THE GOD IS STILL
ALIVE (TUHAN MASIH HIDUP):
Menghidupkan
Kembali Akal Dan Hati
Oleh: Lailatuzz Zuhriyah, M.Fil.I
(Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN
Tulungagung)
Abstract:
Reason
(philosophy) and heart (faith) are two of the potential of the human which
given by god to acquire knowledge. Sometimes between reason and heart goes out
of balance and mutual dominate. In the middle ages, the dominance of the Church
makes the reason has been lost and faith has won an absolute. Instead, in the
century of renaissance the reason has won an absolute and faith has been lost.
Apotheosis of reason causes man ignores the faith and the peak is to say “God
is Dead”. Triumph of reason in the end affect the multidimensional crisis.
Modern man thinks that the man is still under the shadow of God and man must
leave His shadow in order to be free and creativity. Moral degradation and
diseases civilization began to plague. Humans are increasingly losing their
humanity. From here, an attempt to revive the mind and hearth is very
important. God isn’t dead, He is still alive and he guided us to find the light
to the darkness.
A.
Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada abad pertengahan
di Eropa Gereja sangat mendominasisegala aspek kehidupan, salah satunya adalah
ilmu pengetahuan. Ketimpangan terjadi akibat akal kalah total menghadapi iman
yang menang mutlak. Manusia yang awalnya dapat membuktikan bahwa dirinya
sanggup berkembang dengan cepat, namun pada abad ini menunjukkan kelambanan
kemajuan manusia. Pemusnahan orang-orang kreatif memenuhi lembaran-lembaran
hitam abad pertengahan karena pemikiran yang berlawanan dengan Gereja.
Kejengkelan, kemarahan, kemurkaan memenuhi akal dan hati manusia akibat
dominasi Gereja. Keinginan untuk mengakhiri dominasi itu sirna dengan kenyataan
bahwa perlawanan akan berujung jalan menuju akhirat (mati).
Cogito Ergo Sum Descartes ternyata mampu mengawali untuk menjebol
bendungan yang kokoh itu. Argumen-argumen yang dilontarkan Descartes adalah
bertujuan untuk melepaskan filsafat dari kekangan Gereja, dan terbukti bahwa
pemikirannya tidak mendapat tentangan dari Gereja. Dari sinilah kemudian akal
berpesta pora merayakan kebebasannya yang telah terpenjara kurang lebih 1500
tahun lamanya dan memunculkan banyak filosof-filosof abad modern. Dari sinilah
babak baru renaissance dimulai, akal (filsafat) dan hati (iman) bertarung berebut
dominasi untuk menguasai jalan hidup manusia. Hasilnya adalah akal (filsafat) mulai
lepas kendali dan iman (hati) mulai tersingkir.
Puncak dari kemenangan akal adalah jargon “Tuhan
Sudah Mati”. Meskipun makna “Tuhan Sudah Mati” itu adalah refleksi dari manusia
modern yang mulai mengokohkan bangunan ilmu pengetahuan dan menafikan Tuhan.
Namun kemudian, pemikiran tersebut mulai lepas kendali dan terang-terangan
beranggapan bahwa manusia masih di bawah bayang-bayang Tuhan dan manusia harus
meninggalkan bayang-bayang-Nya. Di dalam bayang-bayang Tuhan, manusia tidak
akan bebas dan berkreativitas. Oleh karena itu, maka manusia harus
menghilangkan bayang-bayang Tuhan. Dengan menghilangkan bayang-bayang Tuhan
manusia akan bebas secara penuh dan mempunyai kehendak untuk berkuasa atas
segalanya. Dan akhirnya Tuhan telah benar-benar mati bagi mereka.
Kemenangan akal pada akhirnya berdampak pada krisis
multidimensional. Watak sekuler dan positivistik membuat manusia mengalami
degradasi moral dan ketimpangan-ketimpangan nilai. Alam dan manusia tak lagi
bersahabat, penyakit-penyakit peradaban mulai mewabah menghilangkan sisi
kemanusiaan manusia. Oleh karena itu, perlu adanya rekonstruksi paradigma untuk
mengatasi masalah-masalah tersebut dengan menawarkan menghidupkan dan
mengharmonisasi antara akal dan hati.
B.
Paradigma Tuhan Sudah Mati ala Nietszche
Friedrich Wilhelm Nietzsche adalah seorang filsuf
Jerman dan seorang ahli filologi yang meneliti teks-teks kuno, kritikus budaya,
penyair, dan komposer.[1] Ia
dilahirkan di Saxony Prusia pada tanggal 15 Oktober 1844 dan meninggal di
Weimar 25 Agustus 1900 pada usia 55 tahun.[2] Ia
merupakan salah seorang tokoh pertama dari eksistensialisme modern yang
ateistis.[3]
Ayahnya adalah pendeta Lutheran Carl Ludwig Nietzsche dan ibunya bernama
Franziska. Nama Friedrich Wilhelm Nietzsche diberikan oleh ayahnya sebagai
bentuk penghormatan terhadap Kaisar Prusia Friedrich Wilhelm IV yang memiliki
tanggal lahir yang sama. Nietzsche masuk sekolah asrama di Pforta pada tahun
1858 dan meperoleh nilai tinggi dalam bidang agama, sastra Jerman, dan zaman
klasik.[4]
Tahun 1864 ia belajar di Universitas Bonn bidang teologi dan filologi klasik,
namun sayangnya hanya satu tahun ia belajar di sana kemudian pindah ke Leipzig.
Nietzsche dipanggil Universitas Basel untuk mengajar filologi pada tahun
1869-1879.[5]
Ungkapan Tuhan sudah mati ala Nietzsche bukan
masalah filosofis semata-mata, sebab kebudayaan Eropa saat itu telah
menunjukkan bahwa manusia mulai meninggalkan kepercayaannya pada iman dan
kepercayaan agama. Statement Tuhan mati bukan berarti penolakan terhadap Tuhan An Sich. Tetapi lebih merujuk kepada
Tuhan yang dahulu pernah hidup kemudian ditinggalkan orang. Jika demikian, maka
Nietzsche lebih tepat disebut sebagai anti Tuhan, bukan ateis. Ia mengingkari
Tuhan secara eksplisit dan pengingkarannya tersebut merupakan sanggahan melawan
kepercayaan adanya Tuhan. Kepercayaan terhadap tidak adanya Tuhan merupakan
sebuah kesimpulan, bukan titik tolak dari pemikirannya.
Dengan kematian Tuhan dalam “The Madman”-nya, Nietzsche seolah-olah menegaskan bahwa hanya
dengan hal itulah sejarah manusia akan dapat mencapai fase yang lebih baru dan
tinggi.[6]
Dari sini kemudian akan melahirkan “superma” yang akan menggantikan Tuhan.
Manusia mempunyai kehendak untuk berkuasa dengan menyadari bahwa manusia dapat
mempergunakan dengan sepenuhnya kemampuannya. Bagi Nietzsche, agama merupakan
unsur negatif dalam perkembangan pribadi seseorang. Agama hanya mementingkan
hubungan manusia dengan Tuhan. Selain hal itu, dianggap tidak sakral dan tidak
penting sehingga harus dijauhi. Namun, pemikiran Nietzsche ini adalah fakta
yang terjadi dalam agama Kristen. Baginya agama menumbuhkan dan menanamkan
suatu budya yang bertentangan dengan kodrat manusia. Menurutnya, untuk dapat
mengarungi kehidupan sesuai dengan yang dicita-citakan, kehidupan harus
dibebaskan dari belenggu agama yang dilambangkan oleh kekuatan Gereja.
Nietzsche
percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi manusia tanpa
Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi
kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya.
Pengakuan bahwa ‘Tuhan telah mati’ adalah bagaikan sebuah kanvas kosong. Ini
adalah kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain, kreatif—suatu
kebebasan mutlak untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk menerima beban masa
lampau. Orang-orang akhirnya belajar untuk menciptakan kehidupan mereka kembali
akan mewakili suatu tahap baru yang baru dalam keberadaan manusia, sang Ubermensch.
‘Tuhan telah mati’ adalah motivasi bagi proyek filsafat terakhir Nietzsche
yang tidak terselesaikan, ‘evaluasi terhadap semua nilai’.[7]
Filsafat Nietzsche tentang kematian Tuhan tidak
lepas dari zamannya. Kebencian Nietzsche terhadap agama muncul ketika Tuhan
hanya dijadikan pelarian oleh manusia di dunia nyata. Banyak aspek yang ia
abaikan dan tidak seimbang dalam memahami agama yang benar. Ubermensch yang ia tawarkan nampak hanya
sebatas utopia saja karena ia sendiri mengakui belum ada manusiayang bisa
dianggap ubermensch. Keradikalannya
terlihat ketika dia mengatakan bahwa ubermensch
bisa ada jika manusia terlebih dahulu mengadakan transvaluasi atas nilai-nilai
yang ada untuk bisa mendapatkan nilainya sendiri. Aspek manusia di dalam
relasinya dengan sesama ia abaikan. Nilai yang secara pribadi dihidupi justru
bisa menjadi bencana bagi umat manusia karena tidak ada sebuah peraturan yang
dijalankan sebagai sebuah kesepakatan.
Betapapun
kontroversialnya, Nietzsche memang hadir untuk mengguncang. Ia melawan arus
zamannya, ketika orang begitu optimis pada dunia. Ia membalikkan keyakinan
orang pada ilmu pengetahuan dan agama. Ia juga berteriak sinis terhadap
kekuasaan, ketika banyak orang di zamannya takluk dan menghamba pada negara.
Bagi Nietzsche, semua ini adalah rintangan yang harus diatasi agar manusia
menjadi kuat. Semua ini hanyalah ilusi, yang akan membuat orang puas dan
berhenti mencari.[8]
Yang
perlu diketahui, meskipun ia dicemooh dan dicap ateis oleh orang-orang, namun
di akhir hidupnya ia menyebut-nyebut nama Tuhan dan begitu merindukannya.
Pikiran-pikirannya yang dianggap tak lebih dari lamunan kosong manusia tak
waras menyebabkan dia juga dijuluki “gila”.
C.
Menghidupkan Kembali Akal dan Hati
Dalam sejarah filsafat, akal dan hati bertarung
mati-matian saling mendominasi untuk menguasai jalan hidup umat manusia.
Penghargaan terhadap akal terlalu tinggi, sehingga hati (agama) ditinggalkan.
Kekacauan nilai pun terjadi akibat akal dijadikan satu-satunya ukuran instansi
tertinggi. Karena hasil dari akal adalah beragam temuan (relativisme kebenaran),
sehingga kehidupan menjadi guncang akibat munculnya sofisme. Pada abad
pertengahan, seakan terbalik 180 derajat, akal kalah total dan hati (iman
Kristen) menang mutlak. Akal di-peti es-kan oleh Gereja, sehingga sains dan
filsafat mengalamai stagnansi dan tidak berkembang sampai kemudian muncullah
Descartes sebagai pendobrak awal untuk melepaskan filsafat dan sains dari
cengkeraman Gereja. Akal pun mendapatkan tempat kembali dan hati (iman) mulai
tersingkir kembali.
Dari fakta sejarah filsafat tersebut dapat diambil
hikmah bahwa ternyata ketidakharmonisan dalam peggunaan akal dan hati akan
berujung kepada krisis nilai dan kemanusiaan. Betapa tidak, di satu sisi
pendewaan terhadap rasio telah menjerumuskan manusia ke dalam sekulerisasi
kesadaran dan ketidakberartian hidup. Di lain sisi terpaut pada hati (iman)
saja akan mematikan sains dan filsafat. Bila hubungan antara hati dan akal
diputuskan, maka manusia akan memperoleh kenyataan bahwa pertanyaan tentang
rumusan hidup ideal tidak akan pernah terjawab.
Upaya menghidupkan kembali akal dan hati adalah
proyek besar yang sangat sulit bagi manusia modern yang terjebak dalam
jaring-jaring positivistik yang berujung sekulerisme. Namun hal yang dirasa
berat itu tetap harus diupayakan. Akal (termasuk di dalamnya juga indera) dan
hati (iman) harus dijalankan secara
seimbang oleh manusia bila ingin sempurna. Potensi tersebut harus dilakukan
secara simultan (serentak) dan seimbang. Bila salah satu mulai mendominasi yang
lain, maka kehidupan akan mulai terancam dan sejarah sudah membuktikan hal itu.
Begitu juga orang beragama yang tidak menyeimbangkan penggunaan kedua potensi
tersebut, maka dikatakan agamanya kurang utuh, ia akan berkembang secara
parsial dan tidak utuh. Manusia yang baik ialah manusia yang dapat
mengembangkan akal (termasuk indera) dan hati (iman) secara seimbang sesuai
dengan tuntutan ajaran Tuhan Yang Maha Pintar.[9]
Kita akan dapat memahami dengan jelas keseimbangan
dalam penggunaan 3 potensi (indera, akal, dan hati) melalui cara manusia
memperoleh pengetahuan. Untuk memperoleh pengetahuan empiris (yang dapat
diindera), manusia dapat menggunakan potensi inderanya (empirisisme). Sedangkan
untuk mendapatkan pengetahuan tentang objek yang tidak dapat diindera, tetapi
dapat dipikirkan secara logis, maka manusia dapat memanfaatkan potensi akalnya
(rasionalisme). Sedangkan untuk memperoleh pengetahuan di luar jangkauan indera
dan akal (pengetahuan supra rasional) maka manusia dapat menggunakan potensi
hatinya.
Masing-masing potensi yang dimiliki manusia akan
berjalan seimbang dan saling melengkapi tatkala manusia mampu
menghidupkan/memfungsikan ketiganya (indera, akal, hati). Dalam Islam, ketiga
potensi tersebut disebutkan dan dijelaskan dalam Al-Qur’an. Objek indera
disebutkan dalam surat Al-Ghasyiyah ayat 17-20; objek akal dalam surat
Al-Baqarah ayat 164, 170-171; dan objek kalbu dalam surat Al-Baqarah ayat 154.[10]
Ketiga potensi tersebut akan nampak urgensinya
ketika seseorang ingin memperoleh pengetahuan. Sebagai contoh untuk mengetahui
rasa cabai, maka cukup mencicipinya dengan lidahnya, dan setelah itu baru
tahulah bahwa ternyata rasa cabai itu pedas. Itu cukup karena hanya itulah yang
dapat dicapai. Dalam hal dan tujuan ini, ia tidak perlu menggunakan akal dan
hatinya. Namun, ketika ia ingin mengetahui mengapa rasa cabai itu pedas, ia
dapat menggunakan akalnya. Dengan akalnya ia mengetahui bahwa ada hukum yang mengatur cabai agar ia
menyerap zat pedas saja untuk dikandungnya. Hal ini memang tidak akan diketahui
oleh indera. Namun jika ia ingin tahu juga hakikat sesuatu yang mengatur hukum tersebut, itu hanya mungkin dapat
dicapai dengan hati (kalbu).
Menghidupkan dan mendamaikan kembali akal dan hati
adalah hal yang dirasa penting untuk dilakukan saat ini untuk menjawab rumusan
hidup yang ideal. Tiga dasa warsa terakhir menjelang berakhirnya abad ke-20
terjadi perkembangan baru yakni manusia mulai menyadari bahwa selama ini ia
telah salah dalam menjalani kehidupannya. Manusia modern mulai merindukan
dimensi spiritual yang hilang dari kehidupannya. Krisis global yang serius
yaitu krisis kompleks dan multidimensional dapat mengancam kepunahan ras
manusia di planet ini akibat pemujaan yang berlebihan terhadap sains. Di satu
sisi pembuatan nuklir dan senjata-senjata besar oleh negara-negara kaya cukup
menghancurkan dunia beberapa kali. Di lain sisi kelebihan penduduk, polusi
udara dan teknologi industri menjadi penyebab degradasi hebat pada lingkungan
alam yang sepenuhnya menjadi gantungan hidup umat manusia. Dan beberapa
penyakit-penyakit peradaban lain yang terjadi akibat ketidakharmonisan antara
akal dan hati.
D.
Tuhan Masih Hidup: Menemukan Cahaya dalam Kegelapan
Upaya menghidupkan kembali akal dan hati serta
mengharmonisasikan keduanya adalah upaya untuk mendapatkan pengetahuan yang
sejati. Akal tanpa hati akan menjadi buta, sedangkan hati tanpa akal akan
menjadi pincang. Kolaborasi antara akal dan hati akan menuntun manusia untuk
menemukan cahaya di dalam kegelapan. Al-qur’an sebagai kitab suci umat Islam
memberikan penghargaan kepada akal dan hati. Manusia dengan akalnya tidak mampu
menembus hal-hal yang sifatnya supra rasional, karena akal sifatnya terbatas,
oleh karena itu diperlukan hati untuk memahaminya.
Agama berhubungan dengan Tuhan, ilmu berhubungan
dengan alam, agama membersihkan hati, ilmu mencerdaskan otak, agama diterima
dengan iman sedang ilmu diterima dengan logika dan bersifat rasional, yaitu dapat
dipahami dan diterima nalar. Jadi, bisa di katakan bahwa agama (hati) dan ilmu (akal) adalah dua hal yang saling berkaitan dan tidak
dapat dipisahkan satu sama lain ibarat nafas dan kehidupan, tiada kehidupan
tanpa nafas demikian juga tiada nafas tanpa kehidupan keduanya mempunyai peran
masing-masing, namun saling melengkapi dan saling mendukung satu dengan yang
lain. Bila salah satunya tidak ada, maka tidak akan ada kehidupan.
Saat mendapatkan masalah atau musibah datang
berturut-turut, maka semakin lama manusia melawannya, manusia akan merasa
semakin lemah dan kalah, rasa kesendiriannya akan membeku, mereka berfikir
bahwa tidak ada jalan untuknya dan tak ada yang mampu untuk membantunya.
Setelah proses itu berlangsung secara terus-menerus dalam kehidupannya maka
secara tidak langsung atau dalam fitrahnya maka mereka akan mencari kekuatan
yang diyakini oleh mereka bisa membantunya. Suatu kekuatan mutlah yang dapat
menolongnya dari amukan gelombang laut masalah yang mereka terima. Sebab tanpa
kekuatan itu, maka mereka akan merasakan tenggelam akan keputusasaan dan tak
mungkin bisa sampai ke pantai ketenangan dengan selamat. Dikala rasa gundah,
galau, dan putus asa kian memuncakitulah, secara tiba- tiba ia akan merasakan
ada kekuatan yang begitu kokohmendekat pada mereka, sehingga secara tidak
langsung atau reflex spontanitas, mereka akan melantangkan lafadzNya.Setelah
itu ia akan merasakan tenang kembali. Bak secercah sinar lembut yang terbit
perlahan tapi kuat membukamata mereka seiring menancapnya keyakinan baru yang
mengokohkannya sehingga membuat segala keraguan enyah dari mereka.
Tuhan masih
hidup, Ia belum mati. Dialah yang menerangi segenap manusia dengan obor akal
pikiran dan hati. Tinggal bagaimana manusia memanfaatkannya untuk dapat
menemukannya. Manusia adalah wadah untuk menampung cahaya Allah
dan juga untuk menampung unsur-unsur syetaniyah. Ketika cahaya Allah masuk
dalam Qalbu dan menerangi seluruh tubuh manusia, mengisi setiap bagian terkecil
dari tubuh, maka manusia tersebut akan naik derajatnya bahkan melebihi derajat
malaikat yang juga seluruh tubuhnya tercipta dari cahaya.
Ketika
hati manusia bersih dan bisa menerima cahaya Allah, maka akan terbuka ruang
yang langsung kepada Allah SWT, ruang yang disebut sebagai Alam Rabbaniah yang
membuat manusia bisa mendengarkan firman-Nya dan berkomunikasi dengan sang
pencipta. Ketika cahaya Allah tidak ada maka hati manusia menjadi gelap dan
setan akan menggerakkan manusia untuk melakuan semua sesuai dengan skenerionya.
Ketika cahaya Allah tidak masuk ke dalam hati manusia, maka akan tertutup
dialog antara manusia dengan Allah.
Sehubungan
dengan wawasan dunia seseorang, iman dan rasio memiliki peranan yang saling
berkaitan, saling mendukung. Iman tidak seharusnya mematikan akal, sebaliknya
rasio justru bersikap irasional manakala mengabaikan imanensibilitas. Dengan
rasio, seseorang menjawab beberapa hal sehubungan dengan pertanggungjawaban
imannya. Misalnya dalam kepentingan yang berhubungan dengan
ketegangan-ketegangan filosofis. Dengan iman, rasio diletakkan sedemikian rupa
untuk memahami hal-hal yang beyond logic. Pemahaman logis yang mungkin
memberi validitas yang diinginkan dengan melihat konsistensi dan konsekuensi
logis dari relasi seluruh proposisi-proposisi yang diberikan. Pembuktian
validitas logis (bagi pembuktian sebagai benar) yang lebih dibebankan kepada
keterkaitan-keterkatian logis tertentu, konsisten dan konsekuen.Dengan rasio,
seseorang dimungkinkan untuk memberikan pemahaman penalaran yang terbaik atas
apa yang diyakininya itu. Pemahaman yang berkaitan dengan pengenalan, di mana
oleh pengenalan yang terbaik, seseorang dapat menghidupi keyakinannya tersebut
sebaik mungkin. Sejauh mana seseorang mengenal Tuhannya, sedemikian itulah
penghargaan yang mungkin diberikannya kepada-Nya.[11]
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong,Karen.
1993A History of God. New York:
Alfred A Knop Inc.
Christianto Dm, Iman
dan Akal (rasio) dalam http://filsafat.kompasiana.com/2010/08/11/iman-dan-akal-rasio-222101.html.
Diakses 12 mei 2015.
Letche,
John. 2001. Filsuf Kontemporer. Yogyakarta:
Kanisius.
Magee,Bryan.
2008. The Story of Philosophy. Yogyakarta:
Kanisius.
Maksum, Ali. 2011. Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga
Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
St.
Sunardi. 2011. Nietzsche Cet. IV. Yogyakarta:
LkiS.
Tafsir,Ahmad. 2003.Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales
sampai Chapra Cet. XII. Bandung: Remaja Rosdakarya.
[1] Bryan Magee, The Story of Philosophy (Yogyakarta:
Kanisius, 2008), 172-179.
[2] John Letche, Filsuf Kontemporer (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), 50.
[3] P. A. Van Der Weij, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), 125-132.
[4] Letche, Filsuf........................, 50.
[6] Karen Amstrong, A History of God (New York: Alfred A
Knop Inc, 1993), 356.
[7] Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 171-173.
[8] St. Sunardi, Nietzsche Cet. IV (Yogyakarta: LkiS,
2011), vi.
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales
sampai Chapra Cet. XII (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 256.
[11] Christianto Dm, Iman dan Akal
(rasio) dalam http://filsafat.kompasiana.com/2010/08/11/iman-dan-akal-rasio-222101.html. Diakses 12 mei 2015.