MUHAMMAD
IQBAL
Sosok
Pemikir Fenomenal di Dunia Islam Modern
PENGANTAR
Berbicara masalah
Islam dan pemikiran tokoh-tokohnya sungguh akan memerlukan waktu yang sangat
panjang, mengingat banyaknya figur dan aktifitas yang pernah dilakukannya
sehingga mengantarkannya menjadi seorang tokoh, berikut pemikiran-pemikiran
yang telah berhasil mengukir sejarah dan melahirkan peradaban baru bagi umat
Islam. Salah satu tokoh yang menjadi perhatian para pengkaji adalah Muhammad
Iqbal (selanjutnya ditulis Iqbal), seorang muslim mufakkir brilian asal India.
Iqbal adalah
seorang intelektual asal India-Pakistan yang telah melahirkan pemikiran dan
peradaban besar bagi generasi setelahnya. Ia merupakan sosok pemikir multidisiplin,
seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, filosof, pendidik dan kritikus seni.
Menilai kepiawaiannya yang multidisiplin itu, pak Natsir mengatakan,
"tentulah sukar bagi kita untuk melukiskan tiap-tiap aspek kepribadian
Iqbal. Jiwanya yang piawai tidak saja menakjubkan tetapi juga jarang
ditemui". Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan
manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak perubahan
tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hukum Islam dihadapkan
kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah hukum Islam memberi jawaban yang
cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak perubahan ini.
Di dalam kehidupannya, Iqbal
berusaha secara serius terhadap perumusan dan pemikiran kembali tentang Islam.
Meskipun Iqbal tidak diberi umur panjang tapi lewat tarian penanyalah yang
menghempaskan bangunan unionist dan meratakan jalan untuk berdirinya
Pakistan, memang pena lebih tajam dari pada pedang. Dia mengkritik sebab
kemunduran Islam kerena kurang kreatifnya umat Islam, konkritnya bahwa pintu
Ijtihad telah ditutup. Sehingga umat Islam hanya bisa puas dengan keadaan yang
sekarang didalam kejumudan.
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Muhammad Iqbal
1.
Kehidupan Pribadi dan Keluarganya
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot, pada
tanggal 9 Nopember 1877. Sialkot adalah sebuah kota peninggalan dinasti Mughal
India yang sudah lama pudar gemerlapnya. Kota ini terletak beberapa mil dari Jammu
dan Kashmir, suatu kawasan yang kelak terus-menerus menjadi sengketa antara
India dan Pakistan.[1]
Kakek
Iqbal, Syaikh Rafiq adalah seorang penjaja selendang dari Looehar, Kashmir.
Penduduk Kashmir yang awalnya beragama Hindu kemudian telah menganut Islam
selama kurang lebih 500 tahun. Jika diikuti, jejak leluhur Iqbal berasal dari
kalangan Brahmana, subkasta Sapru. Ayahnya, Syaikh Nur Muhammad memiliki
kedekatan dengan kalangan sufi. Karena kesalehan dan kecerdasannya, penjahit
yang cukup berhasil ini dikenal memiliki perasaan mistis yang dalam serta rasa keinginyahuan
ilmiah yang tinggi. Tidak heran, jika Nur Muhammad dijuluki kawan-kawannya
dengan sebutan ”sang filosof tanpa guru” (un parh falsafi).[2]
Ibunda
Iqbal, Imam Bibi, juga dikenal sangat religius. Ia membekali kelima anaknya,
tiga putri dan dua putra, dengan pendidikan dasar dan disiplin keislaman yang
kuat. Di bawah bimbingan kedua orang tuanya yang taat inilah Iqbal tumbuh dan
dibesarkan. Kelak dikemudian hari, Iqbal sering berkata bahwa pandangan
dunianya tidaklah dibangun melalui spekulasi filosofis, tetapi diwarisi dari
kedua orang tuanya tersebut.
Masa
kanak-kanak Iqbal dihabiskan di kota perbatasan Punjab ini melalui kesenangan
berolah raga dan bercengkrama dengan kawan-kawan. Ketika itu ia dikenal
menyukai ayam hutan dan senang memelihara burung merpati.
Di usia
dewasa, Iqbal menghabiskan waktunya di kota Lahore, kuliah di sebuah perguruan
tinggi terkemuka. Sebelum masuk kuliah (1892) Iqbal dinikahkan orang tuanya
dengan Karim Bibi, putri seorang dokter Gujarat yang kaya, Bahadur ’Atta
Muhammad Khan. Dari Bibi, Iqbal dikaruniai tiga orang anak, Mi’raj Begum, yang
wafat diusia muda, Aftab Iqbal, yang mengikuti jejak Iqbal belajar filsafat,
dan salah satu lagi meninggal saat dilahirkan.[3]
Ketika di
Eropa, Iqbal sempat menjalin persahabatan mendalam dengan seorang perempuan
Muslim avant-garde bernama Atiya Begum Faizee. Namun Iqbal lebih suka
memendam cintanya itu karena perbedaan latar belakang keluarga.
Pada tahun
1909, Iqbal dinikahkan dengan Sardar Begum, seorang wanita muda yang cantik namun
rapuh fisiknya. Namun, pernikahan tersebut tidak sempurna. Karena sejunlah
alasan, Iqbal sempat terpisah beberapa lama dengannya. Namun, pada akhirnya
mereka kemudian menikah untuk kedua kalinya (1913). Sardar Begum memberikan
cinta, pengabdian, dan ketenangan batin bagi Iqbal. Namun ia wafat dalam usia
muda (37 tahun). Ia meninggalkan satu putra Javid Iqbal dan seorang putri,
Munirah. Rentang masa berpisah dengan Sardar Begum, Iqbal sempat menikah dengan
Mukhtar Begum yang meninggal pada tahun 1924.[4]
2.
Pendidikan dan Karir Pekerjaan
Di masa
kecilnya Iqbal telah dididik dengan dasar agama yang kuat. Ia dididik untuk
belajar menghafal al-Qur’an, baik oleh orang tuanya maupun oleh guru-gurunya di
Maktab (madrasah).
Atas
prestasinya, selepas dari sekolah menengah (1893), Iqbal memperoleh beasiswa ke
perguruan tinggi. Mir Hassan, seorang Profesor Sastra Timur di Scocth Mission
College, membujuk karibnya Nur Muhammad agar mengizinkan Iqbal melanjutkan
pendidikannya di Sekolah Tinggi modern
pertama di wilayah tersebut. Di sekolah yang didirikan para missionaris
Scotlandia dan Belanda inilah semangat intelektual Iqbal mulai tumbuh. Belum
lagi didikan privat Mir Hasan dalam pengetahuan kesusasteraan Arab, Urdu, dan
Persia, semakin menghidupkan bakat kepenyairan Iqbal.
Dua tahun
kemudian, Iqbal menyelesaikan kuliah ilmu-ilmu humaniora di sekolah tersebut.
Karena kecemerlangannya, Iqbal didorong oleh para dosen dan orang tuanya untuk
melanjutkan kuliah di Government College, Lahore. Di salah satu lembaga
pendidikan terbaik anak benua India ini,
Iqbal menekuni sastra serta filsafat Arab dan Inggris. Ia lulus dengan predikat
cumlaude.
Melalui
beasiswa yang diperolehnya, Iqbal kemudian melanjutkan kuliah magisternya di
bidang filsafat. Pada masa ini, perkembangan intelektual Iqbal tak lepas dari
persahabatan guru-murid dengan Sir Thomas Arnold, guru besar filsafat yang
sangat mengerti tentang kebudayaan Islam dan kesusasteraan Arab. Dialah yang
memberi motivasi kepada Iqbal untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di Eropa.[5]
Meski
mencintai filsafat, Iqbal berupaya memperbaiki keadaan sosialnya dengan menjadi
pengacara. Namun ujian awal ilmu hukum yang diikutinya pada tahun 1898
mengalami kegagalan. Setahun kemudian (1899), Iqbal kembali menunjukkan
kejeniusannya dengan menjadi satu-satunya calon yang lulus ujian komprehensif
akhir sehingga mendapat penghargaan berupa medali emas. Beberapa bulan setelah
meraih gelar masternya di bidang filsafat itu, Iqbal kemudian mendapat tawaran
menjadi asisten dosen.
Karir
pertamanya, ia ditunjuk sebagai asisten pengajar bahasa Arab di Macleod-Punjab
Reader of Arabic, University Oriental College (1899-1990). Di samping itu ia
diminta mengajar pula mata kuliah sejarah dan ekonomi. Setelah itu, Iqbal
mengundurkan diri untuk menjadi asisten tidak tetap profesor bahasa Inggris di
Islamic and Goverment College selama tiga tahun (1901-1904).[6] Sebenarnya, pada masa-masa
ini (1901-1905) Iqbal yang ambisius, mengalami ketidak puasannya akan profesi
akademisnya itu. Di samping prestise sosial yang rendah, perannya sebagai
profesor sangat terkekang. Ketika itu, pemerintah Inggris mengawasi pendidikan secara
ketat sehingga kebebasan berpikir dan berekspresi menjadi terbatas.
Untuk
itulah Iqbal mencoba pada tahun 1901 mengikujti seleksi sebuah posisi bergengsi
sebagai Komisi Asisten Tambahan (Extra Assistant Commisioner). Meski
telah melewati berbagai tahap ujian, Iqbal gagal diterima dengan alasan tidak
lulus uji kesehatan.
Tahun 1905,
Iqbal berangkat studi ke Eropa. Sambil menyiapkan disertasi doktornya di bidang
filsafat, Iqbal terlebih dahulu memperdalam pengetahuan filsafatnya di
universitas Cambridge, dengan mengambil kuliah bachelor pada jurusan filsafat. Di
bawah bimbingan Dr. John Mc. Taggart dan James Ward, Iqbal menyelesaikan
studinya dalam bidang filsafat moral (1907). Di samping itu, Iqbal mengambil
pula kesempatan di universitas tersebut untuk menimba ilmu dari dua orientalis
terkemuka saat itu, E. G. Brown dan Reynold A. Nicholson.
Selanjutnya
Iqbal meneruskan niatnya pergi ke Jerman. Pertama-tama ia belajar bahasa dan
filsafat Jerman di universitas Heidelberg dari Fraulein Wagnast dan Fraulein
Senecal. Secara menakjubkan, Iqbal berhasil menguasai bahasa Jerman dalam waktu
tiga bulan. Di universitas Munchlah Iqbal mengajukan disertasinya yang
berjudul ”The Development of Metaphysic in Persian: A Contribution to the
History of Islamic Philosophy” kepada Prof F. Homel. Gelar dictoris philosophiae
gradum diperolehnya pada tahun yang sama.[7]
Tidak puas dengan itu, Iqbal kembali ke London untuk
menyiapkan bekal bagi profesi pragmatisnya di India kelak. Ia belaja di
Lincoln’s Inn untuk gelar pengacara dan berhasil lulus pada tahun 1908. Selama
beberapa waktu, Iqbal sempat pula masuk ke School of Political Sciences dan
menggantikan Sir Thomas Arnold selama kurang lebih tiga bulan.
Iqbal kembali ke tanah airnya, India pada tahun 1908.
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Iqbal menjalani profesi sebagai pengacara
yang berwenang dalam urusan naik banding. Di samping itu ia pun kembali
mengajar sebagai asisten professor di Government College, memberi kuliah
filsafat, sastra Arab, dan sastra Inggris selama kurang lebih satu setengah tahun.
Meski ia mengundurkan diri dari aktivitas pengajaran
dan lebih memusatkan diri pada profesi kepengacaraannya, Iqbal tetap aktif di
perguruan tinggi tersebut pada berbagai lembaga dan badan yang ada di dalamnya.
Bahkan, Iqbal sempat menjabat Dekan Fakultas Kajian-Kajian ketimuran dan Kepala
Jurusan Kajian-Kajian Filsafat.
Sejak Oktober 1908 sampai dengan tahun 1934 atau emat
tahun sebelum wafatnya, Iqbal setia menjalani praktik pengacaranya sambil terus
aktif sebagai pengajar, penulis, penyair, sekaligus politisi. Iqbal meninggal
dunia pada 21 April 1938[8] pada usia 65 tahun
setelah mengalami sakit agak lama. Sayangnya beliau tidak sempat
melihat sebagian dari usaha dan impiannya yang kemudian setelah ia wafat
menjadi kenyataan. Sesaat sebelum
wafatnya, sang penyair besar itu menggoreskan sajak: Bila beta telah pergi
meninggalkan dunia ini, Tiap orang kan berkata ia telah mengenal beta. Tapi
sebenarnya tak seorang pun kenal kelana ini, apa yang ia katakan siapa yang ia
ajak bicara dan dari mana ia datang.[9]
Nama Iqbal
diabadikan menjadi nama Lapangan Terbang Pakistan, Allama Iqbal International
Airport. Dan generasi setelahnya, tidak hanya Muslim, mengenangnya sebagai
seorang pemikir besar yang mengabadikan fikirannya dengan puisi karena Iqbal
begitu menghargai seni, khususnya puisi. Puisi, menurut Iqbal, adalah cahaya
filsafat sejati dan pengetahuan yang lengkap. Tujuannya membantu manusia dalam
perjuangannya melawan semua keburukan dengan mengimbau kepada unsur-unsur
kemuliaan. Peranan seni adalah bersifat sosial. Ia adalah penuntun kemanusiaan.
B.
Buah Karya Muhammad Iqbal
Muhammad
Iqbal adalah seorang yang kreatif berpuisi. Segala pemikiran dan perjuangannya
terpancar dalam puisinya yang bernafaskan Islam dengan pengolahan bahasa dan
bait syair yang indah. Oleh kerana itu beliau lebih dikenal sebagai sastrawan
besar islam. Antara karya puisinya yang dianggap besar pernah diterbitkan ialah
Asrari Khudi (Rahasia Pribadi), terbit pada tahun 1915, diikuti dengan Rumuz
bi Khudi (Rahasia tidak Mementingkan Diri Sendiri), pada tahun 1917, Fayami
Mashriq (Pesan Untuk Timur), Tulu'ul Islam (Munculnya Islam) dan
banyak lagi pada tahun-tahun berikutnya, bukunya yang dianggap penting ialah Reconstruction
of Religious Thought in Islam (Membina Kembali Cita-Cita Keagamaan Dalam
Islam), Develoment of Methaphysies in Persia : A Contribution to the History
of Moslem Philoshopy (perkembangan metafisika Persia suatu sumbangan untuk
sejarah filsafat Islam) dan sebuah lagi yang tidak dapat disiapkannya kerana
sakit tua yang dideritanya ialah The Reconstruction of Muslim Jurisprudence.
Kebanyakan sajak-sajaknya ditulisnya dalam bahasa Parsi dan Urdu.
C.
Pemikiran Muhammad Iqbal
1. Pertautan Barat dan Timur
Iqbal, penyair dan filsuf Timur, telah
mengukir hidupnya sedemikian rupa hingga akan dikenang umat manusia ratusan
tahun yang akan datang, sebab seluruh karyanya dalam bentuk puisi dan prosa
dalam bahasa Urdu, Parsi, dan Inggris telah terdokumentasi dengan baik.
Intelektualisme Iqbal dapat ditinjau dari berbagai jurusan: puisi, filsafat,
hukum, pemikiran Islam, dan kebudayaan dalam makna sempit.
Dalam semua wilayah itu, Iqbal telah
mengerahkan hampir seluruh energinya dengan tujuan tunggal: reorientasi
nilai-nilai kemanusiaan Timur dan Barat dengan landasan tauhid yang teramat
kokoh. Peradaban Barat, sekalipun dalam beberapa segi dikaguminya, dalam
perspektif moral transendental sudah sangat jauh meluncur ke jurang berbahaya.
Sementara Timur yang terpasung dalam spiritualisme, telah lama pula dalam
keadaan steril tanpa dinamika. Lalu untuk membangun sebuah peradaban baru yang
anggun dan segar diusulkannya agar Barat dan Timur diprtautkan dengan
mengawinkan penalaran (ziraki) dan cinta (’isyq).[10]
Dalam sajak di bawah ini dapat dilihat
betapa rindunya Iqbal untuk melihat Barat dan timur tidak lagi berada dalam dua
kutub dikotomis, tetapi dalam posisi yang saling mengisi:
Bagi Barat penalaran (akal)
merupakan instrumen kehidupan;
Bagi Timur rahasia alam semesta
terletak dalam cinta (’isyq).
Dengan bantuan cinta akal akan
berkenalan dengan Realitas;
Sedangkan untuk penguatan
fondasinya, cinta menerima kekuatan dari akal.
Bila cinta dan penalaran saling
berpelukan,
Akan terciptalah sebuah dunia
baru;
(oleh sebab itu), Bangkitlah dan
bangunlah sebuah dunia baru itu.
Dengan mengawinkan cinta dan
penalaran.
Obsesi Iqbal adalah cepat terwujudnya
saling pengertian spiritual antara Barat
dan Timur. Bertolak dari doktrin al-Qur’an tentang persaudaraan universal umat
manusia, penyair ini pada masa hidupnya amat gelisah menyaksikan konflik
berkepanjangan antara Barat dan Timur. ”Keperluan yang mendesak sekarang”,
tulis William O. Douglas dari Mahkamah Agung Amerika Serikat beberapa dekade
yang lalu, ” ialah terciptanya saling pengertian antara Barat dan timur.
Keperluan akan saling pengertian ini adalah untuk level intelektual tertinggi,
sebab dengan cara begitu, peradaban-peradaban yang berbeda masing-masing berhak
atas kebesarannya sendiri—boleh jadi akan saling mengenal dan memahami antara
satu dengan lainnya. Pengenalan akan membuahkan toleransi, saling menghormati,
dan saling mengagumi.”[11]
Iqbal adalah seorang pemikir kontemporer
yang sangat gigih melawan rasialisme yang telah membelah dan menghancurkan
persaudaraan universal antarumat. Dalam suratnya yang tertanggal 24 Januari
1921 kepada Dr. Nicholson, Iqbal mengkritik Ernest Renan yang mengatakan bahwa
ilmu pengetahuan adalah musuh besar Islam. Renan sama sekali salah, kata Iqbal.
Musuh Islam yang terbesar menurut Iqbal adalah gagasan tentang ras (race-idea)
yang juga sebenarnya merupakan musuh terbesar kemanusiaan. Oleh sebab itu,
menjadi kewajiban seluruh pecinta kemanusiaan untuk berontak melawan hasil
temuan setan yang mengerikan ini.
Demi penyatuan umat manusia di muka
bumi, kata Iqbal, al-Qur’an mengabaikan perbedaan-perbedaan kecil antarsesama. Untuk tujuan ini ia mengutip surat Ali-Imran ayat 64: ”Marilah kita bersatu
atas platform yang sama antara kita”. Dan bagi Iqbal, gagasan tentang
persaudaraan universal umat manusia ini tidak mungkin menjadi kenyataan, bila
kekuatan-kekuatan sejarah masih disominasi oleh budaya sekularistik-ateistik.
2. Pemikiran tentang Al-Qur’an
Sebagai seorang yang terdidik dalam keluarga yang kuat memegang prinsip
Islam, Iqbal meyakini bahwa al-Qur’an adalah benar firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dengan pernyataannya “The
Qur’an Is a book which emphazhise deed rather than idea” (al-Qur’an adalah
kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun dia berpendapat
bahwa al-Qur’an bukanlah undang-undang. Dia berpendapat bahwa penafsiran
al-Qur’an dapat berkembang sesuai dengan perubahan jaman, dan pintu ijtihad
tidak pernah tertutup. Tujuan utama al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran
manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, jika
al-Qur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah yang dituntut untuk
mengembangkannya. Dalam istilah fiqh hal ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam pandangan Iqbal
adalah sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam. Disamping itu al-Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah
satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun
al-Qur’an tidak melarang untuk memperimbangkan karya besar ulama terdahulu,
namun masyarakat harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif
untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Akibat pemahaman yang kaku
terhadap ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap
berjalan di tempatnya.[12]
Iqbal juga mengeluh tentang ketidakmampuan masyarakat India
dalam memahami al-Qur’an disebabkan tidak memahami bahasa arab dan telah salah
mengimpor ide-ide India (Hindu) dan Yunani ke dalam Islam dan Al-Qur’an. Iqbal
begitu terobsesi untuk menyadarkan umat Islam untuk lebih progresif dan dinamis
dari keadaaan statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen
telah gagal menuntun ummat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi
disebabkan terlalu mementingkan legalitas kehidupan duniawi. Sedangkan
kegagalan Kristen adalah dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan
Negara, undang-undang dan organisasi disebabkan terlalu mementingkan segi
ibadah ritual. Dalam kegagalan kedua agama tersebut, menurut Iqbal, al-Qur’an
berada di tengah-tengah dan sama-sama mengajarkan keseimbangan kedua kehidupan tersebut,
tanpa membeda-bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan agama tidak
ada pemisahan sama sekali. Inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide
berdirinya Negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu.
3. Pemikiran tentang Hadith
Sejak dulu hadith memang selalu menjadi
bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan orientalis.
Tentu saja maksud dan titik berangkat dari kajian tersebut berbeda pula. Umat
Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap ajaran
Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah. Bahkan
terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam lewat ajaran Islam itu
sendiri.[13]
Iqbal memandang bahwa ummat
Islam perlu melakukan studi mendalam terhadap literatur hadith dengan
berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas
untuk menafsirkan wahyunya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami
nilai-nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan
al-Qur’an.
Iqbal sepakat dengan pendapat Syaikh Waliyullah tentang hadith, yaitu cara
Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara
dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat
memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya,
Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh
umat manusia, tanpa terkait oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut
khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya,
pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal
menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak mempergunakan konsep
istihsan dari pada hadits yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti
hadith-hadith pada jamannya belum dikumpulkan, karena Abu Malik dan Az-Zuhri
telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap
ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadith
daripada koleksi belaka.[14]
4. Pemikiran tentang Ijtihad
Menurut Iqbal, ijtihad
adalah “Exert with view to form an independent judgment on legal question”
(bersungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab
permasalahan hukum). Kalau dipandang, baik hadith maupun al-Qur’an memang ada
rekomendasi tentang ijtihad tersebut. Disamping ijtihad pribadi, hukum Islam
juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang
selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh ahli hukum Islam dalam
mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul sehingga melahirkan
aneka ragam pendapat (madzhâb). Sebagaimana mayoritas ulama, Iqbal membagi
ijtihad ke dalam tiga tingkatan, yaitu :[15]
1. Otoritas penuh dalam
menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri
madzhâb-mazhâb saja.
2. Otoritas relatif yang hanya
dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhâb.
3. Otoritas khusus yang
berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak
terkait pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhâb.
Iqbal menggaris bawahi pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal,
kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl
al-sunnah, tetapi dalam kenyataannya dipungkiri sendiri sejak berdirinya
mazhâb-mazhâb. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir
tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam
suatu sistem hukum al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibat
ketentuan ketatnya ijtihad ini, menjadikan hukum Islam selama lima ratus tahun
mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang . Ijtihad yang menjadi konsep
dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi
dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma’ hanya menjadi
mimpi untuk mengumpulkan ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama yang
tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini dikarenakan
kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal
teori saja, konsekuensinya, hukum Islam pun statis tidak berkembang selama
beberapa abad.
5. Pemikiran Politiknya
Pada
tahun 1927, Iqbal berkiprah di arena politik secara aktif dan Ia dipilih
sebagai perwakilan Dewan Punjab selama tiga tahun. Selanjutnya pada tahun 1930
diangkat menjadi presiden Sidang Tahunan Liga Muslim yang berlangsung di
Allahabad. Dalam kesempatan ini Iqbal mengutarakan ide pembentukan sebuah
negara Islam Pakistan. Ide ini dibentangkan berdasarkan geografi, keagamaan dan
kesejahteraan masyarakat Islam yang jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan
masyarakat Hindu. Tujuan membentuk negara islam itu ditegaskan oleh Iqbal dalam
rapat Liga Muslim pada tahun 1930 yang mendapat dukungan dari para anggotanya.
Sejak saat itu ide dan tujuan pembetukan negara Islam tersebut diumumkan secara
resmi dan kemudian menjadi tujuan perjuangan nasional umat Islam India.
Disebabkan gagasan ide ini, Iqbal telah diberi julukan sebagai : ‘Bapak
Pakistan’. Daerah-daerah yang diinginkan oleh Iqbal menjadi satu negara Islam
India adalah Punjab, daerah perbatasan Utara Sind dan Balukhistan. Di samping
menyuarakan pembentukan negara Islam Pakistan, Iqbal juga menyeru kepada
kebangkitan dan mempererat persaudaraan Islam sedunia. Bagaimanapun sebagai
seorang yang dilahirkan di Timur, Iqbal tetap mempertahankan dan menyanjung
kebudayaan dan keperibadian Timur yang halus, tinggi dan indah. Tentunya
termasuk dalam arti kata Timur itu ialah hasil budaya masyarakat benua kecil
India. Terbentuknya negara islam Pakistan sebagaimana yang dicita-citakan
Muhammad Iqbal dapat tercapai pada tahun 1947 setelah beliau meninggal dunia.
KESIMPULAN
Muhammad Iqbal merupakan sosok
pemikir multi disiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber
internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, pendidik,
filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang sesungguhnya,
Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam secara liberal dan
radikal.
Dalam mencari konsep sastra
Islam, jelas bahwa Muhammad Iqbal adalah salah seorang tokoh besar yang dapat
menjadi contoh. Iqbal tidak hanya semata-mata kepunyaan Pakistan, tetapi juga
kepunyaan seluruh dunia Islam. Semakin dunia sadar akan kemurnian Islam,
semakin terasa kebenaran pendapat dan falsafah Iqbal yang terpancar melalui
syair-syairnya dan terasa dekatnya Iqbal itu dengan diri kita. Rahasia kejayaan
dan kekuatan Iqbal bersumber pada Al-Qura'an dan al-Sunnah yaitu dua sumber
besar yang terbukti mampu merubah dunia dan telah disaksikan sepanjang sejarah
manusia.
Pena lebih tajam dari pedang.
Tak diragukan lagi pengaruh pena Iqbal dalam khazanah pemikiran Islam luar
biasa besarnya. Tak hanya dunia Timur-Islam, tetapi juga Timur-non Islam dan
Barat. Kejeniusannya dalam memadukan syair dan filsafat ditambah lagi sikap
relegiusnya yang mendalam telah menimbulkan decak kagum para filosof dan penyair
di berbagai belahan dunia. Tak hanya itu, Iqbal juga telah melakukan sintesis
pemikiran Timur dan Barat dengan kekhasan yang belum ada bandingnya.
Tanggapannya terhadap
pemikiran Barat mengajarkan umat Islam untuk tidak berapologi atau mencaci maki
setiap bersentuhan dengan khazanah Barat. Sikap yang baik adalah memanfaatkan
apa-apa yang baik dari khazanah Barat untuk merekonstruksi Islam dan
kemajuannya. Terbukti Iqbal banyak terpengaruh para filosof Barat seperti
Nitzsche atau Henry Bergson. Walaupun Iqbal sebagian menolak konsep mereka
tentang moralitas, juga tentang kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis,
tanpa tujuan.
DAFTAR
PUSTAKA
Adian, Donny
Gahral. Muhammad Iqbal (Jakarta: Teraju, 2003), 23.
Fathurrahman,
“Pemikiran Muhammad Iqbal”, Bank Makalah (19 Mei 2008).
Habibi, Ujang. “Muhammad Iqbal dan Pokok-Pokok
Pemikirannya”, dalam Jurnal Dakwah (10 Juni 2009).
Ma’arif, Ahmad Syafi’I. “Muhammad Iqbal
dan Suara Kemanusiaan dari Timur” dalam Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Agama dalam Islam. Yogyakarta: Jalasutra, 2002.
Mahfudz, Herisuanto bin. “Muhammad Iqbal”, dalam Dapur
Kajian Agama Islam. (25 Juni 2008).
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta:
Bulan Bintang 1987.
[1] Donny Gahral Adian, Muhammad Iqbal
(Jakarta: Teraju, 2003), 23.
[2]
Ibid., 24.
[3]
Ibid., 25.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid., 27.
[6]
Ibid., 28.
[7]
Ibid., 29.
[8] Ahmad
Syafi’I Ma’arif, “Muhammad Iqbal dan Suara Kemanusiaan dari Timur” dalam
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam (Yogyakarta:
Jalasutra, 2002), 13.
[9]
Herisuanto bin Mahfudz, “Muhammad Iqbal”, dalam Dapur Kajian Agama Islam,
(25 Juni 2008), 1.
[10]
Ma’arif, Muhammad Iqbal……………, 14.
[11]
Ibid., 16.
[12] Ujang
Habibi, “Muhammad Iqbal dan Pokok-Pokok Pemikirannya”, dalam Jurnal Dakwah
(10 Juni 2009), 1.
[13]
Fathurrahman, “Pemikiran Muhammad Iqbal”, Bank Makalah (19 Mei 2008), t.
h.
[14]
Ujang Habibi, Muhammad Iqbal………., 1.
[15] Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1987), 191.