Minggu, 10 Februari 2013

MUHAMMAD IQBAL Sosok Pemikir Fenomenal di Dunia Islam Modern




MUHAMMAD IQBAL
Sosok Pemikir Fenomenal di Dunia Islam Modern

PENGANTAR


Berbicara masalah Islam dan pemikiran tokoh-tokohnya sungguh akan memerlukan waktu yang sangat panjang, mengingat banyaknya figur dan aktifitas yang pernah dilakukannya sehingga mengantarkannya menjadi seorang tokoh, berikut pemikiran-pemikiran yang telah berhasil mengukir sejarah dan melahirkan peradaban baru bagi umat Islam. Salah satu tokoh yang menjadi perhatian para pengkaji adalah Muhammad Iqbal (selanjutnya ditulis Iqbal), seorang muslim mufakkir brilian asal India.
Iqbal adalah seorang intelektual asal India-Pakistan yang telah melahirkan pemikiran dan peradaban besar bagi generasi setelahnya. Ia merupakan sosok pemikir multidisiplin, seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, filosof, pendidik dan kritikus seni. Menilai kepiawaiannya yang multidisiplin itu, pak Natsir mengatakan, "tentulah sukar bagi kita untuk melukiskan tiap-tiap aspek kepribadian Iqbal. Jiwanya yang piawai tidak saja menakjubkan tetapi juga jarang ditemui". Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak perubahan tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hukum Islam dihadapkan kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah hukum Islam memberi jawaban yang cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak perubahan ini.
Di dalam kehidupannya, Iqbal berusaha secara serius terhadap perumusan dan pemikiran kembali tentang Islam. Meskipun Iqbal tidak diberi umur panjang tapi lewat tarian penanyalah yang menghempaskan bangunan unionist dan meratakan jalan untuk berdirinya Pakistan, memang pena lebih tajam dari pada pedang. Dia mengkritik sebab kemunduran Islam kerena kurang kreatifnya umat Islam, konkritnya bahwa pintu Ijtihad telah ditutup. Sehingga umat Islam hanya bisa puas dengan keadaan yang sekarang didalam kejumudan.

PEMBAHASAN


A.    Riwayat Muhammad Iqbal
1.      Kehidupan Pribadi dan Keluarganya
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot, pada tanggal 9 Nopember 1877. Sialkot adalah sebuah kota peninggalan dinasti Mughal India yang sudah lama pudar gemerlapnya. Kota ini terletak beberapa mil dari Jammu dan Kashmir, suatu kawasan yang kelak terus-menerus menjadi sengketa antara India dan Pakistan.[1]
Kakek Iqbal, Syaikh Rafiq adalah seorang penjaja selendang dari Looehar, Kashmir. Penduduk Kashmir yang awalnya beragama Hindu kemudian telah menganut Islam selama kurang lebih 500 tahun. Jika diikuti, jejak leluhur Iqbal berasal dari kalangan Brahmana, subkasta Sapru. Ayahnya, Syaikh Nur Muhammad memiliki kedekatan dengan kalangan sufi. Karena kesalehan dan kecerdasannya, penjahit yang cukup berhasil ini dikenal memiliki perasaan mistis yang dalam serta rasa keinginyahuan ilmiah yang tinggi. Tidak heran, jika Nur Muhammad dijuluki kawan-kawannya dengan sebutan ”sang filosof tanpa guru” (un parh falsafi).[2]
Ibunda Iqbal, Imam Bibi, juga dikenal sangat religius. Ia membekali kelima anaknya, tiga putri dan dua putra, dengan pendidikan dasar dan disiplin keislaman yang kuat. Di bawah bimbingan kedua orang tuanya yang taat inilah Iqbal tumbuh dan dibesarkan. Kelak dikemudian hari, Iqbal sering berkata bahwa pandangan dunianya tidaklah dibangun melalui spekulasi filosofis, tetapi diwarisi dari kedua orang tuanya tersebut.
Masa kanak-kanak Iqbal dihabiskan di kota perbatasan Punjab ini melalui kesenangan berolah raga dan bercengkrama dengan kawan-kawan. Ketika itu ia dikenal menyukai ayam hutan dan senang memelihara burung merpati.
Di usia dewasa, Iqbal menghabiskan waktunya di kota Lahore, kuliah di sebuah perguruan tinggi terkemuka. Sebelum masuk kuliah (1892) Iqbal dinikahkan orang tuanya dengan Karim Bibi, putri seorang dokter Gujarat yang kaya, Bahadur ’Atta Muhammad Khan. Dari Bibi, Iqbal dikaruniai tiga orang anak, Mi’raj Begum, yang wafat diusia muda, Aftab Iqbal, yang mengikuti jejak Iqbal belajar filsafat, dan salah satu lagi meninggal saat dilahirkan.[3]
Ketika di Eropa, Iqbal sempat menjalin persahabatan mendalam dengan seorang perempuan Muslim avant-garde bernama Atiya Begum Faizee. Namun Iqbal lebih suka memendam cintanya itu karena perbedaan latar belakang keluarga.
Pada tahun 1909, Iqbal dinikahkan dengan Sardar Begum, seorang wanita muda yang cantik namun rapuh fisiknya. Namun, pernikahan tersebut tidak sempurna. Karena sejunlah alasan, Iqbal sempat terpisah beberapa lama dengannya. Namun, pada akhirnya mereka kemudian menikah untuk kedua kalinya (1913). Sardar Begum memberikan cinta, pengabdian, dan ketenangan batin bagi Iqbal. Namun ia wafat dalam usia muda (37 tahun). Ia meninggalkan satu putra Javid Iqbal dan seorang putri, Munirah. Rentang masa berpisah dengan Sardar Begum, Iqbal sempat menikah dengan Mukhtar Begum yang meninggal pada tahun 1924.[4]
2.      Pendidikan dan Karir Pekerjaan
Di masa kecilnya Iqbal telah dididik dengan dasar agama yang kuat. Ia dididik untuk belajar menghafal al-Qur’an, baik oleh orang tuanya maupun oleh guru-gurunya di Maktab (madrasah).
Atas prestasinya, selepas dari sekolah menengah (1893), Iqbal memperoleh beasiswa ke perguruan tinggi. Mir Hassan, seorang Profesor Sastra Timur di Scocth Mission College, membujuk karibnya Nur Muhammad agar mengizinkan Iqbal melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi  modern pertama di wilayah tersebut. Di sekolah yang didirikan para missionaris Scotlandia dan Belanda inilah semangat intelektual Iqbal mulai tumbuh. Belum lagi didikan privat Mir Hasan dalam pengetahuan kesusasteraan Arab, Urdu, dan Persia, semakin menghidupkan bakat kepenyairan Iqbal.
Dua tahun kemudian, Iqbal menyelesaikan kuliah ilmu-ilmu humaniora di sekolah tersebut. Karena kecemerlangannya, Iqbal didorong oleh para dosen dan orang tuanya untuk melanjutkan kuliah di Government College, Lahore. Di salah satu lembaga pendidikan terbaik anak benua India  ini, Iqbal menekuni sastra serta filsafat Arab dan Inggris. Ia lulus dengan predikat cumlaude.
Melalui beasiswa yang diperolehnya, Iqbal kemudian melanjutkan kuliah magisternya di bidang filsafat. Pada masa ini, perkembangan intelektual Iqbal tak lepas dari persahabatan guru-murid dengan Sir Thomas Arnold, guru besar filsafat yang sangat mengerti tentang kebudayaan Islam dan kesusasteraan Arab. Dialah yang memberi motivasi kepada Iqbal untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang  yang lebih tinggi di Eropa.[5]
Meski mencintai filsafat, Iqbal berupaya memperbaiki keadaan sosialnya dengan menjadi pengacara. Namun ujian awal ilmu hukum yang diikutinya pada tahun 1898 mengalami kegagalan. Setahun kemudian (1899), Iqbal kembali menunjukkan kejeniusannya dengan menjadi satu-satunya calon yang lulus ujian komprehensif akhir sehingga mendapat penghargaan berupa medali emas. Beberapa bulan setelah meraih gelar masternya di bidang filsafat itu, Iqbal kemudian mendapat tawaran menjadi asisten dosen.
Karir pertamanya, ia ditunjuk sebagai asisten pengajar bahasa Arab di Macleod-Punjab Reader of Arabic, University Oriental College (1899-1990). Di samping itu ia diminta mengajar pula mata kuliah sejarah dan ekonomi. Setelah itu, Iqbal mengundurkan diri untuk menjadi asisten tidak tetap profesor bahasa Inggris di Islamic and Goverment College selama tiga tahun (1901-1904).[6] Sebenarnya, pada masa-masa ini (1901-1905) Iqbal yang ambisius, mengalami ketidak puasannya akan profesi akademisnya itu. Di samping prestise sosial yang rendah, perannya sebagai profesor sangat terkekang. Ketika itu, pemerintah Inggris mengawasi pendidikan secara ketat sehingga kebebasan berpikir dan berekspresi menjadi terbatas.
Untuk itulah Iqbal mencoba pada tahun 1901 mengikujti seleksi sebuah posisi bergengsi sebagai Komisi Asisten Tambahan (Extra Assistant Commisioner). Meski telah melewati berbagai tahap ujian, Iqbal gagal diterima dengan alasan tidak lulus uji kesehatan.
Tahun 1905, Iqbal berangkat studi ke Eropa. Sambil menyiapkan disertasi doktornya di bidang filsafat, Iqbal terlebih dahulu memperdalam pengetahuan filsafatnya di universitas Cambridge, dengan mengambil kuliah bachelor pada jurusan filsafat. Di bawah bimbingan Dr. John Mc. Taggart dan James Ward, Iqbal menyelesaikan studinya dalam bidang filsafat moral (1907). Di samping itu, Iqbal mengambil pula kesempatan di universitas tersebut untuk menimba ilmu dari dua orientalis terkemuka saat itu, E. G. Brown dan Reynold A. Nicholson.
Selanjutnya Iqbal meneruskan niatnya pergi ke Jerman. Pertama-tama ia belajar bahasa dan filsafat Jerman di universitas Heidelberg dari Fraulein Wagnast dan Fraulein Senecal. Secara menakjubkan, Iqbal berhasil menguasai bahasa Jerman dalam waktu tiga bulan. Di universitas Munchlah Iqbal mengajukan disertasinya yang berjudul ”The Development of Metaphysic in Persian: A Contribution to the History of Islamic Philosophy” kepada Prof F. Homel. Gelar dictoris philosophiae gradum diperolehnya pada tahun yang sama.[7]
Tidak puas dengan itu, Iqbal kembali ke London untuk menyiapkan bekal bagi profesi pragmatisnya di India kelak. Ia belaja di Lincoln’s Inn untuk gelar pengacara dan berhasil lulus pada tahun 1908. Selama beberapa waktu, Iqbal sempat pula masuk ke School of Political Sciences dan menggantikan Sir Thomas Arnold selama kurang lebih tiga bulan.
Iqbal kembali ke tanah airnya, India pada tahun 1908. untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Iqbal menjalani profesi sebagai pengacara yang berwenang dalam urusan naik banding. Di samping itu ia pun kembali mengajar sebagai asisten professor di Government College, memberi kuliah filsafat, sastra Arab, dan sastra Inggris selama kurang lebih satu setengah tahun.
Meski ia mengundurkan diri dari aktivitas pengajaran dan lebih memusatkan diri pada profesi kepengacaraannya, Iqbal tetap aktif di perguruan tinggi tersebut pada berbagai lembaga dan badan yang ada di dalamnya. Bahkan, Iqbal sempat menjabat Dekan Fakultas Kajian-Kajian ketimuran dan Kepala Jurusan Kajian-Kajian Filsafat.
Sejak Oktober 1908 sampai dengan tahun 1934 atau emat tahun sebelum wafatnya, Iqbal setia menjalani praktik pengacaranya sambil terus aktif sebagai pengajar, penulis, penyair, sekaligus politisi. Iqbal meninggal dunia pada 21 April 1938[8] pada usia 65 tahun setelah mengalami sakit agak lama. Sayangnya beliau tidak sempat melihat sebagian dari usaha dan impiannya yang kemudian setelah ia wafat menjadi kenyataan. Sesaat sebelum wafatnya, sang penyair besar itu menggoreskan sajak: Bila beta telah pergi meninggalkan dunia ini, Tiap orang kan berkata ia telah mengenal beta. Tapi sebenarnya tak seorang pun kenal kelana ini, apa yang ia katakan siapa yang ia ajak bicara dan dari mana ia datang.[9]
Nama Iqbal diabadikan menjadi nama Lapangan Terbang Pakistan, Allama Iqbal International Airport. Dan generasi setelahnya, tidak hanya Muslim, mengenangnya sebagai seorang pemikir besar yang mengabadikan fikirannya dengan puisi karena Iqbal begitu menghargai seni, khususnya puisi. Puisi, menurut Iqbal, adalah cahaya filsafat sejati dan pengetahuan yang lengkap. Tujuannya membantu manusia dalam perjuangannya melawan semua keburukan dengan mengimbau kepada unsur-unsur kemuliaan. Peranan seni adalah bersifat sosial. Ia adalah penuntun kemanusiaan.

B.     Buah Karya Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal adalah seorang yang kreatif berpuisi. Segala pemikiran dan perjuangannya terpancar dalam puisinya yang bernafaskan Islam dengan pengolahan bahasa dan bait syair yang indah. Oleh kerana itu beliau lebih dikenal sebagai sastrawan besar islam. Antara karya puisinya yang dianggap besar pernah diterbitkan ialah Asrari Khudi (Rahasia Pribadi), terbit pada tahun 1915, diikuti dengan Rumuz bi Khudi (Rahasia tidak Mementingkan Diri Sendiri), pada tahun 1917, Fayami Mashriq (Pesan Untuk Timur), Tulu'ul Islam (Munculnya Islam) dan banyak lagi pada tahun-tahun berikutnya, bukunya yang dianggap penting ialah Reconstruction of Religious Thought in Islam (Membina Kembali Cita-Cita Keagamaan Dalam Islam), Develoment of Methaphysies in Persia : A Contribution to the History of Moslem Philoshopy (perkembangan metafisika Persia suatu sumbangan untuk sejarah filsafat Islam) dan sebuah lagi yang tidak dapat disiapkannya kerana sakit tua yang dideritanya ialah The Reconstruction of Muslim Jurisprudence. Kebanyakan sajak-sajaknya ditulisnya dalam bahasa Parsi dan Urdu.

C.    Pemikiran Muhammad Iqbal
1.      Pertautan Barat dan Timur
Iqbal, penyair dan filsuf Timur, telah mengukir hidupnya sedemikian rupa hingga akan dikenang umat manusia ratusan tahun yang akan datang, sebab seluruh karyanya dalam bentuk puisi dan prosa dalam bahasa Urdu, Parsi, dan Inggris telah terdokumentasi dengan baik. Intelektualisme Iqbal dapat ditinjau dari berbagai jurusan: puisi, filsafat, hukum, pemikiran Islam, dan kebudayaan dalam makna sempit.
Dalam semua wilayah itu, Iqbal telah mengerahkan hampir seluruh energinya dengan tujuan tunggal: reorientasi nilai-nilai kemanusiaan Timur dan Barat dengan landasan tauhid yang teramat kokoh. Peradaban Barat, sekalipun dalam beberapa segi dikaguminya, dalam perspektif moral transendental sudah sangat jauh meluncur ke jurang berbahaya. Sementara Timur yang terpasung dalam spiritualisme, telah lama pula dalam keadaan steril tanpa dinamika. Lalu untuk membangun sebuah peradaban baru yang anggun dan segar diusulkannya agar Barat dan Timur diprtautkan dengan mengawinkan penalaran (ziraki) dan cinta (’isyq).[10]
Dalam sajak di bawah ini dapat dilihat betapa rindunya Iqbal untuk melihat Barat dan timur tidak lagi berada dalam dua kutub dikotomis, tetapi dalam posisi yang saling mengisi:
Bagi Barat penalaran (akal) merupakan instrumen kehidupan;
Bagi Timur rahasia alam semesta terletak dalam cinta (’isyq).
Dengan bantuan cinta akal akan berkenalan dengan Realitas;
Sedangkan untuk penguatan fondasinya, cinta menerima kekuatan dari akal.
Bila cinta dan penalaran saling berpelukan,
Akan terciptalah sebuah dunia baru;
(oleh sebab itu), Bangkitlah dan bangunlah sebuah dunia baru itu.
Dengan mengawinkan cinta dan penalaran.
Obsesi Iqbal adalah cepat terwujudnya saling pengertian spiritual antara  Barat dan Timur. Bertolak dari doktrin al-Qur’an tentang persaudaraan universal umat manusia, penyair ini pada masa hidupnya amat gelisah menyaksikan konflik berkepanjangan antara Barat dan Timur. ”Keperluan yang mendesak sekarang”, tulis William O. Douglas dari Mahkamah Agung Amerika Serikat beberapa dekade yang lalu, ” ialah terciptanya saling pengertian antara Barat dan timur. Keperluan akan saling pengertian ini adalah untuk level intelektual tertinggi, sebab dengan cara begitu, peradaban-peradaban yang berbeda masing-masing berhak atas kebesarannya sendiri—boleh jadi akan saling mengenal dan memahami antara satu dengan lainnya. Pengenalan akan membuahkan toleransi, saling menghormati, dan saling mengagumi.”[11]
Iqbal adalah seorang pemikir kontemporer yang sangat gigih melawan rasialisme yang telah membelah dan menghancurkan persaudaraan universal antarumat. Dalam suratnya yang tertanggal 24 Januari 1921 kepada Dr. Nicholson, Iqbal mengkritik Ernest Renan yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah musuh besar Islam. Renan sama sekali salah, kata Iqbal. Musuh Islam yang terbesar menurut Iqbal adalah gagasan tentang ras (race-idea) yang juga sebenarnya merupakan musuh terbesar kemanusiaan. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban seluruh pecinta kemanusiaan untuk berontak melawan hasil temuan setan yang mengerikan ini.
Demi penyatuan umat manusia di muka bumi, kata Iqbal, al-Qur’an mengabaikan perbedaan-perbedaan kecil antarsesama. Untuk tujuan ini ia mengutip surat Ali-Imran ayat 64: ”Marilah kita bersatu atas platform yang sama antara kita”. Dan bagi Iqbal, gagasan tentang persaudaraan universal umat manusia ini tidak mungkin menjadi kenyataan, bila kekuatan-kekuatan sejarah masih disominasi oleh budaya sekularistik-ateistik.
2.      Pemikiran tentang Al-Qur’an
Sebagai seorang yang terdidik dalam keluarga yang kuat memegang prinsip Islam, Iqbal meyakini bahwa al-Qur’an adalah benar firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dengan pernyataannya “The Qur’an Is a book which emphazhise deed rather than idea” (al-Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun dia berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah undang-undang. Dia berpendapat bahwa penafsiran al-Qur’an dapat berkembang sesuai dengan perubahan jaman, dan pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan utama al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, jika al-Qur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah yang dituntut untuk mengembangkannya. Dalam istilah fiqh hal ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam pandangan Iqbal adalah sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam. Disamping itu al-Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al-Qur’an tidak melarang untuk memperimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Akibat pemahaman yang kaku terhadap ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya.[12]
Iqbal juga mengeluh tentang ketidakmampuan masyarakat India dalam memahami al-Qur’an disebabkan tidak memahami bahasa arab dan telah salah mengimpor ide-ide India (Hindu) dan Yunani ke dalam Islam dan Al-Qur’an. Iqbal begitu terobsesi untuk menyadarkan umat Islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaaan statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun ummat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan legalitas kehidupan duniawi. Sedangkan kegagalan Kristen adalah dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan Negara, undang-undang dan organisasi disebabkan terlalu mementingkan segi ibadah ritual. Dalam kegagalan kedua agama tersebut, menurut Iqbal, al-Qur’an berada di tengah-tengah dan sama-sama mengajarkan keseimbangan kedua kehidupan tersebut, tanpa membeda-bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali. Inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya Negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu.
3.      Pemikiran tentang Hadith
Sejak dulu hadith memang selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan orientalis. Tentu saja maksud dan titik berangkat dari kajian tersebut berbeda pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap ajaran Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam lewat ajaran Islam itu sendiri.[13]
Iqbal memandang bahwa ummat Islam perlu melakukan studi mendalam terhadap literatur hadith dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyunya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai-nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al-Qur’an.
Iqbal sepakat dengan pendapat Syaikh Waliyullah tentang hadith, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya, Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terkait oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadits yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadith-hadith pada jamannya belum dikumpulkan, karena Abu Malik dan Az-Zuhri telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadith daripada koleksi belaka.[14]
4.      Pemikiran tentang Ijtihad
Menurut Iqbal, ijtihad adalah “Exert with view to form an independent judgment on legal question” (bersungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang, baik hadith maupun al-Qur’an memang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut. Disamping ijtihad pribadi, hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (madzhâb). Sebagaimana mayoritas ulama, Iqbal membagi ijtihad ke dalam tiga tingkatan, yaitu :[15]
1.      Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhâb-mazhâb saja.
2.      Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhâb.
3.      Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terkait pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhâb.
Iqbal menggaris bawahi pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl al-sunnah, tetapi dalam kenyataannya dipungkiri sendiri sejak berdirinya mazhâb-mazhâb. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam suatu sistem hukum al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibat ketentuan ketatnya ijtihad ini, menjadikan hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang . Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma’ hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konsekuensinya, hukum Islam pun statis tidak berkembang selama beberapa abad.

5.      Pemikiran Politiknya
            Pada tahun 1927, Iqbal berkiprah di arena politik secara aktif dan Ia dipilih sebagai perwakilan Dewan Punjab selama tiga tahun. Selanjutnya pada tahun 1930 diangkat menjadi presiden Sidang Tahunan Liga Muslim yang berlangsung di Allahabad. Dalam kesempatan ini Iqbal mengutarakan ide pembentukan sebuah negara Islam Pakistan. Ide ini dibentangkan berdasarkan geografi, keagamaan dan kesejahteraan masyarakat Islam yang jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan masyarakat Hindu. Tujuan membentuk negara islam itu ditegaskan oleh Iqbal dalam rapat Liga Muslim pada tahun 1930 yang mendapat dukungan dari para anggotanya. Sejak saat itu ide dan tujuan pembetukan negara Islam tersebut diumumkan secara resmi dan kemudian menjadi tujuan perjuangan nasional umat Islam India. Disebabkan gagasan ide ini, Iqbal telah diberi julukan sebagai : ‘Bapak Pakistan’. Daerah-daerah yang diinginkan oleh Iqbal menjadi satu negara Islam India adalah Punjab, daerah perbatasan Utara Sind dan Balukhistan. Di samping menyuarakan pembentukan negara Islam Pakistan, Iqbal juga menyeru kepada kebangkitan dan mempererat persaudaraan Islam sedunia. Bagaimanapun sebagai seorang yang dilahirkan di Timur, Iqbal tetap mempertahankan dan menyanjung kebudayaan dan keperibadian Timur yang halus, tinggi dan indah. Tentunya termasuk dalam arti kata Timur itu ialah hasil budaya masyarakat benua kecil India. Terbentuknya negara islam Pakistan sebagaimana yang dicita-citakan Muhammad Iqbal dapat tercapai pada tahun 1947 setelah beliau meninggal dunia.



KESIMPULAN


Muhammad Iqbal merupakan sosok pemikir multi disiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, pendidik, filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang sesungguhnya, Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam secara liberal dan radikal.
Dalam mencari konsep sastra Islam, jelas bahwa Muhammad Iqbal adalah salah seorang tokoh besar yang dapat menjadi contoh. Iqbal tidak hanya semata-mata kepunyaan Pakistan, tetapi juga kepunyaan seluruh dunia Islam. Semakin dunia sadar akan kemurnian Islam, semakin terasa kebenaran pendapat dan falsafah Iqbal yang terpancar melalui syair-syairnya dan terasa dekatnya Iqbal itu dengan diri kita. Rahasia kejayaan dan kekuatan Iqbal bersumber pada Al-Qura'an dan al-Sunnah yaitu dua sumber besar yang terbukti mampu merubah dunia dan telah disaksikan sepanjang sejarah manusia.
Pena lebih tajam dari pedang. Tak diragukan lagi pengaruh pena Iqbal dalam khazanah pemikiran Islam luar biasa besarnya. Tak hanya dunia Timur-Islam, tetapi juga Timur-non Islam dan Barat. Kejeniusannya dalam memadukan syair dan filsafat ditambah lagi sikap relegiusnya yang mendalam telah menimbulkan decak kagum para filosof dan penyair di berbagai belahan dunia. Tak hanya itu, Iqbal juga telah melakukan sintesis pemikiran Timur dan Barat dengan kekhasan yang belum ada bandingnya.
Tanggapannya terhadap pemikiran Barat mengajarkan umat Islam untuk tidak berapologi atau mencaci maki setiap bersentuhan dengan khazanah Barat. Sikap yang baik adalah memanfaatkan apa-apa yang baik dari khazanah Barat untuk merekonstruksi Islam dan kemajuannya. Terbukti Iqbal banyak terpengaruh para filosof Barat seperti Nitzsche atau Henry Bergson. Walaupun Iqbal sebagian menolak konsep mereka tentang moralitas, juga tentang kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis, tanpa tujuan.



DAFTAR PUSTAKA



Adian, Donny Gahral. Muhammad Iqbal (Jakarta: Teraju, 2003), 23.
Fathurrahman, “Pemikiran Muhammad Iqbal”, Bank Makalah (19 Mei 2008).
Habibi, Ujang. “Muhammad Iqbal dan Pokok-Pokok Pemikirannya”, dalam Jurnal Dakwah (10 Juni 2009).
Ma’arif, Ahmad Syafi’I. “Muhammad Iqbal dan Suara Kemanusiaan dari Timur” dalam Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam. Yogyakarta: Jalasutra, 2002.
Mahfudz, Herisuanto bin. “Muhammad Iqbal”, dalam Dapur Kajian Agama Islam. (25 Juni 2008).
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang 1987.


[1] Donny Gahral Adian, Muhammad Iqbal (Jakarta: Teraju, 2003), 23.
[2] Ibid., 24.
[3] Ibid., 25.
[4] Ibid.
[5] Ibid., 27.
[6] Ibid., 28.
[7] Ibid., 29.
[8] Ahmad Syafi’I Ma’arif, “Muhammad Iqbal dan Suara Kemanusiaan dari Timur” dalam Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam (Yogyakarta: Jalasutra, 2002), 13.
[9] Herisuanto bin Mahfudz, “Muhammad Iqbal”, dalam Dapur Kajian Agama Islam, (25 Juni 2008), 1.
[10] Ma’arif, Muhammad Iqbal……………, 14.
[11] Ibid., 16.
[12] Ujang Habibi, “Muhammad Iqbal dan Pokok-Pokok Pemikirannya”, dalam Jurnal Dakwah (10 Juni 2009), 1.
[13] Fathurrahman, “Pemikiran Muhammad Iqbal”, Bank Makalah (19 Mei 2008), t. h.
[14] Ujang Habibi, Muhammad Iqbal………., 1.
[15] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1987), 191.

EPISTEMOLOGI ARISTOTELES



EPISTEMOLOGI ARISTOTELES
  


                        Oleh :

Lailatuzz Zuhriyah, S.Th.I, M.Fil.I



ABSTRAK


Aristoteles adalah filosof pada masa Yunani klasik yang dikenal sebagai murid dari Plato. Namun dalam segi epistemologi nampaknya Aristoteles terlihat kontra dengan gurunya. Baginya, tujuan akhir dari filsafat adalah pengetahuan tentang adanya yang umum. Aristoteles berkeyakinan bahwa dengan jalan pengertianlah kebenaran yang sebenarnya akan dapat dicapai. Lalu bagaimana memikirkan adanya ’itu’? Menurutnya, adanya ’itu’ tidak dapat diketahui dari materi, benda belaka dan tidak pula dari pikiran semata-mata yang umum, seperti pendapat Plato, melainkan adanya ’itu’ terletak dalam barang-barang satu-satunya, selama barang itu ditentukan oleh yang umum. Berbeda dengan Plato yang mendasarkan pandangannya pada yang abstrak, Aristoteles mendasarkan pandangannya lebih realis. Baginya, sesuatu dianggap ada jika dia itu konkret atau nyata. Untuk memperoleh kesimpulan yang umum, Aristoteles menjelajah lebih dahulu medan ilmu-ilmu spesial, sesudah itu baru meningkat ke bidang filosofi untuk memperoleh kesimpulan tentang yang umum. Aristoteles dikenal dengan pandangannya tentang logika, oleh karena itu dirinya dianggap sebagai pendiri cabang filsafat yang penting ini. menurutnya, tugas logika yang utama adalah mengakui hubungan yang tepat antara yang umum dan yang khusus, oleh karena itu, maka dasar-dasar berpikir dengan pengertian yang berasal dari Sokrates menjadi pusat pemikiran logikanya. Dasar ajaran Aristoteles tentang logika berdasarkan atas ajaran tentang jalan pikiran (ratio-cinium) dan bukti. Jalan pikiran itu baginya berupa syllogismus (silogisme), yaitu putusan dua yang tersusun sedemikian rupa sehingga melahirkan putusan yang ketiga. Untuk dapat menggunakan syllogismus dengan benar, seseorang harus tahu benar sifat putusan itu. Filsafat tentang logika ini menjadi dasar filsafat pengetahuan. Dalam hal ini, filsafat pengetahuan Aristoteles merupakan kebalikan dari filsafat pengetahuan Plato. Dasar filsafat pegetahuan Aristoteles bukanlah intuisi, tetapi abstraksi. Oleh karena itu, benar bila dikatakan bahwa Aristoteles tidak selalu sepaham dengan gurunya sendiri, Plato, bahkan mungkin bertentangan.

Kata kunci: Epistemologi, Aristoteles, Logika, Sillogisme.

  
PEMBAHASAN

  1. Defenisi Epistemologi
Salah satu objek kajian yang menyibukkan filsafat – paling tidak sejak munculnya kaum Sofis pada zaman Yunani Kuno sampai dewasa ini – adalah gejala pengetahuan. Cabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti pertanyaan- pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan disebut Epistemologi.[1]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi merupakan disiplin filsafat yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan.
Dalam kepustakaan yang membicarakan epistemologi terdapat sejumlah istilah yang mempunyai pengertian sama atau hampir sama dengan pengertian yang dikandung oleh epistemologi. Istilah dan kandungan maknanya dibahas dibawah ini:
1.      Epistemologi
Secara etimologis, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan; logos biasanya dipakai untuk menunjuk pengetahuan sistematik. Sehingga dapat disimpulkan epistemologi adalah pengetahuan sistematik tentang pengetahuan.
Episteme bukanlah satu-satunya kata dalam bahasa Yunani yang mempunyai arti pengetahuan, sebab terdapat kata gnosis yang juga berarti pengetahuan. J. F. Ferrier merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah epistemologi di samping Gnoseologi untuk menunjuk arti pengetahuan.[2]Epistemologi dalam bahasa Jerman sebagaimana telah dipergunakan oleh Immanuel Kant adalah erkentnistheorie, sedang dalam bahasa Belanda adalah kennisleer atau Kentheorien.
2.      Gnoselogi
Epistemologi juga disetarakan dengan Gnoseologi. Gnosis berasal dari kata gignosko, yang berarti menyelami, mendalami. Oleh karena itu, episteme berarti suatu upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu di dalam kedudukan setepatnya, sedang kata gnosis lebih merupakan pengetahuan dalam arti pengertian batin, atau pengetahuan tentang ketuhanan.[3]
3.      Criteriologi
Epistemologi kadangkala juga disamakan dengan Critica atau Criteriologi, yaitu pengetahuan sistematik tentang kriteria, patokan, untuk menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak benar. Sebenarnya criteriologi berasal dari bahasa Yunani Krinomai yang artinya adalah mengadili, memutuskan, dan menetapkan. Dalam kaitan dengan tindakan kognitif-intelektual memang mengadili pengetahuan yang benar dan yang tidak benar adalah dekat dengan episteme. Fungsi kritik dari epistemologi terhadap pengetahuan mengakibatkan ia sering disebut dengan ”kritik pengetahuan”.[4]
4.      Logika Material
Epistemologi kadangkala juga disebut Logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Namun ada perbedaan antara logika formal dan logika material, dimana logika formal mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya, misalnya: silogisme. Logika material mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi. Berpikir logis adalah berpikir dengan bertumpu pada logika, berpikir logis belum tentu berpikir kritis. Penalaran yang sudah teratur belum tentu mengandung kebenaran dan kepastian.
5.      Teori Pengetahuan
Epistemologi juga dinamakan ”teori pengetahuan” (theory of knowledge), ialah suatu ilmu yang mula-mula menanyakan, ”Apakah pengetahuan?”. Hal itu meliputi banyak pertanyaan lainnya, seperti: ”Apakah kebenaran?”, ”Apakah kepastian?”, dan lawannya, seperti: ”Apakah ketidak tahuan?”, ”Apakah kesalahan?”, ”Apakah keraguan?”. Masing-masing pertanyaan masih meliputi yang lainnya, seperti ”Apakah kesadaran?”, ”Apakah sadar?”, ”Apakah intuisi?”, ”Apakah penyimpulan?”, ”Apakah sensasi, persepsi, konsepsi, memory, imajinasi, antisipasi, berpikir, budi, kehendak, frustasi, mempertanyakan, pemecahan masalah, perasaan, emosi, interest, kegunaan, bahasa, komunikasi, bermimpi, persetujuan, mengidealisasi, menyukai, tidak menyukai, menghendaki, mengharapkan, takut, kepuasan hati, dan apati?”. Sebagai hasil penyelidikan lebih dalam ke dalam pertanyaan-pertanyaan di depan.[5]
Sedangkan pengertian Epistemologi Sain itu sendiri adalah suatu cara yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan sains dan cara mengukur benar tidaknya pengetahuan sains.

  1. Riwayat Singkat Aristoteles
Salah satu filosof yang dianggap sangat berjasa dalam meletakkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat adalah Aristoteles, yang merupakan murid Plato. Meskipun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan pandangan, tetapi Aristoteles dianggap sebagai murid yang mewarisi pemikiran-pemikiran gurunya, dan dianggap sebagai salah satu tokoh penggerak zaman.
Dia juga dianggap sebagai peletak tonggak dasar dalam sejarah pemikiran Barat. Bahkan Michael H. Hart menilai bahwa Aristoteles adalah seorang filosuf dan ilmuwan terbesar dalam dunia masa lampau. Dia memelopori penyelidikan ihwal logika, memperkaya hampir tiap cabang falsafah dan memberi sumbangsih tak terperikan besarnya terhadap ilmu pengetahuan.[6] Meskipun banyak ide-ide Aristoteles yang tampaknya kini sudah ketinggalan zaman, tetapi yang paling penting dari apa yang pernah dilakukannya adalah pendekatan rasional yang senantiasa melandasi karyanya.
Aristoteles lahir pada tahun 384 SM di Stageira, suatu kota di Yunani Utara. Ayahnya adalah dokter pribadi Amyntas II, raja Makedonia. Mungkin sekali dalam masa mudanya ia hidup di istana raja Makedonia di kota Pella dan dapat diandaikan pula bahwa ia mewarisi minatnya yang khusus untuk ilmu pengetahuan empiris dari ayahnya. Pada usia 17 atau 18 tahun, Aristoteles dikirim ke Athena, supaya ia belajar di Akademia Plato. Ia tinggal di sana sampai Plato meninggal pada tahun 348/7 SM; jadi, kira-kira 20 tahun lamanya. Pada waktu ia berada dalam Akademia, Aristoteles menerbitkan beberapa karya. Ia juga mengajar anggota-anggota Akademia yang lebih muda, rupanya tentang mata pelajaran logika dan retorika.[7]
Aristoteles merupakan salah satu murid Plato yang sangat cepat dikenal karena dia tidak mau sekedar bernaung dibawah keagungan sang guru. Itu pula sebabnya dia dikenal sebagai murid “tukang kecam” dan senang mendebat sang guru yang banyak dihormati oleh banyak muridnya yang lain, kendati kecamannya sering kali tidak relevan, dan menunjukkan ketakfahamannya terhadap ajaran Plato. Namun, jika ditanya mengapa dia mengecam Plato, dia akan menjawab : “Amicus Plato, sed magis amica veritas” yang berarti “Plato kukasihi, tapi aku lebih mengasihi kebenaran.” Oleh karena itu, sebagian pakar berpendapat bahwa hubungan Aristoteles dan Plato sesungguhnya telah retak sejak jauh sebelum menjelang kematian Plato. Oleh sebab itu, Plato tidak menunjuk Aritoteles untuk menjadi penggantinya dalam memimpin Akademia, melainkan menunjuk Speusippos. Hal itu tentu sangat mengecewakan Aristoteles.[8]
Sekitar tahun 342 SM Aristoteles diundang raja Philipos dari Makedonia, anak Amyntas II untuk mendidik anaknya yang bernama Alexander yang masih berusia 13 tahun. Tahun 340 SM Alexander diangkat menjadi pejabat raja Makedonia dan empat tahun kemudian ia menggantikan ayahnya sebagai raja Makedonia pada usia 19 tahun. Tugas Aristoteles di istana Pella sudah selesai pada tahun itu. Setelah itu, ia menetap di kota asalnya, Stageira. Di kemudian hari, Aristoteles menulis suatu karangan bagi Alexander yang disebut Perihal Monarki dan suatu karanga lain Tentang Pendirian Perantauan.
Tidak lama setelah Alexander Agung dilantik menjadi raja, Aristoteles kembali ke Athena, di mana Xenokrates sudah menggantikan Speusippos sebagai kepala Akademia. Namun Aristoteles tidak kembali ke Akademia, agaknya karena pemikirannya sudah berkembang jauh dari filsafat Akademia. Dengan bantuan dari Makedonia, ia mendirikan suatu sekolah sendiri yang dinamakan Lykeion (dilatinkan : Lyceum), karena tempatnya dekat halaman yang dipersembahkan kepada dewa Apollo Lykeios. Dengan semangat besar sekali para anggota Lykeion mempelajari semua ilmu yang dkenal pada waktu itu. Aristoteles membentuk suatu perpustakaan yang mengumpulkan macam-macam manuskrip dan peta bumi; menurut kesaksian Strabo, seorang sejarawan Yunani-Romawi, itulah perpustakaan pertama dalam sejarah manusia. Mungkin Aristoteles membuka juga semacam museum yang mengumpulkan semua benda yang menarik perhatian, terutama dalam bidang biologi dan zoologi. Diceritakan, Alexander memberi suatu sumbangan besar untk membentuk koleksi itu dan memerintahkan semua pemburu, penangkap unggas, dan nelayan dalam kerajaannya, supaya mereka melaporkan kepada Aristoteles mengenai semua hasil yang menarik dari sudut ilmiah.[9]
Aristoteles mempunyai seorang istri yang bernama Pythias yang kemudian meninggal dengan meninggalkan seorang putri, tahun kematiannya tidak diketahui. Setelah itu ia menikah lagi dengan Herpyllis dan dikaruniai seorang putra bernama Nikomakhos.
Pertaliannya dengan Alexander mengandung pelbagai bahaya. Aristoteles menolak secara prinsipil cara kediktatoran Alexander dan tatkala si penakluk Alexander menghukum mati sepupu Aristoteles dengan tuduhan menghianat, Alexander punya pikiran pula membunuh Aristoteles. Di satu pihak Aristoteles kelewat demokratis di mata Alexander, dia juga punya hubungan erat dengan Alexander dan dipercaya oleh orang-orang Athena. Tatkala Alexander mati tahun 323 SM golongan anti-Macedonia memegang tampuk kekuasaan di Athena dan Aristoteles pun didakwa kurang ajar kepada dewa. Aristoteles, teringat nasib yang menimpa Socrates 76 tahun sebelumnya, lari meninggalkan kota sambil berkata dia tidak akan diberi kesempatan kedua kali kepada orang-orang Athena berbuat dosa terhadap para filosof. Aristoteles meninggal di pembuangan beberapa bulan kemudian di tahun 322 SM pada umur enam puluh dua tahun.

  1. Epistemologi Aristoteles
Sebenarnya banyak sekali pemikiran dari Aristoteles, yakni meliputi bidang logika, fisika, psikologi, metafisika, etika dan politik. Namun dalam makalah ini, penulis membatasi hanya sebatas pemikiran tentang logika-nya saja, karena makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah epistemologi.
1.      Nama dan Fungsi Logika
Pada hakikatnya, nama ”logika” tidak hanya ada pada Aristoteles saja. Beberapa karangan-karangan masa kuno, nama ”logika” untuk pertama kalinya muncul pada Cicero (abad 1 SM), tetpi dalam arti ”seni berdebat”. Sedangkan orang yang pertama kali menggunakan kata ”logika” dalam arti  yang dimaksud sekarang (ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita). Aristoteles sendiri memakai istilah ”analitika” untuk penyelidikan mengenai argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang benar, dan ia memakai istilah ”dialektika” untuk penyelidikan mengenai argumentasi- argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesis atau putusan yang tidak pasti kebenarannya.[10] Jadi, bagi Aristoteles analitika dan dialektika merupakan dua cabang dari ilmu yang dinamakan ”logika”.
Aristoteles membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga golongan:
a.       Ilmu pengetahuan praktis yang meliputi etika dan politika.
b.      Ilmu pengetahuan produktif, yaitu yang menyangkut pengetahuan yang sanggup menghasilkan suatu karya (teknik dan kesenian).
c.       Ilmu pengetahuan teoretis, yang mencakup tiga bidang: fisika, matematika, dan ”filsafat pertama” (yang sesudah Aristoteles akan disebut ”metafisika”).
Jika dilihat dari pembagian di atas, maka tampak jelas bahwa dalam pembagian ini tidak ada tempat untuk logika. Memang inilah yang dimaksud Aristoteles. Meskipun ia megarang buku tentang logika, namun ia berpendapat bahwa logika tidak termasuk ilmu pengetahuan sendiri, tetapi mendahului ilmu pengetahuan sebagai persiapan untuk berpikir dengan cara ilmiah. Maksud yang sama juga diekspresikan dalam karyanya tentang logika, yakni Organon ( = alat). Artinya, logika bukan merupakan cabang ilmu pengetahuan, tetapi suatu alat agar dapat mempraktekkan ilmu pengetahuan. Nama Organon ini kemudian baru dipakai pada akhir masa kuno (dalam abad ke-6 M). Aristoteles mewariskan kepada murid-muridnya enam buku yang oleh murid-muridnya dinamai Organon, yang berarti alat, yaitu:[11]
a.       Categoriae, menguraikan pengertian-pengertian
b.      De interpretatione, membahas keputusan-keputusan
c.       Analyticapriora, membahas tentang pembuktian
d.      Analitica posteriora, membahas tentang silogisme
e.       Topica, berisi cara berargumentasi dan cara berdebat
f.       De sophisticis elenchis, membicarakan kesesatan dan kekeliruan berpikir
Logika Aristoteles memainkan peranan penting bagi sejarah intelektual bangsa manusia. Beberapa buku pegangan tentang logika tradisional (yang harus dibedakan dengan logika modern) sebagian besar diisi dengan logika Aristoteles, hingga sampai saat ini.
2.      Induksi, Deduksi, dan Investigasi
Aristoteles berpendapat bahwa pengetahuan baru dapat dihasilkan melalui dua jalan, yaitu:
a)      Induksi, yaitu bertitik tolak dari kasus-kasus khusus yang menghasilkan pengetahuan tentang yang umum. Dengan perkataan lain, induksi bertitik tolak dari beberapa contoh dan atas dasar itu menyimpulkan suatu hukum umum yang berlaku juga bagi kasus-kasus yang belum diselidiki.[12]
b)      Deduksi, yaitu bertitik tolak dari dua kebenaran yang tidak disangsikan dan atas dasar itu menyimpulkan kebenaran yang ketiga.[13] Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan Sillogisme. Sillogisme tersusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan.
Cara kerja induksi diajukan oleh Aristoteles. Menurutnya, tidak mungkin menangkap yang universal selain dengan jalan induksi, dan induksi dapat diperoleh melalui persepsi inderawi. Hal ini karena hanya dengan persepsi inderawi saja yang memiliki kemungkinan untuk dapat menangkap hal-hal yang bersifat partikular. Baginya, karena berkepentingan dengan yang universal, maka pengetahuan ilmiah haruslah melalui cara kerja persepsi inderawi dan induksi.
Aristoteles merumuskan sebuah metode yang dinamakan metode penelitian (method of investigation). Cara memulai metode ini adalah dengan mengadakan observasi terhadap sejumlah hal-hal individual terlebih dahulu, selanjutnya memperhatikan unsur-unsur yang sama yang berlaku secara umum. Jika unsur-unsur yang sama secara umum sudah diketahui, maka bisa merumuskan dalam bentuk defenisi. Defenisi selalu bersifat umum dan universal. Semua teori-teori ini merupakan metode untuk memperoleh pengetahuan.
3.      A priori dan a posteriori
Selain teori induksi, Aristoteles juga mengajukan adanya pengetahuan yang bersifat a priori (pre existent). Pengetahuan a priori menuntut dua hal; pertama, pengakuan akan adanya fakta, dan kedua, pemahaman terhadap makna istilah yang dipakai. Sebagai contoh, jika kita menyebut tentang sebuah persegi ini atau itu sebagai sebuah konsep umum, maka di sini kita akan memiliki dua asumsi, yakni adanya makna dari istilah tersebut dan eksistensi dari benda itu. Sebagai contoh, siswa SD mengetahui bahwa sisi dari tiap-tiap persegi adalah sama panjang. Pengetahuan yang berdasarkan pada kenyataan yang dilihat inilah yang akhirnya dapat membawa kepada pengetahuan tersebut.
4.      Teori Sebab
Menurut Aristoteles, Pengetahuan ilmiah tidak hanya berasal dari memahami dan merumuskan yang universal dari yang partikular, melainkan juga harus mampu mengetahui sebab. Ada empat sebab yang membuat sesuatu itu menjadi ada, pertama, sebab materi, sebagi contoh adalah kayu dibentuk menjadi kursi. Kedua, sebab bentuk, seperti bentuk ’kursi’. Ketiga, dari materi kayu di bentuk menjadi kayu. Keempat, sebab tujuan seperti orang membuat kursi bertujuan agar dapat dijadikan tempat duduk.
5.      Cikal Bakal Metode Fenomenologi
Cikal bakal metode fenomenologi bisa dikatakan berasal dari Aristoteles. Hal ini dapat diketahui ketika ia berkata ’marilah kita lepaskan dahulu pendapat-pendapat para pendahulu tentang jiwa sehingga jiwa itu masih dalam wujudnya yang murni belum tercampur oleh ragam pendapat dan kita memulai dari sesuatu yang benar-benar masih murni, kemudian berusaha memberikan jawaban yang tepat mengenai apakah jiwa itu.[14]
6.      Sillogisme
Sillogisme (syllogismus) merupakan salah satu temuan terbesar Aristoteles dalam bidang logika yang mempunyai peranan sentral dalam kebanyakan karyanya tentang logika. Dalam bukunya yang berjudul Prior Analytics termuat bahwa Aristoteles menemukan bentukan penalaran yang bergerak dari universal ke partikular yang disebut dengan sillogisme (syllogismus). Silogisme adalah pola berpikir deduktif yang memiliki kebenaran pasti dan niscaya; berangkat dari hal-hal umum menuju hal-hal khusus. Kesahihan deduksi tidak tergantung kepada pengalaman inderawi, tapi semata-mata kepada konsistensi rasio.[15]
Sillogisme merupakan argumentasi yang terdiri dari tiga proposisi (bahasa Inggris: ’propositions’). Dalam setiap proposisi dapat dibedakan menjadi dua unsur, yaitu 1) hal tentang apa sesuatu dikatakan dan 2) apa yang dikatakan. Hal tentang apa sesuatu dikatakan disebut ”subjek” dan apa yang dikatakan tentang subjek disebut ”predikat”. Sebagai contoh proposisi ”Presiden adalah seorang manusia”, maka dalam proposisi ini subjek adalah ”Presiden” dan predikat adalah ”seorang manusia”.
Argumentasi yang disebut sillogisme menurunkan proposisi ketiga dari dua proposisi yang sudah diketahui. Misalnya:
-          Semua manusia akan mati
-          Gayus adalah seorang manusia
-          Dari sebab itu Gayus akan mati
Kunci untuk mengerti sillogisme ialah term yang dipakai baik dalam putusan pertama maupun dalam putusan kedua. Term itu disebut ”term menengah” (middle term). Jika melihat dari contoh diatas, maka term menengahnya adalah ”manusia”. Aristoteles membedakan tiga macam sillogisme, tergantung pada tempat term menengah dalam proposisi pertama dan kedua. Supaya penyimpulan boleh dianggap sah, maka Aristoteles berusaha melukiskan peraturan-peraturan yang harus ditaati dengan teliti.


  KESIMPULAN

Salah satu filosuf yang dianggap sangat berjasa dalam meletakkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat adalah Aristoteles, yang merupakan murid Plato. Meskipun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan pandangan, tetapi Aristoteles dianggap sebagai murid yang mewarisi pemikiran-pemikiran gurunya, dan dianggap sebagai salah satu tokoh penggerak zaman. Dia filosof orisinal, dia penyumbang utama dalam tiap bidang penting falsafah spekulatif, dia menulis tentang etika dan metafisika, psikologi, ekonomi, teologi, politik, retorika, keindahan, pendidikan, puisi, adat-istiadat orang terbelakang dan
konstitusi Athena. Salah satu proyek penyelidikannya adalah koleksi pelbagai negeri yang digunakannya untuk studi bandingan.
Aristoteles juga menemukan dua alur atau cara berpikir, yaitu analitika dan dialektika. Analitika merupakan cara berpikir yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang benar lalu membuat kesimpulan. Dialektika merupakan cara berpikir yang bertitik tolak dari hipotesa menuju penyimpulan yang bersifat mungkin. Dua istilah ini, analitika dan dialektika, kini menjadi bagian dari ilmu yang sekarang disebut logika.
Dalam logikanya, ia menggunakan jalan berpikir induksi, karena menurutnya tidak mungkin seseorang dapat menangkap hal-hal yang universal selain dengan jalan induksi yang diperoleh melalui persepsi inderawi, karena hanya persepsi inderawi yang memiliki kemungkinan untuk menangkap hal-hal yang partikular. Selain itu juga ada pengetahuan yang bersifat a priori yang didasarkan pada apa yang dilihat sehingga seseorang dapat sampai pada pengetahuan tersebut.


 DAFTAR PUSTAKA


Affandi, Abdullah Khozin. Perkembangan Epistemologi dari Periode Klasik sampai Modern. Surabaya: t.p, 2008.
Ahmad, Supriyadi. “Pemikiran Aristoteles dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Filsafat Logika, Pengetahuan, dan Metafisika ” dalam www.darunnajah.ac.id (10 November 2010).
Bertens, Kees. Sejarah Filsafat Yunani : Edisi Revisi. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Hart, Michael H., Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Terjemahan Mahbub Djunaidi. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983.
Pranarka, A. M. W., Epistemologi Dasar : Sebuah Pengantar. Jakarta: CSIS, 1987.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Logika, Asas-asas penalaran sistematis, cet.ke-1. Yogyajakta: Kanisius, 1996.
Sunny, “Sillogisme Hipotesis dan Penyimpulan Lain” dalam http://caksunni.blogspot.com (20 Agustus 2009).
Sudarminta, J., Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Wahyudi, Imam. Pengantar Epistemologi. Yogyakarta : Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2007.


[1] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 18.
[2] A. M. W. Pranarka, Epistemologi Dasar : Sebuah Pengantar (Jakarta: CSIS, 1987), 4 
[3] Imam Wahyudi, Pengantar Epistemologi (Yogyakarta : Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2007), 2
[4] Ibid., 2-3.
[5] Ibid., 4.
[6] Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Terjemahan Mahbub Djunaidi, (Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983), 101.
[7] Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani : Edisi Revisi (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 154.
[8]Supriyadi Ahmad, “Pemikiran Aristoteles dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Filsafat Logika, Pengetahuan, dan Metafisika ” dalam www.darunnajah.ac.id (10 November 2010).
[9] Bertens, Sejarah………, 155-156.
[10] Ibid., 167.
[11] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika, Asas-asas penalaran sistematis, cet.ke-1 (Yogyajakta: Kanisius, 1996), 13
[12] Bertens, Sejarah......., 168.
[13] Ibid., 169.
[14] Abdullah, Khozin Affandi, Perkembangan Epistemologi dari Periode Klasik sampai Modern (Surabaya: t.p, 2008), 23.
[15] Sunny, “Sillogisme Hipotesis dan Penyimpulan Lain” dalam http://caksunni.blogspot.com (20 Agustus 2009).

AWAL PERTAMA TINGGAL DI TULUNGAGUNG DAN SERUNYA BERBELANJA DI PASAR TRADISIONAL TAMANAN TULUNGAGUNG

Saya dan Zidan (anak saya) di Alun-Alun Tulungagung saat masih seminggu tinggal di Tulungagung,   dan Zidan masih berumur 1 tahun Sudah menj...