Kamis, 31 Mei 2012

RESUME TESIS KOSMOLOGI ISLAM KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT


RESUME TESIS
KOSMOLOGI ISLAM KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

Lailatuzz Zuhriyah

I

Kasultanan Ngayogyakarta merupakan salah satu kerajaan Islam jawa yang masih tetap exist hingga sampai saat ini. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari runtuhnya kerajaan-kerajaan Jawa pendahulunya. Kasultanan Yogyakarta memiliki kraton yang secara kosmologis terletak di tengah-tengah antara Laut Selatan dan Gunung Merapi. Oleh karena itu, poros Merapi-Kraton-Laut Selatan menunjukkan sebuah lanskap masa lalu yang menyelaraskan kehidupan di bumi. Kraton tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga berfungsi sebagai tempat kebudayaan.
Istana-istana negara yang telah ada sebelumnya di Jawa kebanyakan terpengaruh proses indianisasi yang bercorak Hindu-Budha Teravada mengorganisasikan negaranya sebagai suatu mandala dengan raja sebagai poros dunia. Ciri-ciri budaya Jawa saat itu adalah adanya sistem teokratis, yakni adanya pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa. Namun, sebagai penerus dari kerajaan-kerajaan tersebut, pola mandala ini tidak ditemukan di Kraton Yogyakarta. Antara istana-istana negara yang mengalami indianisasi dan Kraton Yogyakarta pada kenyataannya memiliki dasar kosmologi yang berbeda.
Beberapa peneliti yang mengkaji Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berpendapat bahwa bangunan kosmologi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat masih bercorak Hindu-Budha Asia Tenggara. Hal ini karena terdapat beberapa kesamaan arsitektur antara Kraton Yogyakarta dengan kraton-kraton sebelumnya sehingga berkesimpulan bahwa kosmologi Kasultanan Ngayogyakarta Hadingrat sama dengan kosmologi kerajaan-kerajaan yang mengalami indianisasi tersebut. Namun, penulis mengamati bahwa islamisasi yang berlangsung di tanah Jawa sedikit banyak telah mempengaruhi pola pikir orang Jawa. Jadi, tidak mungkin jika sebuah kerajaan Islam memiliki konsep kosmologi yang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai Islam. Untuk itu, penulis berusaha melacak gambaran kosmologinya dan menganalisanya untuk menemukan corak kosmologinya, apakah benar corak kosmologinya adalah Hindu-Budha ataukah Islam.
Penelitian ini tergolong pada penelitian kepustakaan (library research), yakni menggunakan data kepustakaan untuk membahas problematika yang telah dirumuskan. Data yang telah ada dianalisis dengan analisis simbolisme struktural untuk menemukan makna dibalik simbol-simbol Kraton Yogyakarta baik yang berupa dimensi fisik maupun sikapnya guna menemukan corak kosmologinya.

II

Kata kosmologi berasal dari bahasa Yunani yakni kosmos yang berarti susunan atau ketersusunan yang baik, dan logos yang berarti ilmu. kosmologi merupakan cabang metafisika yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang beraturan. Ada dua objek kosmologi, yakni objek formal dan objek material. Dalam objek formal kosmologi, kata ‘dunia’ berusaha dimaknai secara mendasar dari arti-arti dunia yang lain. Arti dasar dunia menurut eksistensinya ditempatkan kembali pada lingkup mendasar yang paling mendalam. Sedangkan menurut komprehensinya, dunia diteliti sejauh mendunia atau sejauh mengkosmos, yakni dipelajari menurut keduniawian atau kekosmosannya. Sedangkan dalam objek material kosmologi, ‘dunia’ adalah dunia sejauh yang dialami oleh manusia secara utuh. Sehingga di sini tidak ada pembatasan hanya membicarakan benda material yang mati (fisiokimis) ataupun benda material yang hidup (biotik) saja, tetapi lebih kepada keutuhan dunia selengkapnya, yakni menurut inti sari keduniawian.
Secara historis, sebelum berdirinya Kasultanan Yogyakarta, yang ada adalah Kraton Kasunanan Surakarta yang merupakan pindahan dari Kraton Mataram Kartasura. Ketika kratonnya masih berada di Kartasura, terjadi Geger Pacinan tahun 1740-1743 M. Menghadapi pemberontakan tersebut, Paku Buwono II tidak berdaya dan untuk dapat mengatasi hal itu, beliau dibantu oleh Belanda. Karena kraton yang rusak berat, akhirnya ibu kota dipindahkan ke Surakarta. Setelah pindah ke Surakarta, masih terjadi pemberontakan  yang dipimpin oleh Tumenggung Martapura pada masa Paku Buwono II ini (1744 M). Tetapi, pemberontakan tersebut dapat diatasi oleh Pangeran Mangkubumi (adik Paku Buwono II).
Atas bantuannya dalam melawan memadamkan pemberontakan orang-orang Cina, Belanda meminta Paku Buwono II untuk menyerahkan seluruh wilayah pesisir utara Jawa kepada VOC. Pangeran Mangkubumi tidak setuju, meskipun beliau tahu bahwa kedudukan Paku Buwono II saat itu sangat sulit. Tanggal 21 April 1747 M Pangeran Mangkubumi meninggalkan Surakarta dan menuju ke hutan bersama keluarga dan pasukannya yang setia untuk bergerilya melawan VOC dengan dibantu oleh RM. Said (Pangeran Sambernyawa) dengan membawa tombak Kyai Plered dari Paku Buwono II.
Sebelum Paku Buwono II wafat, seluruh kekuasaan telah jatuh ke tangan VOC. Setelah Paku Buwono II wafat, RM. Suryadi diangkat oleh Belanda menjadi Paku Buwono III. Beliau hanya dijadikan boneka Belanda karena berdasarkan kontrak politik yang telah disetujui bahwa raja hanya sebagai peminjam tanah VOC. Akhirnya, Pangeran Mangkubumi melakukan perlawan hebat terhadap Belanda. Setelah peperangan yang panjang membuat kedua belah pihak merasa lelah dan akhirnya Belanda mengajak berunding melalui perjanjian Giyanti (13 Pebruari 1755 M) yang membagi Mataram menjadi dua bagian, yaitu Kraton Kasunanan Surakarta dan Kraton Kasultanan Yogyakarta untuk Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Di antara praktik-praktik religius yang rutin diadakan oleh Kraton Yogyakarta adalah upacara Sekaten, upacara Grebeg, dan upacara Labuhan. Upacara Sekaten bertujuan untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad saw.; upacara Grebeg untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw., merayakan Idul Fitri, dan idul Adha; dan upacara Labuhan sebagai bentuk rasa syukur kepada sang Kha>liq atas segala kemurahan yang telah diberikan kepada seluruh pemimpin dan rakyat Yogyakarta.

III

Poin-poin yang dibahas dalam kosmologi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah: kedudukan sultan dalam kosmos, konsep pancabuwana, makna simbolis Kraton Yogyakarta, kedudukan makrokosmos dan mikrokosmos, konsep insan kamil,  keseimbangan kosmos, nilai-nilai kosmologis tradisi Kraton Yogyakarta, dan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka.
Dalam kosmologi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat seorang Sultan tidak diposisikan sebagai sebagai titisan ataupun penjelmaan dewa, melainkan sebagai Khalifat Alla>h, yaitu sebagai wakil Allah di bumi. Hal ini terbukti dengan gelar yang dipakai oleh raja-raja Yogyakarta adalah Senopati Ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah. Peranan seorang Sultan sangatlah fundamental dalam menciptakan keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan antara mikrokosmos dengan makrokosmos. Sultan merupakan mediator antara mikrokosmos dengan makrokosmos.
Konsep pancabuwana memuat keblat papat lima pancer, artinya bahwa manusia selalu dilingkupi oleh empat anasir dengan kraton sebagai pancer (sentral) dari kehidupan. Posisi kraton diapit oleh empat kampung yang memiliki makna filosofis. Gambaran pancabuwana tersebut jika dilukiskan, maka kraton akan nampak sebagai sumber kasekten, karena kraton terletak pada posisi tengah. Sebagai pancer, kraton menyebarkan ruh kosmis, yaitu: memberi perlindungan (hangayomi); memberi rasa aman, tenang, dan tenteram (hangayemi); dan memberi berkah berbagai hal (hamberkahi).
Arsitektur Kraton Yogyakarta sangat sarat dengan makna kosmologis dan filosofis. Keberadaan kraton dapat ditafsirkan berkaitan erat dengan pemahaman Islam Jawa. Kraton Yogyakarta memiliki sembilan pintu gerbang yang merepresentasikan lubang-lubang di dalam badan. Bagian selatan menggambarkan turunnya anak manusia dari esensi ilahiah hingga lahirnya seorang bayi, bagian utara merupakan model dari formulasi introspektif dan kosmologi jalan mistik, dan bagian tengahnya jika dilihat dari selatan menggambarkan pusat administrasi kerajaan yang perhatian utamanya adalah konsep-konsep loyalitas dan kewajiban, sedangkan jika dilihat dari utara merupakan gambaran pendakian dari axis mundi, masuk ke surga dan pencapaian kesatuan yang kekal dengan Allah.
Kasultanan Yogyakarta menekankan kesejajaran antara makrokosmos dengan mikrokosmos. jika tradisi Hindu-Budha Asia Tenggara memandang kesejajaran dalam hal geogarfi kosmologi yang memandang alam yang dihuni manusia merupakan bagian kecilnya, lain halnya dengan tradisi sufistik yang memandang kesejajaran dalam perspektif hubungan yang satu antara manusia dengan Tuhannya. Dalam hal ini posisi kraton adalah berusaha mengombinasikan antara kedua teori tersebut. Jadi, baik negara maupun kraton merupakan model kosmos, dan lebih tepatnya kosmos yang diwakili adalah kosmos Islam.
Sri Sultan Hamengku Buwono X menyebut istilah insan kamil dengan sebutan jalma kang utama. Menurutnya, seseorang dikatakan sebagai jalma kang utama jika sudah sampai pada tataran kesempurnaan yang membawa misi memayu hayuning bawana, yang memiliki ciri-ciri harmonis lahir batin, jiwa-raga, intelektual-spiritual, yang akan melahirkan nilai-nilai humanisme. Menurut beliau, tanpa adanya h}ablun min Alla>h, maka hubungan kemanusiaan (hablun min al-na>s) akan cenderung semu, munafik, dan eksploitatif.
Untuk mencapai keseimbangan kosmos adalah dengan memayu hayuning bawana. Makna yang lebih dalam dari ungkapan ini adalah sikap dan perilaku manusia yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian, dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam lingkungannya.
Hampir dalam tiap-tiap pelaksanaan tradisi Kraton Yogyakarta seperti Grebeg, Sekaten, maupun Labuhan terdapat gunungan yang bentuknya seperti tumpeng mengerucut yang memiliki makna lambang perjalanan manusia sejak lahir sampai kembali ke satu titik tertinggi Yang Maha Pencipta, lambang sangkan paraning dumadi, dan sarana panembah (menyembah) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu tradisi yang lain adalah dengan digelarnya wayang purwa yang dimainkan dalam tiga tingkatan. Tingkat pertama, melukiskan hubungan antara iman dan nafsu dalam periode kehidupan dari masa anak-anak hingga dewasa; tingkat kedua melambangkan kekacauan pada usia menengah yang mempresentasikan tingginya konflik emosional antara pilihan menghindari tujuan-tujuan duniawi dan pencerahan spiritual; dan tingkat ketiga melambangkan peperangan sudah selesai yang menandai penaklukan sepenuhnya atas nafsu. Tujuan pagelaran wayang adalah untuk mengajarkan kepada manusia  bahwa mereka semestinya beriman kepada Allah dan menghindari hawa nafsu yang membawa mereka ke neraka.
Dalam sebuah perenungan terhadap filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka, Sri Sultan Hamengku Buwono X menemukan makna yang sesungguhnya dari filsafat tersebut. Menurut renungan Sri Sultan, Ca-Ra-Ka itu sendiri bermakna memuliakan Allah. Sebab tanpa adanya bawana seisinya, apalagi tanpa adanya manusia, tentu tidak akan ada sebutan Asma Alla>h. Tanpa adanya caraka, tentu pula Hana-Ne tidak akan disebut Hana (ada). Sementara makna dari Da-Ta-Sa-Wa-La ialah adanya yang ada (anane dumadi) sumbernya adalah satu, yaitu Dzat Allah. Dari yang kasar dan halus (agal lan alus), wingit (penuh misteri) dan ghaib, pasti pada dirinya melekat setidaknya secercah Dzat Allah (kadunungan sapletheking Dzat Allah). Pa-Da-Ja-Ya-Nya memiliki makna bahwa sawenehing kang dumadi atau apa pun dan siapa pun tidak akan dapat hidup sendiri, sebab senantiasa menjalani hidup dan kehidupan sebagaimana keniscayaan fitrahnya, bahwa dalam kehidupan manusia selalu saling mempengaruhi, selain juga punya ketergantungan satu sama lain, dan perangkat badaning manungsa (badannya manusia) tidak mungkin secara parsial dapat hidup sendiri-sendiri. Ma-Ga-Ba-Tha-Nga maknanya kurang lebih adalah manungsa kang kalenggahan wahyuning Allah, manungsa kang manekung ing Allah Kang Maha Esa dadi daya cahyaning Allah lan rasaning Allah luluh pada sukma manusia. Jagat (alam) tergantung pada sejarah umat manusia yang disebut “awal” dan “akhir”, juga menjadikannya jantraning manungsa. Hakikatnya gelaring alam/jagat itu juga gelaring manungsa. Jadi, di dunia ini “ora bakal ana lelakon, ora ana samubarang kalir”, kalau tidak ada gerak kridhaning manungsa.

IV

Analisis atas kosmologi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menunjukkan bahwa dengan dipakainya gelar Senopati Ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah bagi raja-raja Yogyakarta merupakan penegasan yang baik terhadap perubahan konsep lama. Ada tiga simbol kunci dalam gelar tersebut. Pertama, Sultan adalah Abdurrahman; kedua, sebagai Sayidin Panatagama; dan ketiga, Sultan adalah Khalifat Alla>h. Di sini memberikan ketegasan bahwa seorang Sultan adalah hamba Allah, bukan penjelmaan dari dewa, raja merupakan pengelola agama yang berorientasi surgawi, dan raja adalah seorang penguasa yang mendapat Nur Ilahi yang memerintah sebagai waliyy Alla>h. Konsep ini jelas berbeda dengan konsep raja-dewata pada periode Hindu-Budha.
Pada dasarnya, konsep kosmologi dalam pancabuwana Kraton Yogyakarta memiliki makna yang begitu dalam. Ada simbol kunci yang dapat dipakai untuk memahami kosmologinya, yaitu pemaknaan terhadap Kampung Pingit dan Gandalayu, serta Sungai Winanga dan Code. Dalam hidup – sesuai dengan falsafah Sungai Winanga dan Code – manusia harus selalu mendekatkan diri kepada Tuhan (Winanga), dalam arti selalu menjalankan perintah-Nya dan harus menjauhi  kejelekan (Code). Penulis menangkap nilai-nilai ketakwaan kepada Allah yang harus dilakukan oleh manusia. Nilai-nilai tersebut sesuai dengan prinsip ketakwaan dalam Islam.
Dari pemaknaan terhadap simbol-simbol Kraton Yogyakarta, dapat diketahui bahwa bangunan kosmologi kraton adalah bercorak Islam sufistik. Memang jika dilihat dari pola penataan bangunan dan beberapa struktur bangunan ada yang sama dengan model kraton pada periode Hindu-Budha, tetapi itu hanya dalam rangka menghormati warisan budaya nenek moyang. Pada dasarnya pemaknaan pada simbol-simbol kraton oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sama sekali berbeda dengan kerajaan-kerajaan pendahulunya. Baik bentuk eksterior maupun interior kraton menyimbolkan nilai-nilai keislaman dengan adanya motif-motif bunga yang menyimbolkan atribut surgawi yang menguatkan kekuasaan raja dalam mengungkapkan kekuatan kosmos, serta motif-motif kaligrafi yang menyimbolkan penghayatan umat Islam untuk mengagungkan Allah. Jadi, dapat dipahami bahwa corak kosmologi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah mencerminkan kosmologi Islam.
Berkaitan dengan konsep kesejajaran antara makrokosmos dengan mikrokosmos Kraton Yogyakarta adalah bercorak Islam yang sufistik, lebih tepatnya adalah corak kosmologi Ibn ‘Arabi. Inilah yang membedakan dengan konsep kesejajaran makrokosmos dengan mikrokosmosnya Kraton Yogyakarta dengan kerajaan-kerajaan pada periode Hindu-Budha.
Dalam konsep insan kamilnya, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan bahwa manusia dianggap sempurna jika mampu membuat hubungan yang harmonis dengan alam yang membawa misi memayu hayuning bawana yang memiliki ciri-ciri harmonis lahir-batin, jiwa-raga, intelektual-spiritual yang melahirkan nilai-nilai humanisme. Tanpa adanya h{ablun min Alla>h, hubungan kemanusiaan (h{ablun min al-na>s) akan cenderung semu, munafik dan eksploitatif. Kata-kata ini merupakan key symbol, yang menunjukkan bahwa konsep jalma kang utama-nya Kraton Yogyakarta bercorak Islam.
Untuk konsep keseimbangan kosmos, ada satu key symbol dari pandangan Sri Sultan yang mencerminkan nilai-nilai Islam, yaitu usaha-usaha manusia untuk menjaga keseimbangan kosmos pada akhirnya adalah untuk mengagungkan asma Allah. Ini sesuai dengan nilai-nilai Islam. Lewat alam semesta inilah manusia dapat mengetahui sifat-sifat Tuhan.
Ada key symbol yang dapat penulis bidik dari upacara Garebeg, Sekaten, dan Labuhan, yakni menyimbolkan asal-usul dan tujuan realitas, pandangannya tentang hakikat alam semesta, pandangannya tentang hakikat manusia serta pandangannya tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan (h{ablun min Alla>h). Nilai-nilai Hindu-Budha semakin tidak nampak karena timingnya disesuaikan dengan hari-hari besar Islam, dan ritualnya menggunakan cara-cara yang islami. Untuk pagelaran wayang purwa pada dasarnya lebih menunjukkan rumusan introspektif jalan mistik dalam Islam.
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka secara ringkas menerangkan bahwa Allah menciptakan dunia ini dari tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo) secara serta merta terjadilah (kun fayaku>n). Manusia sebagai khalifah dan makhluk yang paling sempurna mengemban dua misi, yakni h{ablun min Alla>h (kodrat ketuhanan) dan h{ablun min al-na>s (kodrat kemanusiaan) untuk tujuan memayu hayuning bawana. Kelahiran dan kematian manusia sudah menjadi ketentuan Allah. Semua pemaknaan terhadap filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka di atas sudah sangat jelas sekali merujuk bahwa kosmologi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah Islam.

V

Berdasarkan analisis dalam penelitian terhadap kosmologi Kasultanan Ngayogyakarta hadiningrat dapat disimpulkan bahwa kosmologi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah kosmologi yang bercorak Islam, lebih tepatnya Islam yang berpadu dengan budaya Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AWAL PERTAMA TINGGAL DI TULUNGAGUNG DAN SERUNYA BERBELANJA DI PASAR TRADISIONAL TAMANAN TULUNGAGUNG

Saya dan Zidan (anak saya) di Alun-Alun Tulungagung saat masih seminggu tinggal di Tulungagung,   dan Zidan masih berumur 1 tahun Sudah menj...