Minggu, 10 Februari 2013

MUHAMMAD IQBAL Sosok Pemikir Fenomenal di Dunia Islam Modern




MUHAMMAD IQBAL
Sosok Pemikir Fenomenal di Dunia Islam Modern

PENGANTAR


Berbicara masalah Islam dan pemikiran tokoh-tokohnya sungguh akan memerlukan waktu yang sangat panjang, mengingat banyaknya figur dan aktifitas yang pernah dilakukannya sehingga mengantarkannya menjadi seorang tokoh, berikut pemikiran-pemikiran yang telah berhasil mengukir sejarah dan melahirkan peradaban baru bagi umat Islam. Salah satu tokoh yang menjadi perhatian para pengkaji adalah Muhammad Iqbal (selanjutnya ditulis Iqbal), seorang muslim mufakkir brilian asal India.
Iqbal adalah seorang intelektual asal India-Pakistan yang telah melahirkan pemikiran dan peradaban besar bagi generasi setelahnya. Ia merupakan sosok pemikir multidisiplin, seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, filosof, pendidik dan kritikus seni. Menilai kepiawaiannya yang multidisiplin itu, pak Natsir mengatakan, "tentulah sukar bagi kita untuk melukiskan tiap-tiap aspek kepribadian Iqbal. Jiwanya yang piawai tidak saja menakjubkan tetapi juga jarang ditemui". Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak perubahan tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hukum Islam dihadapkan kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah hukum Islam memberi jawaban yang cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak perubahan ini.
Di dalam kehidupannya, Iqbal berusaha secara serius terhadap perumusan dan pemikiran kembali tentang Islam. Meskipun Iqbal tidak diberi umur panjang tapi lewat tarian penanyalah yang menghempaskan bangunan unionist dan meratakan jalan untuk berdirinya Pakistan, memang pena lebih tajam dari pada pedang. Dia mengkritik sebab kemunduran Islam kerena kurang kreatifnya umat Islam, konkritnya bahwa pintu Ijtihad telah ditutup. Sehingga umat Islam hanya bisa puas dengan keadaan yang sekarang didalam kejumudan.

PEMBAHASAN


A.    Riwayat Muhammad Iqbal
1.      Kehidupan Pribadi dan Keluarganya
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot, pada tanggal 9 Nopember 1877. Sialkot adalah sebuah kota peninggalan dinasti Mughal India yang sudah lama pudar gemerlapnya. Kota ini terletak beberapa mil dari Jammu dan Kashmir, suatu kawasan yang kelak terus-menerus menjadi sengketa antara India dan Pakistan.[1]
Kakek Iqbal, Syaikh Rafiq adalah seorang penjaja selendang dari Looehar, Kashmir. Penduduk Kashmir yang awalnya beragama Hindu kemudian telah menganut Islam selama kurang lebih 500 tahun. Jika diikuti, jejak leluhur Iqbal berasal dari kalangan Brahmana, subkasta Sapru. Ayahnya, Syaikh Nur Muhammad memiliki kedekatan dengan kalangan sufi. Karena kesalehan dan kecerdasannya, penjahit yang cukup berhasil ini dikenal memiliki perasaan mistis yang dalam serta rasa keinginyahuan ilmiah yang tinggi. Tidak heran, jika Nur Muhammad dijuluki kawan-kawannya dengan sebutan ”sang filosof tanpa guru” (un parh falsafi).[2]
Ibunda Iqbal, Imam Bibi, juga dikenal sangat religius. Ia membekali kelima anaknya, tiga putri dan dua putra, dengan pendidikan dasar dan disiplin keislaman yang kuat. Di bawah bimbingan kedua orang tuanya yang taat inilah Iqbal tumbuh dan dibesarkan. Kelak dikemudian hari, Iqbal sering berkata bahwa pandangan dunianya tidaklah dibangun melalui spekulasi filosofis, tetapi diwarisi dari kedua orang tuanya tersebut.
Masa kanak-kanak Iqbal dihabiskan di kota perbatasan Punjab ini melalui kesenangan berolah raga dan bercengkrama dengan kawan-kawan. Ketika itu ia dikenal menyukai ayam hutan dan senang memelihara burung merpati.
Di usia dewasa, Iqbal menghabiskan waktunya di kota Lahore, kuliah di sebuah perguruan tinggi terkemuka. Sebelum masuk kuliah (1892) Iqbal dinikahkan orang tuanya dengan Karim Bibi, putri seorang dokter Gujarat yang kaya, Bahadur ’Atta Muhammad Khan. Dari Bibi, Iqbal dikaruniai tiga orang anak, Mi’raj Begum, yang wafat diusia muda, Aftab Iqbal, yang mengikuti jejak Iqbal belajar filsafat, dan salah satu lagi meninggal saat dilahirkan.[3]
Ketika di Eropa, Iqbal sempat menjalin persahabatan mendalam dengan seorang perempuan Muslim avant-garde bernama Atiya Begum Faizee. Namun Iqbal lebih suka memendam cintanya itu karena perbedaan latar belakang keluarga.
Pada tahun 1909, Iqbal dinikahkan dengan Sardar Begum, seorang wanita muda yang cantik namun rapuh fisiknya. Namun, pernikahan tersebut tidak sempurna. Karena sejunlah alasan, Iqbal sempat terpisah beberapa lama dengannya. Namun, pada akhirnya mereka kemudian menikah untuk kedua kalinya (1913). Sardar Begum memberikan cinta, pengabdian, dan ketenangan batin bagi Iqbal. Namun ia wafat dalam usia muda (37 tahun). Ia meninggalkan satu putra Javid Iqbal dan seorang putri, Munirah. Rentang masa berpisah dengan Sardar Begum, Iqbal sempat menikah dengan Mukhtar Begum yang meninggal pada tahun 1924.[4]
2.      Pendidikan dan Karir Pekerjaan
Di masa kecilnya Iqbal telah dididik dengan dasar agama yang kuat. Ia dididik untuk belajar menghafal al-Qur’an, baik oleh orang tuanya maupun oleh guru-gurunya di Maktab (madrasah).
Atas prestasinya, selepas dari sekolah menengah (1893), Iqbal memperoleh beasiswa ke perguruan tinggi. Mir Hassan, seorang Profesor Sastra Timur di Scocth Mission College, membujuk karibnya Nur Muhammad agar mengizinkan Iqbal melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi  modern pertama di wilayah tersebut. Di sekolah yang didirikan para missionaris Scotlandia dan Belanda inilah semangat intelektual Iqbal mulai tumbuh. Belum lagi didikan privat Mir Hasan dalam pengetahuan kesusasteraan Arab, Urdu, dan Persia, semakin menghidupkan bakat kepenyairan Iqbal.
Dua tahun kemudian, Iqbal menyelesaikan kuliah ilmu-ilmu humaniora di sekolah tersebut. Karena kecemerlangannya, Iqbal didorong oleh para dosen dan orang tuanya untuk melanjutkan kuliah di Government College, Lahore. Di salah satu lembaga pendidikan terbaik anak benua India  ini, Iqbal menekuni sastra serta filsafat Arab dan Inggris. Ia lulus dengan predikat cumlaude.
Melalui beasiswa yang diperolehnya, Iqbal kemudian melanjutkan kuliah magisternya di bidang filsafat. Pada masa ini, perkembangan intelektual Iqbal tak lepas dari persahabatan guru-murid dengan Sir Thomas Arnold, guru besar filsafat yang sangat mengerti tentang kebudayaan Islam dan kesusasteraan Arab. Dialah yang memberi motivasi kepada Iqbal untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang  yang lebih tinggi di Eropa.[5]
Meski mencintai filsafat, Iqbal berupaya memperbaiki keadaan sosialnya dengan menjadi pengacara. Namun ujian awal ilmu hukum yang diikutinya pada tahun 1898 mengalami kegagalan. Setahun kemudian (1899), Iqbal kembali menunjukkan kejeniusannya dengan menjadi satu-satunya calon yang lulus ujian komprehensif akhir sehingga mendapat penghargaan berupa medali emas. Beberapa bulan setelah meraih gelar masternya di bidang filsafat itu, Iqbal kemudian mendapat tawaran menjadi asisten dosen.
Karir pertamanya, ia ditunjuk sebagai asisten pengajar bahasa Arab di Macleod-Punjab Reader of Arabic, University Oriental College (1899-1990). Di samping itu ia diminta mengajar pula mata kuliah sejarah dan ekonomi. Setelah itu, Iqbal mengundurkan diri untuk menjadi asisten tidak tetap profesor bahasa Inggris di Islamic and Goverment College selama tiga tahun (1901-1904).[6] Sebenarnya, pada masa-masa ini (1901-1905) Iqbal yang ambisius, mengalami ketidak puasannya akan profesi akademisnya itu. Di samping prestise sosial yang rendah, perannya sebagai profesor sangat terkekang. Ketika itu, pemerintah Inggris mengawasi pendidikan secara ketat sehingga kebebasan berpikir dan berekspresi menjadi terbatas.
Untuk itulah Iqbal mencoba pada tahun 1901 mengikujti seleksi sebuah posisi bergengsi sebagai Komisi Asisten Tambahan (Extra Assistant Commisioner). Meski telah melewati berbagai tahap ujian, Iqbal gagal diterima dengan alasan tidak lulus uji kesehatan.
Tahun 1905, Iqbal berangkat studi ke Eropa. Sambil menyiapkan disertasi doktornya di bidang filsafat, Iqbal terlebih dahulu memperdalam pengetahuan filsafatnya di universitas Cambridge, dengan mengambil kuliah bachelor pada jurusan filsafat. Di bawah bimbingan Dr. John Mc. Taggart dan James Ward, Iqbal menyelesaikan studinya dalam bidang filsafat moral (1907). Di samping itu, Iqbal mengambil pula kesempatan di universitas tersebut untuk menimba ilmu dari dua orientalis terkemuka saat itu, E. G. Brown dan Reynold A. Nicholson.
Selanjutnya Iqbal meneruskan niatnya pergi ke Jerman. Pertama-tama ia belajar bahasa dan filsafat Jerman di universitas Heidelberg dari Fraulein Wagnast dan Fraulein Senecal. Secara menakjubkan, Iqbal berhasil menguasai bahasa Jerman dalam waktu tiga bulan. Di universitas Munchlah Iqbal mengajukan disertasinya yang berjudul ”The Development of Metaphysic in Persian: A Contribution to the History of Islamic Philosophy” kepada Prof F. Homel. Gelar dictoris philosophiae gradum diperolehnya pada tahun yang sama.[7]
Tidak puas dengan itu, Iqbal kembali ke London untuk menyiapkan bekal bagi profesi pragmatisnya di India kelak. Ia belaja di Lincoln’s Inn untuk gelar pengacara dan berhasil lulus pada tahun 1908. Selama beberapa waktu, Iqbal sempat pula masuk ke School of Political Sciences dan menggantikan Sir Thomas Arnold selama kurang lebih tiga bulan.
Iqbal kembali ke tanah airnya, India pada tahun 1908. untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Iqbal menjalani profesi sebagai pengacara yang berwenang dalam urusan naik banding. Di samping itu ia pun kembali mengajar sebagai asisten professor di Government College, memberi kuliah filsafat, sastra Arab, dan sastra Inggris selama kurang lebih satu setengah tahun.
Meski ia mengundurkan diri dari aktivitas pengajaran dan lebih memusatkan diri pada profesi kepengacaraannya, Iqbal tetap aktif di perguruan tinggi tersebut pada berbagai lembaga dan badan yang ada di dalamnya. Bahkan, Iqbal sempat menjabat Dekan Fakultas Kajian-Kajian ketimuran dan Kepala Jurusan Kajian-Kajian Filsafat.
Sejak Oktober 1908 sampai dengan tahun 1934 atau emat tahun sebelum wafatnya, Iqbal setia menjalani praktik pengacaranya sambil terus aktif sebagai pengajar, penulis, penyair, sekaligus politisi. Iqbal meninggal dunia pada 21 April 1938[8] pada usia 65 tahun setelah mengalami sakit agak lama. Sayangnya beliau tidak sempat melihat sebagian dari usaha dan impiannya yang kemudian setelah ia wafat menjadi kenyataan. Sesaat sebelum wafatnya, sang penyair besar itu menggoreskan sajak: Bila beta telah pergi meninggalkan dunia ini, Tiap orang kan berkata ia telah mengenal beta. Tapi sebenarnya tak seorang pun kenal kelana ini, apa yang ia katakan siapa yang ia ajak bicara dan dari mana ia datang.[9]
Nama Iqbal diabadikan menjadi nama Lapangan Terbang Pakistan, Allama Iqbal International Airport. Dan generasi setelahnya, tidak hanya Muslim, mengenangnya sebagai seorang pemikir besar yang mengabadikan fikirannya dengan puisi karena Iqbal begitu menghargai seni, khususnya puisi. Puisi, menurut Iqbal, adalah cahaya filsafat sejati dan pengetahuan yang lengkap. Tujuannya membantu manusia dalam perjuangannya melawan semua keburukan dengan mengimbau kepada unsur-unsur kemuliaan. Peranan seni adalah bersifat sosial. Ia adalah penuntun kemanusiaan.

B.     Buah Karya Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal adalah seorang yang kreatif berpuisi. Segala pemikiran dan perjuangannya terpancar dalam puisinya yang bernafaskan Islam dengan pengolahan bahasa dan bait syair yang indah. Oleh kerana itu beliau lebih dikenal sebagai sastrawan besar islam. Antara karya puisinya yang dianggap besar pernah diterbitkan ialah Asrari Khudi (Rahasia Pribadi), terbit pada tahun 1915, diikuti dengan Rumuz bi Khudi (Rahasia tidak Mementingkan Diri Sendiri), pada tahun 1917, Fayami Mashriq (Pesan Untuk Timur), Tulu'ul Islam (Munculnya Islam) dan banyak lagi pada tahun-tahun berikutnya, bukunya yang dianggap penting ialah Reconstruction of Religious Thought in Islam (Membina Kembali Cita-Cita Keagamaan Dalam Islam), Develoment of Methaphysies in Persia : A Contribution to the History of Moslem Philoshopy (perkembangan metafisika Persia suatu sumbangan untuk sejarah filsafat Islam) dan sebuah lagi yang tidak dapat disiapkannya kerana sakit tua yang dideritanya ialah The Reconstruction of Muslim Jurisprudence. Kebanyakan sajak-sajaknya ditulisnya dalam bahasa Parsi dan Urdu.

C.    Pemikiran Muhammad Iqbal
1.      Pertautan Barat dan Timur
Iqbal, penyair dan filsuf Timur, telah mengukir hidupnya sedemikian rupa hingga akan dikenang umat manusia ratusan tahun yang akan datang, sebab seluruh karyanya dalam bentuk puisi dan prosa dalam bahasa Urdu, Parsi, dan Inggris telah terdokumentasi dengan baik. Intelektualisme Iqbal dapat ditinjau dari berbagai jurusan: puisi, filsafat, hukum, pemikiran Islam, dan kebudayaan dalam makna sempit.
Dalam semua wilayah itu, Iqbal telah mengerahkan hampir seluruh energinya dengan tujuan tunggal: reorientasi nilai-nilai kemanusiaan Timur dan Barat dengan landasan tauhid yang teramat kokoh. Peradaban Barat, sekalipun dalam beberapa segi dikaguminya, dalam perspektif moral transendental sudah sangat jauh meluncur ke jurang berbahaya. Sementara Timur yang terpasung dalam spiritualisme, telah lama pula dalam keadaan steril tanpa dinamika. Lalu untuk membangun sebuah peradaban baru yang anggun dan segar diusulkannya agar Barat dan Timur diprtautkan dengan mengawinkan penalaran (ziraki) dan cinta (’isyq).[10]
Dalam sajak di bawah ini dapat dilihat betapa rindunya Iqbal untuk melihat Barat dan timur tidak lagi berada dalam dua kutub dikotomis, tetapi dalam posisi yang saling mengisi:
Bagi Barat penalaran (akal) merupakan instrumen kehidupan;
Bagi Timur rahasia alam semesta terletak dalam cinta (’isyq).
Dengan bantuan cinta akal akan berkenalan dengan Realitas;
Sedangkan untuk penguatan fondasinya, cinta menerima kekuatan dari akal.
Bila cinta dan penalaran saling berpelukan,
Akan terciptalah sebuah dunia baru;
(oleh sebab itu), Bangkitlah dan bangunlah sebuah dunia baru itu.
Dengan mengawinkan cinta dan penalaran.
Obsesi Iqbal adalah cepat terwujudnya saling pengertian spiritual antara  Barat dan Timur. Bertolak dari doktrin al-Qur’an tentang persaudaraan universal umat manusia, penyair ini pada masa hidupnya amat gelisah menyaksikan konflik berkepanjangan antara Barat dan Timur. ”Keperluan yang mendesak sekarang”, tulis William O. Douglas dari Mahkamah Agung Amerika Serikat beberapa dekade yang lalu, ” ialah terciptanya saling pengertian antara Barat dan timur. Keperluan akan saling pengertian ini adalah untuk level intelektual tertinggi, sebab dengan cara begitu, peradaban-peradaban yang berbeda masing-masing berhak atas kebesarannya sendiri—boleh jadi akan saling mengenal dan memahami antara satu dengan lainnya. Pengenalan akan membuahkan toleransi, saling menghormati, dan saling mengagumi.”[11]
Iqbal adalah seorang pemikir kontemporer yang sangat gigih melawan rasialisme yang telah membelah dan menghancurkan persaudaraan universal antarumat. Dalam suratnya yang tertanggal 24 Januari 1921 kepada Dr. Nicholson, Iqbal mengkritik Ernest Renan yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah musuh besar Islam. Renan sama sekali salah, kata Iqbal. Musuh Islam yang terbesar menurut Iqbal adalah gagasan tentang ras (race-idea) yang juga sebenarnya merupakan musuh terbesar kemanusiaan. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban seluruh pecinta kemanusiaan untuk berontak melawan hasil temuan setan yang mengerikan ini.
Demi penyatuan umat manusia di muka bumi, kata Iqbal, al-Qur’an mengabaikan perbedaan-perbedaan kecil antarsesama. Untuk tujuan ini ia mengutip surat Ali-Imran ayat 64: ”Marilah kita bersatu atas platform yang sama antara kita”. Dan bagi Iqbal, gagasan tentang persaudaraan universal umat manusia ini tidak mungkin menjadi kenyataan, bila kekuatan-kekuatan sejarah masih disominasi oleh budaya sekularistik-ateistik.
2.      Pemikiran tentang Al-Qur’an
Sebagai seorang yang terdidik dalam keluarga yang kuat memegang prinsip Islam, Iqbal meyakini bahwa al-Qur’an adalah benar firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dengan pernyataannya “The Qur’an Is a book which emphazhise deed rather than idea” (al-Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun dia berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah undang-undang. Dia berpendapat bahwa penafsiran al-Qur’an dapat berkembang sesuai dengan perubahan jaman, dan pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan utama al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, jika al-Qur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah yang dituntut untuk mengembangkannya. Dalam istilah fiqh hal ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam pandangan Iqbal adalah sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam. Disamping itu al-Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al-Qur’an tidak melarang untuk memperimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Akibat pemahaman yang kaku terhadap ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya.[12]
Iqbal juga mengeluh tentang ketidakmampuan masyarakat India dalam memahami al-Qur’an disebabkan tidak memahami bahasa arab dan telah salah mengimpor ide-ide India (Hindu) dan Yunani ke dalam Islam dan Al-Qur’an. Iqbal begitu terobsesi untuk menyadarkan umat Islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaaan statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun ummat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan legalitas kehidupan duniawi. Sedangkan kegagalan Kristen adalah dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan Negara, undang-undang dan organisasi disebabkan terlalu mementingkan segi ibadah ritual. Dalam kegagalan kedua agama tersebut, menurut Iqbal, al-Qur’an berada di tengah-tengah dan sama-sama mengajarkan keseimbangan kedua kehidupan tersebut, tanpa membeda-bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali. Inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya Negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu.
3.      Pemikiran tentang Hadith
Sejak dulu hadith memang selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan orientalis. Tentu saja maksud dan titik berangkat dari kajian tersebut berbeda pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap ajaran Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam lewat ajaran Islam itu sendiri.[13]
Iqbal memandang bahwa ummat Islam perlu melakukan studi mendalam terhadap literatur hadith dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyunya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai-nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al-Qur’an.
Iqbal sepakat dengan pendapat Syaikh Waliyullah tentang hadith, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya, Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terkait oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadits yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadith-hadith pada jamannya belum dikumpulkan, karena Abu Malik dan Az-Zuhri telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadith daripada koleksi belaka.[14]
4.      Pemikiran tentang Ijtihad
Menurut Iqbal, ijtihad adalah “Exert with view to form an independent judgment on legal question” (bersungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang, baik hadith maupun al-Qur’an memang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut. Disamping ijtihad pribadi, hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (madzhâb). Sebagaimana mayoritas ulama, Iqbal membagi ijtihad ke dalam tiga tingkatan, yaitu :[15]
1.      Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhâb-mazhâb saja.
2.      Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhâb.
3.      Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terkait pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhâb.
Iqbal menggaris bawahi pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl al-sunnah, tetapi dalam kenyataannya dipungkiri sendiri sejak berdirinya mazhâb-mazhâb. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam suatu sistem hukum al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibat ketentuan ketatnya ijtihad ini, menjadikan hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang . Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma’ hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konsekuensinya, hukum Islam pun statis tidak berkembang selama beberapa abad.

5.      Pemikiran Politiknya
            Pada tahun 1927, Iqbal berkiprah di arena politik secara aktif dan Ia dipilih sebagai perwakilan Dewan Punjab selama tiga tahun. Selanjutnya pada tahun 1930 diangkat menjadi presiden Sidang Tahunan Liga Muslim yang berlangsung di Allahabad. Dalam kesempatan ini Iqbal mengutarakan ide pembentukan sebuah negara Islam Pakistan. Ide ini dibentangkan berdasarkan geografi, keagamaan dan kesejahteraan masyarakat Islam yang jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan masyarakat Hindu. Tujuan membentuk negara islam itu ditegaskan oleh Iqbal dalam rapat Liga Muslim pada tahun 1930 yang mendapat dukungan dari para anggotanya. Sejak saat itu ide dan tujuan pembetukan negara Islam tersebut diumumkan secara resmi dan kemudian menjadi tujuan perjuangan nasional umat Islam India. Disebabkan gagasan ide ini, Iqbal telah diberi julukan sebagai : ‘Bapak Pakistan’. Daerah-daerah yang diinginkan oleh Iqbal menjadi satu negara Islam India adalah Punjab, daerah perbatasan Utara Sind dan Balukhistan. Di samping menyuarakan pembentukan negara Islam Pakistan, Iqbal juga menyeru kepada kebangkitan dan mempererat persaudaraan Islam sedunia. Bagaimanapun sebagai seorang yang dilahirkan di Timur, Iqbal tetap mempertahankan dan menyanjung kebudayaan dan keperibadian Timur yang halus, tinggi dan indah. Tentunya termasuk dalam arti kata Timur itu ialah hasil budaya masyarakat benua kecil India. Terbentuknya negara islam Pakistan sebagaimana yang dicita-citakan Muhammad Iqbal dapat tercapai pada tahun 1947 setelah beliau meninggal dunia.



KESIMPULAN


Muhammad Iqbal merupakan sosok pemikir multi disiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, pendidik, filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang sesungguhnya, Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam secara liberal dan radikal.
Dalam mencari konsep sastra Islam, jelas bahwa Muhammad Iqbal adalah salah seorang tokoh besar yang dapat menjadi contoh. Iqbal tidak hanya semata-mata kepunyaan Pakistan, tetapi juga kepunyaan seluruh dunia Islam. Semakin dunia sadar akan kemurnian Islam, semakin terasa kebenaran pendapat dan falsafah Iqbal yang terpancar melalui syair-syairnya dan terasa dekatnya Iqbal itu dengan diri kita. Rahasia kejayaan dan kekuatan Iqbal bersumber pada Al-Qura'an dan al-Sunnah yaitu dua sumber besar yang terbukti mampu merubah dunia dan telah disaksikan sepanjang sejarah manusia.
Pena lebih tajam dari pedang. Tak diragukan lagi pengaruh pena Iqbal dalam khazanah pemikiran Islam luar biasa besarnya. Tak hanya dunia Timur-Islam, tetapi juga Timur-non Islam dan Barat. Kejeniusannya dalam memadukan syair dan filsafat ditambah lagi sikap relegiusnya yang mendalam telah menimbulkan decak kagum para filosof dan penyair di berbagai belahan dunia. Tak hanya itu, Iqbal juga telah melakukan sintesis pemikiran Timur dan Barat dengan kekhasan yang belum ada bandingnya.
Tanggapannya terhadap pemikiran Barat mengajarkan umat Islam untuk tidak berapologi atau mencaci maki setiap bersentuhan dengan khazanah Barat. Sikap yang baik adalah memanfaatkan apa-apa yang baik dari khazanah Barat untuk merekonstruksi Islam dan kemajuannya. Terbukti Iqbal banyak terpengaruh para filosof Barat seperti Nitzsche atau Henry Bergson. Walaupun Iqbal sebagian menolak konsep mereka tentang moralitas, juga tentang kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis, tanpa tujuan.



DAFTAR PUSTAKA



Adian, Donny Gahral. Muhammad Iqbal (Jakarta: Teraju, 2003), 23.
Fathurrahman, “Pemikiran Muhammad Iqbal”, Bank Makalah (19 Mei 2008).
Habibi, Ujang. “Muhammad Iqbal dan Pokok-Pokok Pemikirannya”, dalam Jurnal Dakwah (10 Juni 2009).
Ma’arif, Ahmad Syafi’I. “Muhammad Iqbal dan Suara Kemanusiaan dari Timur” dalam Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam. Yogyakarta: Jalasutra, 2002.
Mahfudz, Herisuanto bin. “Muhammad Iqbal”, dalam Dapur Kajian Agama Islam. (25 Juni 2008).
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang 1987.


[1] Donny Gahral Adian, Muhammad Iqbal (Jakarta: Teraju, 2003), 23.
[2] Ibid., 24.
[3] Ibid., 25.
[4] Ibid.
[5] Ibid., 27.
[6] Ibid., 28.
[7] Ibid., 29.
[8] Ahmad Syafi’I Ma’arif, “Muhammad Iqbal dan Suara Kemanusiaan dari Timur” dalam Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam (Yogyakarta: Jalasutra, 2002), 13.
[9] Herisuanto bin Mahfudz, “Muhammad Iqbal”, dalam Dapur Kajian Agama Islam, (25 Juni 2008), 1.
[10] Ma’arif, Muhammad Iqbal……………, 14.
[11] Ibid., 16.
[12] Ujang Habibi, “Muhammad Iqbal dan Pokok-Pokok Pemikirannya”, dalam Jurnal Dakwah (10 Juni 2009), 1.
[13] Fathurrahman, “Pemikiran Muhammad Iqbal”, Bank Makalah (19 Mei 2008), t. h.
[14] Ujang Habibi, Muhammad Iqbal………., 1.
[15] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1987), 191.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AWAL PERTAMA TINGGAL DI TULUNGAGUNG DAN SERUNYA BERBELANJA DI PASAR TRADISIONAL TAMANAN TULUNGAGUNG

Saya dan Zidan (anak saya) di Alun-Alun Tulungagung saat masih seminggu tinggal di Tulungagung,   dan Zidan masih berumur 1 tahun Sudah menj...