Kamis, 07 Agustus 2025

Menjadi Auditor bagi Diri Sendiri: Refleksi di Tengah Pelatihan Auditor Mutu Internal

 


"Kita semua ini sejatinya adalah auditor. Setidaknya, auditor bagi diri kita sendiri."

-Prof. Dr. Abdul Aziz, M.Pd.I. (Rektor UIN SATU Tulungagung)-
 

Hari ini (07/08) saya mengikuti pelatihan auditor mutu internal ISO 9001:2015 dan 21001:2018 di Gedung Laboratorium Terpadu, lantai dua, kampus UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.

Pelatihan ini diselenggarakan oleh Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) UIN SATU sebagai bagian dari upaya penguatan sistem penjaminan mutu internal.

Lazimnya kegiatan formal di lingkungan perguruan tinggi, sesi pembukaan menjadi bagian yang tak terpisahkan, termasuk sambutan dari Rektor.

Saya tidak hadir sejak awal kegiatan dimulai, karena ada koordinasi mendadak dengan Unit Layanan Pengadaan (ULP) terkait relokasi kantor LP2M.

Saya memasuki ruangan pelatihan saat Pak Rektor sedang memberikan sambutannya. Saya sempat menangkap sebuah pernyataan yang menarik dari Pak Rektor.

Kalimat yang diungkapkannya itu nampak sederhana, namun disampaikan dengan gaya santainya yang khas. Meski demikian, bagi saya pernyataannya itu menyimpan kedalaman makna:

"Kita semua ini sejatinya adalah auditor. Setidaknya, auditor bagi diri kita sendiri."

Kalimat itu kemudian mengendap begitu saja dalam fikiran dan menggelitik hati saya. Mungkin karena saya datang dalam suasana agak terburu-buru dan belum sepenuhnya fokus untuk pelatihan. Belum lagi, tidak ada kursi yang tersisa selain di bagian depan.

Namun, pelan-pelan, kalimat itu justru tumbuh menjadi benih perenungan yang mendalam. Saya kemudian teringat dengan salah satu ajaran paling terkenal dari filsuf Yunani, Socrates:

“An unexamined life is not worth living” – hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi (dijalani).

Di zaman yang sudah sangat modern ini, kita mungkin sudah terbiasa mendengar kata audit dalam konteks yang (nampak) kaku dan administratif.

Kita akan langsung membayangkan tentang dokumen, SOP, kelengkapan eviden, borang, standar mutu, dan lain sebagainya.

Namun, Pak Rektor, dalam satu kalimat pendeknya, mengembalikan audit ke ruang yang lebih filosofis dan spiritual, yakni evaluasi diri.

Evaluasi diri ini merupakan sebuah tindakan reflektif yang seharusnya menjadi bagian dari tradisi keagamaan, pendidikan, dan bahkan keseharian hidup kita.

Dalam sambutan yang saya tangkap sepotong tadi, Pak Rektor sempat melontarkan candaannya:

"Yang paling sering jadi auditor itu ya para ibu-ibu ini, apalagi ke suaminya. Sudah malam belum pulang, langsung diaudit, ‘kamu dari mana saja tadi?’. Belanjaan pun tak luput dari proses audit juga."

Peserta pun spontan tertawa, terutama peserta emak-emak. Namun, di balik guyonan itu, saya menyepakati, dan justru melihat sebuah kenyataan hidup, bahwa memang audit merupakan aktivitas alami manusia. Hanya saja, kerap kali bentuknya tidak terbungkus dalam istilah yang lebih teknis.

Sebenarnya, jika kita mau jujur, bukankah hampir setiap hari, terutama setiap malam hari, kita melakukan audit kecil dalam diri kita sendiri?

Setiap hari, di antara kita mungkin ada yang menilai diri sendiri, apakah hari ini kita sudah cukup produktif? Apakah kita telah berbuat baik kepada sesama? Apakah pekerjaan yang kita lakukan hari ini sudah maksimal? Apakah kita telah menepati janji atau malah menunda-nunda?

Kita mungkin sering merenungkan kesalahan, kegagalan, dan hal-hal yang mungkin sering kali lupa untuk kita syukuri.

Dalam tradisi Islam, audit diri dikenal dengan istilah muhasabah. Umar bin Khaththab r.a. berkata:

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوها قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَأهَّبُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ

“Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal” 

Maknanya, dalam hidup, kita senantiasa didorong untuk melakukan evaluasi atas sikap, tindakan, dan orientasi hidup kita. Sejatinya, audit bukan hanya sebuah aktivitas administratif saja, tetapi juga bernilai spiritual dan eksistensial.


Di ruang pelatihan, saya belajar banyak hal yang berkaitan dengan audit mutu, mulai dari perbedaan antara SPMI dengan SPME, siklus PDCA (Plan-Do-Check-Act), prinsip dasar AMI, dan materi lainnya.

Semua hal tersebut dirancang untuk memastikan bahwa lembaga berjalan sesuai dengan arah dan tujuan lembaga.

Namun, kemudian saya mulai merenung, saya bertanya pada diri sendiri, apakah dalam hidup ini, saya juga memiliki standar mutu? Apakah saya punya indikator untuk menilai apakah hidup saya berjalan dengan benar atau tidak? Dan, apakah saya juga punya PDCA pribadi untuk mencapai tujuan hidup saya?

Pertanyaan ini sekilas mungkin nampak berlebihan. Namun, sejujurnya, kita memang sering abai dalam menata hidup dengan kerangka yang sistematis.

Terkadang, kita begitu detail dalam menilai kinerja bawahan. Namun, terkadang kita juga lalai menilai integritas diri kita sendiri. Padahal, jika hidup ini dianalogikan dengan sebuah "organisasi", maka diri kita sendirilah yang menjadi direktur, manajer, sekaligus auditor utamanya.

Setelah belajar tentang auditor mutu internal hari ini, saya meyakini bahwa setiap orang memiliki lembaga penjaminan mutu di dalam dirinya masing-masing.

Lembaga penjaminan mutu dalam diri itu berbentuk nurani. Nurani inilah yang memberikan alarm kepada kita tatkala kita tergoda untuk melakukan kesalahan, dan memberi ketenangan saat kita melakukan kebaikan.

Namun, seperti halnya lembaga, jika tidak diperbarui dan dilatih secara terus-menerus, maka inner quality assurance dalam diri kita ini bisa lemah, bias, bahkan bisa disalahgunakan.

Pelatihan auditor mutu internal hari pertama ini menyadarkan saya, bahwa standar itu penting. Namun, hal yang lebih penting adalah bagaimana kita memiliki kesadaran untuk konsisten dalam menilai dan memperbaiki diri.

Dalam hidup, terutama di dunia kerja, kita mungkin akan menghadapi penilaian dari atasan, lembaga akreditasi, atau auditor eksternal. Namun, semua itu belum seberapa jika dibandingkan dengan penilaian dari Tuhan.

Saya juga teringat dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ . وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ . وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ

"Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka." (H.R. Hakim)

Hadis ini seolah mengajak kepada kita semua untuk menjadikan setiap hari dalam hidup ini sebagai proses improvement.

Sama seperti Sertfikasi ISO yang menuntut adanya peningkatan berkelanjutan (continual improvement), maka hidup kita pun juga seyogianya tidak stagnan. Maka, tanpa audit diri, bagaimana kita bisa tahu mana yang perlu untuk ditingkatkan dalam diri?

Audit diri sejatinya bukan untuk menyiksa diri sendiri. Audit diri bukan alat untuk menghakimi, tetapi untuk memperbaiki diri agar bisa menebar manfaat dalam hidup.

Dalam konteks profesional maupun personal, audit selalu bertujuan menciptakan perbaikan dan memberikan manfaat kepada auditee.

Audit sejatinya mengajak kita untuk berani menghadapi kenyataan, dan lebih dari itu, berani untuk bertanggung jawab atas kenyataan tersebut.

Anehnya, dalam dunia kerja, kita mungkin sering takut diaudit. Saat proses audit, kita merasa diawasi, ditelanjangi kesalahan-kesalahan kita. Tapi, andai kita mau menghayati bahwa kegiatan audit sebagai sarana untuk belajar, maka kita akan menyambutnya sebagai peluang (opportunity)—bukan ancaman.

Begitu pula dengan audit diri, tujuannya bukan untuk mempermalukan masa lalu kita, melainkan untuk memperbaiki diri di masa depan. Maka, kita tak perlu menunggu pelatihan resmi, tak perlu menunggu menjadi pejabat struktural, tak perlu memiliki sertifikat auditor. Kita cukup punya kejujuran dan keberanian untuk melihat diri sendiri apa adanya.

Pelatihan hari ini menjadi momen pengingat, bahwa dalam hidup ini, kita tidak hanya dituntut untuk bekerja dengan baik, tetapi juga menjadi pribadi yang baik. Kita sejatinya bukan hanya sekedar staf, dosen, atau pejabat kampus saja, tetapi juga manusia yang terus bertumbuh, belajar, dan memperbaiki diri.

Barangkali, tidak ada dokumen yang tertulis tentang audit tentang diri kita sendiri, tidak ada borang, tabel temuan, dan daftar corrective action yang harus ditandatangani. Namun, melalui audit diri, hati kita tahu, bahwa Tuhan lebih tahu, apakah hari ini kita lebih jujur, lebih sabar, lebih bermanfaat dari hari kemarin?

Pada akhirnya, saya belajar bahwa menjadi auditor bukanlah sekedar profesi saja, tetapi identitas batiniah setiap pribadi yang ingin agar hidupnya lebih bermakna.

Selain itu, melalui pelatihan ini, saya juga belajar, bahwa mutu bukan hanya soal kinerja lembaga—melainkan soal kualitas diri kita.

Pada akhirnya, saya menulis ini, bukan sebagai laporan pelatihan, tetapi sebagai bahan perenungan dan pengingat bagi diri saya sendiri, bahwa hidup yang berkualitas dan bermakna adalah hidup yang senantiasa diaudit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka: Pilar Pendidikan Karakter Rahmatan lil ‘Alamin

"Menjadi Pramuka yang sejati bukan hanya sekedar menghafal Tri Satya dan Dasa Dharma, tetapi menghidupkannya sebagai jalan kekhalifahan...