Selasa, 13 Mei 2025

Qaddukal Mayyas: Mencintai Tuhan Lewat Bahasa Tubuh

"Selama ini, dalam pandangan filsafat dualisme klasik (Plato dan Plotinus), kerap kali menganggap tubuh sebagai beban spiritual. Tubuh dianggap sebagai penjara jiwa (soma sema). Tidak hanya itu, dalam teologi klasik patriarkal (Islam dan Kristen Abad Pertengahan), tubuh sering diasosiasikan dengan hawa nafsu. Oleh karena itu, harus ditaklukkan. Padahal, dalam Islam, jika dikaji secara mendalam, tubuh bukan lawan dari jiwa, tapi wadahnya. Tubuh adalah perantara bagi manusia untuk beribadah, mencinta, dan juga merenung. Bahkan, di dalam tasawuf, gerakan tubuh bisa menjadi bentuk zikir, sebagaimana dalam tarian para darwish."

Lagu Qaddukal Mayyas bukanlah shalawat, melainkan sebuah lagu pujian bernuansa cinta yang berasal dari tradisi musik Arab, khususnya dari kawasan Syam (Suriah, Palestina, Lebanon). Lagu ini populer dalam genre muwashshahat, yaitu bentuk puisi dan musik klasik Arab yang berkembang sejak masa Andalusia.

Secara harfiah, judul “Qaddukal Mayyās” berarti “tubuhmu yang berlenggok indah” atau “sosokmu yang anggun seperti ranting lentur”. Lagu ini adalah puisi cinta yang menggambarkan kekaguman luar biasa terhadap keindahan seorang kekasih, baik dari segi fisik maupun pesona gerak-geriknya. Jika diamati, kalimat-kalimat dalam lagu ini sangat metaforis dan penuh dengan simbolisme estetis.

Meski tidak dikategorikan sebagai shalawat, tetapi lagu ini bisa dianalisis dengan pendekatan filosofis-sufistik. Tidak hanya itu, pendekatan teologis feminis dan fenomenologi tubuh ala Maurice Merleau-Ponty pun bisa dikombinasikan untuk membedah makna dari lagu ini.

Sekilas, lagu ini terdengar seperti lagu cinta biasa yang penuh kelembutan, rayuan, dan nuansa sensual. Namun, bagi jiwa-jiwa para pencinta, makna cinta di sini melampaui aspek fisik dan daya tarik lahiriah. Bagi mereka, cinta adalah jalan, yakni sebuah proses untuk menemukan, mengenal, dan akhirnya larut dalam Yang Dicintai, yaitu Tuhan itu sendiri.

Dalam pandangan sufistik, cinta antar manusia merupakan gerbang menuju cinta Ilahi. Perasaan kita terhadap kekasih, bisa menjadi petunjuk bahwa sejatinya kita sedang dipanggil untuk merindukan sesuatu yang lebih tinggi dan agung. Gerak tubuh yang anggun, sorot mata yang memikat, serta suara yang menggoda adalah tanda, yakni ayat-ayat yang mengisyaratkan keindahan dari Sang Maha Pencipta.

Tubuh dan Spiritualitas dalam Islam

Selama ini, dalam pandangan filsafat dualisme klasik (Plato dan Plotinus), kerap kali menganggap tubuh sebagai beban spiritual. Tubuh dianggap sebagai penjara jiwa (soma sema). Tidak hanya itu, dalam teologi klasik patriarkal (Islam dan Kristen Abad Pertengahan), tubuh sering diasosiasikan dengan hawa nafsu. Oleh karena itu, harus ditaklukkan.

Padahal, dalam Islam, jika dikaji secara mendalam, tubuh bukan lawan dari jiwa, tapi wadahnya. Tubuh adalah perantara bagi manusia untuk beribadah, mencinta, dan juga merenung. Bahkan, di dalam tasawuf, gerakan tubuh bisa menjadi bentuk zikir, sebagaimana dalam tarian para darwish.

Dalam perspektif spiritualitas Islam, lagu ini dipandang sebagai puisi tubuh yang mengandung pesan ruhani. Gerak tubuh si kekasih tidak hanya menggoda secara lahiriah, tetapi juga mengetuk kesadaran yang terdalam, bahwa ada sesuatu yang lebih besar, yang lebih indah, dan yang sedang menampakkan Diri melalui bentuk-bentuk yang kita lihat.

Cinta yang Membebaskan, Bukan Menguasai

Dalam pandangan Islam yang menjunjung tinggi keadilan, cinta bukanlah soal memiliki tubuh orang lain. Cinta juga bukan tentang menguasai, tapi tentang ta’aruf, yakni proses saling mengenal secara tulus.

Dalam lagu ini, kekaguman pada sang kekasih tidak berujung pada keinginan untuk mengendalikan atau menaklukkan. Justru sebaliknya, sang pencintalah yang tersentuh, tak berdaya, dan terdiam dalam kekaguman. Inilah cinta yang beretika, yakni cinta yang memandang dan memperlakukan kekasih sebagai pribadi yang utuh (subjek penuh, meminjam istilah Bu Nyai Nur Rofi'ah), bukan hanya sekedar objek semata.

Di ruang-ruang spiritualitas yang adil dan setara, cinta yang semacam ini perlu dirawat. Mengapa demikian? Karena tubuh perempuan—atau siapa pun—bisa dipuji tanpa harus dilecehkan, bisa dikagumi tanpa direndahkan, dan bahkan bisa menjadi jalan untuk mendekat kepada Tuhan, bukan malah menjauh dari-Nya.

Tuhan dalam Tatapan Kekasih (Sufi)

Para penyair sufi kerap kali berkata bahwa mereka merasakan kehadiran Tuhan dalam tatapan sang kekasih. Hal ini bukan karena mereka memuja manusia, melainkan karena mereka memahami bahwa segala keindahan di dunia ini hanyalah bayangan dari Keindahan yang Hakiki. Dalam hal ini, mata kekasih menjadi cermin, yakni tempat Tuhan hadir secara diam-diam, menyapa dengan kelembutan yang nyaris tak terdengar.

Lagu ini, bila didengarkan dengan hati yang hening, bisa menjadi semacam dzikir yang menggetarkan sisi terdalam dari kerinduan manusia pada sesuatu yang transenden. Dalam dunia yang penuh dengan luka dan kebisingan ini, cinta seperti ini merupakan sebuah anugerah, yakni cinta yang lembut, membebaskan, dan menuntun pulang.

Ketika Lagu Menjadi Doa

Dalam ruang spiritual yang inklusif dan setara, lagu seperti Qaddukal Mayyas ini bukan hanya sekedar hiburan semata. Tetapi juga undangan untuk merenung.

Lagu ini mengingatkan kita bahwa tubuh, cinta, dan keindahan bukanlah hal yang terpisah dari spiritualitas, melainkan bagian utuh darinya. Menjalani kemanusiaan kita dengan sepenuhnya, yakni dengan rasa rindu, kekaguman, dan cinta, juga merupakan langkah menuju Tuhan.

Karena sesungguhnya, seperti kata Rabi’ah al-Adawiyah:

"Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka, atau karena ingin surga. Aku menyembah-Mu karena Engkau layak dicinta."

Dan lagu ini, bisa jadi, adalah bentuk cinta yang paling jujur, yakni ketika tubuh, kata, dan jiwa melebur menjadi satu dalam nyanyian rindu kepada Yang Maha Cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Skripsi Instan Menjelang Deadline: Refleksi dan Tawaran Perbaikan Manajemen Bimbingan Akademik

  "Sinergi yang baik antara sistem, budaya akademik, dan juga kebijakan kelembagaan yang adaptif, akan dapat menciptakan iklim bimbinga...