Kamis, 14 Agustus 2025

Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka: Pilar Pendidikan Karakter Rahmatan lil ‘Alamin


"Menjadi Pramuka yang sejati bukan hanya sekedar menghafal Tri Satya dan Dasa Dharma, tetapi menghidupkannya sebagai jalan kekhalifahan di muka bumi."


Hari ini, tanggal 14 Agustus 2025, kita semua memperingati Hari Pramuka. Sejak diresmikan pada tanggal 14 Agustus 1961 oleh Presiden Soekarno, Gerakan Pramuka hadir tidak hanya sebagai gerakan kepanduan saja, tetapi juga sebagai wadah pembinaan bagi generasi muda. 

Gerakan Pramuka mengajarkan tentang keterampilan hidup, kedisiplinan, serta kepemimpinan. Nilai-nilai tersebut, jika dijiwai secara benar oleh seorang Pramuka, maka akan sejalan dengan ajaran Islam tentang pembentukan insan kamil (manusia paripurna).

Namun, esensi sejati dari kegiatan kepramukaan tidak hanya berhenti pada keterampilan teknis semata. Dalam hal ini, Tri Satya dan Dasa Dharma menjadi jantung bagi gerakan ini. Keduanya menjadi kompas moral yang mengarahkan anggota Pramuka untuk menjadi pribadi yang beriman, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi masyarakat.

Jika ditinjau dari perspektif filsafat Islam, sejatinya janji dan nilai-nilai yang terkadung di dalam Tri Satya dan Dasa Dharma ini mencerminkan misi kekhalifahan manusia, yakni menjaga, memakmurkan, serta menebar rahmat bagi seluruh alam.

Hari Pramuka yang saat ini kita peringati, menjadi momen penting bagi kita untuk merefleksikan kembali makna mendalam di balik atribut seragam Pramuka yang kita kenakan.

Lebih dari itu, momen Hari Pramuka juga menjadi sebuah seruan kepada kita untuk menghidupkan kembali ruh Gerakan Pramuka sebagai wadah pendidikan karakter yang bukan hanya membentuk ketangguhan fisik, tetapi juga ketajaman akal dan keluhuran hati, sehingga setiap anggota Pramuka menjadi cahaya rahmatan lil ‘alamin bagi lingkungannya.

Tri Satya dan Pendidikan Karakter Islami

Tri Satya merupakan tiga janji yang diucapkan oleh anggota gerakan Pramuka. Tri satya berisi tiga janji utama untuk mengamalkan kewajiban terhadap Tuhan, negara, dan sesama manusia, serta menepati Dasa Dharma.

Satya yang pertama, jika ditelaah dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, merupakan fondasi utama bagi seluruh pendidikan karakter, di mana ketakwaan merupakan sumber dari segala kebajikan.

Al-Qur’an menegaskan, "Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa" (Q.S. Al-Hujurat: 13). Ketakwaan yang dimaksud di sini, bukan hanya sebatas ritual saja, melainkan kesadaran untuk menjadikan setiap tindakan kita sebagai bentuk dari ibadah juga.

Satya yang kedua, "menolong sesama hidup", merupakan cerminan dari konsep ihsan dan ta’awun (tolong-menolong) dalam Islam.

Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya" (H.R. Ahmad).

Satya yang kedua ini, jika dikaji melalui kerangka pendidikan karakter, mengajarkan kepada kita tentang empati sosial dan tanggung jawab kemasyarakatan yang menjadi inti dari pembinaan generasi yang beradab.

Satya yang ketiga, "menepati Dasa Dharma", mengajarkan kepada kita tentang konsistensi moral. Konsistensi ini, dalam etika Islam, dikenal dengan istilah istiqamah. Tanpa istiqamah, maka nilai-nilai luhur akan mudah terkikis oleh godaan dunia.

Oleh sebab itu, Tri Satya sejatinya bukan hanya sekedar janji yang dihafalkan oleh anggota Pramuka. Lebih dari itu, Tri Satya merupakan sebuah komitmen moral-spiritual untuk menegakkan karakter islami dalam kehidupan sehari-hari seorang Pramuka.

Dasa Dharma: Nilai Luhur Kekhalifahan

Dasa Dharma Pramuka memuat sepuluh nilai yang ideal, mulai dari takwa, cinta alam, disiplin, hingga bertanggung jawab.

Jika ditinjau dari perspektif fisafat pendidikan Islam, nilai-nilai yang terkandung di dalam Dasa Dharma ini sejalan dengan amanah manusia sebagai pemelihara bumi (khalifah fil-ardh).

Sebagai contoh, dharma "Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia", mencerminkan misi dari spirit Islam rahmatan lil ‘alamin yang meniscayakan kepada kita semua agar menjaga harmoni antara manusia dan lingkungan (selaras dengan asta protas Kementerian Agama).

Selain itu, dharma "Patuh dan suka bermusyawarah", memiliki keterkaitan yang kuat dengan prinsip syura dalam Al-Qur’an (Q.S. Asy-Syura: 38).

Musyawarah yang menjadi budaya bangsa kita, bukan hanya sekedar tradisi demokratis saja, melainkan sebuah epistemologi (metode) untuk meraih keputusan yang adil dan membawa maslahat.

Dalam konteks pendidikan karakter, musyawarah akan membentuk kebiasaan dari seseorang untuk berpikir kolektif, mengedepankan kebersamaan, serta menghindari egoisme.

Sementara itu, dharma "Bertanggung jawab dan dapat dipercaya" merupakan inti dari nilai amanah.

Rasulullah SAW pernah bersabda, "Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji.” (H.R al-Baihaqi dan Ahmad).

Sikap amanah ini tidak hanya terbatas pada relasi personal saja, tetapi juga dalam peran sosial dan pengelolaan sumber daya alam juga.

Dari sini dapat dipahami bahwa Dasa Dharma Pramuka merupakan pedoman praktis yang digunakan anggota Pramuka dalam menjalankan tugas kekhalifahan dengan menjunjung tinggi nilai integritas.

Pramuka dan Misi Rahmatan lil ‘Alamin dalam Bingkai Pembangunan Karakter Bangsa

Konsep rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta) merupakan prinsip universal dalam Islam yang menyerukan kepada manusia, khususnya umat Muslim, untuk menebar kemanfaatan dan kemaslahatan bagi seluruh makhluk.

Dalam tataran praktisnya, nilai ini tidak mengenal batas-batas etnis, agama, maupun negara. Nilai rahmatan lil ‘alamin melampaui sekat-sekat identitas demi terciptanya harmoni bagi alam semesta.

Dalam hal ini, Gerakan Pramuka, melalui Tri Satya dan Dasa Dharma, menanamkan kepada anggota Pramuka tentang nilai-nilai yang sejalan dengan prinsip ini, mulai dari nilai ketakwaan, kepedulian sosial, cinta alam, kedisiplinan, dan tanggung jawab.

Meski di dalam Gerakan Pramuka tidak menggunakan istilah rahmatan lil ‘alamin, namun praktik dan pembinaan karakter dalam pendidikan kepramukaan, dapat menjadi salah satu instrumen untuk mewujudkannya.

Dalam konteks pembangunan karakter bangsa, nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka ini, dapat bersinergi dengan visi dan program strategis nasional seperti Asta Protas Kementerian Agama RI yang memprioritaskan beberapa program (meningkatkan kerukunan dan cinta kemanusiaan, serta penguatan ekoteologi), dan Asta Cita pemerintah yang menekankan peningkatan kualitas SDM, ketahanan nasional, dan kesejahteraan rakyat.

Sinergi antara nilai-nilai dalam kegiatan kepramukaan dengan Asta Protas dan Asta Cita ini, dapat menjadi jembatan antara pembinaan generasi muda di lapangan (melalui kegiatan Kepramukaan) dengan kebijakan makro negara. Sehingga, cita-cita mulia untuk membentuk manusia yang berkarakter, unggul, dan membawa rahmat bagi semesta dapat tercapai.

Meskipun Gerakan Pramuka memiliki sistem nilai dan tujuannya sendiri, namun sejatinya, keberadaannya dapat menjadi mitra strategis bagi program-program nasional dalam rangka  membangun peradaban yang adil, damai, dan berkelanjutan.

Pada Hari Pramuka ini, mari kita bersama-sama memperbarui komitmen kita, dengan  menjadikan setiap anggota Pramuka sebagai pribadi yang beriman, berilmu, berakhlak, dan bermanfaat bagi semua makhluk.

Karena sejatinya, menjadi seorang Pramuka yang sejati adalah menjadi insan yang rahmatan lil ‘alamin.

Selamat Hari Pramuka 2025!

"Setia pada Tuhan, tangguh pada tantangan, dan menjadi rahmat bagi semesta."


Penulis:

Kak Laila (Ketua Gudep 03-114 Racana R. A. Kartini, Berpangkalan pada UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung) 

Kamis, 07 Agustus 2025

Menjadi Auditor bagi Diri Sendiri: Refleksi di Tengah Pelatihan Auditor Mutu Internal

 


"Kita semua ini sejatinya adalah auditor. Setidaknya, auditor bagi diri kita sendiri."

-Prof. Dr. Abdul Aziz, M.Pd.I. (Rektor UIN SATU Tulungagung)-
 

Hari ini (07/08) saya mengikuti pelatihan auditor mutu internal ISO 9001:2015 dan 21001:2018 di Gedung Laboratorium Terpadu, lantai dua, kampus UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.

Pelatihan ini diselenggarakan oleh Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) UIN SATU sebagai bagian dari upaya penguatan sistem penjaminan mutu internal.

Lazimnya kegiatan formal di lingkungan perguruan tinggi, sesi pembukaan menjadi bagian yang tak terpisahkan, termasuk sambutan dari Rektor.

Saya tidak hadir sejak awal kegiatan dimulai, karena ada koordinasi mendadak dengan Unit Layanan Pengadaan (ULP) terkait relokasi kantor LP2M.

Saya memasuki ruangan pelatihan saat Pak Rektor sedang memberikan sambutannya. Saya sempat menangkap sebuah pernyataan yang menarik dari Pak Rektor.

Kalimat yang diungkapkannya itu nampak sederhana, namun disampaikan dengan gaya santainya yang khas. Meski demikian, bagi saya pernyataannya itu menyimpan kedalaman makna:

"Kita semua ini sejatinya adalah auditor. Setidaknya, auditor bagi diri kita sendiri."

Kalimat itu kemudian mengendap begitu saja dalam fikiran dan menggelitik hati saya. Mungkin karena saya datang dalam suasana agak terburu-buru dan belum sepenuhnya fokus untuk pelatihan. Belum lagi, tidak ada kursi yang tersisa selain di bagian depan.

Namun, pelan-pelan, kalimat itu justru tumbuh menjadi benih perenungan yang mendalam. Saya kemudian teringat dengan salah satu ajaran paling terkenal dari filsuf Yunani, Socrates:

“An unexamined life is not worth living” – hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi (dijalani).

Di zaman yang sudah sangat modern ini, kita mungkin sudah terbiasa mendengar kata audit dalam konteks yang (nampak) kaku dan administratif.

Kita akan langsung membayangkan tentang dokumen, SOP, kelengkapan eviden, borang, standar mutu, dan lain sebagainya.

Namun, Pak Rektor, dalam satu kalimat pendeknya, mengembalikan audit ke ruang yang lebih filosofis dan spiritual, yakni evaluasi diri.

Evaluasi diri ini merupakan sebuah tindakan reflektif yang seharusnya menjadi bagian dari tradisi keagamaan, pendidikan, dan bahkan keseharian hidup kita.

Dalam sambutan yang saya tangkap sepotong tadi, Pak Rektor sempat melontarkan candaannya:

"Yang paling sering jadi auditor itu ya para ibu-ibu ini, apalagi ke suaminya. Sudah malam belum pulang, langsung diaudit, ‘kamu dari mana saja tadi?’. Belanjaan pun tak luput dari proses audit juga."

Peserta pun spontan tertawa, terutama peserta emak-emak. Namun, di balik guyonan itu, saya menyepakati, dan justru melihat sebuah kenyataan hidup, bahwa memang audit merupakan aktivitas alami manusia. Hanya saja, kerap kali bentuknya tidak terbungkus dalam istilah yang lebih teknis.

Sebenarnya, jika kita mau jujur, bukankah hampir setiap hari, terutama setiap malam hari, kita melakukan audit kecil dalam diri kita sendiri?

Setiap hari, di antara kita mungkin ada yang menilai diri sendiri, apakah hari ini kita sudah cukup produktif? Apakah kita telah berbuat baik kepada sesama? Apakah pekerjaan yang kita lakukan hari ini sudah maksimal? Apakah kita telah menepati janji atau malah menunda-nunda?

Kita mungkin sering merenungkan kesalahan, kegagalan, dan hal-hal yang mungkin sering kali lupa untuk kita syukuri.

Dalam tradisi Islam, audit diri dikenal dengan istilah muhasabah. Umar bin Khaththab r.a. berkata:

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوها قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَأهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ

“Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal” 

Maknanya, dalam hidup, kita senantiasa didorong untuk melakukan evaluasi atas sikap, tindakan, dan orientasi hidup kita. Sejatinya, audit bukan hanya sebuah aktivitas administratif saja, tetapi juga bernilai spiritual dan eksistensial.


Di ruang pelatihan, saya belajar banyak hal yang berkaitan dengan audit mutu, mulai dari perbedaan antara SPMI dengan SPME, siklus PDCA (Plan-Do-Check-Act), prinsip dasar AMI, dan materi lainnya.

Semua hal tersebut dirancang untuk memastikan bahwa lembaga berjalan sesuai dengan arah dan tujuan lembaga.

Namun, kemudian saya mulai merenung, saya bertanya pada diri sendiri, apakah dalam hidup ini, saya juga memiliki standar mutu? Apakah saya punya indikator untuk menilai apakah hidup saya berjalan dengan benar atau tidak? Dan, apakah saya juga punya PDCA pribadi untuk mencapai tujuan hidup saya?

Pertanyaan ini sekilas mungkin nampak berlebihan. Namun, sejujurnya, kita memang sering abai dalam menata hidup dengan kerangka yang sistematis.

Terkadang, kita begitu detail dalam menilai kinerja bawahan. Namun, terkadang kita juga lalai menilai integritas diri kita sendiri. Padahal, jika hidup ini dianalogikan dengan sebuah "organisasi", maka diri kita sendirilah yang menjadi direktur, manajer, sekaligus auditor utamanya.

Setelah belajar tentang auditor mutu internal hari ini, saya meyakini bahwa setiap orang memiliki lembaga penjaminan mutu di dalam dirinya masing-masing.

Lembaga penjaminan mutu dalam diri itu berbentuk nurani. Nurani inilah yang memberikan alarm kepada kita tatkala kita tergoda untuk melakukan kesalahan, dan memberi ketenangan saat kita melakukan kebaikan.

Namun, seperti halnya lembaga, jika tidak diperbarui dan dilatih secara terus-menerus, maka inner quality assurance dalam diri kita ini bisa lemah, bias, bahkan bisa disalahgunakan.

Pelatihan auditor mutu internal hari pertama ini menyadarkan saya, bahwa standar itu penting. Namun, hal yang lebih penting adalah bagaimana kita memiliki kesadaran untuk konsisten dalam menilai dan memperbaiki diri.

Dalam hidup, terutama di dunia kerja, kita mungkin akan menghadapi penilaian dari atasan, lembaga akreditasi, atau auditor eksternal. Namun, semua itu belum seberapa jika dibandingkan dengan penilaian dari Tuhan.

Saya juga teringat dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ . وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ . وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ

"Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka." (H.R. Hakim)

Hadis ini seolah mengajak kepada kita semua untuk menjadikan setiap hari dalam hidup ini sebagai proses improvement.

Sama seperti Sertfikasi ISO yang menuntut adanya peningkatan berkelanjutan (continual improvement), maka hidup kita pun juga seyogianya tidak stagnan. Maka, tanpa audit diri, bagaimana kita bisa tahu mana yang perlu untuk ditingkatkan dalam diri?

Audit diri sejatinya bukan untuk menyiksa diri sendiri. Audit diri bukan alat untuk menghakimi, tetapi untuk memperbaiki diri agar bisa menebar manfaat dalam hidup.

Dalam konteks profesional maupun personal, audit selalu bertujuan menciptakan perbaikan dan memberikan manfaat kepada auditee.

Audit sejatinya mengajak kita untuk berani menghadapi kenyataan, dan lebih dari itu, berani untuk bertanggung jawab atas kenyataan tersebut.

Anehnya, dalam dunia kerja, kita mungkin sering takut diaudit. Saat proses audit, kita merasa diawasi, ditelanjangi kesalahan-kesalahan kita. Tapi, andai kita mau menghayati bahwa kegiatan audit sebagai sarana untuk belajar, maka kita akan menyambutnya sebagai peluang (opportunity)—bukan ancaman.

Begitu pula dengan audit diri, tujuannya bukan untuk mempermalukan masa lalu kita, melainkan untuk memperbaiki diri di masa depan. Maka, kita tak perlu menunggu pelatihan resmi, tak perlu menunggu menjadi pejabat struktural, tak perlu memiliki sertifikat auditor. Kita cukup punya kejujuran dan keberanian untuk melihat diri sendiri apa adanya.

Pelatihan hari ini menjadi momen pengingat, bahwa dalam hidup ini, kita tidak hanya dituntut untuk bekerja dengan baik, tetapi juga menjadi pribadi yang baik. Kita sejatinya bukan hanya sekedar staf, dosen, atau pejabat kampus saja, tetapi juga manusia yang terus bertumbuh, belajar, dan memperbaiki diri.

Barangkali, tidak ada dokumen yang tertulis tentang audit tentang diri kita sendiri, tidak ada borang, tabel temuan, dan daftar corrective action yang harus ditandatangani. Namun, melalui audit diri, hati kita tahu, bahwa Tuhan lebih tahu, apakah hari ini kita lebih jujur, lebih sabar, lebih bermanfaat dari hari kemarin?

Pada akhirnya, saya belajar bahwa menjadi auditor bukanlah sekedar profesi saja, tetapi identitas batiniah setiap pribadi yang ingin agar hidupnya lebih bermakna.

Selain itu, melalui pelatihan ini, saya juga belajar, bahwa mutu bukan hanya soal kinerja lembaga—melainkan soal kualitas diri kita.

Pada akhirnya, saya menulis ini, bukan sebagai laporan pelatihan, tetapi sebagai bahan perenungan dan pengingat bagi diri saya sendiri, bahwa hidup yang berkualitas dan bermakna adalah hidup yang senantiasa diaudit.

Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka: Pilar Pendidikan Karakter Rahmatan lil ‘Alamin

"Menjadi Pramuka yang sejati bukan hanya sekedar menghafal Tri Satya dan Dasa Dharma, tetapi menghidupkannya sebagai jalan kekhalifahan...