dimaksud dengan Rida adalah menerima dengan
rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah SWT.[14] Dalam maqa>m ini, hati seorang hamba begitu tenteram
dengan penyerahan diri kepada ketentuan Allah. Orang yang rela mampu melihat
hikmah dan kebaikan di balik cobaan yang yang diberikan Allah dan tidak
berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran
dan kemahasempurnaan Dzat yang yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidak
mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut. Hanyalah para ahli ma’rifat
dan mahabbah yang mampu bersikap seperti ini. Mereka bahkan merasakan
musibah dan ujian sebagai suatu nikmat, lantaran jiwanya bertemu dengan yang
dicintainya.[15]
Menurut Abdul Halim Mahmud, rida mendorong manusia
untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.
Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan
cara apa pun yang disukai Allah.[16]
7. Mah}abbah
Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain:
a.
Mencintai kepatuhan kepada Tuhan dan membenci
sikap melawan-Nya;
b.
Menyerahkan seluruh diri kepada yang
dikasihi (Tuhan);
c.
Mengosongkan hati dari segala-galanya,
kecuali dari diri yang dikasihi.
Ath-Thusi membagi mahabbah menjadi 3 tingkatan,[17] yaitu:
a.
Mah}abbah Biasa,
munculnya karena kebaikan Allah kepada seorang hamba. Mahabbah (cinta) ini
diperoleh seorang hamba karena ketulusannya dalam merindukan sang kekasih
seiring dengan mengingat asma-Nya secara terus-menerus. Sebab siapa yang
mencintai sesuatu, ia sering menyebutnya.
b.
Mah}abbah
S}adiqi>n, yaitu membersit karena pengenalan yang mendalam atas
kebesaran, ilmu, dan kekuasan Allah.
c.
Mah}abbah
’An , yaitu cinta hamba-hamba Allah yang mengenal-Nya
dengan baik. Dalam cinta seperti ini, yang dilihat bukan lagi cinta, melainkan
diri yang dicintai.
8. Ma’rifat
Makrifat dalam pengertian sufisme adalah gnosis dari
teosufi hellenistik, yaitu pengetauan langsung dari Tuhan berdasarkan ilham
atau petunjuk-Nya.[18] Menurut Dzun Nun
Al-Mishri, ada tiga macam ma’rifat, yaitu:
a.
Ma’rifat orang awam, yakni mengenali
keesaan Tuhan dengan perantaraan ucapan syahadat dan taqlid.
b.
Ma’rifat para mutakallimi>n dan filosof,
yakni mengenali keesaan Tuhan dengan melalui logika dan penalaran.
c.
Ma’rifat para awliya>’ dan muqarrabi>n, yakni mengenali keesaan Tuhan
dengan perantaraan sanubari atau kalbu.
Menurut Dzun Nun Al-Mishri dan beberapa sufi-sufi
yang lain, ma’rifah dalam arti yang pertama dan kedua belum merupakan pengenalan
yang hakiki tentang Tuhan. Keduanya disebut ’ilm, bukan ma’rifat.
Ma’rifat dalam arti ketigalah yang merupakan pengenalan hakiki tentang Tuhan,
dan inilah yang disebut ma’rifat, yakni pengenalan yang tertinggi dan
meyakinkan. Ma’rifat ini diperoleh bukan melalui belajar, usaha dan pembuktian,
tetapi karena ilham yang dilimpahkan Allah ke dalam hati yang paling rahasia
pada hambaNya, sehingga ia mengenali Tuhannya dengan Tuhannya.
Dengan demikian, ma’rifat hanya terdapat pada para awliya>’ dan muqarrabi>n atau para sufi, yang sanggup
melihat Tuhan dengan sanubari mereka. Pengenalan seperti ini hanya diberikan
Tuhan kepada kaum sufi. Dengan kata lain, ma’rifat dimasukkan Tuhan ke dalam
hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ketika Dzun Nun
ditanya bagaimana ia memperoleh ma’rifat tentang Tuhan, ia menjawab: ”Aku
mengetahui Tuhan dengan Tuhan; dan sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan
mengenal Tuhan.”[19]
Ungkapan Dzun Nun ini menggambarkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh sebagai
hasil usaha, tetapi adalah pemberian Tuhan. Ma’rifat bukan
hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan.
Ma’rifat adalah pemberian dari Tuhan kepada sufi yang siap dan sanggup
menerimanya. Ali abd. Al-’Azim mengatakan: ”Kaum sufi sependapat bahwa ma’rifat
yang hakiki hanya di dapat melalui hati sanubari yang mendapat ilham (al-basirah
al-mulhamah), bukan melalui akal dan juga bukan melalui indera.[20]
B.
Hal-Hal Yang Dijumpai Dalam Perjalanan
Sufi (Ahwal)
Disamping
istilah maqam, terdapat pula istilah hal. Istilah hal yang
dimaksud di sini adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi
mencapai maqam tertentu. Maqam dengan hal
adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan ibarat dua sisi dalam mata
uang. Keterkaitannya dapat dilihat dalam kenyatan bahwa maqam menjadi
prasyarat menuju Tuhan, dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal.
Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang
untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya. Sekedar contoh, seseorang
yang tengah berada dalam maqam tobat akan menemukan hal
(perasaan) betapa indahnya bertobat dan betapa nikmatnya menyadari dosa-dosa
dihadapan Tuhan. Perasaan ini akan menjadi benteng kuat untuk tidak mengerjakan
kembali dosa yang pernah dilakukan.
Sebagaimana telah disinggung bahwa hal-hal (ahwal)
sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi. Dibawah ini adalah hal-hal yang
sering dijumpai dalam perjalanan sufi:
1. Waspada
dan Mawas Diri (Muhasabah dan Muraqabah)
Waspada (muhasabah) dapat diartikan meyakini
bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan dan rahasia dalam hati, yang
membuat seseorang menjadi hormat, takut dan tunduk kepada Allah.[21] Adapun mawas diri (muraqabah)
adalah meneliti dengan cermat apakah perbuatan sehari-hari telah sesuai atau
malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.[22]
Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling
berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan.
Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam
menundukkan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan
amarah.
2. Cinta (hubb)
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah (cinta)
merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, sama seperti tobat yang
merupakan dasar bagi kemuliaan maqam. Karena mahabbah pada dasarnya
adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal. Kaum sufi
menyebutnya sebagai anugerah-anugerah (mawa>hib). Mahabbah adalah
kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.[23]
Kondisi spiritual (hal) hubb bagi seorang
hamba adalah melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah karuniakan
kepadanya dan dengan hati nuraninya. Ia melihat kedekatan Allah dengannya,
segala perlindungan, penjagaan, dan perhatian yang dilimpahkan kepadanya. Dengan
keimanan dan hakikat keyakinannya, ia melihat perlindungan (inayah),
petunjuk (hidayah), dan cinta-Nya yang tercurahkan kepadanya, yang
seluruhnya sudah ditetapkan sejak zaman azali. Oleh karena itu, ia mencintai
Allah azza wa jalla.
3. Berharap
dan Takut (Raja’ dan Khauf)
Bagi kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf
berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’ berarti berharap atau
optimisme, yakni perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan
dan disenangi. Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:[24]
a.
Cinta kapada apa yang diharapkannya.
b.
Takut harapannya itu akan hilang
c.
Berusaha untuk mencapainya
Raja’ yang tidak dibarengi oleh 3 perkara itu
hanyalah ilusi atau khayalan. Khauf menurut ahli sufi adalah suatu sikap
mental merasa takut kepada Allah karena khawatir kurang sempurna pengabdiannya.
Dalam hubungan ini Al-Ghazali membagi khauf membagi menjadi dua macam, yaitu:
pertama, khauf karena khawatir kehilangan nikmat. Inilah yang mendorong
orang untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempatnya, dan
kedua, khauf karena siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan. Khauf
yang seperti inilah yang mendorong orang
untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.
4. Rindu (Syauq)
Selama masih ada cinta, syauq tetap
diperlukan.[25]
Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yakni rasa rindu ingin
segera bertemu dengan Tuhan. Ada orang yang mengatakan bahwa maut merupakan
bukti cinta yang benar. Lupa kepada Allah lebih berbahaya dari pada maut. Bagi
sufi yang rindu kepada Tuhan, mati dapat berarti bertemu dengan Tuhan,
sedangkan hidup merintangi pertemuan ’abid dengan ma’budnya.
5. Intim (Uns)
Menurut pandangan kaum sufi, uns adalah sifat
merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan
sifat uns, ”Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang
yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya
sepasang pemuda-pemudi. Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia
adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya
semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di manapun berada. Alangkah
mulianya engkau berteman dengan Allah, srtinya engkau selalu berada dalam
pemeliharaan Allah.”[26]
Ungkapan di atas melukiskan keakraban atau keintiman
seorang sufi dengan Tuhannya. Sikap keintiman tersebut banyak dialami oleh kaum
sufi.
6. T{uma’ninah
T{uma’ninah adalah
merasa tenteram setelah bersama dengan Tuhannya, kemudian merasakan ketergantungan
terus-menerus dengan-Nya.[27]
7. Musya>hadah
Musya>hadah adalah
kehadiran yang berarti kedekatan yang dibarengi ilmu yakin dan
hakikat-hakikatnya.
8. Yaqin
(Keyakinan Sejati)
Yaqin ialah mantapnya pengetahuan sehingga tidak
berpaling dan tidak berubah. Keyakinan sejati ini tidak lain adalah mukasyafah
(tersingkapnya apa yang ghaib). Mukasyafah dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a.
Mukasyafah ayan (tersingkapnya
tutup mata) sehingga di hari kiamat
nanti, ia melihat dengan mata kepala.
b.
Mukasyafatul qulub
(tersingkapnya tutup hati) untuk memahami hakikat-hakikat keimanan secara
langsung dengan yakin yang tidak bisa dibayangkan cara memperolehnya dan tidak
bisa ditentukan.
c.
Mukasyafatul ayat
(tersingkapnya tanda-tanda kebesaran-Nya) dengan ditampakkannya kekuasaan Allah
kepada para nabi dengan mukjizat dan untuk selain para Nabi, dengan karamah
(kemuliaan) dan dikabulnya do’a.
Keyakinan sejati merupakan kondisi spiritual yang
tinggi. Para pelakunya dibedakan menjadi tiga kondisi:
a.
Kelas pemula, yakni para murid dan orang
awam
b.
Kelas menengah, yakni orang-orang khusus
yang keyakinannya kontinuitas sepanjang waktu dalam menghadapi rintangan.
c.
Kelompok para pakar (para elit sufi).
Mereka adalah kelompok yang paling khusus. Sifat-sifatnya sebagaimana yang
dikatakan Amr bin Utsman Al-Makki, ”keyakinan sejati secara global adalah
menetapkan keyakinan kepada Allah dengan segala sifatnya.”[28]
C.
METODE IRFANI
Untuk memperoleh kearifan dan makrifat, hati (qalb)
mempunyai fungsi esensial. Qalb merupakan tempat pengetahuan tentang
tentang hakikat-hakikat, termasuk di dalamnya hakikat ma’rifat. Qalb
yang dapat memperoleh ma’rifat adalah hati yang telah tersucikan dari berbagai
noda atau akhlak buruk yang sering dilakukan manusia. Karena qalb
merupakan bagian dari jiwa, kesucian jiwa sangat mempengaruhi kecemerlangan qalb
dalam menerima ilmu. Makrifat tidak dimiliki sembarang orang, melainkan hanya
dimiliki orang-orang yang telah melakukan upaya-upaya untuk memperolehnya.
Untuk itu disamping melalui tahapan-tahapan maqa>mat dan ah}wa>l, untuk memperoleh ma’rifat, seseorang
harus melakukan upaya-upaya tertentu, yaitu:
1.
Riya>d}ah
Riya>d}ah adalah
latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal
yang mengotori jiwanya. Riya>d}ah harus
disertai dengan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam usaha untuk meninggalkan
sifat-sifat buruk. Riya>d}ah perlu
dilakukan untuk memperoleh ilmu ma’rifat yang dapat diperoleh melalui upaya
melakukan perbuatan kesalehan atau kebaikan yang terus-menerus. Hal terpenting
dalam riya>d}ah adalah
melatih jiwa melepaskan ketergantungan terhadap kelezatan duniawi yang
fatamorgana, lalu menghubungkan diri dengan realitas rohani dan ilahi.
2.
Tafakur
Tafakur penting dilakukan untuk menuju
ma’rifat, karena ketika jiwa belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur)
dan menganalisisnya, pintu kegaiban akan dibukakan untuknya. Tafakur
dilakukan dengan memotensikan nafs kulli (jiwa universal).[29] Validitas yang diperoleh
melalui metode tafakur sangat tinggi kualitasnya sebab memotensikan nafs
kulli, seperti yang di ungkapkan al-Ghazali, ”Nafs Kulli (jiwa
universal) lebih besar dan lebih kuat hasilnya dan lebih besar kemampuan
perolehannya dalam proses pembelajaran.” nafs kulli mempunyai fungsi
yang sangat penting untuk menghasilkan ilmu, terutama ilmu ma’rifat. Alasannya,
ilmu yang dihasilkan melalui penggunaan nafs kulli lebih bersifat
universal, tidak parsial. Untuk memfungsikan nafs kulli, kegiatan
tafakur mempunyai peranan yang sangat penting.
3.
Tazkiyat An-Nafs
Tazkiyat
An-Nafs adalah
proses penyucian jiwa manusia. Para sufi adalah orang yang senantiasa
menyucikan hati dan jiwanya. Perwujudannya adalah rasa butuh terhadap Tuhannya.
Ada lima hal yang menjadi penghalang jiwa dalam menangkap hakikat yaitu: jiwa
yang belum sempurna, jiwa yang dikotori perbuatan maksiat, manuruti keinginan
badan, penutup yang menghalangi masuknya hakikat dalam jiwa (taqlid),
dan tidak dapat berpikir logis. Tazkiyat an-nafs dalam konsepsi tasawuf
berdasar asumsi bahwa jiwa manusia ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat
gambar-gambar objek materil. Kegiatan mengetahui ibarat cermin yang menangkap
gambar-gambar. Banyaknya gambar yang tertangkap dan jelasnya tangkapan
bergantung pada kadar kebersian cermin yang bersangkutan.
4.
Dhikrullah
Dhikrullah adalah membasahi lidah dengan
ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Pentingnya dhikir untuk mendapatkan
ilmu ma’rifat didasarkan atas argumentasi tentang peranan dhikir itu
sendiri bagi hati. Dalam Al-Munqid},
Al-Ghazali menjelaskan bahwa dhikir kepada Allah merupakan hiasan bagi
kaum sufi. Syarat utama bagi orang yang menempuh jalan Allah adalah
membersihkan hati secara menyeluruh dari selain Allah, sedangkan kuncinya adalah
menenggelamkan hati secara keseluruhan dengan dhikir kepada Allah.[30] Dhikir juga
berfungsi untuk mendatangkan ilham, menghalangi ruang gerak setan sehingga
setan pergi menjauh dari hati manusia. Di saat itulah, malaikat
memberikan ilham kepada hati.
BAB III
KESIMPULAN
Maqa>ma>t adalah kedudukan seorang hamba
dalam perjalannanya menuju Allah melalui ibadah, kesungguhan melawan rintangan
(al-Muja>hada>t), dan
latihan-latihan rohaniah (ar-riya>dhah).
Sedangkan h}al adalah
keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai maqam
tertentu. Maqam dengan hal adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan ibarat dua sisi dalam mata uang. Keterkaitannya dapat dilihat dalam
kenyatan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan, dan dalam maqam
akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam
akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam
selanjutnya. Adapun jumlah maupun sistematika maqa>ma>t antara ulama’yang satu dengan
ulama’ yang lainnya terdapat perbedaan. Perbedaan ini timbul karena adanya
perbedaan pengalaman rohaniyah masing-masing ulama’ sufi.
Untuk memperoleh kearifan dan
makrifat, hati (qalb) mempunyai fungsi esensial.. kesucian qalb
sebagai prasyarat berdialog secara batini dengan Tuhan. Untuk itu, disamping
melalui tahapan-tahapan maqa>ma>t dan h}al, untuk memperoleh ma’rifat harus
melalui upaya-upaya tertentu, yaitu,: riya>d}ah,
tafakur, tazkiya>t an-nafs, dan dhikrullah.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-’Azim, Ali Abd. Falsafah al-Ma’rifah
fi al-Qur’an al-Karim. Cairo: Al-Hai’ah al-’Ammah li al-Syu’un wa
al-Matabi’ al-Amiriyah, 1973.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad. Ihya> ‘Ulu>m al-Di>n Jilid IV. Kairo: Dar Tsaqafah Islamiyah,
1961.
_______. Muh}tas}ar Ihya>
‘Ulu>m al-Di>n ,
Terj. Irwan Kurniawan. Bandung: Mizan, 1997.
_______. Risalah Al-Laduniyah Dalam
Qushur Al-‘Awali Jilid I. Mesir: Maktabah Al-Jundi, 1970.
_______. Al-Munqidh Min
Ad}-D{halal . Kairo: Silsilah Ath-Thaqafah
Al-Islamiyah, 1961.
Anwar,
Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Ath-Thusi,
Abu Nashr As-Siraj. Al-Luma’ . Kairo: Dar Kitab al-H{adithah, 1960.
Ath-Thusi,
Abi Nashr As-Siraj. Al-Luma’. Ditahqiq oleh Abdul Halim Mahmud dan Thaha
Abd. Baqi Surur. Mesir: Dar al-Kutub
al-Hadithah, 1960.
A. S. Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.
Faridh, Ahmad. Tazkiyat an-Nufus,
Terj. Nabhani Idris. Bandung: Pustaka, 1989.
Nasr, Sayyid Hosein. Tasawuf Dulu dan
Sekarang. Terj. Abdul
Hadi W. M. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.
Nasution, Harun. Falsafah dan
Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Nata, Abudin. Akhlak
Tasawuf. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.
Suhrawardi,
Syihabuddin Umar. Awa>rif
al-Ma’a>rif, Terj. Ilma Nugrahani Isma’il.
Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Umarie,
Barmawie. Systematika Tasawuf. Sala: Siti Syamsiyah, 1996.
Ya’qub, Hamzah. Tingkat
Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin. Jakarta: Atisa, 1992.
[2] Sayyid Hosein Nasr, Tasawuf
Dulu dan Sekarang. Terj. Abdul Hadi W. M (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), 8
[5] Harun Nasution, Falsafah
dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 56
[6] Hamzah Ya’qub, Tingkat
Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin (Jakarta: Atisa, 1992), 288
[7] Ibid., 204
[10] Asmaran AS.,Pengantar Studi Tasawuf.............,
120
[12] Asmaran AS.,Pengantar Studi
Tasawuf............., 122
[14] Barmawie Umarie, Systematika
Tasawuf (Sala: Siti Syamsiyah, 1996), 81
[16] Abi Nashr As-Siraj Ath-Thusi. Al-Luma’.
Ditahqiq oleh Abdul Halim Mahmud dan Thaha Abd. Baqi Surur (Mesir: Dar al-Kutub
al-Hadithah, 1960), 278
[17] Ibid., 86
[18] Asmaran A. S., Pengantar
Studi Tasawuf...................., 135
[20] Ali Abd. Al-’Azim, Falsafah
al-Ma’rifah fi al-Qur’an al-Karim (Cairo: Al-Hai’ah al-’Ammah li al-Syu’un
wa al-Matabi’ al-Amiriyah, 1973), 287
[22] Ibid., 346
[23] Syihabuddin Umar Suhrawardi, Awa>rif
al-Ma’a>rif, Terj. Ilma Nugrahani Isma’il (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), 185
[24] Rosihon Anwar, Akhlak
Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 87
[27] Abudin Nata, Akhlak
Tasawuf (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), 94
[28] Abu Nashr As-Sarraj AthThusi, Al-Luma’………, 146
[29] Al-Ghazali, Risalah Al-Laduniyah Dalam Qushur
Al-‘Awali Jilid I (Mesir: Maktabah Al-Jundi, 1970), 122
[30] Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Al-Munqid} Min
Ad}-D{halal (Kairo: Silsilah
Ath-Thaqafah Al-Islamiyah, 1961), 54