Hari ini, aku genap berusia 39 tahun. Usia adalah angka, tapi setiap tahun yang dilewati adalah bab dalam buku kehidupan. Usia yang tak lagi muda, tetapi masih ingin terus belajar tentang arti hidup, ketangguhan, dan juga kasih sayang Tuhan yang tak pernah meninggalkan. Di usia ini, aku ingin duduk sejenak, menengok ke belakang—bukan untuk meratapi, tetapi untuk menyulam kembali ingatan, agar tak pernah lupa bahwa aku pernah disapa oleh Tuhan lewat cara yang tak biasa, yaitu penderitaan.
Aku dilahirkan dalam keluarga pengusaha yang cukup mapan. Masa kecilku, terutama saat duduk di bangku TK hingga SD kelas 5, adalah masa ketika dunia terasa begitu nyaman dan mudah. Ayahku adalah seorang pengusaha karet mesin. Selain menerima proyek pemesanan karet mesin di rumah, saat itu ayah juga sedang menangani proyek besar pembangunan pabrik pupuk Kaltim. Kami hidup serba berkecukupan, punya simpanan, dan yang jelas juga punya harapan.
Namun, pada akhir tahun 1997, badai besar datang melanda negeri, yakni krisis moneter. Krisis ini sangat berdampak pada perekonomian keluarga kami. Proyek ayah yang besar itu tak kunjung dibayar. Di tengah keterpurukan ekonomi nasional, ayah lebih memilih menyelamatkan karyawannya daripada dirinya sendiri. Gaji para pekerja tetap ia bayar dari tabungan keluarga, meski itu berarti kami kehilangan segalanya, mulai dari uang, perhiasan, kendaraan, dan juga tabungan.
Ayah sempat menganggur pasca krisis moneter hingga beberapa tahun. Barangkali karena gengsi, atau mungkin karena memang tidak mudah bagi seseorang yang pernah memimpin untuk bekerja di bawah. Maka, ibuku, seorang perempuan sederhana dan tangguh, yang aku banyak belajar dari ketangguhan beliau, akhirnya mengambil alih peran sebagai pencari nafkah. Ibu bekerja di pabrik, sekaligus berjualan jajan dan minuman es yang kami (aku dan kakak laki-lakiku) bantu bungkus sebelum berangkat ke sekolah. Bagi kami, Ibu adalah pahlawan sunyi yang tak pernah mengeluh, meski tubuhnya lelah dan dompetnya sering kosong demi membiayai kehidupan kami sehari-hari, termasuk biaya sekolah kami bertiga (aku, kakak laki-laki, dan adik laki-lakiku).
Saat itu, aku duduk di kelas 6 SD. Tak ada lagi uang saku seperti dulu. Dulu, semua yang aku inginkan, ingin beli jajan dari semua penjual jajan yang ada di sekitar sekolah, pasti terpenuhi. Tak ada lagi sepiring nasi setiap hari seperti dulu. Aku dan kedua saudaraku mulai terbiasa dengan kangkung liar dari sawah dan ikan kecil dari sungai. Sepulang sekolah, aku dan kakak, kadang dengan adik juga, kerap kali mencari kangkung liar di sawah, sambil membawa joran pancing untuk memancing di sungai dan di sawah. Sekresek besar kangkung dan juga setimba ikan selalu berhasil kami bawa pulang. Tentu saja untuk memenuhi kebutuhan lauk sehari-hari. Itulah mengapa sekarang aku ahli mancing, karena sudah terbiasa mancing sejak kecil. Terbiasa karena keadaan.
Masa-masa memancing dan mencari kangkung kami jalani hingga aku lulus SMP. Saat duduk di bangku SMA, sepeda onthel tua selalu menemani perjalananku menuju sekolah dari Sidoarjo ke Surabaya. Sementara teman-temanku melaju dengan motor dan mobil. Aku sempat menjadi bahan bullyan oleh kakak kelas. Bukan hanya sekali. Tapi berkali-kali. Kerap kali terlontar dari mulut mereka, "jangan lupa dikunci setir ya sepedanya", sambil membandingkan sepedaku dengan motor mereka. Kadang ketika di kantin, juga ada saja kakak kelas yang bertanya, "emang cukup ya, ke sekolah hanya bawa uang saku segitu?". Aku pun dengan tegas menyahut, "Mending uang saku sedikit, tapi juara satu terus di sekolah, dari pada uang saku banyak tapi bodoh", sambil bernada kesal.
Namun, justru dari situ, pada akhirnya semuanya berubah. Ternyata, musibah yang Dia datangkan untukku itu mengasahku dan menumbuhkanku. Aku mulai belajar untuk menegakkan punggung dalam kepedihan, menahan lapar sambil tetap menyalakan mimpi. Aku mulai giat belajar, bukan untuk sekedar mencari ranking, tapi karena aku tahu, hanya ilmu lah yang bisa menyelamatkanku. Aku tak lagi menjadi anak perempuan yang manja, dan tak lagi gampang merengek untuk meratapi hidup.
Namun, dari titik nadir itulah aku mulai belajar banyak hal: tentang harga diri, kerja keras, tanggung jawab, dan arti sesungguhnya dari kata "berjuang." Aku mulai menata ulang hidup, termasuk caraku belajar. Dulu, saat segalanya mudah, aku bahkan tidak pernah masuk ranking 10 besar. Tapi saat hidup menuntutku untuk bangkit, aku belajar dengan sungguh-sungguh. Alhamdulillah, di tengah musibah dan cobaan yang menyapa, hal itu membuatku bertumbuh. Saat sekolah di MI kelas 5, aku mulai mendapatkan ranking dua. Di SMP dan SMA, aku selalu mendapat ranking satu. Semua itu bukan karena aku lebih cerdas, tapi karena aku lebih gigih. Aku ingin keluar dari kemiskinan, bukan untuk balas dendam, tapi agar bisa lebih banyak memberi.
Sejak sekolah SMA, aku mulai mengajar ngaji anak-anak di rumah, membuka TPQ kecil di rumah, membuka bimbel (El-Zahra Learning Center), menginisiasi TPQ di mushola kampung sambil mencari donatur agar anak-anak kampung bisa mengaji dan mendapat seragam gratis, juga mengupayakan menyekolahkan guru TPQ untuk sekolah PGPQ agar memiliki sertifikat pengajar Al-Quran profesional, bahkan menginisiasi pembelajaran qiroah untuk ibu-ibu tahlil di mushola secara gratis. Semua berawal dari keprihatinan akan kondisi anak-anak kampung yang banyak tidak mengaji, dan ibu-ibu jamaah tahlil yang petugas qiroahnya itu-itu saja. Dari keprihatinan itulah kemudian tumbuh cinta.
Kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2004 adalah babak baru. Aku kuliah sambil tetap membimbing TPQ & Bimbel, mengajar LBBQ di masjid komplek perumahan, dan aktif di beberapa organisasi. Saat kuliah, aku selalu memperoleh IPK terbaik setiap semester dan mendapat beasiswa penuh. Aku lulus dalam 7 semester, dan meraih predikat lulusan terbaik dan tercepat. Meski aku bukan dari Fakultas Tarbiyah, aku memilih untuk melanjutkan studi Akta IV di STAI Al-Khoziny selama 1 tahun agar bisa mengajar. Namun, cita-citaku tidak berhenti menjadi seorang guru. Sejak awal kuliah, aku ingin menjadi seorang dosen, dan aku terus berjuang sekuat tenaga mewujudkan impian itu. Setelah menyelesaikan S2, aku sempat menjadi Dosen Luar Biasa di IAIN Sunan Ampel Surabaya (2012), sebelum akhirnya menjadi dosen PNS di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung (akhir 2013, saat alih status dari STAIN Tulungagung menjadi IAIN Tulungagung).
Di kampus inilah (UIN SATU) aku tumbuh menjadi akademisi yang lebih matang dan terasah. Aku banyak belajar dari para senior dan para pimpinan yang menginspirasi dan berdedikasi tinggi. Aku bersyukur diberi kepercayaan memegang berbagai amanah, mulai dari jabatan sebagai Kepala Pusat Pengabdian kepada Masyarakat LP2M (2017), Sekretaris LP2M (2018), Plt. Kepala Pusat Studi Gender dan Anak LP2M (2018), Sekprodi S2 PAI Pascasarjana (2019-2022), hingga sekarang (2022 sampai sekarang) sebagai Kepala Pusat Penelitian pada LP2M UIN SATU, serta dipercaya menjadi Sekretaris Forum Kepala Pusat Penelitian (Kapuslit) PTKIN se-Indonesia. Gelar Doktor (S3) pun sudah kuraih juga. Semua pencapaian itu tentu saja bukan karena aku hebat, tapi karena Allah senantiasa mengiringi setiap langkahku, dan karena aku dididik oleh penderitaan untuk tidak pernah menyerah.
Semua ini sejatinya bukan tentang pencapaian semata. Ini adalah tentang rasa syukur, tentang sebuah perjalanan yang begitu panjang dari seorang anak perempuan yang pernah diremehkan karena miskin, hingga kini dipercaya untuk mengemban amanah ilmu hingga di tingkat nasional. Usia 39 tahun sejatinya bukan sekedar angka. Ini adalah saksi, bahwa betapa Allah menggiring setiap langkahku dari kegelapan menuju cahaya, dari luka menuju makna, dan dari air mata menuju keberkahan.
Usia 39 tahun ini aku maknai sebagai sebuah momen perenungan, bukan tentang sejauh mana aku telah melangkah, tapi seberapa dalam aku bisa berterima kasih. Terima kasih kepada Tuhan yang memberi cobaan sebagai bentuk cinta. Terima kasih kepada ibu dan ayah yang telah mengajarkan tanggung jawab dalam wujud yang paling nyata. Juga terima kasih kepada masa kecilku yang getir, karena dari situlah aku bertumbuh, belajar menjadi manusia yang tangguh.
Tulisan ini sejatinya bukanlah bermaksud untuk pamer pencapaian. Tapi untuk mengingatkan diriku sendiri, bahwa semua yang kuraih hari ini adalah buah dari keberanian kecil untuk tidak menyerah di masa lalu. Aku pernah kaya, pernah jatuh, tapi aku belajar tumbuh. Dan itu lebih dari cukup. Aku juga menulis ini untuk siapa saja yang hari ini sedang merasa berada pada titik nadir. Yakinlah, bahwa tak ada luka yang sia-sia. Tak ada derita yang tak mengandung hikmah. Bahkan, dari reruntuhan harapan pun, kita bisa membangun masa depan yang lebih kuat.
Dalam perjalanan hidupku, aku banyak belajar, bahwa menjadi perempuan mandiri dan tangguh adalah sebuah panggilan spiritual, bukan hanya sekedar respons terhadap penderitaan saja. Melalui perspektif feminisme spiritual, aku menyadari, sejatinya hidup ini mengajarkanku bahwa ketangguhan perempuan bukanlah bentuk perlawanan atas kodrat, melainkan pengejawantahan dari kekuatan ilahiah yang hadir dalam rahim kehidupan.
Dalam keheningan, dalam air mata yang tak terlihat, dalam doa yang tak bersuara, perempuan mendidik, membangun, dan menyalakan harapan. Dalam konsep filsafat Pendidikan Islam ditegaskan bahwa manusia—laki-laki maupun perempuan—adalah khalifah yang membawa amanah perubahan. Maka, kemandirian dan ketangguhan perempuan bukan sekedar sebuah pilihan, tetapi ibadah panjang yang dibangun di atas cinta, keikhlasan, dan juga perjuangan.
Aku tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tapi, satu yang pasti, aku ingin terus menjadi manusia yang belajar, yang memberi, dan yang menebar manfaat. Karena bagiku, kebahagiaan tertinggi bukanlah saat kita meraih mimpi, tapi saat kita bisa membawa orang lain ikut merasakan cahaya dari mimpi itu. Maka, di usia ini aku hanya berdoa, semoga langkah-langkah kecilku ini bisa menjadi jejak yang berarti, baik untuk keluargaku, para murid-murid dan mahasiswaku, juga untuk semesta yang lebih ramah dan penuh berkah.
Terima kasih duhai Rabb-ku, karena Engkau pernah mengajarkanku lewat lapar, air mata, dan keterbatasan. Aku tahu, itu pelukan-Mu. Dan aku memeluknya kembali, dengan penuh rasa syukur.
Selamat ulang tahun untuk diriku. Semoga terus tangguh, bertumbuh, rendah hati, dan bermanfaat. Aamiin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar