Rabu, 28 Mei 2025

Luka yang Menumbuhkan: Sebuah Refleksi Ulang Tahun ke-39


Hari ini, aku genap berusia 39 tahun. Usia adalah angka, tapi setiap tahun yang dilewati adalah bab dalam buku kehidupan. Usia yang tak lagi muda, tetapi masih ingin terus belajar tentang arti hidup, ketangguhan, dan juga kasih sayang Tuhan yang tak pernah meninggalkan. Di usia ini, aku ingin duduk sejenak, menengok ke belakang—bukan untuk meratapi, tetapi untuk menyulam kembali ingatan, agar tak pernah lupa bahwa aku pernah disapa oleh Tuhan lewat cara yang tak biasa, yaitu penderitaan.

Aku dilahirkan dalam keluarga pengusaha yang cukup mapan. Masa kecilku, terutama saat duduk di bangku TK hingga SD kelas 5, adalah masa ketika dunia terasa begitu nyaman dan mudah. Ayahku adalah seorang pengusaha karet mesin. Selain menerima proyek pemesanan karet mesin di rumah, saat itu ayah juga sedang menangani proyek besar pembangunan pabrik pupuk Kaltim. Kami hidup serba berkecukupan, punya simpanan, dan yang jelas juga punya harapan.

Namun, pada akhir tahun 1997, badai besar datang melanda negeri, yakni krisis moneter. Krisis ini sangat berdampak pada perekonomian keluarga kami. Proyek ayah yang besar itu tak kunjung dibayar. Di tengah keterpurukan ekonomi nasional, ayah lebih memilih menyelamatkan karyawannya daripada dirinya sendiri. Gaji para pekerja tetap ia bayar dari tabungan keluarga, meski itu berarti kami kehilangan segalanya, mulai dari uang, perhiasan, kendaraan, dan juga tabungan.

Ayah sempat menganggur pasca krisis moneter hingga beberapa tahun. Barangkali karena gengsi, atau mungkin karena memang tidak mudah bagi seseorang yang pernah memimpin untuk bekerja di bawah. Maka, ibuku, seorang perempuan sederhana dan tangguh, yang aku banyak belajar dari ketangguhan beliau, akhirnya mengambil alih peran sebagai pencari nafkah. Ibu bekerja di pabrik, sekaligus berjualan jajan dan minuman es yang kami (aku dan kakak laki-lakiku) bantu bungkus sebelum berangkat ke sekolah. Bagi kami, Ibu adalah pahlawan sunyi yang tak pernah mengeluh, meski tubuhnya lelah dan dompetnya sering kosong demi membiayai kehidupan kami sehari-hari, termasuk biaya sekolah kami bertiga (aku, kakak laki-laki, dan adik laki-lakiku).

Saat itu, aku duduk di kelas 6 SD. Tak ada lagi uang saku seperti dulu. Dulu, semua yang aku inginkan, ingin beli jajan dari semua penjual jajan yang ada di sekitar sekolah, pasti terpenuhi. Tak ada lagi sepiring nasi setiap hari seperti dulu. Aku dan kedua saudaraku mulai terbiasa dengan kangkung liar dari sawah dan ikan kecil dari sungai. Sepulang sekolah, aku dan kakak, kadang dengan adik juga, kerap kali mencari kangkung liar di sawah, sambil membawa joran pancing untuk memancing di sungai dan di sawah. Sekresek besar kangkung dan juga setimba ikan selalu berhasil kami bawa pulang. Tentu saja untuk memenuhi kebutuhan lauk sehari-hari. Itulah mengapa sekarang aku ahli mancing, karena sudah terbiasa mancing sejak kecil. Terbiasa karena keadaan.

Masa-masa memancing dan mencari kangkung kami jalani hingga aku lulus SMP. Saat duduk di bangku SMA, sepeda onthel tua selalu menemani perjalananku menuju sekolah dari Sidoarjo ke Surabaya. Sementara teman-temanku melaju dengan motor dan mobil. Aku sempat menjadi bahan bullyan oleh kakak kelas. Bukan hanya sekali. Tapi berkali-kali. Kerap kali terlontar dari mulut mereka, "jangan lupa dikunci setir ya sepedanya", sambil membandingkan sepedaku dengan motor mereka. Kadang ketika di kantin, juga ada saja kakak kelas yang bertanya, "emang cukup ya, ke sekolah hanya bawa uang saku segitu?". Aku pun dengan tegas menyahut, "Mending uang saku sedikit, tapi juara satu terus di sekolah, dari pada uang saku banyak tapi bodoh", sambil bernada kesal.

Namun, justru dari situ, pada akhirnya semuanya berubah. Ternyata, musibah yang Dia datangkan untukku itu mengasahku dan menumbuhkanku. Aku mulai belajar untuk menegakkan punggung dalam kepedihan, menahan lapar sambil tetap menyalakan mimpi. Aku mulai giat belajar, bukan untuk sekedar mencari ranking, tapi karena aku tahu, hanya ilmu lah yang bisa menyelamatkanku. Aku tak lagi menjadi anak perempuan yang manja, dan tak lagi gampang merengek untuk meratapi hidup.

Namun, dari titik nadir itulah aku mulai belajar banyak hal: tentang harga diri, kerja keras, tanggung jawab, dan arti sesungguhnya dari kata "berjuang." Aku mulai menata ulang hidup, termasuk caraku belajar. Dulu, saat segalanya mudah, aku bahkan tidak pernah masuk ranking 10 besar. Tapi saat hidup menuntutku untuk bangkit, aku belajar dengan sungguh-sungguh. Alhamdulillah, di tengah musibah dan cobaan yang menyapa, hal itu membuatku bertumbuh. Saat sekolah di MI kelas 5, aku mulai mendapatkan ranking dua.  Di SMP dan SMA, aku selalu mendapat ranking satu. Semua itu bukan karena aku lebih cerdas, tapi karena aku lebih gigih. Aku ingin keluar dari kemiskinan, bukan untuk balas dendam, tapi agar bisa lebih banyak memberi.

Sejak sekolah SMA, aku mulai mengajar ngaji anak-anak di rumah, membuka TPQ kecil di rumah, membuka bimbel (El-Zahra Learning Center), menginisiasi TPQ di mushola kampung sambil mencari donatur agar anak-anak kampung bisa mengaji dan mendapat seragam gratis,  juga mengupayakan menyekolahkan guru TPQ untuk sekolah PGPQ agar memiliki sertifikat pengajar Al-Quran profesional, bahkan menginisiasi pembelajaran qiroah untuk ibu-ibu tahlil di mushola secara gratis. Semua berawal dari keprihatinan akan kondisi anak-anak kampung yang banyak tidak mengaji, dan ibu-ibu jamaah tahlil yang petugas qiroahnya itu-itu saja. Dari keprihatinan itulah kemudian tumbuh cinta.


Kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2004 adalah babak baru. Aku kuliah sambil tetap membimbing TPQ & Bimbel, mengajar LBBQ di masjid komplek perumahan, dan aktif di beberapa organisasi. Saat kuliah, aku selalu memperoleh IPK terbaik setiap semester dan mendapat beasiswa penuh. Aku lulus dalam 7 semester, dan meraih predikat lulusan terbaik dan tercepat. Meski aku bukan dari Fakultas Tarbiyah, aku memilih untuk melanjutkan studi Akta IV di STAI Al-Khoziny selama 1 tahun agar bisa mengajar. Namun, cita-citaku tidak berhenti menjadi seorang guru. Sejak awal kuliah, aku ingin menjadi seorang dosen, dan aku terus berjuang sekuat tenaga mewujudkan impian itu. Setelah menyelesaikan S2, aku sempat menjadi Dosen Luar Biasa di IAIN Sunan Ampel Surabaya (2012), sebelum akhirnya menjadi dosen PNS di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung (akhir 2013, saat alih status dari STAIN Tulungagung menjadi IAIN Tulungagung).

Di kampus inilah (UIN SATU) aku tumbuh menjadi akademisi yang lebih matang dan terasah. Aku banyak belajar dari para senior dan para pimpinan yang menginspirasi dan berdedikasi tinggi. Aku bersyukur diberi kepercayaan memegang berbagai amanah, mulai dari jabatan sebagai Kepala Pusat Pengabdian kepada Masyarakat LP2M (2017), Sekretaris LP2M (2018), Plt. Kepala Pusat Studi Gender dan Anak LP2M (2018), Sekprodi S2 PAI Pascasarjana (2019-2022), hingga sekarang (2022 sampai sekarang) sebagai Kepala Pusat Penelitian pada LP2M UIN SATU, serta dipercaya menjadi Sekretaris Forum Kepala Pusat Penelitian (Kapuslit) PTKIN se-Indonesia. Gelar Doktor (S3) pun sudah kuraih juga. Semua pencapaian itu tentu saja bukan karena aku hebat, tapi karena Allah senantiasa mengiringi setiap langkahku, dan karena aku dididik oleh penderitaan untuk tidak pernah menyerah.

Semua ini sejatinya bukan tentang pencapaian semata. Ini adalah tentang rasa syukur, tentang sebuah perjalanan yang begitu panjang dari seorang anak perempuan yang pernah diremehkan karena miskin, hingga kini  dipercaya untuk mengemban amanah ilmu hingga di tingkat nasional. Usia 39 tahun sejatinya bukan sekedar angka. Ini adalah saksi, bahwa betapa Allah menggiring setiap langkahku dari kegelapan menuju cahaya, dari luka menuju makna, dan dari air mata menuju keberkahan.

Usia 39 tahun ini aku maknai sebagai sebuah momen perenungan, bukan tentang sejauh mana aku telah melangkah, tapi seberapa dalam aku bisa berterima kasih. Terima kasih kepada Tuhan yang memberi cobaan sebagai bentuk cinta. Terima kasih kepada ibu dan ayah yang telah mengajarkan tanggung jawab dalam wujud yang paling nyata. Juga terima kasih kepada masa kecilku yang getir, karena dari situlah aku bertumbuh, belajar menjadi manusia yang tangguh.

Tulisan ini sejatinya bukanlah bermaksud untuk pamer pencapaian. Tapi untuk mengingatkan diriku sendiri, bahwa semua yang kuraih hari ini adalah buah dari keberanian kecil untuk tidak menyerah di masa lalu. Aku pernah kaya, pernah jatuh, tapi aku belajar tumbuh. Dan itu lebih dari cukup. Aku juga menulis ini untuk siapa saja yang hari ini sedang merasa berada pada titik nadir. Yakinlah, bahwa tak ada luka yang sia-sia. Tak ada derita yang tak mengandung hikmah. Bahkan, dari reruntuhan harapan pun, kita bisa membangun masa depan yang lebih kuat.

Dalam perjalanan hidupku, aku banyak belajar, bahwa menjadi perempuan mandiri dan tangguh adalah sebuah panggilan spiritual, bukan hanya sekedar respons terhadap penderitaan saja. Melalui perspektif feminisme spiritual, aku menyadari, sejatinya hidup ini mengajarkanku bahwa ketangguhan perempuan bukanlah bentuk perlawanan atas kodrat, melainkan pengejawantahan dari kekuatan ilahiah yang hadir dalam rahim kehidupan.

Dalam keheningan, dalam air mata yang tak terlihat, dalam doa yang tak bersuara, perempuan mendidik, membangun, dan menyalakan harapan. Dalam konsep filsafat Pendidikan Islam ditegaskan bahwa manusia—laki-laki maupun perempuan—adalah khalifah yang membawa amanah perubahan. Maka, kemandirian dan ketangguhan perempuan bukan sekedar sebuah pilihan, tetapi ibadah panjang yang dibangun di atas cinta, keikhlasan, dan juga perjuangan.

Aku tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tapi, satu yang pasti, aku ingin terus menjadi manusia yang belajar, yang memberi, dan yang menebar manfaat. Karena bagiku, kebahagiaan tertinggi bukanlah saat kita meraih mimpi, tapi saat kita bisa membawa orang lain ikut merasakan cahaya dari mimpi itu. Maka, di usia ini aku hanya berdoa, semoga langkah-langkah kecilku ini bisa menjadi jejak yang berarti, baik untuk keluargaku, para murid-murid dan mahasiswaku, juga untuk semesta yang lebih ramah dan penuh berkah.

Terima kasih duhai Rabb-ku, karena Engkau pernah mengajarkanku lewat lapar, air mata, dan keterbatasan. Aku tahu, itu pelukan-Mu. Dan aku memeluknya kembali, dengan penuh rasa syukur.

Selamat ulang tahun untuk diriku. Semoga terus tangguh, bertumbuh, rendah hati, dan bermanfaat. Aamiin...

Kamis, 22 Mei 2025

Skripsi yang Baik Tidak Lahir Sendiri: Catatan Kritis dari Ruang Ujian


Beberapa hari ini, saya kembali duduk di hadapan para mahasiswa tingkat akhir di ruang ujian skripsi. Saya dan beberapa dosen terjadwal untuk menguji skripsi para mahasiswa tingkat akhir tersebut. Beberapa dari mereka nampak gugup, cemas, gelisah, sembari membawa naskah skripsi yang telah mereka kerjakan berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan lamanya. Saya, dan tentunya dengan para penguji yang lain menyimak, menguji, dan memberi pertanyaan—tapi sebenarnya lebih dari itu, saya juga merenung.

Bagi sebagian mahasiswa, skripsi kerap kali dianggap sebagai sebuah “syarat terakhir” untuk mendapatkan gelar S1. Seolah skripsi hanya sebuah formalitas yang harus dilewati agar mereka bisa segera diwisuda. Namun sesungguhnya, skripsi adalah "wajah akhir" dari seluruh proses pendidikan akademik yang ditempuh oleh semua mahasiswa. Maka, dari sini, pertanyaan pentingnya adalah, "wajah seperti apa yang ingin kita tampilkan?"

Skripsi yang Baik Tidak Lahir Sendiri

Sejatinya, skripsi yang baik bukanlah hasil dari sebuah kebetulan. Skripsi yang baik juga tidak muncul dalam semalam seperti mie instan. Namun, skripsi yang baik adalah yang lahir dari sebuah proses yang panjang, dengan bimbingan yang intens, serius, dan juga penuh perhatian. Tanpa semua itu, maka skripsi hanya akan menjadi sebuah dokumen administratif yang akan segera dilupakan setelah sidang ujian skripsi selesai.

Maka, di sinilah letak pentingnya peran dari dosen pembimbing skripsi. Pembimbing skripsi bukan hanya sekedar bertugas untuk menandatangani lembar persetujuan ujian skripsi saja. Lebih dari itu, pembimbing skripsi adalah seorang mentor yang sejati—yang mampu mengarahkan, membimbing, mengingatkan, dan bahkan mendorong mahasiswa untuk terus berpikir, meneliti, dan menulis dengan serius. Artinya, skripsi yang keren hampir selalu dibelakangnya ada seorang pembimbing yang keren pula.

Namun, catatan pentingnya adalah bahwa pembimbing yang keren bukan berarti selalu memudahkan (dalam arti menyepelekan bimbingan). Pembimbing yang keren justru hadir sebagai mitra intelektual, yang menantang mahasiswa untuk mendalami literatur, memperbaiki logika analisis, dan juga memastikan bahwa arah keilmuan yang ia nampakkan dalam skripsinya tetap lurus sesuai dengan ruh kelimuan prodinya.

Krisis Judul dan Rasa Malas Akademik

Ada satu kegelisahan yang tak bisa saya sembunyikan sebenarnya. Judul-judul skripsi mahasiswa belakangan ini seringkali terasa begitu datar, repetitif, bahkan kehilangan semangat ilmiahnya. Banyak judul yang sebenarnya hanya memindahkan lokasi penelitian dari sekolah A ke sekolah B, tanpa adanya perubahan pendekatan, teori, atau bahkan persoalan yang digarap.

Contoh klasiknya bisa kita temukan dalam beberapa judul skripsi seperti:

“Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD di MI X”
“Efektivitas Media Gambar dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa di MIN Y”
“Peran Guru PAI dalam Menumbuhkan Akhlak Mulia Siswa di SMP Z”

Sebenarnya, judul-judul ini tidak salah. Namun, ketika puluhan mahasiswa mengulang format yang sama dengan hanya mengganti nama lembaganya saja inilah yang menunjukkan adanya fenomena baru, yakni "kelelahan intelektual" yang perlu untuk segera diatasi.

Sebagai alternatifnya, sebenarnya skripsi mahasiswa bisa diarahkan ke isu-isu kontemporer yang lebih menggugah dan relevan, seperti:

“Literasi Digital dalam Penguatan Moderasi Beragama Siswa Madrasah.... ” (PAI)
“Praktik Green Education di Sekolah Dasar.... : Perspektif Ekoteologi Islam” (PGMI)
“Kepemimpinan Transformasional Kepala Madrasah di Era Merdeka Belajar” (MPI)
“Integrasi Nilai Gender dalam Materi Ajar Akidah Akhlak di MTs.... ” (PAI)

Beberapa contoh judul yang seperti ini, tidak hanya menyegarkan, tetapi juga menantang para mahasiswa untuk melihat dunia pendidikan dalam konteks sosial, digital, ekologis, dan spiritual yang lebih luas lagi.

Kunci Ada di Dosen Pembimbing

Dalam proses menghasilkan skripsi yang baik, peran pembimbing sangatlah krusial. Pembimbing yang pasif, yang hanya sekedar memberikan komentar satu-dua baris, atau bahkan hanya menyerahkan pengerjaan dan revisi sepenuhnya kepada mahasiswa tanpa arah yang jelas, susah dicari oleh mahasiswa untuk proses bimbingan, dan hanya menandatangani lembar persetujuan ketika akan mendaftar ujian skripsi saja, sesungguhnya mereka sedang menyia-nyiakan momen emas pendidikan.

Namun sebaliknya, seorang pembimbing yang terlibat aktif, adalah pembimbing yang bukan hanya sekedar membantu mahasiswa dalam menyusun skripsinya saja. Tetapi, ia juga mendidik cara berpikir, membentuk kepekaan akademik, serta mengajarkan etika penelitian. Pembimbing yang seperti inilah yang mampu menjadi "fasilitator intelektual" bagi para mahasiswa bimbingannya, yang bisa membuka pintu-pintu pemahaman yang lebih baru.

Lebih jauh, pembimbing juga harus mampu menjaga agar skripsi para mahasiswa bimbingannya tetap berada dalam semangat keilmuan program studinya. Jangan sampai mahasiswa PAI terlalu larut dalam pendekatan psikologi murni tanpa integrasi nilai keislaman, atau mahasiswa MPI terjebak pada studi manajemen tanpa arah transformatif khas pendidikan Islam, dan lain sebagainya.

Menutup Sidang Skripsi, Membuka Kesadaran

Momen ujian skripsi bukanlah sebuah akhir. Momen ini adalah awal dari tanggung jawab intelektual para mahasiswa untuk memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat. Oleh karena itu, mari kita kembalikan lagi makna skripsi sebagai ruang pembelajaran yang sesungguhnya, bukan hanya sebuah formalitas akademik saja, tetapi menjadi ruang bagi tumbuhnya kesadaran, kepedulian, dan keberanian untuk berpikir kritis dan kreatif.

Dan tugas itu, sebagian besar adalah berada di tangan kita, yakni para dosen, pembimbing, dan pengelola pendidikan. Karena sejatinya skripsi yang baik, tidak pernah lahir sendiri. Skripsi yang baik adalah yang tumbuh dari relasi edukatif yang hangat antara mahasiswa dan pembimbingnya. 😊

Selasa, 20 Mei 2025

Refleksi Perkuliahan, Dari Legalitas ke Moralitas: Merenungkan Etika Immanuel Kant dalam Ibadah dan Kehidupan


Suatu sore yang cerah di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, tidak biasanya sore ini terasa begitu panas. Pasalnya, beberapa hari ini, di Tulungagung selalu hujan di sore hari. Sore ini (Selasa, 20 Mei 2025), saya memasuki ruang kelas PGMI 2-D untuk mengajar mata kuliah Filsafat Umum. Meski hari sudah sore — setelah mengikuti kegiatan upacara, menguji skripsi, menyeleksi administrasi proposal penelitian dari para dosen di aplikasi Litapdimas — mengajar harus tetap semangat.

Sore ini, saya mengajak mahasiswa menyelami pemikiran salah satu filsuf besar Eropa: Immanuel Kant. Materi hari ini adalah tentang Kritisisme Immanuel Kant, sebuah materi yang kerap dianggap sulit, rumit, bahkan cenderung membingungkan bagi mahasiswa semester awal di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK). Namun, justru di dalam kerumitan itulah saya ingin menantang diri saya dan mahasiswa, "mari berpikir lebih dalam".

Seperti biasa, saya memulai perkuliahan dengan mengajak mahasiswa mengingat materi sebelumnya, dan mencoba menghubungkan dengan materi yang akan dipelajari hari ini. Dalam mengajar Filsafat, saya kerap kali menggunakan pendekatan contextual teaching and learning (CTL), pendekatan pembelajaran yang menekankan pada pengaitan materi kuliah dengan konteks kehidupan nyata para mahasiswa. Tujuannya? tentu saja agar mereka lebih memahami materi filsafat, yang konon ditakuti mahasiswa FTIK. Selain takut karena sulit, juga takut menjadi kafir. He... he....

Dalam pembahasan materi tentang Kritisisme Immanuel Kant hari ini, ada salah satu sub bahasan yang cukup menarik, yakni Etika Immanuel Kant tentang "kehendak baik". Kant membedakan kehendak baik dalam dua jenis, yakni: legalitas dan moralitas. Secara sederhana, saya menjelaskan bahwa legalitas itu lebih mengarah kepada suatu tindakan baik yang dilakukan seseorang karena memiliki motif tertentu, yakni berbuat baik karena ada aturan yang mengatur tentang itu, atau ada sanksi jika tidak mengindahkan. Namun, hal ini berbeda dengan moralitas. Moralitas itu secara sederhana adalah berbuat baik karena memang ada dorongan dalam diri, semacam kesadaran bagi diri untuk berbuat kebaikan bukan karena embel-embel tertentu.

Saya mencoba menjelaskan dengan hati-hati, dan pelan-pelan, agar mereka bisa memahami. Tak lupa, metode tanya jawab juga menjadi metode yang wajib guna mengembangkan nalar kritis mereka, sebagaimana tuntutan pembelajaran abad 21. Saya rasa, dengan mengajak mereka bernalar kritis, dan berfikir reflektif, akan membuat mereka bisa memahami filsafat, sekaligus mengambil pelajaran baik yang ada di dalamnya untuk diterapkan dalam hidup.

Antara Takut Denda dan Kesadaran Ekologis

Untuk membuat mahasiswa lebih memahami, saya memberikan satu contoh yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, yakni terkait dengan membuang sampah.

Bayangkan, kita sedang berjalan di tepi sungai. Di situ terpampang jelas papan bertuliskan: “Dilarang membuang sampah di sungai. Denda Rp 1000.000.” Lalu kita pun menahan diri untuk tidak melempar sampah ke sungai. Apakah itu tindakan baik? Ya. Tapi, apakah tindakan itu mencerminkan moralitas? Belum tentu.

Menurut Kant, tindakan tersebut mencerminkan legalitas. Artinya, kita berbuat baik hanya karena ada hukum eksternal, ada imbalan atau ancaman. Kita melakukan sesuatu yang baik dengan tidak membuang sampah karena takut denda. Motifnya bukan karena sadar akan pentingnya menjaga ekosistem sungai, akan tetapi karena ingin menghindari hukuman.

Sebaliknya, jika seseorang tidak membuang sampah ke sungai tanpa perlu adanya himbauan atau denda, tetapi karena ia merasa bahwa lingkungan itu harus dijaga, sungai adalah sumber kehidupan, dan bumi adalah amanah Tuhan—maka itulah yang disebut moralitas. Tindakan tersebut berasal dari kesadaran internal, bukan dari tekanan eksternal.

Beribadah karena Takut atau karena Cinta?

Setelah menjelaskan perbedaan legalitas dan moralitas, saya lalu mengajak mahasiswa merenung lebih jauh. Saya katakan kepada mereka bahwa konsep ini bisa juga kita bawa ke dalam praktik keagamaan kita.

Kita sebagai seorang Muslim, menjalankan shalat lima waktu, puasa Ramadhan, membaca Al-Qur’an. Tapi, apa motif kita di balik semua itu?

Kerap kali, tanpa sadar, kita beribadah karena motif legalitas: karena takut dosa, takut neraka, ingin pahala, ingin surga. Ada janji dan ancaman. Ada hukum syariat yang mengatur. Apakah hal itu salah? Barangkali, ini wajar dan sering kita alami. Kita kerap kali menjalankan sesuatu yang baik karena ada embel-embel tertentu. Tapi, Kant mungkin akan bertanya, "apakah hal yang seperti itu benar-benar tindakan moral?"

Saya lalu menyampaikan gagasan ini kepada mahasiswa, "bagaimana kalau kita mencoba memaknai ibadah sebagai ekspresi dari kesadaran eksistensial? Kita beribadah bukan karena takut, bukan karena imbalan, tetapi karena kita mencintai Tuhan, karena kita merasa kecil dan bersyukur sebagai hamba-Nya, karena kita menyadari bahwa ibadah adalah cara kita menjaga hubungan dengan yang Transenden."

Inilah yang disebut "moralitas spiritual", yakni beribadah karena dorongan nurani, bukan karena ingin mendapatkan imbalan. Contohnya, kita tidak membuang sampah bukan karena takut didenda, tapi karena kita mencintai bumi. Begitu juga kita beribadah bukan karena takut siksa, tapi karena kita mencintai Tuhan.

Etika Kant: Jalan Menuju Otonomi Moral

Mengapa Immanuel Kant begitu menekankan pentingnya kehendak baik? Hal ini karena bagi Kant, hanya tindakan yang didorong oleh imperatif kategoris lah—yaitu prinsip moral yang berlaku secara universal dan lahir dari rasio murni manusia—yang bisa disebut sebagai tindakan yang benar-benar bermoral.

Imperatif kategoris Kant ini memiliki bentuk klasik, “Bertindaklah sedemikian rupa seolah-olah maksim dari tindakanmu dapat menjadi hukum universal.” Maknanya, kita harus bertindak dengan cara yang jika diuniversalkan, akan tetap benar dan pantas.

Misalnya, jika saya berpikir bahwa mencuri itu bisa dibenarkan saat saya butuh, maka saya juga harus bisa menerima juga tatkala suatu saat nanti semua orang juga akan mencuri saat mereka butuh. Jika hal ini terjadi, maka tidak akan ada lagi konsep tentang "milik pribadi". Oleh karena itu, mencuri menjadi tidak bisa diterima secara universal, dan karenanya dianggap tidak bermoral.

Kant menyebut orang yang mampu bertindak baik berdasarkan pada imperatif kategoris ini adalah sebagai orang yang memiliki "otonomi moral". Maknanya, dia tidak akan bisa dikendalikan oleh hukum luar, melainkan dia hanya bisa dikendalikan oleh hukum moral yang ada di dalam dirinya. Ia bertindak bukan karena takut atau karena diiming-imingi, tetapi karena ia sadar bahwa itu adalah hal yang benar.

Menjadi Manusia Bermoral di Era Hukum dan Sanksi

Saat ini, hampir setiap aspek kehidupan kita diatur oleh regulasi, undang-undang, kode etik, bahkan sanksi sosial. Semua itu memang sangat penting dan perlu. Tanpa aturan, maka akan terjadi kekacauan. Namun, jika kita merefleksi konsep yang ada pada etika Kant, sejatinya kita sedang diajak untuk  melangkah lebih jauh, yakni "bisakah kita tetap bertindak baik meski tidak ada kamera CCTV, tidak ada denda, tidak ada pahala?"

Inilah tantangan moralitas yang sejati.

Saya membayangkan, Kant seolah-olah berkata, "jangan hanya jadi manusia legal, jadilah manusia moral. Jangan hanya takut aturan, tapi tumbuhkan kesadaran etis. Jangan hanya berbuat baik karena dilihat orang, tapi berbuat baiklah karena kamu tahu bahwa itu adalah yang benar".

Refleksi Pendidikan: Dari Kepatuhan ke Kesadaran

Sebagai pendidik, saya merasa terpanggil untuk membawa semangat ini ke dalam ruang-ruang kelas. Bagi saya, pendidikan bukan hanya sekedar transfer ilmu, tetapi lebih pada sebuah proses transformasi kesadaran. Kita bukan hanya ingin mencetak mahasiswa yang taat aturan, tapi mahasiswa yang berkesadaran etis.

Oleh karena itu, saat kita mengajarkan pendidikan lingkungan kepada mereka, jangan hanya menanamkan mindset kepada mereka bahwa buang sampah sembarangan bisa kena denda. Tetapi, ajarkan pula bahwa bumi ini adalah titipan, dan menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah kita kepada Tuhan.

Begitu juga saat kita mengajarkan pendidikan agama kepada mereka, jangan hanya menekankan soal pahala dan siksa saja. Tetapi, ajarkan juga bahwa beribadah adalah bentuk cinta kita kepada Tuhan. Bahwa menjadi manusia yang baik, bukan karena demi surga, tetapi karena itulah hakikat menjadi manusia yang sejati.

Menuju Spiritualitas Otonom

Sebenarnya, jika dianalisis, terdapat irisan antara spiritualitas Islam dengan etika Kant. Dalam tasawuf misalnya, kita mengenal konsep maqamat atau tingkatan-tingkatan ruhani. Salah satu tingkatannya adalah mahabbah, yakni cinta kepada Tuhan.

Sebagaimana diketahui bahwa para sufi beribadah bukan karena takut akan neraka atau menginginkan surga. Tetapi karena mereka mencintai Tuhan. Mereka berkata, “Andaikan tidak ada neraka atau surga, kami tetap beribadah karena kami mencintai-Mu.”

Bukankah hal yang demikian ini sejalan dengan konsep moralitas Immanuel Kant? Bahwa tindakan baik yang sejati adalah yang lahir dari niat yang murni dan kesadaran batin.

Maka, dari sinilah mungkin kita bisa menemukan sebuah titik temu, antara filsafat Barat dengan spiritualitas Timur, antara Kant dengan Rabi’ah al-Adawiyah, dan antara reason dengan love. Bukan begitu?

Mendidik Nurani, Menemukan Kemanusiaan

Perkuliahan sore ini ditutup dengan refleksi tentang konsep ini dalam kehidupan sehari-hari. Perkuliahan sore ini tak lagi bicara soal Kant sebagai sekedar seorang filsuf Eropa abad ke-18. Tetapi menyadari bahwa sejatinya filsafat bukan sekedar teori abstrak, melainkan cermin untuk memahami kehidupan sehari-hari, bahkan ibadah kita.

Saya meyakini bahwa pendidikan akan berhasil bukan ketika mahasiswa bisa menghafal definisi dari “imperatif kategoris,” tetapi ketika mereka bisa berkata: “Saya tidak buang sampah karena saya mencintai bumi. Saya shalat bukan karena takut neraka, tapi karena saya mencintai Tuhan.”

Jika hal ini tercapai, maka saya yakin bahwa kita sudah mendekati apa yang disebut Kant sebagai "manusia bermoral", dan dalam bahasa kita disebut sebagai "manusia yang bertakwa adalah bukan karena takut, tapi karena cinta." 😊


Selasa, 13 Mei 2025

Qaddukal Mayyas: Mencintai Tuhan Lewat Bahasa Tubuh

"Selama ini, dalam pandangan filsafat dualisme klasik (Plato dan Plotinus), kerap kali menganggap tubuh sebagai beban spiritual. Tubuh dianggap sebagai penjara jiwa (soma sema). Tidak hanya itu, dalam teologi klasik patriarkal (Islam dan Kristen Abad Pertengahan), tubuh sering diasosiasikan dengan hawa nafsu. Oleh karena itu, harus ditaklukkan. Padahal, dalam Islam, jika dikaji secara mendalam, tubuh bukan lawan dari jiwa, tapi wadahnya. Tubuh adalah perantara bagi manusia untuk beribadah, mencinta, dan juga merenung. Bahkan, di dalam tasawuf, gerakan tubuh bisa menjadi bentuk zikir, sebagaimana dalam tarian para darwish."

Lagu Qaddukal Mayyas bukanlah shalawat, melainkan sebuah lagu pujian bernuansa cinta yang berasal dari tradisi musik Arab, khususnya dari kawasan Syam (Suriah, Palestina, Lebanon). Lagu ini populer dalam genre muwashshahat, yaitu bentuk puisi dan musik klasik Arab yang berkembang sejak masa Andalusia.

Secara harfiah, judul “Qaddukal Mayyās” berarti “tubuhmu yang berlenggok indah” atau “sosokmu yang anggun seperti ranting lentur”. Lagu ini adalah puisi cinta yang menggambarkan kekaguman luar biasa terhadap keindahan seorang kekasih, baik dari segi fisik maupun pesona gerak-geriknya. Jika diamati, kalimat-kalimat dalam lagu ini sangat metaforis dan penuh dengan simbolisme estetis.

Meski tidak dikategorikan sebagai shalawat, tetapi lagu ini bisa dianalisis dengan pendekatan filosofis-sufistik. Tidak hanya itu, pendekatan teologis feminis dan fenomenologi tubuh ala Maurice Merleau-Ponty pun bisa dikombinasikan untuk membedah makna dari lagu ini.

Sekilas, lagu ini terdengar seperti lagu cinta biasa yang penuh kelembutan, rayuan, dan nuansa sensual. Namun, bagi jiwa-jiwa para pencinta, makna cinta di sini melampaui aspek fisik dan daya tarik lahiriah. Bagi mereka, cinta adalah jalan, yakni sebuah proses untuk menemukan, mengenal, dan akhirnya larut dalam Yang Dicintai, yaitu Tuhan itu sendiri.

Dalam pandangan sufistik, cinta antar manusia merupakan gerbang menuju cinta Ilahi. Perasaan kita terhadap kekasih, bisa menjadi petunjuk bahwa sejatinya kita sedang dipanggil untuk merindukan sesuatu yang lebih tinggi dan agung. Gerak tubuh yang anggun, sorot mata yang memikat, serta suara yang menggoda adalah tanda, yakni ayat-ayat yang mengisyaratkan keindahan dari Sang Maha Pencipta.

Tubuh dan Spiritualitas dalam Islam

Selama ini, dalam pandangan filsafat dualisme klasik (Plato dan Plotinus), kerap kali menganggap tubuh sebagai beban spiritual. Tubuh dianggap sebagai penjara jiwa (soma sema). Tidak hanya itu, dalam teologi klasik patriarkal (Islam dan Kristen Abad Pertengahan), tubuh sering diasosiasikan dengan hawa nafsu. Oleh karena itu, harus ditaklukkan.

Padahal, dalam Islam, jika dikaji secara mendalam, tubuh bukan lawan dari jiwa, tapi wadahnya. Tubuh adalah perantara bagi manusia untuk beribadah, mencinta, dan juga merenung. Bahkan, di dalam tasawuf, gerakan tubuh bisa menjadi bentuk zikir, sebagaimana dalam tarian para darwish.

Dalam perspektif spiritualitas Islam, lagu ini dipandang sebagai puisi tubuh yang mengandung pesan ruhani. Gerak tubuh si kekasih tidak hanya menggoda secara lahiriah, tetapi juga mengetuk kesadaran yang terdalam, bahwa ada sesuatu yang lebih besar, yang lebih indah, dan yang sedang menampakkan Diri melalui bentuk-bentuk yang kita lihat.

Cinta yang Membebaskan, Bukan Menguasai

Dalam pandangan Islam yang menjunjung tinggi keadilan, cinta bukanlah soal memiliki tubuh orang lain. Cinta juga bukan tentang menguasai, tapi tentang ta’aruf, yakni proses saling mengenal secara tulus.

Dalam lagu ini, kekaguman pada sang kekasih tidak berujung pada keinginan untuk mengendalikan atau menaklukkan. Justru sebaliknya, sang pencintalah yang tersentuh, tak berdaya, dan terdiam dalam kekaguman. Inilah cinta yang beretika, yakni cinta yang memandang dan memperlakukan kekasih sebagai pribadi yang utuh (subjek penuh, meminjam istilah Bu Nyai Nur Rofi'ah), bukan hanya sekedar objek semata.

Di ruang-ruang spiritualitas yang adil dan setara, cinta yang semacam ini perlu dirawat. Mengapa demikian? Karena tubuh perempuan—atau siapa pun—bisa dipuji tanpa harus dilecehkan, bisa dikagumi tanpa direndahkan, dan bahkan bisa menjadi jalan untuk mendekat kepada Tuhan, bukan malah menjauh dari-Nya.

Tuhan dalam Tatapan Kekasih (Sufi)

Para penyair sufi kerap kali berkata bahwa mereka merasakan kehadiran Tuhan dalam tatapan sang kekasih. Hal ini bukan karena mereka memuja manusia, melainkan karena mereka memahami bahwa segala keindahan di dunia ini hanyalah bayangan dari Keindahan yang Hakiki. Dalam hal ini, mata kekasih menjadi cermin, yakni tempat Tuhan hadir secara diam-diam, menyapa dengan kelembutan yang nyaris tak terdengar.

Lagu ini, bila didengarkan dengan hati yang hening, bisa menjadi semacam dzikir yang menggetarkan sisi terdalam dari kerinduan manusia pada sesuatu yang transenden. Dalam dunia yang penuh dengan luka dan kebisingan ini, cinta seperti ini merupakan sebuah anugerah, yakni cinta yang lembut, membebaskan, dan menuntun pulang.

Ketika Lagu Menjadi Doa

Dalam ruang spiritual yang inklusif dan setara, lagu seperti Qaddukal Mayyas ini bukan hanya sekedar hiburan semata. Tetapi juga undangan untuk merenung.

Lagu ini mengingatkan kita bahwa tubuh, cinta, dan keindahan bukanlah hal yang terpisah dari spiritualitas, melainkan bagian utuh darinya. Menjalani kemanusiaan kita dengan sepenuhnya, yakni dengan rasa rindu, kekaguman, dan cinta, juga merupakan langkah menuju Tuhan.

Karena sesungguhnya, seperti kata Rabi’ah al-Adawiyah:

"Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka, atau karena ingin surga. Aku menyembah-Mu karena Engkau layak dicinta."

Dan lagu ini, bisa jadi, adalah bentuk cinta yang paling jujur, yakni ketika tubuh, kata, dan jiwa melebur menjadi satu dalam nyanyian rindu kepada Yang Maha Cinta.

Skripsi Instan Menjelang Deadline: Refleksi dan Tawaran Perbaikan Manajemen Bimbingan Akademik

  "Sinergi yang baik antara sistem, budaya akademik, dan juga kebijakan kelembagaan yang adaptif, akan dapat menciptakan iklim bimbinga...