Jumat, 11 Juli 2025

Skripsi Instan Menjelang Deadline: Refleksi dan Tawaran Perbaikan Manajemen Bimbingan Akademik

 

"Sinergi yang baik antara sistem, budaya akademik, dan juga kebijakan kelembagaan yang adaptif, akan dapat menciptakan iklim bimbingan yang tidak hanya efisien, tetapi juga lebih bermakna."


Hari Rabu lalu (9/7/2025), saya berkesempatan menguji skripsi bersama dua kolega saya, Bu Khusnul Mufidati dan Bu Irma Fauziyah—dua dosen dari Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) UIN SATU Tulungagung.

Di sela-sela waktu kosong, sambil menunggu mahasiswa berikutnya masuk ruang ujian, kami mengobrol, sesekali bercanda untuk menghilangkan stress.

Salah satu topik pembicaraan kami adalah fenomena yang kerap kali terjadi di kalangan mahasiswa saat mengerjakan tugas akhir, yakni bimbingan ketika menjelang deadline pendaftaran ujian. Fenomena ini tentu saja terjadi di berbagai perguruan tinggi.

Jika diamati, fenomena ini seolah membentuk pola tahunan, yakni mahasiswa yang mengikuti ujian skripsi di gelombang akhir (biasanya terjadi di gelombang 3 dan 4) yang tiba-tiba aktif bimbingan secara intensif menjelang batas akhir pendaftaran ujian dengan berbagai alasan.

Mayoritas dari mereka, sebelumnya sangat santai sekali setelah menyelesaikan ujian proposal, tidak punya target penyelesaian, jarang bimbingan, bahkan tak terdeteksi progress penulisannya.

Namun, ketika pendaftaran ujian dibuka, dan batas akhir pendaftaran telah tiba, mereka mendadak aktif, menghubungi dosen secara maraton, meminta revisi cepat, ada juga yang memohon sembari memaksa untuk menandatangani lembar persetujuan pendaftaran ujian dan berharap bisa langsung mengikuti ujian.

Situasi ini kerap kali menempatkan dosen dalam dilema, antara menjaga mutu akademik atau mengakomodasi kebutuhan mahasiswa agar tidak tertunda kelulusannya.

Fenomena yang seperti ini, tentu saja tidak hanya dialami oleh satu perguruan tinggi saja, tetapi kerap kali dialami oleh beberapa perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.

Di Balik Keterbatasan Dosen

Terkait fenomena ini, tentu kita tidak bisa serta-merta menyalahkan mahasiswa sepenuhnya. Di lain sisi, para dosen pembimbing juga dihadapkan pada beban tridharma yang tidak ringan. Tidak hanya pelaksanaan tridharmanya saja, tetapi juga beban administrasinya juga.

Kegiatan pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta tugas-tugas kelembagaan yang terkadang menyita waktu dan energi, sehingga membuat tidak semua dosen bisa memantau secara detail setiap mahasiswa bimbingannya.

Setiap perguruan tinggi, pasti memiliki sistem informasi akademik yang telah menyediakan daftar nama mahasiswa bimbingan. Namun, dalam tataran praktiknya, rata-rata beberapa dosen tidak menyimpan kontak mahasiswa secara personal atau terkadang tidak mendapatkan sinyal progress karena mahasiswa sendiri pasif.

Tatkala mahasiswa tidak menginisiasi untuk komunikasi dengan pembimbingnya, maka sulit bagi dosen untuk melacak siapa saja mahasiswa yang belum bimbingan atau sejauh mana penyusunan skripsi mereka.

Pengalaman saya, setelah mahasiswa ujian proposal, selalu saya minta membuat grup WA bimbingan. Melalui grup ini, saya bisa memonitor mereka satu per satu, dan menginformasikan kapan saya ada waktu luang untuk mahasiswa bisa bimbingan.

Setelah bimbingan, biasanya saya meminta mahasiswa bimbingan untuk memfoto progress mereka saat bimbingan dan dishare di grup. Tujuannya untuk memacu yang lain agar juga segera bimbingan, karena temannya sudah hampir selesai.

Begitu juga saat skripsi mahasiswa yang rajin, yang selesai bimbingan secara rutin selama 3 bulan, ketika saya menandatangani lembar persetujuan ujiannya untuk mendaftar ujian, saya minta untuk memfoto dan share di grup. Tujuannya, agar yang lain menjadi terpacu segera menyelesaikan skripsinya dan mendaftar ujian.

Namun, apakah dengan cara ini, cukup bisa membuat semua mahasiswa benar-benar terpacu untuk selesai tepat waktu? Tidak juga. he...he...

Tentu, masih ada saja mahasiswa yang tidak tertib dan tidak rajin bimbingan. Ini membuktikan bahwa memang sejatinya setiap orang tidak sama, mereka memiliki karakternya sendiri-sendiri.

Sebagai pembimbing, kita sudah berupaya memotivasi, mengarahkan, dan lain sebagainya. Tetapi, jika faktornya adalah dari dalam diri mahasiswa itu sendiri yang tidak bisa mengubah dirinya, maka ini menjadi hal yang sulit untuk dilakukan.

Kebiasaan yang semacam ini, membuat bimbingan cenderung dilakukan mahasiswa secara instan, terburu-buru, dan menggunakan berbagai alasan agar skripsinya bisa segera disetujui pembimbing dan kajur/korprodi, serta dapat segera mengikuti ujian.

Hal ini berdampak pada kualitas skripsi yang jauh di bawah standar. Kalau sudah mepet deadline, pada akhirnya, jurus pamungkas yang kerap kali keluar adalah, “ya sudahlah, yang penting ujian dulu, nanti disempurnakan pasca-ujian.”

Budaya Akademik yang Perlu Dibenahi

Fenomena menurunnya kualitas tugas akhir karena mahasiswa baru muncul bimbingan saat akan ditutup jadwal pendaftaran ujian ini, menunjukkan bahwa manajemen bimbingan tugas akhir di beberapa perguruan tinggi masih memiliki celah yang besar, baik dari sisi sistem, maupun budayanya.

Beberapa mahasiswa belum sepenuhnya memiliki kesadaran, bahwa tugas akhir merupakan proses ilmiah, bukan hanya sekedar syarat administratif untuk lulus saja.

Di sisi lain, perlu menyediakan sistem yang handal yang mampu membantu mereka memantau dan membimbing secara efisien.

Situasi yang semacam ini, jika dibiarkan secara terus-menerus, justru akan malah mereproduksi budaya akademik yang permisif terhadap ketidakteraturan, instanisme, dan minimnya refleksi ilmiah.

Maka, sudah saatnya perguruan tinggi yang mengalami hal yang semacam ini, merefleksi dan membangun tata kelola bimbingannya yang lebih sistemik dan adaptif terhadap dinamika dosen dan mahasiswanya.

Tawaran Kebijakan: Menuju Sistem Bimbingan yang Lebih Progresif

Ada beberapa rekomendasi kebijakan kelembagaan, yang mungkin bisa dipertimbangkan oleh pihak fakultas maupun universitas di beberapa perguruan tinggi yang mengalami fenomena ini untuk memperbaiki manajemen bimbingan tugas akhir mahasiswanya, misalnya:

1. Early Warning System (EWS) untuk Bimbingan Skripsi

EWS merupakan sistem peringatan dini yang terintegrasi dalam SIAKAD atau platform tugas akhir yang digunakan oleh perguruan tinggi.

Tujuan dari EWS ini adalah membantu para dosen dan mahasiswa untuk memonitor progress tugas akhirnya tanpa harus mengandalkan ingatan atau komunikasi personal semata.

EWS yang diintegrasikan dengan sistem SIAKAD ini dirancang agar secara otomatis mampu melakukan beberapa hal ini:

  • Mengidentifikasi mahasiswa yang tidak bimbingan selama lebih dari 30 hari;
  • Mengirim notifikasi ke mahasiswa dan dosen jika progres tidak terpenuhi menjelang batas pendaftaran ujian;
  • Menyediakan laporan rutin kepada dosen tentang status masing-masing mahasiswa bimbingan;
  • Penjadwalan Bimbingan berbasis Digital.

2. Penjadwalan Bimbingan Digital

Penjadwalan pembimbingan berbasis digital yang bisa dilakukan oleh Fakultas atau prodi adalah dengan menyediakan template sistem penjadwalan bimbingan berbasis Google Calendar, Moodle, atau LMS internal. Sistem ini bisa juga diintegrasikan dengan sistem akademik atau sistem bimbingan tugas akhir yang digunakan di perguruan tinggi.

Tujuan utamanya adalah mengurangi bimbingan mendadak dan menciptakan rutinitas akademik yang lebih tertib.

Melalui model penjadwalan bimbingan yang seperti ini, dosen bisa menyediakan slot waktu tetap per minggu, di mana mahasiswa wajib memilih slot dan menyertakan bahan diskusi.

3. Zona Kritis Akademik

Tujuan dari adanya "Zona Kritis Akademik" ini adalah untuk memberikan batas kontrol progres tugas akhir mahasiswa tanpa harus menunggu deadline.

Cara yang bisa dilakukan Fakultas atau Prodi adalah dengan menetapkan bahwa minggu ke-10 sampai ke-12 dalam kalender akademik atau jadwal bimbingan sebagai zona kritis.

Mahasiswa yang belum mencapai 70% penyelesaian naskah tugas akhirnya, akan diarahkan ke gelombang berikutnya, demi menjaga mutu.

4. Klinik Skripsi Terstruktur

Hal lain yang juga bisa dilakukan oleh Fakultas atau Prodi adalah dengan menyelenggarakan Skripsi Camp atau Klinik Skripsi intensif menjelang batas akhir pendaftaran ujian.

Dalam hal ini, mahasiswa dibantu untuk mempercepat progress pengerjaan tugas akhirnya di bawah bimbingan tim dosen selama beberapa hari.

Tujuannya adalah untuk mengubah atmosfer skripsi menjadi lebih kolaboratif dan menumbuhkan budaya ilmiah kolektif.

5. Dashboard Monitoring Portofolio Mahasiswa

Universitas perlu membangun fitur pelacak progress tugas akhir yang terintegrasi di sistem akademik, yang dapat melacak unggahan per bab, catatan bimbingan, revisi, dan pengesahan otomatis.

Fitur ini otomatis aktif di sistem setelah mahasiswa selesai ujian proposal dan mendapat dosen pembimbing tugas akhirnya.

Prodi dan Dosen pembimbing bisa memantau semua aktivitas mahasiswa bimbingannya dalam pengerjaan tugas akhir dalam satu tampilan dashboard.

Tujuan penyediaan dashboard ini adalah untuk memberi kemudahan monitoring dan pengambilan keputusan evaluatif terhadap kesiapan ujian mahasiswa.

Dari fenomena di atas, dapat dipahami bahwa mengelola bimbingan tugas akhir mahasiswa, sejatinya bukan hanya perkara teknis antara mahasiswa dan dosen saja, tetapi merupakan cerminan mutu dan budaya akademik sebuah institusi.

Hal yang perlu dilakukan oleh perguruan tinggi adalah dengan berbenah diri, tidak hanya menyalahkan mahasiswa yang terlambat bimbingan, atau mengkritik dosen yang “tidak bisa dihubungi”.

Perguruan tinggi perlu membenahi manajemennya, baik secara struktural maupun kultural terkait dengan bagaimana cara mereka mengelola tugas akhir mahasiswanya.

Tugas akhir mahasiswa seharusnya menjadi ruang refleksi akademik yang dapat membentuk ketekunan mereka secara ilmiah, bukan hanya sekedar dokumen sebagai syarat kelulusan saja.

Jika tugas akhir dikerjakan secara instan oleh mahasiswa karena dikejar tenggat waktu ujian, maka sejatinya kita sedang kehilangan nilai pendidikan dari proses itu sendiri—yakni nilai kedisiplinan berpikir, tanggung jawab ilmiah, serta etos kerja yang terarah.

Oleh sebab itu, kini saatnya perguruan tinggi berhenti membiarkan tugas akhir mahasiswanya menjadi "proyek akhir darurat" saja, dan mulai membangun ekosistem bimbingan yang lebih terstruktur, komunikatif, dan saling mendukung.

Sinergi yang baik antara sistem, budaya akademik, dan juga kebijakan kelembagaan yang adaptif, akan dapat menciptakan iklim bimbingan yang tidak hanya efisien, tetapi juga lebih bermakna.

Melalui komitmen bersama, sinergi sistem yang handal, serta keberanian untuk berbenah, perguruan tinggi akan bisa mengubah krisis menjadi momentum untuk perbaikan.

Karena sejatinya, yang sedang kita perjuangkan bukan hanya sekedar kelulusan mahasiswa saja, tetapi juga kualitas sarjana yang lahir dari proses ilmiah yang berintegritas.


Oleh: Lailatuzz Zuhriyah (Pembimbing dan Penguji Skripsi Mahasiswa)

Skripsi Instan Menjelang Deadline: Refleksi dan Tawaran Perbaikan Manajemen Bimbingan Akademik

  "Sinergi yang baik antara sistem, budaya akademik, dan juga kebijakan kelembagaan yang adaptif, akan dapat menciptakan iklim bimbinga...