Kamis, 22 Mei 2025

Skripsi yang Baik Tidak Lahir Sendiri: Catatan Kritis dari Ruang Ujian


Beberapa hari ini, saya kembali duduk di hadapan para mahasiswa tingkat akhir di ruang ujian skripsi. Saya dan beberapa dosen terjadwal untuk menguji skripsi para mahasiswa tingkat akhir tersebut. Beberapa dari mereka nampak gugup, cemas, gelisah, sembari membawa naskah skripsi yang telah mereka kerjakan berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan lamanya. Saya, dan tentunya dengan para penguji yang lain menyimak, menguji, dan memberi pertanyaan—tapi sebenarnya lebih dari itu, saya juga merenung.

Bagi sebagian mahasiswa, skripsi kerap kali dianggap sebagai sebuah “syarat terakhir” untuk mendapatkan gelar S1. Seolah skripsi hanya sebuah formalitas yang harus dilewati agar mereka bisa segera diwisuda. Namun sesungguhnya, skripsi adalah "wajah akhir" dari seluruh proses pendidikan akademik yang ditempuh oleh semua mahasiswa. Maka, dari sini, pertanyaan pentingnya adalah, "wajah seperti apa yang ingin kita tampilkan?"

Skripsi yang Baik Tidak Lahir Sendiri

Sejatinya, skripsi yang baik bukanlah hasil dari sebuah kebetulan. Skripsi yang baik juga tidak muncul dalam semalam seperti mie instan. Namun, skripsi yang baik adalah yang lahir dari sebuah proses yang panjang, dengan bimbingan yang intens, serius, dan juga penuh perhatian. Tanpa semua itu, maka skripsi hanya akan menjadi sebuah dokumen administratif yang akan segera dilupakan setelah sidang ujian skripsi selesai.

Maka, di sinilah letak pentingnya peran dari dosen pembimbing skripsi. Pembimbing skripsi bukan hanya sekedar bertugas untuk menandatangani lembar persetujuan ujian skripsi saja. Lebih dari itu, pembimbing skripsi adalah seorang mentor yang sejati—yang mampu mengarahkan, membimbing, mengingatkan, dan bahkan mendorong mahasiswa untuk terus berpikir, meneliti, dan menulis dengan serius. Artinya, skripsi yang keren hampir selalu dibelakangnya ada seorang pembimbing yang keren pula.

Namun, catatan pentingnya adalah bahwa pembimbing yang keren bukan berarti selalu memudahkan (dalam arti menyepelekan bimbingan). Pembimbing yang keren justru hadir sebagai mitra intelektual, yang menantang mahasiswa untuk mendalami literatur, memperbaiki logika analisis, dan juga memastikan bahwa arah keilmuan yang ia nampakkan dalam skripsinya tetap lurus sesuai dengan ruh kelimuan prodinya.

Krisis Judul dan Rasa Malas Akademik

Ada satu kegelisahan yang tak bisa saya sembunyikan sebenarnya. Judul-judul skripsi mahasiswa belakangan ini seringkali terasa begitu datar, repetitif, bahkan kehilangan semangat ilmiahnya. Banyak judul yang sebenarnya hanya memindahkan lokasi penelitian dari sekolah A ke sekolah B, tanpa adanya perubahan pendekatan, teori, atau bahkan persoalan yang digarap.

Contoh klasiknya bisa kita temukan dalam beberapa judul skripsi seperti:

“Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD di MI X”
“Efektivitas Media Gambar dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa di MIN Y”
“Peran Guru PAI dalam Menumbuhkan Akhlak Mulia Siswa di SMP Z”

Sebenarnya, judul-judul ini tidak salah. Namun, ketika puluhan mahasiswa mengulang format yang sama dengan hanya mengganti nama lembaganya saja inilah yang menunjukkan adanya fenomena baru, yakni "kelelahan intelektual" yang perlu untuk segera diatasi.

Sebagai alternatifnya, sebenarnya skripsi mahasiswa bisa diarahkan ke isu-isu kontemporer yang lebih menggugah dan relevan, seperti:

“Literasi Digital dalam Penguatan Moderasi Beragama Siswa Madrasah.... ” (PAI)
“Praktik Green Education di Sekolah Dasar.... : Perspektif Ekoteologi Islam” (PGMI)
“Kepemimpinan Transformasional Kepala Madrasah di Era Merdeka Belajar” (MPI)
“Integrasi Nilai Gender dalam Materi Ajar Akidah Akhlak di MTs.... ” (PAI)

Beberapa contoh judul yang seperti ini, tidak hanya menyegarkan, tetapi juga menantang para mahasiswa untuk melihat dunia pendidikan dalam konteks sosial, digital, ekologis, dan spiritual yang lebih luas lagi.

Kunci Ada di Dosen Pembimbing

Dalam proses menghasilkan skripsi yang baik, peran pembimbing sangatlah krusial. Pembimbing yang pasif, yang hanya sekedar memberikan komentar satu-dua baris, atau bahkan hanya menyerahkan pengerjaan dan revisi sepenuhnya kepada mahasiswa tanpa arah yang jelas, susah dicari oleh mahasiswa untuk proses bimbingan, dan hanya menandatangani lembar persetujuan ketika akan mendaftar ujian skripsi saja, sesungguhnya mereka sedang menyia-nyiakan momen emas pendidikan.

Namun sebaliknya, seorang pembimbing yang terlibat aktif, adalah pembimbing yang bukan hanya sekedar membantu mahasiswa dalam menyusun skripsinya saja. Tetapi, ia juga mendidik cara berpikir, membentuk kepekaan akademik, serta mengajarkan etika penelitian. Pembimbing yang seperti inilah yang mampu menjadi "fasilitator intelektual" bagi para mahasiswa bimbingannya, yang bisa membuka pintu-pintu pemahaman yang lebih baru.

Lebih jauh, pembimbing juga harus mampu menjaga agar skripsi para mahasiswa bimbingannya tetap berada dalam semangat keilmuan program studinya. Jangan sampai mahasiswa PAI terlalu larut dalam pendekatan psikologi murni tanpa integrasi nilai keislaman, atau mahasiswa MPI terjebak pada studi manajemen tanpa arah transformatif khas pendidikan Islam, dan lain sebagainya.

Menutup Sidang Skripsi, Membuka Kesadaran

Momen ujian skripsi bukanlah sebuah akhir. Momen ini adalah awal dari tanggung jawab intelektual para mahasiswa untuk memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat. Oleh karena itu, mari kita kembalikan lagi makna skripsi sebagai ruang pembelajaran yang sesungguhnya, bukan hanya sebuah formalitas akademik saja, tetapi menjadi ruang bagi tumbuhnya kesadaran, kepedulian, dan keberanian untuk berpikir kritis dan kreatif.

Dan tugas itu, sebagian besar adalah berada di tangan kita, yakni para dosen, pembimbing, dan pengelola pendidikan. Karena sejatinya skripsi yang baik, tidak pernah lahir sendiri. Skripsi yang baik adalah yang tumbuh dari relasi edukatif yang hangat antara mahasiswa dan pembimbingnya. 😊

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Skripsi Instan Menjelang Deadline: Refleksi dan Tawaran Perbaikan Manajemen Bimbingan Akademik

  "Sinergi yang baik antara sistem, budaya akademik, dan juga kebijakan kelembagaan yang adaptif, akan dapat menciptakan iklim bimbinga...