LAMPUNG DALAM BINGKAI MUSEUM: REFLEKSI BUDAYA DAN KEHIDUPAN
Hari itu, 20 November 2024, udara Bandar Lampung terasa hangat dengan semilir angin pagi yang membawa semangat baru. Tujuan perjalanan saya adalah Museum Lampung, sebuah tempat yang tak hanya menjadi pusat dokumentasi sejarah, tetapi juga ruang untuk merefleksikan nilai-nilai budaya dan kehidupan masyarakat Lampung. Museum ini juga dikenal sebagai Museum Ruwa Jurai. Sebuah museum yang menjadi titik temu antara masa lalu dan masa kini, memperlihatkan betapa kaya dan dalamnya identitas budaya Lampung.
Begitu tiba di halaman museum, saya langsung terpesona oleh arsitektur bangunannya. Atap museum yang terinspirasi dari bentuk rumah adat Nuwo Sesat, dihiasi ornamen tradisional, memancarkan kesan otentik yang kuat. Halaman yang luas dan rindang membuat suasana menjadi nyaman, seolah mempersiapkan pengunjung untuk perjalanan waktu ke masa lalu.
Museum Lampung buka setiap hari , dengan jam operasional dari pukul 08.00 hingga 14.00 WIB. Adapun harga tiket masuk museum yaitu sebesar Rp5.000 untuk dewasa, Rp1.000 untuk anak-anak, dan Rp2.000 untuk mahasiswa. Cara masuknya pun sederhana, cukup membeli tiket di loket depan dan menyerahkan tiket kepada petugas di pintu masuk. Saat mulai memasuki pintu utama museum, saya disambut ramah oleh petugas museum. Mereka mengarahkan untuk mendaftar dan membeli tiket terlebih dahulu, kemudian memberikan buku kecil yang berisi peta sederhana yang menunjukkan tata letak ruang pameran dan koleksi. Panduan ini memudahkan saya untuk menjelajahi museum dengan alur cerita yang teratur.
Kain Tapis: Menyibak Kekayaan Tradisi
Ruang pertama yang saya masuki adalah pameran kain Tapis, kain tradisional kebanggaan Lampung. Saya terpukau dengan keindahan kain yang penuh dengan benang emas, melambangkan status sosial dan spiritual masyarakat Lampung. Proses pembuatan Tapis bukan sekedar keterampilan, melainkan juga bentuk meditasi—proses panjangnya mencerminkan kesabaran dan dedikasi perempuan Lampung.
Selain Tapis, terdapat juga pakaian adat lengkap dengan aksesorisnya. Setiap elemen pakaian memiliki simbolisme, seperti mahkota yang melambangkan kebijaksanaan dan ornamen emas sebagai lambang kemakmuran. Melihat koleksi ini membuat saya merenungkan betapa eratnya hubungan masyarakat Lampung dengan nilai-nilai spiritual dan estetika.
Ruang Kehidupan: Mengenal Sejarah Lampau
Di ruang lain, saya menemukan koleksi artefak prasejarah seperti kapak batu, gerabah, dan replika peralatan berburu. Artefak ini memberikan gambaran kehidupan manusia purba yang pernah mendiami Lampung. Di sini, saya belajar bagaimana masyarakat Lampung berkembang dari era berburu hingga bercocok tanam, sebuah proses yang merefleksikan daya adaptasi dan kreativitas manusia dalam menghadapi alam.
Lebih jauh, terdapat koleksi senjata tradisional seperti keris dan tombak, yang menjadi simbol keberanian masyarakat Lampung dalam melindungi komunitasnya. Filosofi senjata ini tidak hanya berbicara tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang keberanian moral dan tanggung jawab.
Rumah Adat Nuwo Sesat: Sebuah Refleksi Sejarah
Salah satu koleksi favorit saya adalah replika Nuwo Sesat, rumah adat Lampung. Nuwo Sesat merupakan simbol kebersamaan dan musyawarah, tempat masyarakat berkumpul untuk memecahkan masalah secara kolektif. Konsep rumah panggung ini juga mencerminkan keharmonisan dengan alam—dengan struktur yang mengurangi risiko dari banjir dan melindungi penghuni dari binatang liar.
Masuk ke dalam replika ini, saya seolah dibawa ke zaman di mana masyarakat Lampung hidup berdampingan dalam harmoni, saling membantu dan menjunjung nilai gotong royong. Tempat ini mengingatkan saya akan pentingnya kebersamaan di tengah individualisme yang kerap kita temui di zaman modern.
Naskah Kuno dan Makna Literasi
Ketika langkah kaki saya memasuki ruang terakhir Museum Lampung, saya menemukan sesuatu yang luar biasa—deretan naskah kuno yang berusia ratusan tahun. Di balik lemari kaca yang elegan, terpampang naskah-naskah beraksara Lampung, aksara yang kini mulai jarang digunakan, namun pernah menjadi bagian penting dari peradaban masyarakat setempat. Keberadaan naskah-naskah ini seperti bisikan dari masa lalu, mengingatkan kita akan kejayaan literasi di Lampung yang mungkin selama ini tak banyak diketahui oleh khalayak luas.
Naskah-naskah yang tersimpan di museum ini terbuat dari berbagai medium tradisional, mulai dari kulit kayu hingga daun lontar. Tulisan-tulisan dalam aksara Lampung diukir dengan alat-alat sederhana, namun hasilnya mencerminkan keindahan seni tulis yang menuntut ketelitian luar biasa. Beberapa naskah berisi hukum adat, seperti tata cara penyelesaian konflik antarwarga atau panduan menjalankan ritual keagamaan. Naskah lainnya memuat kisah-kisah legenda dan cerita rakyat yang kaya akan nilai-nilai moral, seperti tentang pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam dan sesama manusia.
Ada pula naskah berbentuk puisi atau syair, yang disebut "Pitam Tuha" (kata-kata bijak orang tua). Naskah-naskah ini biasanya berisi petuah kehidupan yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu kutipan yang menarik perhatian saya berbunyi:
"Hiya bumi nenggik kekek, hiya adat nenggik pepadun"
(Tanah akan tetap di tempatnya, dan adat akan tetap menjadi tiang penopang).
Kalimat ini mencerminkan filosofi bahwa adat dan tradisi adalah akar kehidupan masyarakat Lampung, yang harus dijaga dengan penuh penghormatan seperti menjaga bumi yang kita tinggali.
Saat saya berdiri di depan salah satu naskah yang tertulis di atas daun lontar, saya merasa seolah-olah para leluhur sedang berbicara kepada saya melalui kata-kata mereka. Ada semacam energi spiritual yang terpancar, mengingatkan bahwa setiap huruf yang mereka ukir mengandung doa, harapan, dan keinginan untuk membangun masyarakat yang lebih baik.
Perasaan haru muncul ketika saya menyadari bahwa literasi tradisional ini pernah menjadi fondasi kehidupan masyarakat Lampung. Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, naskah-naskah ini adalah pengingat bahwa di balik segala kemajuan teknologi, ada nilai-nilai kemanusiaan yang tidak boleh kita lupakan.
Melihat naskah-naskah ini, saya mulai merenungkan peran literasi dalam budaya Lampung pada masa lampau. Berbeda dengan literasi modern yang sering kali berbasis pada buku cetak dan teknologi, literasi dalam tradisi Lampung memiliki dimensi yang lebih mendalam. Literasi bukan sekedar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga alat untuk menjaga dan meneruskan nilai-nilai luhur.
Literasi menjadi media komunikasi antar-generasi. Naskah-naskah ini adalah jembatan yang menghubungkan para leluhur dengan generasi masa kini, menyampaikan pesan moral, sejarah, dan petunjuk kehidupan yang tetap relevan hingga hari ini. Dalam konteks ini, literasi tidak hanya mencerdaskan secara intelektual, tetapi juga membangun karakter dan spiritualitas.
Namun, di balik keindahan ini, ada sisi yang menyedihkan. Beberapa naskah tampak rapuh, warnanya memudar seiring berjalannya waktu. Berbagai upaya pelestarian telah dilakukan oleh Museum Lampung dan para peneliti. Salah satunya adalah digitalisasi naskah-naskah kuno ini, sehingga salinan elektroniknya dapat diakses oleh peneliti maupun masyarakat umum. Selain itu, museum juga mengadakan program edukasi, seperti kelas aksara Lampung dan lokakarya penulisan tradisional, untuk menghidupkan kembali minat generasi muda terhadap warisan ini.
Apa yang dapat kita pelajari dari keberadaan naskah kuno ini? Salah satu pesan pentingnya adalah pentingnya menjaga warisan literasi sebagai identitas budaya. Di tengah arus globalisasi yang kerap menyeragamkan cara hidup, naskah-naskah ini mengingatkan kita untuk tetap berakar pada tradisi lokal.
Naskah-naskah ini juga mengajarkan bahwa literasi adalah alat transformasi. Pada masa lalu, literasi tidak hanya digunakan untuk mencatat hukum adat atau legenda, tetapi juga untuk menegakkan keadilan, menyebarkan ilmu pengetahuan, dan mempererat hubungan sosial dalam komunitas. Maka, tugas kita hari ini adalah melanjutkan tradisi ini, dengan cara yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Koleksi naskah kuno di Museum Lampung adalah harta karun yang tak ternilai harganya. Mereka bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga cermin budaya yang menunjukkan identitas, kebijaksanaan, dan nilai-nilai luhur masyarakat Lampung.
Perjalanan saya ke Museum Lampung tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga membangkitkan kesadaran tentang pentingnya literasi sebagai alat untuk menjaga kesinambungan budaya. Di balik setiap huruf dalam naskah-naskah ini, ada pesan abadi: bahwa sejauh apa pun kita melangkah ke depan, kita tidak boleh melupakan akar kita. Sebab, akar itulah yang akan memberikan kita kekuatan untuk bertumbuh. (LZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar