Senin, 26 Agustus 2013

TEOLOGI KONVERGENSI DAN KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA: ANTARA PELUANG DAN TANTANGAN



TEOLOGI KONVERGENSI DAN KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA: ANTARA PELUANG DAN TANTANGAN

Oleh: Lailatuzz Zuhriyah, S.Th.I, M.Fil.I

Abstract: Religion has been born and has been present in human life as not single reality. Not single reality of the religion can not be separated from the medium, both historical and cultural, where religion get in shape and path disclosure in evolution and not simultaneously. This is also consistent with the achievement of rational-spiritual in addition to the historical needs of mankind which necessitates the presence of a significant role played by religions. Within very long historical range of mankind, religions present themselves as an inseparable part of the historical of mankind at various levels of diverse civilizations. Starting from a primitive civilization, where religions are present take the form of the simplest disclosure, until modern human civilization where religions express themselves in a variety of faith and theological framework of the most complicated. Thus, in socio-anthropological reality of religious pluralism is a reality that can not be refuted its existence. Reality of religious diversity that we must admit also as a reason that it is not uncommon that encourage the dehumanization that was terrible. It is created when the debate of truth claims and salvation claims be a major theme that always accompanies the history of human religiosity that’s not singular. In this case, the theology of convergence is needed for creating inter-religious harmony. The main purpose of theological convergence is wanted to unite the essential elements in religions, so that the essential difference is not visible. In such circumstances, religion and its adherents can be unified in one concept of universal theology and its adherents united as a religious community. However, this discourse of theology convergence reap the pros and cons of several groups, giving rise to opportunities and challenges at the level of practice. So, can bring opportunities and challenges in its practical aspects. If theology convergence can be fully understood and want to think open and inclusive, it will create inter-religious harmony. But on the contrary, if this convergence theology addressed with a self-closing and exclusive attitude, the effort towards inter-religious harmony will be hampered.
Keywords: Theological convergece, Inter-religious relations, Inter-religious harmony.


Pendahuluan
Suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah adalah bahwa manusia adalah makhluk bertuhan, di mana agama adalah kebutuhan yang paling esensial bagi manusia yang bersifat universal karena agama merupakan kesadaran spiritual yang di dalamnya ada suatu kenyataan bahwa manusia selalu mengharapkan belas kasih Tuhan, bimbingan dan belaian tangan-Nya yang secara ontologis tidak bisa diingkari walaupun oleh manusia yang paling komunis sekalipun.[1]
Namun, pada kenyataannya pluralitas pada masyarakat tidak bisa dinafikan, baik itu plural dalam hal agama,  kepercayaan, etnis, bahasa, dan lain-lain. Bagaimanapun, pluralitas adalah suatu keniscayaan yang merupakan kehendak dari tuhan yang harus diterima oleh manusia.
Di tengah-tengah pluralitas ini, agenda yang dirasa sangat urgen adalah bagaimana menciptakan sebuah hubungan yang harmonis, terutama bagi para pemeluk agama yang berbeda. Kerukunan antar umat beragama menjadi tujuan utama, karena tidak dipungkiri lagi bahwa perbedaan agama terkadang sering memunculkan konflik, meskipun terkadang juga faktor-faktor struktural yang lain juga ikut memberikan andil.
Melihat kondisi hubungan antar umat beragama yang agak labil ini, maka hal yang paling penting bukanlah hanya sekedar mengkritik, tetapi yang dibutuhkan adalah sebuah problem solving. Sekedar mengkritik saja tidak akan bisa mengubah keadaan secara signifikan tanpa disertai dengan memberikan problem solving. Banyak solusi ditawarkan untuk membenahi hubungan antar umat beragama guna mewujudkan kerukunan antar umat beragama, seperti dengan jalan: dialog antar umat beragama, bakti sosial antar umat beragama, dan lain-lain. Di sini, penulis menawarkan teologi konvergensi sebagai upaya meretas kerukunan antar umat beragama. Namun, seperti apakah teologi konvergensi itu? Dan apakah kira-kira peluang dan tantangannya jika teologi konvergensi ini menjadi sebuah langkah praksis guna menciptakan kerukunan antar umat beragama? Penulis akan berusaha menggambarkannya melalui tulisan singkat dalam artikel ini.

Teologi Konvergensi: Sebuah Tinjauan Umum
Teologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan tentang hakekat ketuhanan. Kata teologi sebenarnya bukanlah term  yang berasal dari khazanah dan tradisi Islam, melainkan dari khazanah dan tradisi gereja Kristiani. Namun, hal itu bukanlah menjadi suatu masalah besar dalam memberikan defenisi terhadap teologi.
Teologi secara leksikal terdiri dari dua kata, yaitu “Theos” yang berarti Tuhan dan “Logos” yang berarti Ilmu.[2] Jadi teologi adalah ilmu tentang Tuhan atau ketuhanan. Secara terminologi, teologi adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan dan segala  sesuatu yang terkait dengannya.[3] Selain itu, menurut Amsal Bachtiar teologi juga membahas hubungan Tuhan dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan.[4] Dalam Islam, teologi disebut juga dengan ilmu tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu atau esa dan keesaan. Selain itu, Teologi berasal dari kata “ology” dan “theos” dan dijadikan sebuah kata dalam bahasa Indonesia maka menjadi teologi. “ology” berakar dari kata Greek yang kemudian menjadi “logos” yang berarti “percakapan”, “pengkajian” dan “penelitian”. Tujuan yang terpenting penelitian adalah “logos” itu sendiri dari pada benda-benda yang menjadi subjeknya. Sedangkan “theos” dalam bahasa Greek berarti “Tuhan” dan atau sesuatu yang berkenaan dengan Tuhan. Jadi, Teologi dalam bahasa Greek adalah penelitian secara rasional segala sesuatu yang berkenaan dengan ke-Tuhanan. Jadi, Teologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan tentang hakekat Tuhan serta keberadaan-Nya.
Istilah teologi telah begitu luas dipakai dalam berbagai agama, secara umum, teologi dipahami dengan pemaknaan yang tradisional. Pola pemaknaan tradisional terhadap teologi tersebut menurut Pradana Boy[5], setidaknya bisa digambarkan sebagai berikut: Pertama, pembatasan teologi hanya sebagai ilmu yang berbicara tentang persoalan ketuhanan. Tentu, pemahaman yang tradisional dan sempit semacam ini tidak menguntungkan dan bahkan terkesan statis, karena pemahaman seperti ini justru akan menjadikan teologi begitu sakral dan tak tersentuh. Kedua, teologi dianggap sebagai sebuah konsep yang partikular dan individual. Ketiga, teologi dianggap sebagai urusan yang sama sekali terpisah dari dunia.
Namun pada dasarnya, memahami teologi tidak mesti dimulai dari sebuah definisi yang baku atau standar mengenai “apa teologi” itu? Atau teologi ialah...? Apalagi kalau definisi teologi itu kemudian diuraikan secara etimologis. Orang akan dengan sederhananya mengatakan, teologi terdiri dari kata berbahasa Yunani, yaitu theos, yang artinya Tuhan, dan logos, yang artinya perkataan, ucapan, firman, pengetahuan, dan lain-lain. Dengan demikian teologi berarti pengetahuan tentang Tuhan.
Hal itu tidak salah, tetapi terlampau menyederhanakan teologi sebagai sebuah ilmu. Penyederhanaan itu telah menyebabkan kesalahan laten, di mana teologi diperangkapkan dalam suatu lingkungan abstrak dan transenden. Kiblatnya diarahkan ke realitas Tuhan yang transenden, bukan meresponi Tuhan yang historis dan imanen. Bahkan seluruh aktifitas manusia pun akhirnya mengarah ke transendensi itu.
Kata “konvergensi” berasal dari kata “converge” yang berarti bertemu, berkumpul atau berjumpa. Selanjutnya kata ini menjadi “convergence” yang berarti tindakan bertemu, bersatu di satu tempat, pemusatan pandangan mata ke suatu tempat yang amat dekat,[6] atau menuju ke suatu titik pertemuan atau memusat.[7] Dengan demikian yang dimaksud teologi konvergensi di sini adalah upaya untuk memahami agama dengan melihat intisari persamaan atau titik temu dari masing-masing agama untuk dapat diintegrasikan. Dalam perkembangan saat ini, teologi konvergensi disebut juga dengan istilah teologi global atau teologi universal.
Tujuan dari teologi konvergensi ialah ingin menyatukan unsur esensial dalam agama-agama sehingga tidak tampak lagi perbedaan  yang prinsipil. Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya dapat dipersatukan dalam konsep teologi universal dan umatnya dapat dipersatukan dalam satu umat beragama.
Berkenaan dengan teologi konvergensi ini, diharapkan para penganut agama-agama dapat menyatu, bukan hanya dalam tataran praksis tetapi juga dalam pandangan teologisnya. Terkait hal ini, lantas muncul pertanyaan di manakah letak titik temu keyakinan agama-agama itu untuk mencapai sebuah konvergensi agama? Dalam hal ini perlu mengetahui terlebih dahulu perbedaan antara faith (iman) dengan beliefe (kepercayaan).
Di dalam faith agama-agama dapat disatukan, sedang dalam belief tidak dapat disatukan. Belief seringkali normatif dan intoleran. Belief bersifat historik yang mungkin secara konseptual berbeda dari satu generasi ke generasi yang lain.[8] Yang menjadi kategori religius sentral dalam semua agama adalah “iman”, bukan “kepercayaan.” Imanlah yang mengarahkan terjadinya suatu relasi personal dengan Tuhan, sementara kepercayaan berasal dari iman, sebagai ekspresi intelektual dari iman. “Percaya kepada Tuhan” tidak memiliki makna yang sama dengan “beriman kepada Tuhan.” Dengan menyadari adanya perbedaan antara iman dan kepercayaan, maka kesempatan untuk memahami konvergensi dan divergensi antara menjadi seorang Muslim, Kristen, Buddhist, Hindu dan lain-lain lebih terbuka dan bermakna.
Ada tiga cara untuk menggambarkan perbedaan antara iman dan kepercayaan, yaitu:
1.        Obyek iman biasanya adalah seorang pribadi (person), sedangkan obyek kepercayaan adalah sebuah gagasan atau teori. Jadi, iman kepada tuhan menunjuk pada pengertian “penyerahan diri (surrender) kepada Tuhan, mempercayakan diri (trust) kepada-Nya, dan menjalin hubungan (engagement) dengan Allah. Iman merupakan suatu respon yang total, personal dan positif kepada Allah dan juga relasi yang total, personal dan positif dengan-Nya.  Sedangkan “kepercayaan (belief) kepada Tuhan” menunjuk pada pengertian: mempunyai suatu ide atau keyakinan bahwa “tuhan itu ada.” Kepercayaan menandakan bahwa seseorang yang percaya itu memiliki opini tentang siapa Tuhan yang sebenarnya, dan bahwa ada konsekwensi-konsekwensi tertentu terhadap opini yang dimilikinya.
2.        Tindakan iman biasanya dipandang sebagai sebuah keputusan yang diambil dalam bentuk komitmen pribadi yang bersifat kosmik. Tindakan iman itu meningkatkan kesadaran diri, sedangkan hal percaya adalah suatu kondisi yang bersifat deskriptif, jika tidak pasif, dalam bentuk formula yang asumtif.
3.        Perbedaan antara iman dan kepercayaan tampak pula dalam suasana batin (mood) keduanya. Suasana batin iman biasanya mencakup relasi seseorang dengan hal-hal yang bersifat absolut, dengan realitas-realitas yang melampaui keagungan dan kepastian yang bersifat duniawi. Sedangkan suasana batin kepercayaan, membawa relasi seseorang kepada hal-hal yang tidak pasti, kepada hal-hal yang keabsahannya secara eksplisit dapat dipertanyakan.
Iman merupakan kata sifat, sedangkan kepercayaan adalah kata benda. Iman dapat dipahami sebagai bahasa global yang menunjuk kepada kualitas koheren kehidupan religius umat manusia. Iman menunjuk pada aspek dinamis dari agama dalam proses sejarah kehidupan religius umat manusia. Sedangkan kepercayaan, sebagai ekspresi iman, meliputi semua manifestasi iman ke dalam suatu sistem atau institusi yakni sistem atau institusi religius.
Sebagai contoh, dalam agama Islam banyak ditemukan aliran kala>m (seperti: Asy’ariyah, Maturidiyah, Mu’tazilah, dan lain-lain) maupun aliran fiqh (seperti: pengikut madzhab Imam Syafi’i, Maliki, Hanafi, maupun Hanbali). Aliran-aliran tersebut memiliki belief (kepercayaan) yang berbeda yang menyebabkan kemungkinan adanya sikap keagamaan yang berbeda pula. Namun, ada yang membuat mereka dapat bersatu, yaitu dalam faith (iman). Dalam faith inilah mereka menemukan titik temu yang dapat menciptakan kerukunan, yakni tetap mengakui Allah sebagai Tuhan yang Satu dan Muhammad adalah Rasul Allah. Upaya mencari titik temu ataupun persamaan-persamaan melalui faith inilah yang diharapkan oleh teologi konvergensi untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Jika yang dilihat adalah beliefnya, lantas kemudian berusaha mencari-cari perbedaan dan larut dalam perdebatan masalah kepercayaan, maka upaya mewujudkan kerukunan antar umat beragama adalah sebuah angan-angan yang tidak akan bisa diwujudkan, malah yang muncul ke permukaan adalah konflik antar umat beragama.
Contoh lain misalkan teologi konvergensi jika dikaitkan antara agama yang satu dengan yang lain, yakni di dunia terdapat berbagai macam agama, seperti: Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lain-lain. Secara belief, memang nampak sekali perbedaan di antara agama-agama tersebut. Namun, pada hakikatnya agama-agama tersebut menyatu dalam faith, yaitu mengakui adanya Tuhan sebagai Sang Pencipta. Mungkin cara-cara beragama mereka berbeda satu sama lain, namun pada hakikatnya mereka tetap beriman dan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Teologi konvergensi antar agama ini dapat dianalogikan dengan sebuah sungai dengan anak-anak sungainya. Agama-agama dapat digambarkan sebagai sungai-sungai di mana banyak cabang atau anak-anak sungai mengalir. Lalu ada beberapa tempat tertentu yang berfungsi sebagai titik pertemuan dari anak-anak sungai tersebut, kemudian mereka harus terus mengalir lagi secara terpisah. Sebagaimana sebuah sungai dan anak-anak sungainya, proses mengalir agama-agama memiliki karakter yang bergerak, yang bergantung pada keadaan dan kompleksitas anak-anak sungai yang berpartisipasi di dalamnya. Jadi, semua agama dunia membentuk suatu koherensi (pertalian) atau suatu konvergensi yang mempersatukan (a uniting convergence).
Dalam beliefe, Yang Maha Kuasa dipahami oleh berbagai penganut agama secara berbeda dan bermacam-macam. Namun semuanya tetap mengacu pada satu keyakinan (faith) bahwa ada sesuatu Yang Maha Kuasa itulah yang disebut eidos dalam istilah Class J. Bleeker, sensus numinous dalam istilah Rudolf Otto, transcendental focus dalam istilah Ninian Smart, essence of religion dalam istilah Mircea Eliade, atau ultimate reality dalam istilah Joachim Wach. Sesuatu yang hakiki dalam setiap keimanan suatu agama itu ketika ditangkap oleh manusia menjadi sagat plural. Itulah konsekwensi niscaya dari yang tak terbatas ketika dipahami oleh yang terbatas.
Yang paling penting adalah bahwa dengan adanya multi tafsir dan pemahaman terhadap Yang Satu itu diharapkan dipandang sebagai “alat” atau “jalan” menuju ke hakikat yang absolut. Setiap umat beragama, meskipun memandang agama yang dianutnya hanya sebagai “jalan” atau “kapal” menuju ke hakikat “Yang Absolut”, meyakini “jalan” atau “kapal” tersebut harus tetap sebagai sesuatu yang mempunyai nilai kemutlakan. Kemutlakan diyakini hanya untuk melukiskan hakikat perasaan mengenai komitmen terhadap yang transenden melalui pengalaman pribadi yang partikular, suatu jalan yang ditawarkan oleh agama.
Teologi konvergensi tidak hendak mencampuradukkan antara ajaran dan tata cara ibadah agama yang satu dengan agama yang lain. Teologi konvergensi hanya menawarkan solusi untuk meredam ataupun mengatasi gejolak konflik antar umat beragama melalui usaha-usaha mencari titik temu antar agama melalui kesamaan faith. Teologi konvergensi tetap mengharuskan tiap-tiap pemeluk agama untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan syariat agamanya masing-masing. Namun, ketika berada pada tataran kehidupan praksis di masyarakat, perbedaan-perbedaan cara beragama itu tidak boleh menjadi penghalang dalam mewujudkan masyarakat beragama yang rukun dan harmonis. Dalam tataran praksis di masyarakat, kesamaan faith-lah yang harus dijadikan patokan bahwa pada hakikatnya tiap-tiap umat beragama adalah umat yang satu yakni umatnya Tuhan Yang Maha Esa.
Teologi konvergensi tentunya harus dibarengi dengan sikap inklusif dari para penganut agama. Pemahaman yang holistik terhadap teologi konvergensi oleh para pemeluk agama baik dari level elit sampai pada level grass root dalam masyarakat akan mampu menciptakan kerukunan antar umat beragama.

Potret Hubungan antar Agama
Kemajemukan dalam hal agama merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh umat manusia di dunia. Bentuk perbedaan yang akan tetap abadi hingga akhir nanti adalah perbedaan agama. Karena, sentuhan wilayah agama begitu panjang sampai pada hidup sesudah mati. Belum lagi persoalan tentang cara pandang mengenai Tuhan, surga, neraka, dan keyakinan-keyakinan lain yang membuat pemahaman seseorang tentang agama menjadi berbeda.
Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun. Perbedaan, bahkan benturan konsepsi itu terjadi pada hampir semua aspek agama, baik dalam hal konsepsi  tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini dalam praktiknya, cukup sering memicu konflik fisik antara umat berbeda agama.
Agama pada dasarnya memiliki faktor integrasi dan disintegrasi. Faktor integrasi, antara lain, agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan dan kemanusiaan. Agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan sesama makhluk. Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat.[9]
Ajaran yang disebutkan itu bersifat universal. Selain itu, terdapat ajaran agama yang juga bisa menimbulkan disintegrasi, bila dipahami secara sempit dan kaku. Di antaranya, setiap pemeluk agama menyakini bahwa agama yang dianutnya adalah jalan hidup yang paling benar, sehingga dapat menimbulkan prasangka negatif atau sikap memandang rendah pemeluk agama lain.
Secara internal, teks-teks keagamaan dalam satu agama juga terbuka terhadap aneka penafsiran yang dapat menimbulkan aliran dan kelompok keagamaan yang beragam, bahkan bertentangan satu sama lain sehingga memicu konflik.[10] Keragaman agama ternyata menimbulkan dilema tersendiri.  Di satu sisi, memberikan kontribusi positif untuk pembangunan bangsa. Namun di sisi lain keragaman agama dapat juga berpotensi  menjadi sumber konflik di kemudian hari.
Beberapa potensi internal yang menyebabkan gejala kekerasan agama di dunia, khususnya di Indonesia adalah mencakup doktrin eksklusif agama dan doktrin misi keagamaan. Eksklusifitas agama adalah ajaran-ajaran yang mengajarkan keistimewaan, keunggulan, dan semangat dominasi satu agama atas agama lain. Semangat ini dimiliki seluruh pemeluk agama. Namun, variant dominan pemicu kekerasan antar pemeluk agama di Indonesia hingga hari ini masih debatable. Menurut Kasman Singodimejo, keterlibatan agama dalam jejak kekerasan Indonesia didasari atas tujuh faktor, yaitu dangkalnya pengertian dan kesadaran beragama, fanatisme negatif, propaganda dan objek dakwah yang salah, subversif , sisa G 30 S PKI, perlakuan tidak adil penguasa, dan religio-politik.[11] Sebagian kalangan lebih menekankan kekerasan agama Indonesia disebabkan renggangnya komunikasi antara umat beragama dan faktor sosio-politik.[12] Sedangkan sebagaian yang lain beranggapan bahwa gejala kekerasan agama  di Indonesia disebabkan kegagalan pemerintah mengakomodasi nilai-nilai agama dalam masyarakat.[13]
Selain itu, dalam keputusan Menteri Agama RI No. 84 tahun 1984 ditunjukkan dengan jelas bahwa kekerasan agama di Indonesia didominasi dalam beberapa masalah laten, yaitu pendirian tempat peribadahan, penyiaran agama, bantuan luar negeri, perkawinan beda agama, perayaan hari besar, penodaan agama, kegiatan aliran sempalan dan aspek sosio-politik yang mempengaruhi.[14]
Dalam sejarah, potret hubungan antar agama sering diwarnai dengan beberapa konflik keagamaan disebabkan baik dari faktor internal (agama itu sendiri), maupun faktor eksternal (struktural). Di bawah ini adalah beberapa contoh konflik yang terjadi antar umat beragama.
Konflik Maluku, Poso, ditambah sejumlah kasus terpisah di berbagai  tempat di mana kaum Muslim terlibat konflik secara langsung dengan umat Kristen adalah sejumlah contoh konflik yang  sedikit banyak dipicu oleh perbedaan konsep di antara kedua agama ini. Perang Salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam, pembantaian umat Islam di Granada oleh Ratu Isabella ketika mengusir Dinasti Islam terakhir di Spanyol, adalah konflik antara Islam dan Kristen yang terbesar sepanjang sejarah. Perang antara Israel yang beragama Yahudi dengan Palestina yang Muslim adalah contoh lain dari konflik antar umat beragama yang masih belum selesai hingga hari ini. Pembantaian umat Yahudi oleh Nazi yang notabene adalah adalah konflik terbesar antara pemeluk agama Yahudi dan Nasrani.
Penyegelan Gereja Yasmin oleh wali kota Bogor misalnya. Larangan beribadah bagi jemaat gereja menimbulkan konflik horizontal. Saban pekan kejadian yang sama selalu berulang. Jemaat yang kukuh beribadah di areal gereja diusir warga. Belum ada solusi atas kasus tersebut hingga kini. Kisah serupa juga terjadi pada jemaat gereja HKBP di Ciketing Bekasi yang diserang oleh warga karena menolak ada rumah ibadah agama lain di lingkungannya.[15]
Contoh lain di Sampang, Madura. Ini bukan konflik antarumat beragama, tapi sesama umat dalam satu agama. Disebut-sebut berlatar belakang karena persoalan keluarga, warga penganut Syiah diserang oleh mayoritas Sunni karena menuding mereka sesat. Demikian juga dengan tragedi Cikeusik, Pandeglang ketika penganut Ahmadiyah diserang bahkan oleh sesama muslim karena sekali lagi dituduh sesat.[16]
Selain potret buram hubungan antar umat beragama di atas, juga ada potret indah hubungan antar umat beragama, meskipun jika diprosentase tidak akan imbang di antara keduanya. Sebagai contoh, Sulawesi Utara termasuk daerah yang aman, damai, serta rukun antara sesama umat beragama, hal ini karena dialog lintas agama berjalan dengan baik di sana.[17] Selain itu, pasca kerusuhan di Maluku dan Maluku Utara beberapa waktu silam, masyarakat di Maluku Utara makin erat rasa persaudaraan dan kerukunannya antar umat beragama. Mereka saling menjaga, sangat berhati-hati jika berbicara karena takut menyinggung umat beragama lain. Yang paling menonjol, mereka semua sepakat untuk menjadikan musuh bersama, siapapun yang mencoba mengusik atau mengganggu kerukunan beragama yang sudah terjalin sangat harmonis saat ini.[18] Bali, juga merupakan wilayah yang hubungan antara pemeluk Hindu dengan umat lain terjalin dengan harmonis.
Terkait hubungan antar umat beragama ini, banyak pihak berupaya untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama, baik pada level lokal, nasional, maupun internasional. Yang paling sering adalah dengan melakukan dialog antar umat beragama oleh para pemuka-pemuka agama, bakti sosial terhadap korban bencana, serta beberapa solusi lain yang sifatnya praksis.

Peluang Praksis Teologi Konvergensi
Melihat potret hubungan antar umat beragama di atas, teologi konvergensi merupakan salah satu problem solving atas masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antar umat beragama. Meskipun penulis mengakui bahwa teologi konvergensi bukanlah satu-satunya jalan yang dapat mengatasi berbagai macam problematika hubungan antar agama. Namun, setidaknya ketika teologi konvergensi diwacanakan dan diterapkan dalam tataran praksis dalam masyarakat, dan masyarakat dapat memahami maksud dan tujuan dari teologi konvergensi tersebut, maka kerukunan antar umat beragama akan dapat dicapai.
Terlebih dahulu, teologi konvergensi harus dipahami secara holistik oleh para pemuka agama, cendekiawan, maupun orang-orang yang termasuk dalam elit agama. Hal ini karena sikap dan fatwa mereka banyak diikuti oleh masyarakat agama yang awam. Jika pada level mereka teologi konvergensi sudah dipahami dengan mantap, maka aksi selanjutnya adalah mewacanakan dan melakukan pribumisasi teologi tersebut kepada masyarakat dengan bahasa-bahasa yang mudah dipahami, bersifat luwes, bernilai pluralis-humanis, dan tidak provokatif. Selama ini, kegagalan membangun kerukunan antar umat beragama, salah satunya adalah juga disebabkan oleh doktrin eksklusifitas yang didakwahkan oleh kaum elit agama. Dalam negara yang masyarakatnya plural, maka dakwah yang disampaikan janganlah yang menekankan perbedaan, permusuhan, dan menyulut konflik. Materi dakwah seyogianya diarahkan ke hal-hal yang bersifat konvergentif guna membangun masyarakat beragama yang rukun dan damai.
Syarat utama dalam memahami teologi konvergensi adalah harus bersikap inklusif dan open minded. Berbekal sikap tersebut, maka teologi konvergensi akan dapat dipahami dan diterima dengan baik sebagai salah satu problem solving dalam mengatasi permasalahan antar umat beragama. Namun sebaliknya, jika teologi konvergensi disikapi dengan sikap eksklusif, maka sampai kapan pun upaya mencari titik temu antar agama tidak akan tercapai, akibatnya kerukunan antar umat beragama tidak akan bisa terwujud.
Peluang keberhasilan dari teologi konvergensi sebagai upaya meretas kerukunan antar umat beragama akan sangat terlihat tatkala teologi ini telah dapat terwacanakan dengan baik dalam masyarakat beragama mulai dari level elit hingga grass root. Berbekal pemahaman terhadap teologi konvergensi dan dibarengi dengan sikap inklusif yang diaplikasikan pada tataran praksis, maka kerukunan antar umat beragama akan terwujud dengan baik.
Sikap kesungguhan dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama melalui pemahaman terhadap teologi konvergensi harus diupayakan dengan baik oleh masyarakat beragama, khususnya para tokoh agama. Hal ini agar jangan sampai terjadi staged encounter, yakni pertemuan antar agama yang direkayasa di pentas, tetapi tidak menjangkau hingga ke kesadaran individual yang paling dalam.

Tantangan Praksis Teologi Konvergensi
Di samping memunculkan peluang-peluang guna mewujudkan kerukunan antar umat beragama, teologi konvergensi juga dihadapkan pada sejumlah tantangan yang terkadang akan menjadi sebuah hambatan bagi terwujudnya cita-cita mewujudkan masyarakat beragama yang rukun dan harmonis. Setiap wacana dan tindakan tentu tidak akan lepas dari sederet peluang dan tantangan yang akan dihadapi. Untuk itu, sebelum mewacanakan teologi konvergensi kepada masyarakat beragama, perlu mengidentifikasi tantangan-tantangan yang akan dihadapi guna meminimalisir kemungkinan-kemungkinan negatifnya yang dapat menghambat tujuan utama teologi konvergensi.
Salah satu tantangan dalam mewacanakan teologi konvergensi adalah sikap eksklusif dari para pemeluk agama. Sikap eksklusif ini akan menutup jalan bagi teologi konvergensi untuk mengupayakan kerukunan antar umat beragama. Bagaimanapun, sikap ekslklusif yang tidak bisa dihilangkan dan bersifat menutup diri dari dinamisasi pemikiran keagamaan akan menjadi hambatan berat. Sikap eksklusif seharusnya diletakkan pada tataran beliefe, bukan pada tataran faith. Jika sikap ekslklusif diletakkan pada tataran faith, maka upaya mencari titik temu akan menemui jalan buntu, karena yang ada adalah malah mencari-cari perbedaan akan konsep tuhan yang mereka imani dalam agama mereka masing-masing. Klimaks dari sikap eksklusif tersebut adalah muncul truth claim terhadap realitas kebenaran agama masing-masing dan tak jarang menimbulkan radikalisme agama.
Tantangan dan hambatan yang lain adalah wacana mengenai teologi konvergensi hampir secara merata berlangsung di tingkat elite terpelajar, sehingga lapisan awam yang lebih besar jumlahnya tidak mendapatkan akses yang cukup kepada wacana itu. Hal ini karena teologi konvergensi saat ini hanya lebih dipraktikkan secara "diskursif" ketimbang secara praktis. Mewacanakan teologi konvergensi makin nyata peluangnya jika berada pada level akar rumput, sehingga perhatian harus mulai diarahkan ke sana. Mendialogkan teologi konvergensi sudah selayaknya mulai menyertakan kaum awam, dan tidak melulu menjadi "kemewahan" bagi elite agama yang terpelajar.
Selain tantangan di atas, hal lain yang juga bisa menjadi tantangan dalam mewujudkan cita-cita teologi konvergensi adalah sebagian besar aktivis yang terlibat dalam kegiatan mewacanakan dan mendialogkan teologi konvergensi ini  kurang begitu "agresif" memperjuangkan isu ini. Dibanding dengan sejumlah aktivis lain yang berjuang untuk isu HAM, lingkungan, perempuan, pendidikan sipil (civil education), dan lain-lain, para aktivis yang berjuang untuk wacana praksis teologi konvergensi kurang agresif dalam mengkampanyekan isu tersebut. Hal ini bisa jadi diakibatkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah tidak tersedia cukup funding agency yang membiayai kegiatan-kegiatan mendialogkan/mewacanakan teologi konvergensi ini. Pihak funding agency mungkin melihat isu-isu lain ketimbang isu teologi konvergensi.
Faktor lain yang dapat dianggap sebagai tantangan yang lumayan berat dalam mewacanakan teologi konvergensi adalah sosialisasi ajaran agama di tingkat akar rumput (grass root society) lebih banyak dikuasai oleh para juru dakwah yang kurang paham atau menyadari pentingnya wacana teologi konvergensi. Jalur distribusi ajaran agama di tingkat "eceran" (meminjam istilah Ulil Abshar Abdallah, yakni merujuk pada masyarakat grass root) lebih banyak dikuasai oleh jaringan dakwah dan misi yang mempunyai pandangan agama yang konservatif. Sementara kaum terdidik yang seringkali terlibat dalam wacana teologi konvergensi tidak mempunyai basis sosial yang cukup untuk membangun semacam jaringan distribusi ajaran agama alternatif yang menandingi jalur "eceran" yang sudah begitu mengakar itu.
Sebagai contoh untuk tantangan di atas adalah mislanya forum khotbah Jumat, pengajian di surau, majelis taklim, dan sebagainya. Forum-forum sosialisasi agama yang lebih menyentuh masyarakat kecil ini tidak pernah dipikirkan oleh para aktivis teologi konvergensi sebagai "titik lemah" dalam membangun dan mengembangkan wacana teologi konvergensi guna mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Pertemuan antar elite agama di tingkat atas yang mengesankan adanya kerukunan antaragama seringkali dibatalkan oleh juru dakwah di tingkat bawah yang kurang menyadari pentingnya agenda dialog untuk mewacanakan teologi konvergensi. Lusinan diskusi, lokakarya dan seremoni yang diadakan untuk membangun dialog & mewacanakan teologi konvergensi ini seringkali kalah efektif dengan pengajian yang setiap hari diadakan di majelis taklim. Agenda wacana praksis teologi konvergensi ke depan adalah bagaimana menguasai jalur "eceran" distribusi agama ini sehingga tidak sepenuhnya diisi oleh kaum konservatif yang tidak menyukai dialog untuk mewacanakan teologi konvergensi akibat sikap konservatif dan eksklusifnya.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengadakan dialog untuk mewacanakan teologi konvergensi ini antara kelompok "pluralis" dengan kelompok "konservatif". Hal ini perlu dilakuan karena selama ini dua kelompok tersebut masing-masing menganggap bahwa kelompok lain menganut suatu pemahaman agama yang "sesat" dan "tidak tepat", sehingga tidak layak untuk diajak berbicara. Akibatnya adalah bahwa wacana dialog teologi konvergensi hanya berlangsung di antara orang-orang yang memang sudah dari awal percaya akan manfaat dialog tentang wacana teologi konvergensi ini. Sudah saatnya dialog tentang teologi konvergensi ini justru diadakan antara dua kelompok ini, sehingga sejumlah masalah yang menjadi bahan perbedaan dan mengganjal bisa diatasi dengan terbuka.
Tentunya masih banyak lagi tantangan-tantangan yang akan dihadapi ketika mewacanakan teologi konvergensi ini. Terkadang kendala-kendala yang muncul ini kurang mendapatkan perhatian yang cukup dari aktivis teologi konvergensi selama ini. Menurut penulis, perhatian yang selama ini diberikan pada aspek-aspek yang mempertemukan semua agama (misalnya, seperti gagasan Fritjhof Schuon tentang transcendental unity) harus juga diimbangi dengan perhatian terhadap sejumlah hal yang menghalangi tercapainya pertemuan (encounter) itu.

Daftar Pustaka
Azhari, Muntaha dan Abdul Mun’im Saleh (ed.). Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M, 1989.
Bachtiar, Amsal. Filsafat Agama. Jakarta: Logos  Wacana Ilmu, 1997.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. IV. Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1994.
Fadil, Iqbal. Melihat Kembali Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/melihat-kembali-kerukunan-umat-beragama-di-indonesia.html  (11 Juni 2013).
Hanafi,  A. Pengantar Theology Islam.  Cet. V. Jakarta: Pustaka  Al-Husna, 1989.
Hasyim, Umar. toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam sebagai dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antara Agama. Surabaya: Bina Ilmu, 1978.
Saefuddin, A. M. et. al. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Cet. III. Bandung: Mizan, 1991.
Schwarz, A. A Nation in Waiting. New South Wales: Allen and Unwin, 1999.
Sudarto. Konflik Islam Kristen: Menguak akar Masalah Hubungan Antara Umat Beragama di Indonesia. Semarang: Pustaka Rizki, 1999.
Sumartana, Th. et al. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei, 2001.
T. N., “Kerukunan Beragama Sulut Jadi Contoh Dunia”, dalam http://www.suarapembaruan.com/home/kerukunan-beragama-sulut-jadi-contoh-dunia/33696  (11 Juni 2013).
Wahid, Abdurrahman. “Masa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa”, dalam Prisma, No. 13 (t.b., 1984).
Ya’qub,  Hamzah. Filsafat Agama: Titik Temu Akal dengan  Wahyu. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991.
ZTF, Pradana Boy. Islam Dialektis Membendung Dogmatisme Menuju Liberalisme. Malang: UMM Press, 2005.


[1] A. M. Saefuddin, et. al., Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Cet. III (Bandung: Mizan, 1991), 47.
[2] A. Hanafi,  Pengantar Theology Islam.  Cet. V (Jakarta: Pustaka  Al-Husna, 1989), 11.
[3] Hamzah Ya’qub,  Filsafat Agama: Titik Temu Akal dengan  Wahyu (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), 10.
[4] Amsal Bachtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Logos  Wacana Ilmu, 1997), 18.
[5] Pradana Boy ZTF, Islam Dialektis Membendung Dogmatisme Menuju Liberalisme (Malang: UMM Press, 2005), 188.
[6] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1994), 145.
[7] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. IV (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), 249.
[8] Phillip C. Almound and Wilfred Cantwel Smith, “As Theologian of Religions” in Harvard Teological Review. Vol. 76 , Number 03 (July, 1983), 335.
[9] Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam,” Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (ed.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1989), 81-96.
[10] Abdurrahman Wahid, “Masa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa”, dalam Prisma, No. 13 (t.b., 1984), 8.
[11] Umar Hasyim, toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam sebagai dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antara Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1978), 335-339; Sudarto, Konflik Islam Kristen: Menguak akar Masalah Hubungan Antara Umat Beragama di Indonesia (Semarang: Pustaka Rizki, 1999), 87-108.
[12] Arifin Assegaf, “Konflik antar Iman,” dalam Th. Sumartana et al., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei, 2001), 9-43.
[13] A. Schwarz, A Nation in Waiting (New South Wales: Allen and Unwin, 1999), 388.
[14] Lampiran Kemenag RI No. 81 tahun 1996 tentang petunjuk pelaksanaan penanggulangan kerawanan di bidang kerukunan keagamaan.
[15] Iqbal Fadil, “Melihat Kembali Kerukunan Umat Beragama di Indonesia”, dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/melihat-kembali-kerukunan-umat-beragama-di-indonesia.html  (11 Juni 2013).
[16] Ibid.
[17] T. N., “Kerukunan Beragama Sulut Jadi Contoh Dunia”, dalam http://www.suarapembaruan.com/home/kerukunan-beragama-sulut-jadi-contoh-dunia/33696  (11 Juni 2013).

AWAL PERTAMA TINGGAL DI TULUNGAGUNG DAN SERUNYA BERBELANJA DI PASAR TRADISIONAL TAMANAN TULUNGAGUNG

Saya dan Zidan (anak saya) di Alun-Alun Tulungagung saat masih seminggu tinggal di Tulungagung,   dan Zidan masih berumur 1 tahun Sudah menj...