Kamis, 11 Juni 2015

THE GOD IS STILL ALIVE (TUHAN MASIH HIDUP): Menghidupkan Kembali Akal Dan Hati



THE GOD IS STILL ALIVE (TUHAN MASIH HIDUP):
Menghidupkan Kembali Akal  Dan Hati
Oleh: Lailatuzz Zuhriyah, M.Fil.I
(Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Tulungagung)

Abstract:
Reason (philosophy) and heart (faith) are two of the potential of the human which given by god to acquire knowledge. Sometimes between reason and heart goes out of balance and mutual dominate. In the middle ages, the dominance of the Church makes the reason has been lost and faith has won an absolute. Instead, in the century of renaissance the reason has won an absolute and faith has been lost. Apotheosis of reason causes man ignores the faith and the peak is to say “God is Dead”. Triumph of reason in the end affect the multidimensional crisis. Modern man thinks that the man is still under the shadow of God and man must leave His shadow in order to be free and creativity. Moral degradation and diseases civilization began to plague. Humans are increasingly losing their humanity. From here, an attempt to revive the mind and hearth is very important. God isn’t dead, He is still alive and he guided us to find the light to the darkness.

A.      Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada abad pertengahan di Eropa Gereja sangat mendominasisegala aspek kehidupan, salah satunya adalah ilmu pengetahuan. Ketimpangan terjadi akibat akal kalah total menghadapi iman yang menang mutlak. Manusia yang awalnya dapat membuktikan bahwa dirinya sanggup berkembang dengan cepat, namun pada abad ini menunjukkan kelambanan kemajuan manusia. Pemusnahan orang-orang kreatif memenuhi lembaran-lembaran hitam abad pertengahan karena pemikiran yang berlawanan dengan Gereja. Kejengkelan, kemarahan, kemurkaan memenuhi akal dan hati manusia akibat dominasi Gereja. Keinginan untuk mengakhiri dominasi itu sirna dengan kenyataan bahwa perlawanan akan berujung jalan menuju akhirat (mati).
Cogito Ergo Sum Descartes ternyata mampu mengawali untuk menjebol bendungan yang kokoh itu. Argumen-argumen yang dilontarkan Descartes adalah bertujuan untuk melepaskan filsafat dari kekangan Gereja, dan terbukti bahwa pemikirannya tidak mendapat tentangan dari Gereja. Dari sinilah kemudian akal berpesta pora merayakan kebebasannya yang telah terpenjara kurang lebih 1500 tahun lamanya dan memunculkan banyak filosof-filosof abad modern. Dari sinilah babak baru renaissance dimulai, akal (filsafat) dan hati (iman) bertarung berebut dominasi untuk menguasai jalan hidup manusia. Hasilnya adalah akal (filsafat) mulai lepas kendali dan iman (hati) mulai tersingkir.
Puncak dari kemenangan akal adalah jargon “Tuhan Sudah Mati”. Meskipun makna “Tuhan Sudah Mati” itu adalah refleksi dari manusia modern yang mulai mengokohkan bangunan ilmu pengetahuan dan menafikan Tuhan. Namun kemudian, pemikiran tersebut mulai lepas kendali dan terang-terangan beranggapan bahwa manusia masih di bawah bayang-bayang Tuhan dan manusia harus meninggalkan bayang-bayang-Nya. Di dalam bayang-bayang Tuhan, manusia tidak akan bebas dan berkreativitas. Oleh karena itu, maka manusia harus menghilangkan bayang-bayang Tuhan. Dengan menghilangkan bayang-bayang Tuhan manusia akan bebas secara penuh dan mempunyai kehendak untuk berkuasa atas segalanya. Dan akhirnya Tuhan telah benar-benar mati bagi mereka.
Kemenangan akal pada akhirnya berdampak pada krisis multidimensional. Watak sekuler dan positivistik membuat manusia mengalami degradasi moral dan ketimpangan-ketimpangan nilai. Alam dan manusia tak lagi bersahabat, penyakit-penyakit peradaban mulai mewabah menghilangkan sisi kemanusiaan manusia. Oleh karena itu, perlu adanya rekonstruksi paradigma untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dengan menawarkan menghidupkan dan mengharmonisasi antara akal dan hati.

B.       Paradigma Tuhan Sudah Mati ala Nietszche
Friedrich Wilhelm Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli filologi yang meneliti teks-teks kuno, kritikus budaya, penyair, dan komposer.[1] Ia dilahirkan di Saxony Prusia pada tanggal 15 Oktober 1844 dan meninggal di Weimar 25 Agustus 1900 pada usia 55 tahun.[2] Ia merupakan salah seorang tokoh pertama dari eksistensialisme modern yang ateistis.[3] Ayahnya adalah pendeta Lutheran Carl Ludwig Nietzsche dan ibunya bernama Franziska. Nama Friedrich Wilhelm Nietzsche diberikan oleh ayahnya sebagai bentuk penghormatan terhadap Kaisar Prusia Friedrich Wilhelm IV yang memiliki tanggal lahir yang sama. Nietzsche masuk sekolah asrama di Pforta pada tahun 1858 dan meperoleh nilai tinggi dalam bidang agama, sastra Jerman, dan zaman klasik.[4] Tahun 1864 ia belajar di Universitas Bonn bidang teologi dan filologi klasik, namun sayangnya hanya satu tahun ia belajar di sana kemudian pindah ke Leipzig. Nietzsche dipanggil Universitas Basel untuk mengajar filologi pada tahun 1869-1879.[5]
Ungkapan Tuhan sudah mati ala Nietzsche bukan masalah filosofis semata-mata, sebab kebudayaan Eropa saat itu telah menunjukkan bahwa manusia mulai meninggalkan kepercayaannya pada iman dan kepercayaan agama. Statement Tuhan mati bukan berarti penolakan terhadap Tuhan An Sich. Tetapi lebih merujuk kepada Tuhan yang dahulu pernah hidup kemudian ditinggalkan orang. Jika demikian, maka Nietzsche lebih tepat disebut sebagai anti Tuhan, bukan ateis. Ia mengingkari Tuhan secara eksplisit dan pengingkarannya tersebut merupakan sanggahan melawan kepercayaan adanya Tuhan. Kepercayaan terhadap tidak adanya Tuhan merupakan sebuah kesimpulan, bukan titik tolak dari pemikirannya.
Dengan kematian Tuhan dalam “The Madman”-nya, Nietzsche seolah-olah menegaskan bahwa hanya dengan hal itulah sejarah manusia akan dapat mencapai fase yang lebih baru dan tinggi.[6] Dari sini kemudian akan melahirkan “superma” yang akan menggantikan Tuhan. Manusia mempunyai kehendak untuk berkuasa dengan menyadari bahwa manusia dapat mempergunakan dengan sepenuhnya kemampuannya. Bagi Nietzsche, agama merupakan unsur negatif dalam perkembangan pribadi seseorang. Agama hanya mementingkan hubungan manusia dengan Tuhan. Selain hal itu, dianggap tidak sakral dan tidak penting sehingga harus dijauhi. Namun, pemikiran Nietzsche ini adalah fakta yang terjadi dalam agama Kristen. Baginya agama menumbuhkan dan menanamkan suatu budya yang bertentangan dengan kodrat manusia. Menurutnya, untuk dapat mengarungi kehidupan sesuai dengan yang dicita-citakan, kehidupan harus dibebaskan dari belenggu agama yang dilambangkan oleh kekuatan Gereja.
Nietzsche percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya.  Pengakuan bahwa ‘Tuhan telah mati’ adalah bagaikan sebuah kanvas kosong. Ini adalah kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain, kreatif—suatu kebebasan mutlak untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk menerima beban masa lampau. Orang-orang akhirnya belajar untuk menciptakan kehidupan mereka kembali akan mewakili suatu tahap baru yang baru dalam keberadaan manusia, sang Ubermensch. ‘Tuhan telah mati’ adalah motivasi bagi proyek filsafat terakhir Nietzsche yang tidak terselesaikan, ‘evaluasi terhadap semua nilai’.[7]
Filsafat Nietzsche tentang kematian Tuhan tidak lepas dari zamannya. Kebencian Nietzsche terhadap agama muncul ketika Tuhan hanya dijadikan pelarian oleh manusia di dunia nyata. Banyak aspek yang ia abaikan dan tidak seimbang dalam memahami agama yang benar. Ubermensch yang ia tawarkan nampak hanya sebatas utopia saja karena ia sendiri mengakui belum ada manusiayang bisa dianggap ubermensch. Keradikalannya terlihat ketika dia mengatakan bahwa ubermensch bisa ada jika manusia terlebih dahulu mengadakan transvaluasi atas nilai-nilai yang ada untuk bisa mendapatkan nilainya sendiri. Aspek manusia di dalam relasinya dengan sesama ia abaikan. Nilai yang secara pribadi dihidupi justru bisa menjadi bencana bagi umat manusia karena tidak ada sebuah peraturan yang dijalankan sebagai sebuah kesepakatan.
Betapapun kontroversialnya, Nietzsche memang hadir untuk mengguncang. Ia melawan arus zamannya, ketika orang begitu optimis pada dunia. Ia membalikkan keyakinan orang pada ilmu pengetahuan dan agama. Ia juga berteriak sinis terhadap kekuasaan, ketika banyak orang di zamannya takluk dan menghamba pada negara. Bagi Nietzsche, semua ini adalah rintangan yang harus diatasi agar manusia menjadi kuat. Semua ini hanyalah ilusi, yang akan membuat orang puas dan berhenti mencari.[8]
Yang perlu diketahui, meskipun ia dicemooh dan dicap ateis oleh orang-orang, namun di akhir hidupnya ia menyebut-nyebut nama Tuhan dan begitu merindukannya. Pikiran-pikirannya yang dianggap tak lebih dari lamunan kosong manusia tak waras menyebabkan dia juga dijuluki “gila”.

C.      Menghidupkan Kembali Akal dan Hati
Dalam sejarah filsafat, akal dan hati bertarung mati-matian saling mendominasi untuk menguasai jalan hidup umat manusia. Penghargaan terhadap akal terlalu tinggi, sehingga hati (agama) ditinggalkan. Kekacauan nilai pun terjadi akibat akal dijadikan satu-satunya ukuran instansi tertinggi. Karena hasil dari akal adalah beragam temuan (relativisme kebenaran), sehingga kehidupan menjadi guncang akibat munculnya sofisme. Pada abad pertengahan, seakan terbalik 180 derajat, akal kalah total dan hati (iman Kristen) menang mutlak. Akal di-peti es-kan oleh Gereja, sehingga sains dan filsafat mengalamai stagnansi dan tidak berkembang sampai kemudian muncullah Descartes sebagai pendobrak awal untuk melepaskan filsafat dan sains dari cengkeraman Gereja. Akal pun mendapatkan tempat kembali dan hati (iman) mulai tersingkir kembali.
Dari fakta sejarah filsafat tersebut dapat diambil hikmah bahwa ternyata ketidakharmonisan dalam peggunaan akal dan hati akan berujung kepada krisis nilai dan kemanusiaan. Betapa tidak, di satu sisi pendewaan terhadap rasio telah menjerumuskan manusia ke dalam sekulerisasi kesadaran dan ketidakberartian hidup. Di lain sisi terpaut pada hati (iman) saja akan mematikan sains dan filsafat. Bila hubungan antara hati dan akal diputuskan, maka manusia akan memperoleh kenyataan bahwa pertanyaan tentang rumusan hidup ideal tidak akan pernah terjawab.
Upaya menghidupkan kembali akal dan hati adalah proyek besar yang sangat sulit bagi manusia modern yang terjebak dalam jaring-jaring positivistik yang berujung sekulerisme. Namun hal yang dirasa berat itu tetap harus diupayakan. Akal (termasuk di dalamnya juga indera) dan hati (iman)  harus dijalankan secara seimbang oleh manusia bila ingin sempurna. Potensi tersebut harus dilakukan secara simultan (serentak) dan seimbang. Bila salah satu mulai mendominasi yang lain, maka kehidupan akan mulai terancam dan sejarah sudah membuktikan hal itu. Begitu juga orang beragama yang tidak menyeimbangkan penggunaan kedua potensi tersebut, maka dikatakan agamanya kurang utuh, ia akan berkembang secara parsial dan tidak utuh. Manusia yang baik ialah manusia yang dapat mengembangkan akal (termasuk indera) dan hati (iman) secara seimbang sesuai dengan tuntutan ajaran Tuhan Yang Maha Pintar.[9]
Kita akan dapat memahami dengan jelas keseimbangan dalam penggunaan 3 potensi (indera, akal, dan hati) melalui cara manusia memperoleh pengetahuan. Untuk memperoleh pengetahuan empiris (yang dapat diindera), manusia dapat menggunakan potensi inderanya (empirisisme). Sedangkan untuk mendapatkan pengetahuan tentang objek yang tidak dapat diindera, tetapi dapat dipikirkan secara logis, maka manusia dapat memanfaatkan potensi akalnya (rasionalisme). Sedangkan untuk memperoleh pengetahuan di luar jangkauan indera dan akal (pengetahuan supra rasional) maka manusia dapat menggunakan potensi hatinya.
Masing-masing potensi yang dimiliki manusia akan berjalan seimbang dan saling melengkapi tatkala manusia mampu menghidupkan/memfungsikan ketiganya (indera, akal, hati). Dalam Islam, ketiga potensi tersebut disebutkan dan dijelaskan dalam Al-Qur’an. Objek indera disebutkan dalam surat Al-Ghasyiyah ayat 17-20; objek akal dalam surat Al-Baqarah ayat 164, 170-171; dan objek kalbu dalam surat Al-Baqarah ayat 154.[10]
Ketiga potensi tersebut akan nampak urgensinya ketika seseorang ingin memperoleh pengetahuan. Sebagai contoh untuk mengetahui rasa cabai, maka cukup mencicipinya dengan lidahnya, dan setelah itu baru tahulah bahwa ternyata rasa cabai itu pedas. Itu cukup karena hanya itulah yang dapat dicapai. Dalam hal dan tujuan ini, ia tidak perlu menggunakan akal dan hatinya. Namun, ketika ia ingin mengetahui mengapa rasa cabai itu pedas, ia dapat menggunakan akalnya. Dengan akalnya ia mengetahui bahwa ada hukum yang mengatur cabai agar ia menyerap zat pedas saja untuk dikandungnya. Hal ini memang tidak akan diketahui oleh indera. Namun jika ia ingin tahu juga hakikat sesuatu yang mengatur hukum tersebut, itu hanya mungkin dapat dicapai dengan hati (kalbu).
Menghidupkan dan mendamaikan kembali akal dan hati adalah hal yang dirasa penting untuk dilakukan saat ini untuk menjawab rumusan hidup yang ideal. Tiga dasa warsa terakhir menjelang berakhirnya abad ke-20 terjadi perkembangan baru yakni manusia mulai menyadari bahwa selama ini ia telah salah dalam menjalani kehidupannya. Manusia modern mulai merindukan dimensi spiritual yang hilang dari kehidupannya. Krisis global yang serius yaitu krisis kompleks dan multidimensional dapat mengancam kepunahan ras manusia di planet ini akibat pemujaan yang berlebihan terhadap sains. Di satu sisi pembuatan nuklir dan senjata-senjata besar oleh negara-negara kaya cukup menghancurkan dunia beberapa kali. Di lain sisi kelebihan penduduk, polusi udara dan teknologi industri menjadi penyebab degradasi hebat pada lingkungan alam yang sepenuhnya menjadi gantungan hidup umat manusia. Dan beberapa penyakit-penyakit peradaban lain yang terjadi akibat ketidakharmonisan antara akal dan hati.

D.      Tuhan Masih Hidup: Menemukan Cahaya dalam Kegelapan
Upaya menghidupkan kembali akal dan hati serta mengharmonisasikan keduanya adalah upaya untuk mendapatkan pengetahuan yang sejati. Akal tanpa hati akan menjadi buta, sedangkan hati tanpa akal akan menjadi pincang. Kolaborasi antara akal dan hati akan menuntun manusia untuk menemukan cahaya di dalam kegelapan. Al-qur’an sebagai kitab suci umat Islam memberikan penghargaan kepada akal dan hati. Manusia dengan akalnya tidak mampu menembus hal-hal yang sifatnya supra rasional, karena akal sifatnya terbatas, oleh karena itu diperlukan hati untuk memahaminya.
Agama berhubungan dengan Tuhan, ilmu berhubungan dengan alam, agama membersihkan hati, ilmu mencerdaskan otak, agama diterima dengan iman sedang ilmu diterima dengan logika dan bersifat rasional, yaitu dapat dipahami dan diterima nalar. Jadi, bisa di katakan bahwa agama (hati) dan ilmu (akal) adalah dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain ibarat nafas dan kehidupan, tiada kehidupan tanpa nafas demikian juga tiada nafas tanpa kehidupan keduanya mempunyai peran masing-masing, namun saling melengkapi dan saling mendukung satu dengan yang lain. Bila salah satunya tidak ada, maka tidak akan ada kehidupan.
Saat mendapatkan masalah atau musibah datang berturut-turut, maka semakin lama manusia melawannya, manusia akan merasa semakin lemah dan kalah, rasa kesendiriannya akan membeku, mereka berfikir bahwa tidak ada jalan untuknya dan tak ada yang mampu untuk membantunya. Setelah proses itu berlangsung secara terus-menerus dalam kehidupannya maka secara tidak langsung atau dalam fitrahnya maka mereka akan mencari kekuatan yang diyakini oleh mereka bisa membantunya. Suatu kekuatan mutlah yang dapat menolongnya dari amukan gelombang laut masalah yang mereka terima. Sebab tanpa kekuatan itu, maka mereka akan merasakan tenggelam akan keputusasaan dan tak mungkin bisa sampai ke pantai ketenangan dengan selamat. Dikala rasa gundah, galau, dan putus asa kian memuncakitulah, secara tiba- tiba ia akan merasakan ada kekuatan yang begitu kokohmendekat pada mereka, sehingga secara tidak langsung atau reflex spontanitas, mereka akan melantangkan lafadzNya.Setelah itu ia akan merasakan tenang kembali. Bak secercah sinar lembut yang terbit perlahan tapi kuat membukamata mereka seiring menancapnya keyakinan baru yang mengokohkannya sehingga membuat segala keraguan enyah dari mereka.
Tuhan masih hidup, Ia belum mati. Dialah yang menerangi segenap manusia dengan obor akal pikiran dan hati. Tinggal bagaimana manusia memanfaatkannya untuk dapat menemukannya. Manusia adalah wadah untuk menampung cahaya Allah dan juga untuk menampung unsur-unsur syetaniyah. Ketika cahaya Allah masuk dalam Qalbu dan menerangi seluruh tubuh manusia, mengisi setiap bagian terkecil dari tubuh, maka manusia tersebut akan naik derajatnya bahkan melebihi derajat malaikat yang juga seluruh tubuhnya tercipta dari cahaya.
Ketika hati manusia bersih dan bisa menerima cahaya Allah, maka akan terbuka ruang yang langsung kepada Allah SWT, ruang yang disebut sebagai Alam Rabbaniah yang membuat manusia bisa mendengarkan firman-Nya dan berkomunikasi dengan sang pencipta. Ketika cahaya Allah tidak ada maka hati manusia menjadi gelap dan setan akan menggerakkan manusia untuk melakuan semua sesuai dengan skenerionya. Ketika cahaya Allah tidak masuk ke dalam hati manusia, maka akan tertutup dialog antara manusia dengan Allah.
Sehubungan dengan wawasan dunia seseorang, iman dan rasio memiliki peranan yang saling berkaitan, saling mendukung. Iman tidak seharusnya mematikan akal, sebaliknya rasio justru bersikap irasional manakala mengabaikan imanensibilitas. Dengan rasio, seseorang menjawab beberapa hal sehubungan dengan pertanggungjawaban imannya. Misalnya dalam kepentingan yang berhubungan dengan ketegangan-ketegangan filosofis. Dengan iman, rasio diletakkan sedemikian rupa untuk memahami hal-hal yang beyond logic. Pemahaman logis yang mungkin memberi validitas yang diinginkan dengan melihat konsistensi dan konsekuensi logis dari relasi seluruh proposisi-proposisi yang diberikan. Pembuktian validitas logis (bagi pembuktian sebagai benar) yang lebih dibebankan kepada keterkaitan-keterkatian logis tertentu, konsisten dan konsekuen.Dengan rasio, seseorang dimungkinkan untuk memberikan pemahaman penalaran yang terbaik atas apa yang diyakininya itu. Pemahaman yang berkaitan dengan pengenalan, di mana oleh pengenalan yang terbaik, seseorang dapat menghidupi keyakinannya tersebut sebaik mungkin. Sejauh mana seseorang mengenal Tuhannya, sedemikian itulah penghargaan yang mungkin diberikannya kepada-Nya.[11]




DAFTAR PUSTAKA

Amstrong,Karen. 1993A History of God. New York: Alfred A Knop Inc.
Christianto Dm, Iman dan Akal (rasio) dalam http://filsafat.kompasiana.com/2010/08/11/iman-dan-akal-rasio-222101.html. Diakses 12 mei 2015.
Letche, John. 2001. Filsuf Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius.
Magee,Bryan. 2008. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius.
Maksum, Ali. 2011. Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
St. Sunardi. 2011. Nietzsche Cet. IV. Yogyakarta: LkiS.
Tafsir,Ahmad. 2003.Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai Chapra Cet. XII. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Weij,P. A. Van Der. 1991.Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


[1] Bryan Magee, The Story of Philosophy (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 172-179.
[2] John Letche, Filsuf Kontemporer (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 50.
[3] P. A. Van Der Weij, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), 125-132.
[4] Letche, Filsuf........................, 50.
[5]Ibid.
[6] Karen Amstrong, A History of God (New York: Alfred A Knop Inc, 1993), 356.
[7] Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 171-173.
[8] St. Sunardi, Nietzsche Cet. IV (Yogyakarta: LkiS, 2011), vi.
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai Chapra Cet. XII (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 256.
[10]Ibid, 254-255.
[11] Christianto Dm, Iman dan Akal (rasio) dalam http://filsafat.kompasiana.com/2010/08/11/iman-dan-akal-rasio-222101.html. Diakses 12 mei 2015.

AWAL PERTAMA TINGGAL DI TULUNGAGUNG DAN SERUNYA BERBELANJA DI PASAR TRADISIONAL TAMANAN TULUNGAGUNG

Saya dan Zidan (anak saya) di Alun-Alun Tulungagung saat masih seminggu tinggal di Tulungagung,   dan Zidan masih berumur 1 tahun Sudah menj...