RESUME TESIS
KOSMOLOGI ISLAM KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT
Lailatuzz Zuhriyah
I
Kasultanan Ngayogyakarta
merupakan salah satu kerajaan Islam jawa yang masih tetap exist hingga sampai saat ini. Kerajaan ini merupakan kelanjutan
dari runtuhnya kerajaan-kerajaan Jawa pendahulunya. Kasultanan Yogyakarta
memiliki kraton yang secara kosmologis terletak di tengah-tengah antara Laut
Selatan dan Gunung Merapi. Oleh karena itu, poros Merapi-Kraton-Laut
Selatan menunjukkan sebuah lanskap masa lalu yang menyelaraskan kehidupan di
bumi. Kraton tidak hanya berfungsi
sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga berfungsi sebagai tempat kebudayaan.
Istana-istana negara yang telah
ada sebelumnya di Jawa kebanyakan terpengaruh proses indianisasi yang bercorak
Hindu-Budha Teravada mengorganisasikan negaranya sebagai suatu mandala dengan raja sebagai poros dunia.
Ciri-ciri budaya Jawa saat itu adalah adanya sistem teokratis, yakni adanya pengkultusan terhadap raja-raja sebagai
titisan dewa. Namun, sebagai penerus dari kerajaan-kerajaan tersebut, pola mandala ini tidak ditemukan di Kraton
Yogyakarta. Antara istana-istana negara yang mengalami indianisasi dan Kraton
Yogyakarta pada kenyataannya memiliki dasar kosmologi yang berbeda.
Beberapa peneliti yang mengkaji
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berpendapat bahwa bangunan
kosmologi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat masih bercorak Hindu-Budha Asia
Tenggara. Hal ini karena terdapat beberapa kesamaan arsitektur antara Kraton Yogyakarta dengan kraton-kraton sebelumnya sehingga
berkesimpulan bahwa kosmologi Kasultanan Ngayogyakarta Hadingrat sama dengan
kosmologi kerajaan-kerajaan yang mengalami indianisasi tersebut. Namun, penulis
mengamati bahwa islamisasi yang berlangsung di tanah Jawa sedikit banyak telah
mempengaruhi pola pikir orang Jawa. Jadi, tidak mungkin jika sebuah kerajaan
Islam memiliki konsep kosmologi yang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai
Islam. Untuk itu, penulis berusaha melacak gambaran kosmologinya dan
menganalisanya untuk menemukan corak kosmologinya, apakah benar corak
kosmologinya adalah Hindu-Budha ataukah Islam.
Penelitian ini tergolong pada penelitian kepustakaan (library research), yakni menggunakan data kepustakaan
untuk membahas problematika yang telah dirumuskan. Data yang telah ada dianalisis
dengan analisis simbolisme struktural untuk menemukan makna dibalik
simbol-simbol Kraton Yogyakarta baik yang berupa dimensi fisik maupun sikapnya
guna menemukan corak kosmologinya.
II
Kata kosmologi berasal dari bahasa Yunani yakni kosmos yang berarti susunan atau ketersusunan yang baik, dan logos yang berarti ilmu. kosmologi
merupakan cabang metafisika yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang
beraturan. Ada
dua objek kosmologi, yakni objek formal dan objek material. Dalam objek formal
kosmologi, kata ‘dunia’ berusaha dimaknai secara mendasar dari arti-arti dunia
yang lain. Arti dasar dunia menurut eksistensinya ditempatkan kembali pada
lingkup mendasar yang paling mendalam. Sedangkan menurut komprehensinya, dunia
diteliti sejauh mendunia atau sejauh mengkosmos, yakni dipelajari menurut
keduniawian atau kekosmosannya. Sedangkan dalam objek material kosmologi,
‘dunia’ adalah dunia sejauh yang dialami oleh manusia secara utuh. Sehingga di
sini tidak ada pembatasan hanya membicarakan benda material yang mati (fisiokimis) ataupun benda material yang
hidup (biotik) saja, tetapi lebih
kepada keutuhan dunia selengkapnya, yakni menurut inti sari keduniawian.
Secara historis, sebelum berdirinya Kasultanan Yogyakarta, yang ada
adalah Kraton Kasunanan Surakarta yang merupakan pindahan dari Kraton Mataram
Kartasura. Ketika kratonnya masih berada di Kartasura, terjadi Geger Pacinan tahun 1740-1743 M.
Menghadapi pemberontakan tersebut, Paku Buwono II tidak berdaya dan untuk dapat
mengatasi hal itu, beliau dibantu oleh Belanda. Karena kraton yang rusak berat,
akhirnya ibu kota dipindahkan ke Surakarta. Setelah pindah
ke Surakarta,
masih terjadi pemberontakan yang
dipimpin oleh Tumenggung Martapura pada masa Paku Buwono II ini (1744 M).
Tetapi, pemberontakan tersebut dapat diatasi oleh Pangeran Mangkubumi (adik
Paku Buwono II).
Atas bantuannya dalam melawan memadamkan pemberontakan orang-orang Cina,
Belanda meminta Paku Buwono II untuk menyerahkan seluruh wilayah pesisir utara
Jawa kepada VOC. Pangeran Mangkubumi tidak setuju, meskipun beliau tahu bahwa
kedudukan Paku Buwono II saat itu sangat sulit. Tanggal 21 April 1747 M
Pangeran Mangkubumi meninggalkan Surakarta dan menuju ke hutan bersama keluarga
dan pasukannya yang setia untuk bergerilya melawan VOC dengan dibantu oleh RM.
Said (Pangeran Sambernyawa) dengan membawa tombak Kyai Plered dari Paku Buwono
II.
Sebelum Paku Buwono II wafat, seluruh kekuasaan telah jatuh ke tangan VOC.
Setelah Paku Buwono II wafat, RM. Suryadi diangkat oleh Belanda menjadi Paku Buwono
III. Beliau hanya dijadikan boneka Belanda karena berdasarkan kontrak politik
yang telah disetujui bahwa raja hanya sebagai peminjam tanah VOC. Akhirnya,
Pangeran Mangkubumi melakukan perlawan hebat terhadap Belanda. Setelah
peperangan yang panjang membuat kedua belah pihak merasa lelah dan akhirnya
Belanda mengajak berunding melalui perjanjian Giyanti (13 Pebruari 1755 M) yang
membagi Mataram menjadi dua bagian, yaitu Kraton Kasunanan Surakarta dan Kraton
Kasultanan Yogyakarta untuk Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan
Hamengku Buwono I.
Di antara praktik-praktik religius yang rutin diadakan oleh Kraton Yogyakarta adalah upacara Sekaten, upacara Grebeg,
dan upacara Labuhan. Upacara Sekaten bertujuan untuk memperingati
hari lahirnya Nabi Muhammad saw.; upacara Grebeg untuk memperingati kelahiran
Nabi Muhammad saw., merayakan Idul Fitri, dan idul Adha; dan upacara Labuhan
sebagai bentuk rasa syukur kepada sang Kha>liq
atas segala kemurahan yang telah diberikan kepada seluruh pemimpin dan rakyat
Yogyakarta.
III
Poin-poin yang dibahas dalam kosmologi Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat adalah: kedudukan sultan dalam kosmos, konsep pancabuwana, makna simbolis Kraton Yogyakarta, kedudukan
makrokosmos dan mikrokosmos, konsep insan kamil, keseimbangan kosmos, nilai-nilai kosmologis
tradisi Kraton Yogyakarta, dan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka.
Dalam kosmologi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat seorang Sultan tidak
diposisikan sebagai sebagai titisan ataupun penjelmaan dewa, melainkan sebagai Khalifat
Alla>h, yaitu
sebagai wakil Allah di bumi. Hal ini terbukti dengan gelar yang dipakai
oleh raja-raja Yogyakarta adalah Senopati Ing Alaga Abdurrahman Sayyidin
Panatagama Khalifatullah. Peranan seorang Sultan sangatlah fundamental
dalam menciptakan keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan antara
mikrokosmos dengan makrokosmos. Sultan merupakan mediator antara mikrokosmos
dengan makrokosmos.
Konsep pancabuwana memuat keblat papat lima pancer, artinya bahwa manusia selalu
dilingkupi oleh empat anasir dengan
kraton sebagai pancer (sentral) dari
kehidupan. Posisi kraton diapit oleh empat kampung yang memiliki makna
filosofis. Gambaran pancabuwana
tersebut jika dilukiskan, maka kraton akan nampak sebagai sumber kasekten, karena kraton terletak pada
posisi tengah. Sebagai pancer, kraton
menyebarkan ruh kosmis, yaitu: memberi perlindungan (hangayomi); memberi rasa aman, tenang, dan tenteram (hangayemi); dan memberi berkah berbagai
hal (hamberkahi).
Arsitektur Kraton Yogyakarta sangat sarat dengan makna kosmologis dan filosofis.
Keberadaan kraton dapat ditafsirkan berkaitan erat dengan pemahaman Islam Jawa.
Kraton Yogyakarta memiliki sembilan pintu gerbang yang merepresentasikan
lubang-lubang di dalam badan. Bagian selatan menggambarkan turunnya anak
manusia dari esensi ilahiah hingga lahirnya seorang bayi, bagian utara
merupakan model dari formulasi introspektif dan kosmologi jalan mistik, dan
bagian tengahnya jika dilihat dari selatan menggambarkan pusat administrasi
kerajaan yang perhatian utamanya adalah konsep-konsep loyalitas dan kewajiban,
sedangkan jika dilihat dari utara merupakan gambaran pendakian dari axis mundi, masuk ke surga dan
pencapaian kesatuan yang kekal dengan Allah.
Kasultanan Yogyakarta menekankan kesejajaran antara makrokosmos dengan
mikrokosmos. jika tradisi Hindu-Budha Asia Tenggara memandang kesejajaran dalam
hal geogarfi kosmologi yang memandang alam yang dihuni manusia merupakan bagian
kecilnya, lain halnya dengan tradisi sufistik yang memandang kesejajaran dalam
perspektif hubungan yang satu antara manusia dengan Tuhannya. Dalam hal ini
posisi kraton adalah berusaha mengombinasikan antara kedua teori tersebut.
Jadi, baik negara maupun kraton merupakan model kosmos, dan lebih tepatnya
kosmos yang diwakili adalah kosmos Islam.
Sri Sultan Hamengku Buwono X menyebut istilah insan kamil dengan sebutan jalma kang utama. Menurutnya, seseorang
dikatakan sebagai jalma kang utama
jika sudah sampai pada tataran kesempurnaan yang membawa misi memayu hayuning bawana, yang memiliki
ciri-ciri harmonis lahir batin, jiwa-raga, intelektual-spiritual, yang akan
melahirkan nilai-nilai humanisme. Menurut beliau, tanpa adanya h}ablun min Alla>h,
maka hubungan kemanusiaan (hablun min
al-na>s)
akan cenderung semu, munafik, dan eksploitatif.
Untuk mencapai keseimbangan kosmos adalah dengan memayu hayuning bawana. Makna yang lebih dalam dari ungkapan ini
adalah sikap dan perilaku manusia yang selalu mengutamakan harmoni,
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam lingkungannya.
Hampir dalam tiap-tiap pelaksanaan tradisi Kraton Yogyakarta seperti Grebeg, Sekaten, maupun Labuhan
terdapat gunungan yang bentuknya seperti tumpeng mengerucut yang memiliki makna
lambang perjalanan manusia sejak lahir sampai kembali ke satu titik tertinggi
Yang Maha Pencipta, lambang sangkan
paraning dumadi, dan sarana panembah
(menyembah) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu tradisi yang lain adalah
dengan digelarnya wayang purwa yang dimainkan dalam tiga tingkatan. Tingkat
pertama, melukiskan hubungan antara iman dan nafsu dalam periode kehidupan dari
masa anak-anak hingga dewasa; tingkat kedua melambangkan kekacauan pada usia
menengah yang mempresentasikan tingginya konflik emosional antara pilihan menghindari
tujuan-tujuan duniawi dan pencerahan spiritual; dan tingkat ketiga melambangkan
peperangan sudah selesai yang menandai penaklukan sepenuhnya atas nafsu. Tujuan
pagelaran wayang adalah untuk mengajarkan kepada manusia bahwa mereka semestinya beriman kepada Allah
dan menghindari hawa nafsu yang membawa mereka ke neraka.
Dalam sebuah perenungan terhadap filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka, Sri Sultan
Hamengku Buwono X menemukan makna yang sesungguhnya dari filsafat tersebut.
Menurut renungan Sri Sultan, Ca-Ra-Ka itu sendiri bermakna memuliakan Allah.
Sebab tanpa adanya bawana seisinya,
apalagi tanpa adanya manusia, tentu tidak akan ada sebutan Asma Alla>h. Tanpa adanya caraka, tentu pula Hana-Ne tidak akan
disebut Hana (ada). Sementara makna
dari Da-Ta-Sa-Wa-La ialah adanya yang ada (anane
dumadi) sumbernya adalah satu, yaitu Dzat Allah. Dari yang kasar dan halus
(agal lan alus), wingit (penuh misteri) dan ghaib, pasti pada dirinya melekat
setidaknya secercah Dzat Allah (kadunungan
sapletheking Dzat Allah). Pa-Da-Ja-Ya-Nya memiliki makna bahwa sawenehing kang dumadi atau apa pun dan
siapa pun tidak akan dapat hidup sendiri, sebab senantiasa menjalani hidup dan
kehidupan sebagaimana keniscayaan fitrahnya, bahwa dalam kehidupan manusia
selalu saling mempengaruhi, selain juga punya ketergantungan satu sama lain,
dan perangkat badaning manungsa
(badannya manusia) tidak mungkin secara parsial dapat hidup sendiri-sendiri.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga maknanya kurang lebih adalah manungsa kang kalenggahan wahyuning Allah, manungsa kang manekung ing
Allah Kang Maha Esa dadi daya cahyaning Allah lan rasaning Allah luluh pada
sukma manusia. Jagat (alam) tergantung pada sejarah umat manusia yang disebut
“awal” dan “akhir”, juga menjadikannya jantraning
manungsa. Hakikatnya gelaring
alam/jagat itu juga gelaring manungsa.
Jadi, di dunia ini “ora bakal ana
lelakon, ora ana samubarang kalir”, kalau tidak ada gerak kridhaning manungsa.
IV
Analisis atas kosmologi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menunjukkan
bahwa dengan dipakainya gelar Senopati
Ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah bagi raja-raja Yogyakarta merupakan penegasan yang baik terhadap
perubahan konsep lama. Ada
tiga simbol kunci dalam gelar tersebut. Pertama, Sultan adalah Abdurrahman; kedua, sebagai Sayidin Panatagama; dan ketiga, Sultan
adalah Khalifat Alla>h.
Di sini memberikan ketegasan bahwa seorang Sultan adalah hamba Allah, bukan
penjelmaan dari dewa, raja merupakan pengelola agama yang berorientasi surgawi,
dan raja adalah seorang penguasa yang mendapat Nur Ilahi yang memerintah
sebagai waliyy
Alla>h. Konsep ini jelas berbeda dengan konsep raja-dewata pada
periode Hindu-Budha.
Pada dasarnya, konsep kosmologi dalam pancabuwana
Kraton Yogyakarta memiliki makna yang begitu dalam. Ada simbol kunci yang dapat dipakai untuk
memahami kosmologinya, yaitu pemaknaan terhadap Kampung Pingit dan Gandalayu,
serta Sungai Winanga dan Code. Dalam hidup – sesuai dengan falsafah Sungai
Winanga dan Code – manusia harus selalu mendekatkan diri kepada Tuhan
(Winanga), dalam arti selalu menjalankan perintah-Nya dan harus menjauhi kejelekan (Code). Penulis menangkap
nilai-nilai ketakwaan kepada Allah yang harus dilakukan oleh manusia.
Nilai-nilai tersebut sesuai dengan prinsip ketakwaan dalam Islam.
Dari pemaknaan terhadap simbol-simbol Kraton Yogyakarta, dapat diketahui
bahwa bangunan kosmologi kraton adalah bercorak Islam sufistik. Memang jika
dilihat dari pola penataan bangunan dan beberapa struktur bangunan ada yang
sama dengan model kraton pada periode Hindu-Budha, tetapi itu hanya dalam
rangka menghormati warisan budaya nenek moyang. Pada dasarnya pemaknaan pada
simbol-simbol kraton oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sama sekali
berbeda dengan kerajaan-kerajaan pendahulunya. Baik bentuk eksterior maupun
interior kraton menyimbolkan nilai-nilai keislaman dengan adanya motif-motif
bunga yang menyimbolkan atribut surgawi yang menguatkan kekuasaan raja dalam
mengungkapkan kekuatan kosmos, serta motif-motif kaligrafi yang menyimbolkan penghayatan
umat Islam untuk mengagungkan Allah. Jadi, dapat dipahami bahwa corak kosmologi
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah mencerminkan kosmologi Islam.
Berkaitan dengan konsep kesejajaran antara makrokosmos dengan mikrokosmos
Kraton Yogyakarta adalah bercorak Islam yang sufistik, lebih tepatnya adalah
corak kosmologi Ibn ‘Arabi. Inilah yang membedakan dengan konsep kesejajaran
makrokosmos dengan mikrokosmosnya Kraton Yogyakarta
dengan kerajaan-kerajaan pada periode Hindu-Budha.
Dalam konsep insan kamilnya, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan
bahwa manusia dianggap sempurna jika mampu membuat hubungan yang harmonis
dengan alam yang membawa misi memayu
hayuning bawana yang memiliki ciri-ciri harmonis lahir-batin, jiwa-raga,
intelektual-spiritual yang melahirkan nilai-nilai humanisme. Tanpa adanya h{ablun min Alla>h,
hubungan kemanusiaan (h{ablun
min al-na>s) akan cenderung semu, munafik dan
eksploitatif. Kata-kata ini merupakan key
symbol, yang menunjukkan bahwa konsep jalma
kang utama-nya Kraton Yogyakarta bercorak Islam.
Untuk konsep keseimbangan kosmos, ada satu key symbol dari pandangan Sri Sultan yang mencerminkan nilai-nilai
Islam, yaitu usaha-usaha manusia untuk menjaga keseimbangan kosmos pada
akhirnya adalah untuk mengagungkan asma
Allah. Ini sesuai dengan nilai-nilai Islam. Lewat alam semesta inilah manusia
dapat mengetahui sifat-sifat Tuhan.
Ada key symbol yang dapat
penulis bidik dari upacara Garebeg, Sekaten, dan Labuhan, yakni menyimbolkan asal-usul dan tujuan realitas,
pandangannya tentang hakikat alam semesta, pandangannya tentang hakikat manusia
serta pandangannya tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan (h{ablun min Alla>h).
Nilai-nilai Hindu-Budha semakin tidak nampak karena timingnya disesuaikan dengan hari-hari besar Islam, dan ritualnya
menggunakan cara-cara yang islami. Untuk pagelaran wayang purwa pada dasarnya lebih menunjukkan rumusan introspektif jalan
mistik dalam Islam.
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka secara ringkas menerangkan bahwa Allah
menciptakan dunia ini dari tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo) secara serta merta terjadilah (kun fayaku>n). Manusia
sebagai khalifah dan makhluk yang paling sempurna mengemban dua misi, yakni h{ablun min Alla>h
(kodrat ketuhanan) dan h{ablun
min al-na>s (kodrat kemanusiaan) untuk tujuan memayu hayuning bawana. Kelahiran dan kematian manusia sudah menjadi
ketentuan Allah. Semua pemaknaan terhadap filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka di atas sudah
sangat jelas sekali merujuk bahwa kosmologi Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat adalah Islam.
V
Berdasarkan analisis dalam penelitian terhadap kosmologi Kasultanan
Ngayogyakarta hadiningrat dapat disimpulkan bahwa kosmologi Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat adalah kosmologi yang bercorak Islam, lebih tepatnya
Islam yang berpadu dengan budaya Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar