Jumat, 20 Juni 2025

Menjadi Peneliti yang Paripurna: Antara Tanggung Jawab Keilmuan, Administratif, dan Kebermanfaatan

 



Kemarin malam (19/06), sambil menikmati makan malam sate dan gulai kambing (dapat berkah dari Pak WR-2) saya berdiskusi yang cukup singkat, namun berat, bersama Pak Nur Kafid (Kasubdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat DIKTIS Kemenag RI), Prof. Naim (Ketua LP2M UIN SATU), dan Kiai Nafis (Kapus Pengabdian UIN SATU).

Topik obrolan kami adalah seputar dinamika riset di lingkungan PTKIN—baik tantangan maupun peluangnya. Salah satu isu yang cukup menyita perhatian adalah persoalan tanggung jawab ganda peneliti, yaitu tanggung jawab keilmuan dan administratif.

Pada berbagai skema bantuan riset yang ada di PTKI, baik itu BOPTN, BLU, maupun MoRA The Air Fund (Kerjasama antara LPDP dengan Kemenag RI), kerap kali kita jumpai beberapa peneliti yang unggul dalam hal substansi keilmuan, namun tertatih dalam penyusunan laporan administrasi, terutama Laporan Pertanggungjawaban (LPJ).

Terlebih, skema riset MoRA The Air Fund mensyaratkan basisnya adalah SBM yang perlu menyediakan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana yang rigid, selain menyediakan laporan capaian indikator lainnya (laporan akademik dan publikasi).

Sejatinya, pengelolaan dana riset bukanlah sekedar persoalan teknis semata, tetapi juga cerminan dari integritas dan profesionalisme dari seorang peneliti. Meski, hal ini juga berlaku untuk klaster pengabdian dan publikasi juga.

Dalam hal ini, kita sebagai peneliti perlu menyadari bahwa sejatinya tanggung jawab administratif merupakan amanah. Tanggung jawab keilmuan dan administratif ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Jika satu sisi dibiarkan lusuh, maka nilai dari keseluruhan proses riset pun juga akan ikut merosot.

Seberapa pun berkualitasnya hasil penelitian, bila tidak disertai dengan laporan administratif dan dokumen pendukung yang akuntabel, maka kredibilitas ilmuwan turut dipertaruhkan.

Sebagai peneliti, kita kerap kali terlalu fokus pada substansi keilmuan, mulai dari merumuskan masalah, menyusun metodologi, menganalisis data, serta menyusun laporan akhir. Namun, kita lupa, bahwa dana yang kita kelola adalah bagian dari akuntabilitas publik.

Oleh karena itu, membuat LPJ yang baik sebenarnya bukan sekedar urusan teknis saja, tetapi sebuah tanggung jawab etis dan spiritual.

Dalam konteks ini, tertib administrasi adalah bagian dari etika keilmuan. Hal ini sebagaimana nilai-nilai yang Islam ajarkan, bahwa setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban, termasuk amanah dana bantuan penelitian yang kita kelola.

Namun, refleksi ini tidak cukup hanya tentang tanggungjawab peneliti dalam laporan akademik dan administrasi saja. Ada tanggung jawab lain yang lebih luas, yakni bagaimana hasil riset kita dapat memberikan manfaat kepada khalayak.

Riset tidak seharusnya berakhir pada unggahan outputs dan outcomes di aplikasi penelitian (Litapdimas, Sipinmas, dll.) atau repository institusi saja. Hasil riset harus diolah menjadi bahan dalam pengambilan kebijakan, pengabdian kepada masyarakat, atau inovasi yang solutif.

Hasil riset haruslah bergerak. Hasil riset harus menjadi suluh yang mampu menerangi, memberi arah, bahkan jika mungkin—memberikan jalan keluar bagi problematika yang ada di masyarakat.

Kita sebagai peneliti kerap kali mendaku sebagai bagian dari tradisi keilmuan Islam. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita juga menghidupkan etos ilm li al-‘amal, ilmu yang berbuah amal, bukan hanya ilm li al-ma’rifah, ilmu untuk ilmu semata.

Spirit ini sejalan dengan sabda Nabi, khairunnas anfa‘uhum linnas—sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.

Sebab, dalam perspektif keislaman, ilmu yang tidak bermanfaat sama halnya dengan pohon yang tak berbuah. Dalam hal ini, kebermanfaatan merupakan ruh dari riset.

Saya meyakini bahwa riset yang baik bukan hanya soal novelty, metode, atau ketebalan laporan saja. Tetapi, riset yang baik adalah riset yang dikerjakan dengan integritas, dipertanggungjawabkan dengan akuntabilitas, dan didedikasikan demi kemaslahatan umat.

Perguruan tinggi perlu mendorong lahirnya ekosistem riset yang sehat, yakni riset yang berpijak pada etika, dikelola secara profesional, dan berorientasi pada dampak sosial. Hal ini bukan hanya tugas struktural saja, melainkan bagian dari ikhtiar membangun peradaban ilmu yang bermartabat.

Diskusi kami malam itu juga menyinggung dinamika arah kebijakan riset Kementerian Agama. Dulu, kita mengenal skema ARKAN (Agenda Riset Keagamaan Nasional) sebagai acuan tema riset di PTKIN. Namun kini, ARKAN bertransformasi menuju ARN (Agenda Riset Nasional) versi Kementerian Agama, yang mulai menyesuaikan dengan RIRN (Rencana Induk Riset Nasional).

Perubahan ini sejatinya merupakan bentuk ikhtiar untuk menyesuaikan kebijakan riset Kemenag dengan kiblat riset nasional (RIRN), dan sekaligus mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDG’s).

Sayangnya, dalam praktiknya, penelitian di PTKIN belum cukup kuat untuk mendukung tercapainya SDG’s. Hal ini karena cakupan tema ARKAN sebelumnya sangat terbatas pada isu-isu keagamaan. Padahal, PTKIN juga memiliki fakultas dan pusat studi yang bergerak di bidang sains dan teknologi, sosial terapan, kesehatan, bahkan lingkungan hidup—yang semuanya sangat relevan dengan agenda global seperti SDG’s.

ARN yang sudah tersedia saat ini pun juga akan dikaji kembali, terutama untuk memetakan kembali tema dan sub tema riset PTKI yang sekiranya belum terakomodir di dalam ARN.

Transformasi ke ARN ini semestinya bisa menjadi momentum untuk membuka ruang kolaborasi lintas disiplin, memperluas cakupan riset, serta mewadahi keberagaman keilmuan di PTKIN.

Kita akan terus terkungkung dalam narasi riset yang elitis dan sempit, jika tidak mau berkolaborasi. Padahal, perguruan tinggi semestinya tampil sebagai pelopor integrasi ilmu—mendialogkan keagamaan, saintek, dan kemanusiaan—dalam satu simpul riset yang inklusif dan transformatif. (LZ)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Skripsi Instan Menjelang Deadline: Refleksi dan Tawaran Perbaikan Manajemen Bimbingan Akademik

  "Sinergi yang baik antara sistem, budaya akademik, dan juga kebijakan kelembagaan yang adaptif, akan dapat menciptakan iklim bimbinga...