Rabu, 27 November 2024

TELAAH FILOSOFIS-TEOLOGIS LAGU "LANGGENG DAYANING RASA" KARYA DENNY CAK NAN



Bagi saya, lagu "Langgeng Dayaning Rasa" karya Denny Cak Nan mengandung makna mendalam yang membuka ruang interpretasi, tidak hanya dari sisi romantis tetapi juga dari perspektif filosofis-teologis. Secara filosofis, lagu ini menggambarkan rasa rindu sebagai fenomena eksistensial yang tidak hanya mengacu pada hubungan antar-manusia tetapi juga pada hubungan transendental dengan Tuhan.

Dalam pandangan filsafat eksistensialis, manusia adalah makhluk yang selalu mencari makna. Perasaan rindu yang digambarkan dalam lagu ini bisa diartikan sebagai pencarian akan sesuatu yang absolut, yakni Tuhan. Rindu adalah "kehendak untuk yang kekal," seperti diungkapkan oleh Søren Kierkegaard yang menyebut bahwa rindu adalah panggilan terdalam jiwa kepada Pencipta.

Sementara itu, dalam perspektif budaya Jawa, rasa sering kali dihubungkan dengan manunggaling kawula lan Gusti (kesatuan hamba dengan Tuhan). Lagu ini mencerminkan kerinduan batin untuk mendekat kepada Sang Sumber Segala Cinta.

Dari sisi teologis, lagu ini bisa dipahami sebagai pengakuan akan keberadaan Tuhan sebagai yang paling memahami manusia. Ada 2 nilai yang terkandung, yakni teologi kasih dan kerinduan Ilahi. 

Dalam Teologi Kasih, Tuhan digambarkan sebagai yang memahami segala rasa, termasuk rindu. Dalam banyak tradisi agama, rindu kepada Tuhan adalah bentuk tertinggi dari ibadah. Lagu ini menggambarkan bahwa hanya Tuhan yang mampu memahami kedalaman hati manusia, sebagaimana dalam tradisi Islam disebutkan, "Allah lebih dekat daripada urat nadi" (QS. Qaf:16).

Sementara itu, nilai kerinduan Ilahi nampak dalam tradisi sufisme, konsep kerinduan kepada Tuhan (syauq) menjadi inti dari perjalanan spiritual. Lagu ini seakan-akan menempatkan kerinduan sebagai medium untuk menyatu dengan Tuhan. Liriknya mencerminkan kesadaran manusia tentang ketidakmampuannya menemukan kedamaian sejati kecuali dalam Tuhan.

Frasa langgeng dayaning rasa mengandung filosofi mendalam. kata "Langgeng" mengacu pada sesuatu yang kekal, melampaui dunia material. Kekekalan ini bisa dilihat sebagai kerinduan kepada Tuhan, yang dalam teologi adalah Yang Maha Kekal (Al-Baqa').

Sementara itu, istilah "Dayaning Rasa" merujuk pada kekuatan batin yang menjadi jalan manusia untuk mencapai maqam spiritual. Dalam filsafat Islam, rasa adalah instrumen penting dalam ma'rifatullah (pengenalan kepada Tuhan). Lagu ini mengajarkan bahwa rasa, bila diselaraskan dengan kehendak Tuhan, akan menjadi kekuatan yang mendekatkan manusia kepada-Nya.

Lagu ini mengekpresikan kerinduan yang Transenden dalam hubungan antara makhluk dan Khaliknya. Dalam hal ini, cinta sebagai medium Ketuhanan. Jalaluddin Rumi menggambarkan cinta sebagai jembatan antara makhluk dengan Sang Khalik. Lagu ini menggambarkan bahwa cinta sejati yang hakiki hanyalah kepada Tuhan, karena hanya Dia yang benar-benar memahami dan menerima manusia apa adanya.

Lagu ini juga mengekspresikan Tuhan sebagai pelipur lara. Liriknya menegaskan bahwa hanya Tuhan yang benar-benar memahami luka, kebahagiaan, dan kerinduan manusia. Pengakuan ini menjadi bentuk teologi pengharapan (hope theology), yakni manusia mempercayakan dirinya kepada Tuhan yang Maha Mengetahui.

Lagu ini nampaknya juga menunjukkan adanya harmoni antara budaya Jawa yang kaya dengan unsur mistisisme dan spiritualitas Islam. Dalam Kejawen, perasaan rindu sering kali dikaitkan dengan perjalanan menuju harmoni batin dan hubungan langsung dengan Tuhan. Lagu ini mencerminkan filsafat sangkan paraning dumadi (kembali kepada asal mula penciptaan). Sementara itu, aspek teologisnya bisa dikaitkan dengan tawakkal (kepasrahan) dan ikhlas (ketulusan), di mana manusia menyerahkan segala rasa kepada Tuhan.

Lagu ini mengingatkan pendengarnya untuk merefleksikan hubungan mereka dengan Tuhan melalui medium rasa. Secara praktis, lagu ini bisa menjadi sarana kontemplasi, mengingatkan bahwa cinta duniawi hanyalah bayangan cinta ilahi. Dalam perspektif ini, rindu menjadi sarana introspeksi, mengarahkan manusia kepada makna hakiki kehidupan. Lagu ini juga mengingatkan kita bahwa Tuhan adalah satu-satunya tujuan akhir, di mana segala rasa menemukan kedamaian.

Dari telaah filosofis-teologis di atas, pada akhirnya saya berkesimpulan bahwa "Langgeng Dayaning Rasa" melampaui sekedar lagu cinta. Dengan penafsiran filosofis-teologis, lagu ini menjadi refleksi tentang rindu manusia kepada Tuhan, yang menggambarkan hubungan mendalam antara makhluk dan Khalik. Lagu ini mengajarkan bahwa Tuhan adalah tempat kembali segala rasa, dan hanya Dia yang memahami manusia secara sempurna. Dengan demikian, karya Denny Cak Nan ini tidak hanya indah secara estetis tetapi juga kaya akan makna spiritual dan filosofis. (LZ)

Selasa, 26 November 2024

 

TELAAH ATAS SHALAWAT ILAHI TAMMIMI: DARI DIMENSI TEOLOGIS, ETIS, EKSISTENSIAL, HINGGA KOSMOLOGIS



Shalawat "Ilahi tammimmin na'ma 'alaina" secara harfiah berarti "Ya Allah, sempurnakan nikmat-Mu atas kami!" Secara filosofis, frasa ini memiliki makna mendalam dalam konteks spiritualitas Islam, meliputi dimensi teologis, etis, eksistensial, dan kosmologis.

DIMENSI TEOLOGIS

1. Pengakuan terhadap ke-Maha-an Allah

Ucapan ini menegaskan keyakinan bahwa segala nikmat berasal dari Allah sebagai sumber absolut dari segala kebaikan. Dalam teologi Islam, nikmat Allah meliputi aspek material dan spiritual, seperti iman, kesehatan, ilmu, dan ketenangan jiwa.

2. Doa untuk kesempurnaan nikmat: Permohonan agar nikmat yang telah diberikan Allah disempurnakan mencerminkan pengharapan manusia akan rahmat Allah yang terus berlanjut. Ini juga menunjukkan sikap tawakal dan percaya bahwa kesempurnaan hanya dapat dicapai dengan kehendak-Nya.

DIMENSI ETIS

1. Kesadaran akan karunia
Shalawat ini mengajarkan rasa syukur yang mendalam terhadap nikmat yang telah diberikan. Dalam tradisi Islam, syukur adalah nilai moral yang utama, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: "Jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah nikmat kepadamu" (QS. Ibrahim: 7).

2. Tanggung jawab moral
Dengan meminta kesempurnaan nikmat, implikasinya adalah individu juga bertanggung jawab menggunakan nikmat tersebut untuk kebaikan, sesuai dengan prinsip amanah dalam Islam.

DIMENSI EKSISTENSIAL

1. Pencarian kesempurnaan hidup
Shalawat ini mencerminkan kesadaran manusia akan ketidaksempurnaannya dan keinginannya untuk terus berusaha menuju kondisi ideal dalam hidup. Hal ini sejalan dengan pandangan filsafat Islam yang menekankan tahdzib an-nafs (penyucian jiwa) dan kamal insani (kesempurnaan manusiawi).

2. Relasi dengan transendensi
Permohonan ini menunjukkan bahwa manusia tidak bisa mencapai kesempurnaan tanpa hubungan dengan yang transenden, yaitu Allah. Dalam filsafat tasawuf, ini disebut sebagai fana' fi Allah (melebur dalam kehendak Allah) sebagai bentuk pengakuan ketergantungan total kepada-Nya.

DIMENSI KOSMOLOGIS

Harmoni dengan alam semesta
Permohonan kesempurnaan nikmat juga dapat diartikan sebagai doa agar manusia hidup selaras dengan tatanan ilahi di alam semesta (tanzim ilahi). Nikmat Allah bukan hanya untuk individu, tetapi juga terkait dengan keseimbangan makro kosmos yang mencakup kehidupan sosial, ekosistem, dan keberlanjutan dunia.

Shalawat ini, meskipun sederhana dalam susunan kata, namun membawa makna filosofis yang mendalam, yakni sebuah pengakuan akan keagungan Allah, kesadaran etis terhadap nikmat, dan pencarian eksistensial untuk mencapai kesempurnaan hidup dalam harmoni dengan kehendak Ilahi. Bagi seorang Muslim, mengucapkan shalawat ini adalah refleksi atas hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan manusia dan alam), sekaligus ekspresi pengabdian total kepada-Nya.

Minggu, 24 November 2024

LAMPUNG DALAM BINGKAI MUSEUM: REFLEKSI BUDAYA DAN KEHIDUPAN


Halaman Utama Museum Lampung


Hari itu, 20 November 2024, udara Bandar Lampung terasa hangat dengan semilir angin pagi yang membawa semangat baru. Tujuan perjalanan saya adalah Museum Lampung, sebuah tempat yang tak hanya menjadi pusat dokumentasi sejarah, tetapi juga ruang untuk merefleksikan nilai-nilai budaya dan kehidupan masyarakat Lampung. Museum ini juga dikenal sebagai Museum Ruwa Jurai. Sebuah museum yang menjadi titik temu antara masa lalu dan masa kini, memperlihatkan betapa kaya dan dalamnya identitas budaya Lampung.

Begitu tiba di halaman museum, saya langsung terpesona oleh arsitektur bangunannya. Atap museum yang terinspirasi dari bentuk rumah adat Nuwo Sesat, dihiasi ornamen tradisional, memancarkan kesan otentik yang kuat. Halaman yang luas dan rindang membuat suasana menjadi nyaman, seolah mempersiapkan pengunjung untuk perjalanan waktu ke masa lalu.

Museum Lampung buka setiap hari , dengan jam operasional dari pukul 08.00 hingga 14.00 WIB. Adapun harga tiket masuk museum yaitu sebesar Rp5.000 untuk dewasa, Rp1.000 untuk anak-anak, dan Rp2.000 untuk mahasiswa. Cara masuknya pun sederhana, cukup membeli tiket di loket depan dan menyerahkan tiket kepada petugas di pintu masuk. Saat mulai memasuki pintu utama museum, saya disambut ramah oleh petugas museum. Mereka mengarahkan untuk mendaftar dan membeli tiket terlebih dahulu, kemudian memberikan buku kecil yang berisi peta sederhana yang menunjukkan tata letak ruang pameran dan koleksi. Panduan ini memudahkan saya untuk menjelajahi museum dengan alur cerita yang teratur.

Kain Tapis: Menyibak Kekayaan Tradisi


Kain Tapis Lampung

Ruang pertama yang saya masuki adalah pameran kain Tapis, kain tradisional kebanggaan Lampung. Saya terpukau dengan keindahan kain yang penuh dengan benang emas, melambangkan status sosial dan spiritual masyarakat Lampung. Proses pembuatan Tapis bukan sekedar keterampilan, melainkan juga bentuk meditasi—proses panjangnya mencerminkan kesabaran dan dedikasi perempuan Lampung.


Selain Tapis, terdapat juga pakaian adat lengkap dengan aksesorisnya. Setiap elemen pakaian memiliki simbolisme, seperti mahkota yang melambangkan kebijaksanaan dan ornamen emas sebagai lambang kemakmuran. Melihat koleksi ini membuat saya merenungkan betapa eratnya hubungan masyarakat Lampung dengan nilai-nilai spiritual dan estetika.

Ruang Kehidupan: Mengenal Sejarah Lampau


Beberapa artefak yang terpampang di ruang koleksi

Di ruang lain, saya menemukan koleksi artefak prasejarah seperti kapak batu, gerabah, dan replika peralatan berburu. Artefak ini memberikan gambaran kehidupan manusia purba yang pernah mendiami Lampung. Di sini, saya belajar bagaimana masyarakat Lampung berkembang dari era berburu hingga bercocok tanam, sebuah proses yang merefleksikan daya adaptasi dan kreativitas manusia dalam menghadapi alam.

Koleksi senjata khas Lampung

Lebih jauh, terdapat koleksi senjata tradisional seperti keris dan tombak, yang menjadi simbol keberanian masyarakat Lampung dalam melindungi komunitasnya. Filosofi senjata ini tidak hanya berbicara tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang keberanian moral dan tanggung jawab.

Rumah Adat Nuwo Sesat: Sebuah Refleksi Sejarah


Rumah Adat Nuwo Sesat

Salah satu koleksi favorit saya adalah replika Nuwo Sesat, rumah adat Lampung. Nuwo Sesat merupakan simbol kebersamaan dan musyawarah, tempat masyarakat berkumpul untuk memecahkan masalah secara kolektif. Konsep rumah panggung ini juga mencerminkan keharmonisan dengan alam—dengan struktur yang mengurangi risiko dari banjir dan melindungi penghuni dari binatang liar.

Masuk ke dalam replika ini, saya seolah dibawa ke zaman di mana masyarakat Lampung hidup berdampingan dalam harmoni, saling membantu dan menjunjung nilai gotong royong. Tempat ini mengingatkan saya akan pentingnya kebersamaan di tengah individualisme yang kerap kita temui di zaman modern.

Naskah Kuno dan Makna Literasi


Koleksi Naskah Kuno

Ketika langkah kaki saya memasuki ruang terakhir Museum Lampung, saya menemukan sesuatu yang luar biasa—deretan naskah kuno yang berusia ratusan tahun. Di balik lemari kaca yang elegan, terpampang naskah-naskah beraksara Lampung, aksara yang kini mulai jarang digunakan, namun pernah menjadi bagian penting dari peradaban masyarakat setempat. Keberadaan naskah-naskah ini seperti bisikan dari masa lalu, mengingatkan kita akan kejayaan literasi di Lampung yang mungkin selama ini tak banyak diketahui oleh khalayak luas.

Naskah-naskah yang tersimpan di museum ini terbuat dari berbagai medium tradisional, mulai dari kulit kayu hingga daun lontar. Tulisan-tulisan dalam aksara Lampung diukir dengan alat-alat sederhana, namun hasilnya mencerminkan keindahan seni tulis yang menuntut ketelitian luar biasa. Beberapa naskah berisi hukum adat, seperti tata cara penyelesaian konflik antarwarga atau panduan menjalankan ritual keagamaan. Naskah lainnya memuat kisah-kisah legenda dan cerita rakyat yang kaya akan nilai-nilai moral, seperti tentang pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam dan sesama manusia.

Ada pula naskah berbentuk puisi atau syair, yang disebut "Pitam Tuha" (kata-kata bijak orang tua). Naskah-naskah ini biasanya berisi petuah kehidupan yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu kutipan yang menarik perhatian saya berbunyi:

"Hiya bumi nenggik kekek, hiya adat nenggik pepadun"
(Tanah akan tetap di tempatnya, dan adat akan tetap menjadi tiang penopang).

Kalimat ini mencerminkan filosofi bahwa adat dan tradisi adalah akar kehidupan masyarakat Lampung, yang harus dijaga dengan penuh penghormatan seperti menjaga bumi yang kita tinggali.

Saat saya berdiri di depan salah satu naskah yang tertulis di atas daun lontar, saya merasa seolah-olah para leluhur sedang berbicara kepada saya melalui kata-kata mereka. Ada semacam energi spiritual yang terpancar, mengingatkan bahwa setiap huruf yang mereka ukir mengandung doa, harapan, dan keinginan untuk membangun masyarakat yang lebih baik.

Perasaan haru muncul ketika saya menyadari bahwa literasi tradisional ini pernah menjadi fondasi kehidupan masyarakat Lampung. Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, naskah-naskah ini adalah pengingat bahwa di balik segala kemajuan teknologi, ada nilai-nilai kemanusiaan yang tidak boleh kita lupakan.

Melihat naskah-naskah ini, saya mulai merenungkan peran literasi dalam budaya Lampung pada masa lampau. Berbeda dengan literasi modern yang sering kali berbasis pada buku cetak dan teknologi, literasi dalam tradisi Lampung memiliki dimensi yang lebih mendalam. Literasi bukan sekedar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga alat untuk menjaga dan meneruskan nilai-nilai luhur.

Literasi menjadi media komunikasi antar-generasi. Naskah-naskah ini adalah jembatan yang menghubungkan para leluhur dengan generasi masa kini, menyampaikan pesan moral, sejarah, dan petunjuk kehidupan yang tetap relevan hingga hari ini. Dalam konteks ini, literasi tidak hanya mencerdaskan secara intelektual, tetapi juga membangun karakter dan spiritualitas.

Namun, di balik keindahan ini, ada sisi yang menyedihkan. Beberapa naskah tampak rapuh, warnanya memudar seiring berjalannya waktu. Berbagai upaya pelestarian telah dilakukan oleh Museum Lampung dan para peneliti. Salah satunya adalah digitalisasi naskah-naskah kuno ini, sehingga salinan elektroniknya dapat diakses oleh peneliti maupun masyarakat umum. Selain itu, museum juga mengadakan program edukasi, seperti kelas aksara Lampung dan lokakarya penulisan tradisional, untuk menghidupkan kembali minat generasi muda terhadap warisan ini.

Apa yang dapat kita pelajari dari keberadaan naskah kuno ini? Salah satu pesan pentingnya adalah pentingnya menjaga warisan literasi sebagai identitas budaya. Di tengah arus globalisasi yang kerap menyeragamkan cara hidup, naskah-naskah ini mengingatkan kita untuk tetap berakar pada tradisi lokal.

Naskah-naskah ini juga mengajarkan bahwa literasi adalah alat transformasi. Pada masa lalu, literasi tidak hanya digunakan untuk mencatat hukum adat atau legenda, tetapi juga untuk menegakkan keadilan, menyebarkan ilmu pengetahuan, dan mempererat hubungan sosial dalam komunitas. Maka, tugas kita hari ini adalah melanjutkan tradisi ini, dengan cara yang relevan dengan kebutuhan zaman.

Koleksi naskah kuno di Museum Lampung adalah harta karun yang tak ternilai harganya. Mereka bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga cermin budaya yang menunjukkan identitas, kebijaksanaan, dan nilai-nilai luhur masyarakat Lampung.

Perjalanan saya ke Museum Lampung tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga membangkitkan kesadaran tentang pentingnya literasi sebagai alat untuk menjaga kesinambungan budaya. Di balik setiap huruf dalam naskah-naskah ini, ada pesan abadi: bahwa sejauh apa pun kita melangkah ke depan, kita tidak boleh melupakan akar kita. Sebab, akar itulah yang akan memberikan kita kekuatan untuk bertumbuh. (LZ)


Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka: Pilar Pendidikan Karakter Rahmatan lil ‘Alamin

"Menjadi Pramuka yang sejati bukan hanya sekedar menghafal Tri Satya dan Dasa Dharma, tetapi menghidupkannya sebagai jalan kekhalifahan...