TEOLOGI
KONVERGENSI DAN KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA: ANTARA PELUANG DAN TANTANGAN
Oleh:
Lailatuzz Zuhriyah, S.Th.I, M.Fil.I
Abstract: Religion has been born and has been
present in human life as not single
reality. Not single reality of
the religion can not be separated
from the medium, both historical and cultural, where religion get in
shape and path disclosure in evolution and not simultaneously. This
is also consistent with the achievement of rational-spiritual in
addition to the historical needs of mankind which necessitates the presence of a significant role played by religions.
Within very long historical range of mankind, religions present themselves
as an inseparable part of the historical
of mankind at various levels of diverse civilizations. Starting from a primitive civilization, where religions are
present take the form of the simplest disclosure, until modern human civilization
where religions express themselves in a variety of faith and theological
framework of the most complicated. Thus, in socio-anthropological
reality of religious pluralism is a reality that can
not be refuted its existence.
Reality of religious diversity that we
must admit also
as a reason
that it is not uncommon that encourage the dehumanization
that was terrible. It is created when the debate
of truth claims and salvation claims be a major theme
that always accompanies the history of human religiosity that’s not singular. In
this case, the theology of convergence is needed for
creating inter-religious harmony.
The main purpose of theological convergence is wanted to unite
the essential elements in religions, so that the essential difference is not visible. In such
circumstances, religion and its
adherents can be unified in one
concept of universal theology and its adherents
united as a
religious community. However, this discourse of theology convergence reap
the pros
and cons of
several groups, giving rise to opportunities and challenges
at the level of practice. So, can bring opportunities and challenges
in its practical aspects.
If theology convergence can be fully understood and want
to think open and inclusive, it will create inter-religious harmony. But on the contrary, if this convergence theology addressed with a self-closing and exclusive
attitude, the effort
towards inter-religious harmony will
be hampered.
Keywords:
Theological convergece, Inter-religious relations, Inter-religious harmony.
Pendahuluan
Suatu kenyataan yang tidak bisa
dibantah adalah bahwa manusia adalah makhluk bertuhan, di mana agama adalah
kebutuhan yang paling esensial bagi manusia yang bersifat universal karena
agama merupakan kesadaran spiritual yang di dalamnya ada suatu kenyataan bahwa
manusia selalu mengharapkan belas kasih Tuhan, bimbingan dan belaian tangan-Nya
yang secara ontologis tidak bisa diingkari walaupun oleh manusia yang paling
komunis sekalipun.[1]
Namun,
pada kenyataannya pluralitas pada masyarakat tidak bisa dinafikan, baik itu
plural dalam hal agama, kepercayaan, etnis,
bahasa, dan lain-lain. Bagaimanapun, pluralitas adalah suatu keniscayaan yang
merupakan kehendak dari tuhan yang harus diterima oleh manusia.
Di
tengah-tengah pluralitas ini, agenda yang dirasa sangat urgen adalah bagaimana
menciptakan sebuah hubungan yang harmonis, terutama bagi para pemeluk agama
yang berbeda. Kerukunan antar umat beragama menjadi tujuan utama, karena tidak
dipungkiri lagi bahwa perbedaan agama terkadang sering memunculkan konflik,
meskipun terkadang juga faktor-faktor struktural yang lain juga ikut memberikan
andil.
Melihat
kondisi hubungan antar umat beragama yang agak labil ini, maka hal yang paling
penting bukanlah hanya sekedar mengkritik, tetapi yang dibutuhkan adalah sebuah
problem solving. Sekedar mengkritik
saja tidak akan bisa mengubah keadaan secara signifikan tanpa disertai dengan
memberikan problem solving. Banyak
solusi ditawarkan untuk membenahi hubungan antar umat beragama guna mewujudkan
kerukunan antar umat beragama, seperti dengan jalan: dialog antar umat
beragama, bakti sosial antar umat beragama, dan lain-lain. Di sini, penulis
menawarkan teologi konvergensi sebagai upaya meretas kerukunan antar umat
beragama. Namun, seperti apakah teologi konvergensi itu? Dan apakah kira-kira peluang
dan tantangannya jika teologi konvergensi ini menjadi sebuah langkah praksis
guna menciptakan kerukunan antar umat beragama? Penulis akan berusaha
menggambarkannya melalui tulisan singkat dalam artikel ini.
Teologi Konvergensi: Sebuah
Tinjauan Umum
Teologi
merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan tentang
hakekat ketuhanan. Kata teologi sebenarnya bukanlah term yang berasal dari khazanah dan tradisi Islam,
melainkan dari khazanah dan tradisi gereja Kristiani. Namun, hal itu bukanlah
menjadi suatu masalah besar dalam memberikan defenisi terhadap teologi.
Teologi
secara leksikal terdiri dari dua kata, yaitu “Theos” yang berarti Tuhan dan
“Logos” yang berarti Ilmu.[2] Jadi
teologi adalah ilmu tentang Tuhan atau ketuhanan. Secara terminologi, teologi
adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan dan segala sesuatu yang terkait dengannya.[3]
Selain itu, menurut Amsal Bachtiar teologi juga membahas hubungan Tuhan dengan
manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan.[4] Dalam
Islam, teologi disebut juga dengan ilmu tauhid. Kata Tauhid mengandung arti
satu atau esa dan keesaan. Selain itu, Teologi berasal dari kata “ology”
dan “theos” dan dijadikan sebuah kata dalam bahasa Indonesia maka menjadi
teologi. “ology” berakar dari kata Greek yang kemudian menjadi “logos” yang
berarti “percakapan”, “pengkajian” dan “penelitian”. Tujuan yang terpenting
penelitian adalah “logos” itu sendiri dari pada benda-benda yang menjadi
subjeknya. Sedangkan “theos” dalam bahasa Greek berarti “Tuhan” dan atau
sesuatu yang berkenaan dengan Tuhan. Jadi, Teologi dalam bahasa Greek adalah
penelitian secara rasional segala sesuatu yang berkenaan dengan ke-Tuhanan.
Jadi, Teologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan
tentang hakekat Tuhan serta keberadaan-Nya.
Istilah
teologi telah begitu luas dipakai dalam berbagai agama, secara umum, teologi
dipahami dengan pemaknaan yang tradisional. Pola pemaknaan tradisional terhadap
teologi tersebut menurut Pradana Boy[5], setidaknya
bisa digambarkan sebagai berikut: Pertama, pembatasan teologi hanya sebagai ilmu yang berbicara
tentang persoalan ketuhanan. Tentu, pemahaman yang tradisional dan sempit
semacam ini tidak menguntungkan dan bahkan terkesan statis, karena pemahaman
seperti ini justru akan menjadikan teologi begitu sakral dan tak tersentuh. Kedua, teologi dianggap sebagai sebuah
konsep yang partikular dan individual. Ketiga,
teologi dianggap sebagai urusan yang sama sekali terpisah dari dunia.
Namun
pada dasarnya, memahami teologi tidak mesti dimulai dari sebuah definisi yang
baku atau standar mengenai “apa teologi” itu? Atau teologi ialah...? Apalagi
kalau definisi teologi itu kemudian diuraikan secara etimologis. Orang akan
dengan sederhananya mengatakan, teologi terdiri dari kata berbahasa Yunani,
yaitu theos, yang artinya Tuhan, dan logos, yang artinya
perkataan, ucapan, firman, pengetahuan, dan lain-lain. Dengan demikian teologi
berarti pengetahuan tentang Tuhan.
Hal
itu tidak salah, tetapi terlampau menyederhanakan teologi sebagai sebuah ilmu.
Penyederhanaan itu telah menyebabkan kesalahan laten, di mana teologi
diperangkapkan dalam suatu lingkungan abstrak dan transenden. Kiblatnya
diarahkan ke realitas Tuhan yang transenden, bukan meresponi Tuhan yang
historis dan imanen. Bahkan seluruh aktifitas manusia pun akhirnya mengarah ke
transendensi itu.
Kata
“konvergensi” berasal dari kata “converge” yang berarti bertemu, berkumpul atau
berjumpa. Selanjutnya kata ini menjadi “convergence” yang berarti tindakan
bertemu, bersatu di satu tempat, pemusatan pandangan mata ke suatu tempat yang
amat dekat,[6] atau
menuju ke suatu titik pertemuan atau memusat.[7] Dengan
demikian yang dimaksud teologi konvergensi di sini adalah upaya untuk memahami
agama dengan melihat intisari persamaan atau titik temu dari masing-masing
agama untuk dapat diintegrasikan. Dalam perkembangan saat ini, teologi
konvergensi disebut juga dengan istilah teologi global atau teologi universal.
Tujuan dari
teologi konvergensi ialah ingin menyatukan unsur esensial dalam agama-agama
sehingga tidak tampak lagi perbedaan
yang prinsipil. Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya dapat
dipersatukan dalam konsep teologi universal dan umatnya dapat dipersatukan
dalam satu umat beragama.
Berkenaan
dengan teologi konvergensi ini, diharapkan para penganut agama-agama dapat
menyatu, bukan hanya dalam tataran praksis tetapi juga dalam pandangan
teologisnya. Terkait hal ini, lantas muncul pertanyaan di manakah letak titik
temu keyakinan agama-agama itu untuk mencapai sebuah konvergensi agama? Dalam
hal ini perlu mengetahui terlebih dahulu perbedaan antara faith (iman) dengan beliefe
(kepercayaan).
Di dalam faith agama-agama dapat disatukan,
sedang dalam belief tidak dapat
disatukan. Belief seringkali normatif
dan intoleran. Belief bersifat
historik yang mungkin secara konseptual berbeda dari satu generasi ke generasi
yang lain.[8]
Yang
menjadi kategori religius sentral dalam semua agama adalah “iman”, bukan
“kepercayaan.” Imanlah yang mengarahkan terjadinya suatu relasi personal dengan
Tuhan, sementara kepercayaan berasal dari iman, sebagai ekspresi intelektual
dari iman. “Percaya kepada Tuhan” tidak memiliki makna yang sama dengan
“beriman kepada Tuhan.” Dengan menyadari adanya perbedaan antara iman dan
kepercayaan, maka kesempatan untuk memahami konvergensi
dan divergensi antara menjadi
seorang Muslim, Kristen, Buddhist, Hindu dan lain-lain lebih terbuka dan
bermakna.
Ada
tiga cara untuk menggambarkan perbedaan antara iman dan kepercayaan, yaitu:
1.
Obyek iman biasanya adalah seorang
pribadi (person), sedangkan obyek
kepercayaan adalah sebuah gagasan atau teori. Jadi, iman kepada tuhan menunjuk
pada pengertian “penyerahan diri (surrender)
kepada Tuhan, mempercayakan diri (trust)
kepada-Nya, dan menjalin hubungan (engagement)
dengan Allah. Iman merupakan suatu respon yang total, personal dan positif
kepada Allah dan juga relasi yang total, personal dan positif dengan-Nya.
Sedangkan “kepercayaan (belief) kepada
Tuhan” menunjuk pada pengertian: mempunyai suatu ide atau keyakinan bahwa “tuhan
itu ada.” Kepercayaan menandakan bahwa seseorang yang percaya itu memiliki
opini tentang siapa Tuhan yang sebenarnya, dan bahwa ada konsekwensi-konsekwensi
tertentu terhadap opini yang dimilikinya.
2.
Tindakan iman biasanya dipandang sebagai
sebuah keputusan yang diambil dalam bentuk komitmen pribadi yang bersifat
kosmik. Tindakan iman itu meningkatkan kesadaran diri, sedangkan hal percaya
adalah suatu kondisi yang bersifat deskriptif, jika tidak pasif, dalam bentuk
formula yang asumtif.
3.
Perbedaan antara iman dan kepercayaan
tampak pula dalam suasana batin (mood)
keduanya. Suasana batin iman biasanya mencakup relasi seseorang dengan hal-hal
yang bersifat absolut, dengan realitas-realitas yang melampaui keagungan dan
kepastian yang bersifat duniawi. Sedangkan suasana batin kepercayaan, membawa
relasi seseorang kepada hal-hal yang tidak pasti, kepada hal-hal yang
keabsahannya secara eksplisit dapat dipertanyakan.
Iman
merupakan kata sifat, sedangkan kepercayaan adalah kata benda. Iman dapat
dipahami sebagai bahasa global yang menunjuk kepada kualitas koheren kehidupan
religius umat manusia. Iman menunjuk pada aspek dinamis dari agama dalam proses
sejarah kehidupan religius umat manusia. Sedangkan kepercayaan, sebagai
ekspresi iman, meliputi semua manifestasi iman ke dalam suatu sistem atau
institusi yakni sistem atau institusi religius.
Sebagai
contoh, dalam agama Islam banyak ditemukan aliran kala>m
(seperti: Asy’ariyah, Maturidiyah, Mu’tazilah, dan lain-lain) maupun aliran fiqh (seperti: pengikut madzhab Imam
Syafi’i, Maliki, Hanafi, maupun Hanbali). Aliran-aliran tersebut memiliki belief (kepercayaan) yang berbeda yang
menyebabkan kemungkinan adanya sikap keagamaan yang berbeda pula. Namun, ada
yang membuat mereka dapat bersatu, yaitu dalam faith (iman). Dalam faith
inilah mereka menemukan titik temu yang dapat menciptakan kerukunan, yakni tetap
mengakui Allah sebagai Tuhan yang Satu dan Muhammad adalah Rasul Allah. Upaya
mencari titik temu ataupun persamaan-persamaan melalui faith inilah yang diharapkan oleh teologi konvergensi untuk
mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Jika yang dilihat adalah beliefnya, lantas kemudian berusaha
mencari-cari perbedaan dan larut dalam perdebatan masalah kepercayaan, maka upaya
mewujudkan kerukunan antar umat beragama adalah sebuah angan-angan yang tidak
akan bisa diwujudkan, malah yang muncul ke permukaan adalah konflik antar umat
beragama.
Contoh lain
misalkan teologi konvergensi jika dikaitkan antara agama yang satu dengan yang
lain, yakni di dunia terdapat berbagai macam agama, seperti: Islam, Kristen,
Hindu, Buddha, dan lain-lain. Secara belief,
memang nampak sekali perbedaan di antara agama-agama tersebut. Namun, pada
hakikatnya agama-agama tersebut menyatu dalam faith, yaitu mengakui adanya Tuhan sebagai Sang Pencipta. Mungkin
cara-cara beragama mereka berbeda satu sama lain, namun pada hakikatnya mereka
tetap beriman dan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Teologi
konvergensi antar agama ini dapat dianalogikan dengan sebuah
sungai dengan anak-anak sungainya. Agama-agama dapat digambarkan sebagai
sungai-sungai di mana banyak cabang atau anak-anak sungai mengalir. Lalu ada
beberapa tempat tertentu yang berfungsi sebagai titik pertemuan dari anak-anak
sungai tersebut, kemudian mereka harus terus mengalir lagi secara terpisah.
Sebagaimana sebuah sungai dan anak-anak sungainya, proses mengalir agama-agama
memiliki karakter yang bergerak, yang bergantung pada keadaan dan kompleksitas
anak-anak sungai yang berpartisipasi di dalamnya. Jadi, semua agama dunia
membentuk suatu koherensi (pertalian)
atau suatu konvergensi yang
mempersatukan (a uniting convergence).
Dalam
beliefe, Yang Maha Kuasa dipahami
oleh berbagai penganut agama secara berbeda dan bermacam-macam. Namun semuanya
tetap mengacu pada satu keyakinan (faith)
bahwa ada sesuatu Yang Maha Kuasa itulah yang disebut eidos dalam istilah Class J. Bleeker, sensus numinous dalam istilah Rudolf Otto, transcendental focus dalam istilah Ninian Smart, essence of religion dalam istilah Mircea
Eliade, atau ultimate reality dalam
istilah Joachim Wach. Sesuatu yang hakiki dalam setiap keimanan suatu agama itu
ketika ditangkap oleh manusia menjadi sagat plural. Itulah konsekwensi niscaya dari
yang tak terbatas ketika dipahami oleh yang terbatas.
Yang
paling penting adalah bahwa dengan adanya multi tafsir dan pemahaman terhadap
Yang Satu itu diharapkan dipandang sebagai “alat” atau “jalan” menuju ke
hakikat yang absolut. Setiap umat beragama, meskipun memandang agama yang
dianutnya hanya sebagai “jalan” atau “kapal” menuju ke hakikat “Yang Absolut”,
meyakini “jalan” atau “kapal” tersebut harus tetap sebagai sesuatu yang mempunyai
nilai kemutlakan. Kemutlakan diyakini hanya untuk melukiskan hakikat perasaan
mengenai komitmen terhadap yang transenden melalui pengalaman pribadi yang
partikular, suatu jalan yang ditawarkan oleh agama.
Teologi
konvergensi tidak hendak mencampuradukkan antara ajaran dan tata cara ibadah agama
yang satu dengan agama yang lain. Teologi konvergensi hanya menawarkan solusi
untuk meredam ataupun mengatasi gejolak konflik antar umat beragama melalui
usaha-usaha mencari titik temu antar agama melalui kesamaan faith. Teologi konvergensi tetap mengharuskan
tiap-tiap pemeluk agama untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan syariat
agamanya masing-masing. Namun, ketika berada pada tataran kehidupan praksis di
masyarakat, perbedaan-perbedaan cara beragama itu tidak boleh menjadi
penghalang dalam mewujudkan masyarakat beragama yang rukun dan harmonis. Dalam
tataran praksis di masyarakat, kesamaan faith-lah
yang harus dijadikan patokan bahwa pada hakikatnya tiap-tiap umat beragama
adalah umat yang satu yakni umatnya Tuhan Yang Maha Esa.
Teologi
konvergensi tentunya harus dibarengi dengan sikap inklusif dari para penganut
agama. Pemahaman yang holistik terhadap teologi konvergensi oleh para pemeluk
agama baik dari level elit sampai pada level grass root dalam masyarakat akan mampu menciptakan kerukunan antar
umat beragama.
Potret Hubungan antar Agama
Kemajemukan
dalam hal agama merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh umat
manusia di dunia. Bentuk
perbedaan yang akan tetap abadi hingga akhir nanti adalah perbedaan agama.
Karena, sentuhan wilayah agama begitu panjang sampai pada hidup sesudah mati.
Belum lagi persoalan tentang cara pandang mengenai Tuhan, surga, neraka, dan
keyakinan-keyakinan lain yang membuat pemahaman seseorang tentang agama menjadi berbeda.
Perbedaan
konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas yang tidak dapat
dipungkiri oleh siapa pun. Perbedaan, bahkan benturan konsepsi itu terjadi pada
hampir semua aspek agama, baik dalam hal konsepsi tentang Tuhan maupun
konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini dalam praktiknya, cukup sering memicu
konflik fisik antara umat berbeda agama.
Agama
pada dasarnya memiliki faktor integrasi dan disintegrasi. Faktor integrasi, antara
lain, agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan dan
kemanusiaan. Agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan
sesama makhluk. Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib dan
kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat.[9]
Ajaran
yang disebutkan itu bersifat universal. Selain itu, terdapat ajaran agama yang
juga bisa menimbulkan disintegrasi, bila dipahami secara sempit dan kaku. Di
antaranya, setiap pemeluk agama menyakini bahwa agama yang dianutnya adalah
jalan hidup yang paling benar, sehingga dapat menimbulkan prasangka negatif
atau sikap memandang rendah pemeluk agama lain.
Secara
internal, teks-teks keagamaan dalam satu agama juga terbuka terhadap aneka
penafsiran yang dapat menimbulkan aliran dan kelompok keagamaan yang beragam,
bahkan bertentangan satu sama lain sehingga memicu konflik.[10] Keragaman
agama ternyata menimbulkan dilema tersendiri. Di satu sisi, memberikan
kontribusi positif untuk pembangunan bangsa. Namun di sisi lain keragaman agama
dapat juga berpotensi menjadi sumber konflik di kemudian hari.
Beberapa potensi internal yang menyebabkan gejala
kekerasan agama di dunia, khususnya di Indonesia adalah mencakup doktrin eksklusif agama dan
doktrin misi keagamaan. Eksklusifitas agama adalah ajaran-ajaran yang
mengajarkan keistimewaan, keunggulan, dan semangat dominasi satu agama atas
agama lain. Semangat ini dimiliki seluruh pemeluk agama.
Namun, variant dominan pemicu kekerasan antar pemeluk agama di
Indonesia hingga hari ini masih debatable. Menurut Kasman Singodimejo,
keterlibatan agama dalam jejak kekerasan Indonesia didasari atas tujuh faktor,
yaitu dangkalnya pengertian dan kesadaran beragama, fanatisme negatif,
propaganda dan objek dakwah yang salah, subversif , sisa G 30 S PKI, perlakuan
tidak adil penguasa, dan religio-politik.[11]
Sebagian kalangan lebih menekankan kekerasan agama Indonesia disebabkan
renggangnya komunikasi antara umat beragama dan faktor sosio-politik.[12]
Sedangkan sebagaian yang lain beranggapan bahwa gejala kekerasan agama di Indonesia disebabkan kegagalan pemerintah
mengakomodasi nilai-nilai agama dalam masyarakat.[13]
Selain itu, dalam keputusan Menteri Agama RI No. 84 tahun
1984 ditunjukkan dengan jelas bahwa kekerasan agama di Indonesia didominasi
dalam beberapa masalah laten, yaitu pendirian tempat peribadahan, penyiaran
agama, bantuan luar negeri, perkawinan beda agama, perayaan hari besar,
penodaan agama, kegiatan aliran sempalan dan aspek sosio-politik yang
mempengaruhi.[14]
Dalam
sejarah, potret hubungan antar agama sering diwarnai dengan beberapa konflik
keagamaan disebabkan baik dari faktor internal (agama itu sendiri), maupun
faktor eksternal (struktural). Di bawah ini adalah beberapa contoh konflik yang
terjadi antar umat beragama.
Konflik
Maluku, Poso, ditambah sejumlah kasus terpisah di berbagai tempat di mana
kaum Muslim terlibat konflik secara langsung dengan umat Kristen adalah
sejumlah contoh konflik yang sedikit banyak dipicu oleh perbedaan konsep
di antara kedua agama ini. Perang Salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa
dan Islam, pembantaian umat Islam di Granada oleh Ratu Isabella ketika mengusir
Dinasti Islam terakhir di Spanyol, adalah konflik antara Islam dan Kristen yang
terbesar sepanjang sejarah. Perang antara Israel yang beragama Yahudi dengan
Palestina yang Muslim adalah contoh lain dari konflik antar umat beragama yang
masih belum selesai hingga hari ini. Pembantaian umat Yahudi oleh Nazi yang notabene
adalah adalah konflik terbesar antara pemeluk agama Yahudi dan Nasrani.
Penyegelan
Gereja Yasmin oleh wali kota Bogor misalnya. Larangan beribadah bagi jemaat
gereja menimbulkan konflik horizontal. Saban pekan kejadian yang sama selalu
berulang. Jemaat yang kukuh beribadah di areal gereja diusir warga. Belum ada
solusi atas kasus tersebut hingga kini. Kisah serupa juga terjadi pada jemaat
gereja HKBP di Ciketing Bekasi yang diserang oleh warga karena menolak ada
rumah ibadah agama lain di lingkungannya.[15]
Contoh
lain di Sampang, Madura. Ini bukan konflik antarumat beragama, tapi sesama umat
dalam satu agama. Disebut-sebut berlatar belakang karena persoalan keluarga,
warga penganut Syiah diserang oleh mayoritas Sunni karena menuding mereka
sesat. Demikian juga dengan tragedi Cikeusik, Pandeglang ketika penganut
Ahmadiyah diserang bahkan oleh sesama muslim karena sekali lagi dituduh sesat.[16]
Selain
potret buram hubungan antar umat beragama di atas, juga ada potret indah
hubungan antar umat beragama, meskipun jika diprosentase tidak akan imbang di
antara keduanya. Sebagai contoh, Sulawesi Utara termasuk daerah yang aman,
damai, serta rukun antara sesama umat beragama, hal ini karena dialog lintas
agama berjalan dengan baik di sana.[17]
Selain itu, pasca kerusuhan di Maluku dan Maluku Utara beberapa waktu silam,
masyarakat di Maluku Utara makin erat rasa persaudaraan dan kerukunannya antar
umat beragama. Mereka saling menjaga, sangat berhati-hati jika berbicara karena
takut menyinggung umat beragama lain. Yang paling menonjol, mereka semua sepakat
untuk menjadikan musuh bersama, siapapun yang mencoba mengusik atau mengganggu
kerukunan beragama yang sudah terjalin sangat harmonis saat ini.[18]
Bali, juga merupakan wilayah yang hubungan antara pemeluk Hindu dengan umat
lain terjalin dengan harmonis.
Terkait
hubungan antar umat beragama ini, banyak pihak berupaya untuk mewujudkan
kerukunan antar umat beragama, baik pada level lokal, nasional, maupun
internasional. Yang paling sering adalah dengan melakukan dialog antar umat
beragama oleh para pemuka-pemuka agama, bakti sosial terhadap korban bencana,
serta beberapa solusi lain yang sifatnya praksis.
Peluang Praksis Teologi Konvergensi
Melihat
potret hubungan antar umat beragama di atas, teologi konvergensi merupakan
salah satu problem solving atas
masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antar umat beragama. Meskipun
penulis mengakui bahwa teologi konvergensi bukanlah satu-satunya jalan yang
dapat mengatasi berbagai macam problematika hubungan antar agama. Namun,
setidaknya ketika teologi konvergensi diwacanakan dan diterapkan dalam tataran
praksis dalam masyarakat, dan masyarakat dapat memahami maksud dan tujuan dari
teologi konvergensi tersebut, maka kerukunan antar umat beragama akan dapat
dicapai.
Terlebih
dahulu, teologi konvergensi harus dipahami secara holistik oleh para pemuka
agama, cendekiawan, maupun orang-orang yang termasuk dalam elit agama. Hal ini
karena sikap dan fatwa mereka banyak diikuti oleh masyarakat agama yang awam.
Jika pada level mereka teologi konvergensi sudah dipahami dengan mantap, maka
aksi selanjutnya adalah mewacanakan dan melakukan pribumisasi teologi tersebut
kepada masyarakat dengan bahasa-bahasa yang mudah dipahami, bersifat luwes, bernilai
pluralis-humanis, dan tidak provokatif. Selama ini, kegagalan membangun
kerukunan antar umat beragama, salah satunya adalah juga disebabkan oleh
doktrin eksklusifitas yang didakwahkan oleh kaum elit agama. Dalam negara yang
masyarakatnya plural, maka dakwah yang disampaikan janganlah yang menekankan
perbedaan, permusuhan, dan menyulut konflik. Materi dakwah seyogianya diarahkan
ke hal-hal yang bersifat konvergentif guna membangun masyarakat beragama yang
rukun dan damai.
Syarat
utama dalam memahami teologi konvergensi adalah harus bersikap inklusif dan open minded. Berbekal sikap tersebut,
maka teologi konvergensi akan dapat dipahami dan diterima dengan baik sebagai
salah satu problem solving dalam
mengatasi permasalahan antar umat beragama. Namun sebaliknya, jika teologi
konvergensi disikapi dengan sikap eksklusif, maka sampai kapan pun upaya
mencari titik temu antar agama tidak akan tercapai, akibatnya kerukunan antar
umat beragama tidak akan bisa terwujud.
Peluang
keberhasilan dari teologi konvergensi sebagai upaya meretas kerukunan antar
umat beragama akan sangat terlihat tatkala teologi ini telah dapat terwacanakan
dengan baik dalam masyarakat beragama mulai dari level elit hingga grass root. Berbekal pemahaman terhadap
teologi konvergensi dan dibarengi dengan sikap inklusif yang diaplikasikan pada
tataran praksis, maka kerukunan antar umat beragama akan terwujud dengan baik.
Sikap
kesungguhan dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama melalui pemahaman
terhadap teologi konvergensi harus diupayakan dengan baik oleh masyarakat
beragama, khususnya para tokoh agama. Hal ini agar jangan sampai terjadi staged encounter, yakni pertemuan antar
agama yang direkayasa di pentas, tetapi tidak menjangkau hingga ke kesadaran
individual yang paling dalam.
Tantangan Praksis Teologi Konvergensi
Di
samping memunculkan peluang-peluang guna mewujudkan kerukunan antar umat
beragama, teologi konvergensi juga dihadapkan pada sejumlah tantangan yang
terkadang akan menjadi sebuah hambatan bagi terwujudnya cita-cita mewujudkan
masyarakat beragama yang rukun dan harmonis. Setiap wacana dan tindakan tentu
tidak akan lepas dari sederet peluang dan tantangan yang akan dihadapi. Untuk
itu, sebelum mewacanakan teologi konvergensi kepada masyarakat beragama, perlu
mengidentifikasi tantangan-tantangan yang akan dihadapi guna meminimalisir
kemungkinan-kemungkinan negatifnya yang dapat menghambat tujuan utama teologi konvergensi.
Salah
satu tantangan dalam mewacanakan teologi konvergensi adalah sikap eksklusif
dari para pemeluk agama. Sikap eksklusif ini akan menutup jalan bagi teologi
konvergensi untuk mengupayakan kerukunan antar umat beragama. Bagaimanapun,
sikap ekslklusif yang tidak bisa dihilangkan dan bersifat menutup diri dari
dinamisasi pemikiran keagamaan akan menjadi hambatan berat. Sikap eksklusif seharusnya
diletakkan pada tataran beliefe,
bukan pada tataran faith. Jika sikap
ekslklusif diletakkan pada tataran faith,
maka upaya mencari titik temu akan menemui jalan buntu, karena yang ada adalah
malah mencari-cari perbedaan akan konsep tuhan yang mereka imani dalam agama
mereka masing-masing. Klimaks dari sikap eksklusif tersebut adalah muncul truth claim terhadap realitas kebenaran
agama masing-masing dan tak jarang menimbulkan radikalisme agama.
Tantangan
dan hambatan yang lain adalah wacana mengenai teologi konvergensi hampir secara
merata berlangsung di tingkat elite terpelajar, sehingga lapisan awam yang
lebih besar jumlahnya tidak mendapatkan akses yang cukup kepada wacana itu. Hal
ini karena teologi konvergensi saat ini hanya lebih dipraktikkan secara
"diskursif" ketimbang secara praktis. Mewacanakan teologi konvergensi
makin nyata peluangnya jika berada pada level akar rumput, sehingga perhatian
harus mulai diarahkan ke sana. Mendialogkan teologi konvergensi sudah
selayaknya mulai menyertakan kaum awam, dan tidak melulu menjadi
"kemewahan" bagi elite agama yang terpelajar.
Selain
tantangan di atas, hal lain yang juga bisa menjadi tantangan dalam mewujudkan
cita-cita teologi konvergensi adalah sebagian besar aktivis yang terlibat dalam
kegiatan mewacanakan dan mendialogkan teologi konvergensi ini kurang begitu "agresif"
memperjuangkan isu ini. Dibanding dengan sejumlah aktivis lain yang berjuang
untuk isu HAM, lingkungan, perempuan, pendidikan sipil (civil education), dan lain-lain, para aktivis yang berjuang untuk wacana
praksis teologi konvergensi kurang agresif dalam mengkampanyekan isu tersebut.
Hal ini bisa jadi diakibatkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah tidak tersedia
cukup funding agency yang membiayai
kegiatan-kegiatan mendialogkan/mewacanakan teologi konvergensi ini. Pihak funding agency mungkin melihat isu-isu
lain ketimbang isu teologi konvergensi.
Faktor
lain yang dapat dianggap sebagai tantangan yang lumayan berat dalam mewacanakan
teologi konvergensi adalah sosialisasi ajaran agama di tingkat akar rumput (grass root society) lebih banyak
dikuasai oleh para juru dakwah yang kurang paham atau menyadari pentingnya wacana
teologi konvergensi. Jalur distribusi ajaran agama di tingkat
"eceran" (meminjam istilah Ulil Abshar Abdallah, yakni merujuk pada
masyarakat grass root) lebih banyak
dikuasai oleh jaringan dakwah dan misi yang mempunyai pandangan agama yang
konservatif. Sementara kaum terdidik yang seringkali terlibat dalam wacana teologi
konvergensi tidak mempunyai basis sosial yang cukup untuk membangun semacam
jaringan distribusi ajaran agama alternatif yang menandingi jalur
"eceran" yang sudah begitu mengakar itu.
Sebagai
contoh untuk tantangan di atas adalah mislanya forum khotbah Jumat, pengajian
di surau, majelis taklim, dan sebagainya. Forum-forum sosialisasi agama yang
lebih menyentuh masyarakat kecil ini tidak pernah dipikirkan oleh para aktivis teologi
konvergensi sebagai "titik lemah" dalam membangun dan mengembangkan
wacana teologi konvergensi guna mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Pertemuan
antar elite agama di tingkat atas yang mengesankan adanya kerukunan antaragama
seringkali dibatalkan oleh juru dakwah di tingkat bawah yang kurang menyadari
pentingnya agenda dialog untuk mewacanakan teologi konvergensi. Lusinan
diskusi, lokakarya dan seremoni yang diadakan untuk membangun dialog &
mewacanakan teologi konvergensi ini seringkali kalah efektif dengan pengajian
yang setiap hari diadakan di majelis taklim. Agenda wacana praksis teologi
konvergensi ke depan adalah bagaimana menguasai jalur "eceran"
distribusi agama ini sehingga tidak sepenuhnya diisi oleh kaum konservatif yang
tidak menyukai dialog untuk mewacanakan teologi konvergensi akibat sikap konservatif
dan eksklusifnya.
Tantangan
berikutnya adalah bagaimana mengadakan dialog untuk mewacanakan teologi
konvergensi ini antara kelompok "pluralis" dengan kelompok
"konservatif". Hal ini perlu dilakuan karena selama ini dua kelompok
tersebut masing-masing menganggap bahwa kelompok lain menganut suatu pemahaman
agama yang "sesat" dan "tidak tepat", sehingga tidak layak
untuk diajak berbicara. Akibatnya adalah bahwa wacana dialog teologi
konvergensi hanya berlangsung di antara orang-orang yang memang sudah dari awal
percaya akan manfaat dialog tentang wacana teologi konvergensi ini. Sudah
saatnya dialog tentang teologi konvergensi ini justru diadakan antara dua
kelompok ini, sehingga sejumlah masalah yang menjadi bahan perbedaan dan
mengganjal bisa diatasi dengan terbuka.
Tentunya
masih banyak lagi tantangan-tantangan yang akan dihadapi ketika mewacanakan
teologi konvergensi ini. Terkadang kendala-kendala yang muncul ini kurang
mendapatkan perhatian yang cukup dari aktivis teologi konvergensi selama ini.
Menurut penulis, perhatian yang selama ini diberikan pada aspek-aspek yang
mempertemukan semua agama (misalnya, seperti gagasan Fritjhof Schuon tentang transcendental unity) harus juga diimbangi
dengan perhatian terhadap sejumlah hal yang menghalangi tercapainya pertemuan (encounter) itu.
Daftar Pustaka
Azhari, Muntaha dan Abdul Mun’im Saleh
(ed.). Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M, 1989.
Bachtiar, Amsal. Filsafat Agama. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. IV. Jakarta:
Balai Pustaka, 1995.
Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia, 1994.
Fadil,
Iqbal. Melihat Kembali Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/melihat-kembali-kerukunan-umat-beragama-di-indonesia.html
(11 Juni 2013).
Hanafi,
A. Pengantar Theology Islam. Cet. V. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989.
Hasyim, Umar. toleransi dan
Kemerdekaan Beragama Dalam Islam sebagai dasar Menuju Dialog dan Kerukunan
Antara Agama. Surabaya: Bina Ilmu, 1978.
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, “Kerukunan Umat
Beragama Maluku Utara Bisa Jadi Contoh Daerah Lain”,
dalam http://puslitbang1.balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=42:kerukunan-umat-beragama-maluku-utara-bisa-jadi-contoh-daerah-lain&catid=9:kub&Itemid=202 (11 Juni 2013).
Saefuddin, A. M. et. al. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Cet. III. Bandung:
Mizan, 1991.
Schwarz, A. A Nation in Waiting. New
South Wales: Allen and Unwin, 1999.
Sudarto. Konflik Islam Kristen:
Menguak akar Masalah Hubungan Antara Umat Beragama di Indonesia. Semarang:
Pustaka Rizki, 1999.
Sumartana,
Th. et al. Pluralisme, Konflik
dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei, 2001.
T. N., “Kerukunan Beragama Sulut Jadi
Contoh Dunia”, dalam http://www.suarapembaruan.com/home/kerukunan-beragama-sulut-jadi-contoh-dunia/33696 (11 Juni 2013).
Wahid, Abdurrahman. “Masa Islam dalam
Kehidupan Bernegara dan Berbangsa”, dalam Prisma, No. 13 (t.b., 1984).
Ya’qub,
Hamzah. Filsafat Agama: Titik Temu
Akal dengan Wahyu. Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1991.
ZTF,
Pradana Boy. Islam Dialektis Membendung
Dogmatisme Menuju Liberalisme. Malang: UMM Press, 2005.
[1] A. M. Saefuddin, et. al., Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi.
Cet. III (Bandung: Mizan, 1991), 47.
[2] A. Hanafi, Pengantar
Theology Islam. Cet. V (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1989), 11.
[3] Hamzah Ya’qub, Filsafat
Agama: Titik Temu Akal dengan Wahyu
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), 10.
[4] Amsal Bachtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 18.
[5] Pradana Boy ZTF, Islam Dialektis Membendung Dogmatisme Menuju
Liberalisme (Malang: UMM Press, 2005), 188.
[6] John M. Echols dan Hasan Shadily,
Kamus Inggris Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1994), 145.
[7]
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Cet. IV (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), 249.
[8] Phillip C. Almound
and Wilfred Cantwel Smith, “As Theologian of Religions” in Harvard Teological Review. Vol. 76 , Number 03
(July, 1983), 335.
[9] Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi
Islam,” Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (ed.), Islam Indonesia Menatap
Masa Depan (Jakarta: P3M, 1989), 81-96.
[10]
Abdurrahman Wahid, “Masa
Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa”, dalam Prisma, No. 13 (t.b.,
1984), 8.
[11] Umar Hasyim, toleransi dan
Kemerdekaan Beragama Dalam Islam sebagai dasar Menuju Dialog dan Kerukunan
Antara Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1978), 335-339; Sudarto, Konflik
Islam Kristen: Menguak akar Masalah Hubungan Antara Umat Beragama di Indonesia
(Semarang: Pustaka Rizki, 1999), 87-108.
[12] Arifin Assegaf, “Konflik antar
Iman,” dalam Th. Sumartana et al., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan
Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei, 2001), 9-43.
[13] A. Schwarz, A Nation in
Waiting (New South Wales: Allen and Unwin, 1999), 388.
[14] Lampiran Kemenag RI No. 81 tahun
1996 tentang petunjuk pelaksanaan penanggulangan kerawanan di bidang kerukunan
keagamaan.
[15] Iqbal Fadil, “Melihat Kembali
Kerukunan Umat Beragama di Indonesia”, dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/melihat-kembali-kerukunan-umat-beragama-di-indonesia.html
(11 Juni 2013).
[16] Ibid.
[17] T. N., “Kerukunan Beragama Sulut
Jadi Contoh Dunia”, dalam http://www.suarapembaruan.com/home/kerukunan-beragama-sulut-jadi-contoh-dunia/33696 (11 Juni 2013).
[18] Puslitbang Kehidupan Keagamaan, “Kerukunan Umat Beragama Maluku Utara Bisa Jadi Contoh
Daerah Lain”, dalam
http://puslitbang1.balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=42:kerukunan-umat-beragama-maluku-utara-bisa-jadi-contoh-daerah-lain&catid=9:kub&Itemid=202 (11 Juni 2013).
In this fashion my friend Wesley Virgin's report begins in this SHOCKING and controversial video.
BalasHapusAs a matter of fact, Wesley was in the military-and soon after leaving-he revealed hidden, "SELF MIND CONTROL" secrets that the CIA and others used to get everything they want.
These are the EXACT same SECRETS tons of celebrities (notably those who "come out of nowhere") and top business people used to become rich and famous.
You've heard that you utilize only 10% of your brain.
Mostly, that's because most of your brainpower is UNCONSCIOUS.
Maybe this expression has even taken place INSIDE OF YOUR very own mind... as it did in my good friend Wesley Virgin's mind around 7 years back, while riding an unlicensed, beat-up trash bucket of a car without a driver's license and with $3 on his banking card.
"I'm so frustrated with going through life check to check! Why can't I turn myself successful?"
You took part in those types of conversations, isn't it right?
Your success story is going to start. You just need to take a leap of faith in YOURSELF.
UNLOCK YOUR SECRET BRAINPOWER