EPISTEMOLOGI ARISTOTELES
Lailatuzz
Zuhriyah, S.Th.I, M.Fil.I
ABSTRAK
Aristoteles adalah
filosof pada masa Yunani klasik yang dikenal sebagai murid dari Plato. Namun
dalam segi epistemologi nampaknya Aristoteles terlihat kontra dengan gurunya. Baginya,
tujuan akhir dari filsafat adalah pengetahuan tentang adanya yang umum. Aristoteles
berkeyakinan bahwa dengan jalan pengertianlah kebenaran yang sebenarnya akan dapat
dicapai. Lalu bagaimana memikirkan adanya ’itu’? Menurutnya, adanya ’itu’ tidak
dapat diketahui dari materi, benda belaka dan tidak pula dari pikiran
semata-mata yang umum, seperti pendapat Plato, melainkan adanya ’itu’ terletak
dalam barang-barang satu-satunya, selama barang itu ditentukan oleh yang umum.
Berbeda dengan Plato yang mendasarkan pandangannya pada yang abstrak,
Aristoteles mendasarkan pandangannya lebih realis. Baginya, sesuatu dianggap
ada jika dia itu konkret atau nyata. Untuk memperoleh kesimpulan yang umum,
Aristoteles menjelajah lebih dahulu medan ilmu-ilmu spesial, sesudah itu baru
meningkat ke bidang filosofi untuk memperoleh kesimpulan tentang yang umum.
Aristoteles dikenal dengan pandangannya tentang logika, oleh karena itu dirinya
dianggap sebagai pendiri cabang filsafat yang penting ini. menurutnya, tugas
logika yang utama adalah mengakui hubungan yang tepat antara yang umum dan yang
khusus, oleh karena itu, maka dasar-dasar berpikir dengan pengertian yang
berasal dari Sokrates menjadi pusat pemikiran logikanya. Dasar ajaran Aristoteles tentang logika berdasarkan atas
ajaran tentang jalan pikiran (ratio-cinium) dan bukti. Jalan pikiran itu
baginya berupa syllogismus (silogisme), yaitu putusan dua yang tersusun
sedemikian rupa sehingga melahirkan putusan yang ketiga. Untuk dapat
menggunakan syllogismus dengan benar, seseorang harus tahu benar sifat
putusan itu. Filsafat tentang logika ini menjadi dasar filsafat pengetahuan. Dalam hal
ini, filsafat pengetahuan Aristoteles merupakan kebalikan dari filsafat
pengetahuan Plato. Dasar filsafat pegetahuan Aristoteles bukanlah intuisi,
tetapi abstraksi. Oleh karena itu, benar bila dikatakan bahwa Aristoteles tidak
selalu sepaham dengan gurunya sendiri, Plato, bahkan mungkin bertentangan.
Kata kunci: Epistemologi, Aristoteles, Logika,
Sillogisme.
PEMBAHASAN
- Defenisi Epistemologi
Salah satu objek kajian yang menyibukkan
filsafat – paling tidak sejak munculnya kaum Sofis pada zaman Yunani Kuno
sampai dewasa ini – adalah gejala pengetahuan. Cabang ilmu filsafat yang secara
khusus menggeluti pertanyaan- pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar
tentang pengetahuan disebut Epistemologi.[1]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa
epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai
masalah hakikat pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi merupakan disiplin
filsafat yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan.
Dalam kepustakaan yang membicarakan
epistemologi terdapat sejumlah istilah yang mempunyai pengertian sama atau
hampir sama dengan pengertian yang dikandung oleh epistemologi. Istilah dan
kandungan maknanya dibahas dibawah ini:
1. Epistemologi
Secara etimologis, epistemologi berasal
dari bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya
pengetahuan; logos biasanya dipakai untuk menunjuk pengetahuan sistematik.
Sehingga dapat disimpulkan epistemologi adalah pengetahuan sistematik tentang
pengetahuan.
Episteme bukanlah satu-satunya kata
dalam bahasa Yunani yang mempunyai arti pengetahuan, sebab terdapat kata gnosis
yang juga berarti pengetahuan. J. F. Ferrier merupakan orang yang pertama kali
menggunakan istilah epistemologi di samping Gnoseologi untuk
menunjuk arti pengetahuan.[2]Epistemologi
dalam bahasa Jerman sebagaimana telah dipergunakan oleh Immanuel Kant adalah erkentnistheorie,
sedang dalam bahasa Belanda adalah kennisleer atau Kentheorien.
2. Gnoselogi
Epistemologi juga disetarakan dengan Gnoseologi.
Gnosis berasal dari kata gignosko, yang berarti menyelami,
mendalami. Oleh karena itu, episteme berarti suatu upaya intelektual untuk
menempatkan sesuatu di dalam kedudukan setepatnya, sedang kata gnosis
lebih merupakan pengetahuan dalam arti pengertian batin, atau pengetahuan
tentang ketuhanan.[3]
3. Criteriologi
Epistemologi kadangkala juga disamakan
dengan Critica atau Criteriologi, yaitu pengetahuan sistematik
tentang kriteria, patokan, untuk menentukan pengetahuan yang benar dan yang
tidak benar. Sebenarnya criteriologi berasal dari bahasa Yunani Krinomai
yang artinya adalah mengadili, memutuskan, dan menetapkan. Dalam kaitan dengan
tindakan kognitif-intelektual memang mengadili pengetahuan yang benar dan yang
tidak benar adalah dekat dengan episteme. Fungsi kritik dari
epistemologi terhadap pengetahuan mengakibatkan ia sering disebut dengan
”kritik pengetahuan”.[4]
4. Logika Material
Epistemologi kadangkala juga disebut
Logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Namun ada perbedaan antara logika formal
dan logika material, dimana logika formal mempelajari struktur berpikir dan
dalil-dalilnya, misalnya: silogisme. Logika material mempelajari hal
pengetahuan, kebenaran, kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.
Berpikir logis adalah berpikir dengan bertumpu pada logika, berpikir logis
belum tentu berpikir kritis. Penalaran yang sudah teratur belum tentu
mengandung kebenaran dan kepastian.
5. Teori Pengetahuan
Epistemologi juga dinamakan ”teori
pengetahuan” (theory of knowledge), ialah suatu ilmu yang mula-mula
menanyakan, ”Apakah pengetahuan?”. Hal itu meliputi banyak pertanyaan lainnya,
seperti: ”Apakah kebenaran?”, ”Apakah kepastian?”, dan lawannya, seperti:
”Apakah ketidak tahuan?”, ”Apakah kesalahan?”, ”Apakah keraguan?”. Masing-masing
pertanyaan masih meliputi yang lainnya, seperti ”Apakah kesadaran?”, ”Apakah
sadar?”, ”Apakah intuisi?”, ”Apakah penyimpulan?”, ”Apakah sensasi, persepsi,
konsepsi, memory, imajinasi, antisipasi, berpikir, budi, kehendak, frustasi,
mempertanyakan, pemecahan masalah, perasaan, emosi, interest, kegunaan, bahasa,
komunikasi, bermimpi, persetujuan, mengidealisasi, menyukai, tidak menyukai,
menghendaki, mengharapkan, takut, kepuasan hati, dan apati?”. Sebagai hasil
penyelidikan lebih dalam ke dalam pertanyaan-pertanyaan di depan.[5]
Sedangkan pengertian Epistemologi Sain
itu sendiri adalah suatu cara yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan sains
dan cara mengukur benar tidaknya pengetahuan sains.
- Riwayat Singkat Aristoteles
Salah satu filosof yang dianggap sangat berjasa dalam meletakkan
sendi-sendi pertama rasionalitas Barat adalah Aristoteles, yang merupakan murid
Plato. Meskipun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan pandangan,
tetapi Aristoteles dianggap sebagai murid yang mewarisi pemikiran-pemikiran
gurunya, dan dianggap sebagai salah satu tokoh penggerak zaman.
Dia juga dianggap sebagai peletak tonggak dasar dalam sejarah pemikiran
Barat. Bahkan Michael H. Hart menilai bahwa Aristoteles adalah seorang filosuf
dan ilmuwan terbesar dalam dunia masa lampau. Dia memelopori penyelidikan ihwal
logika, memperkaya hampir tiap cabang falsafah dan memberi sumbangsih tak
terperikan besarnya terhadap ilmu pengetahuan.[6] Meskipun
banyak ide-ide Aristoteles yang tampaknya kini sudah ketinggalan zaman, tetapi
yang paling penting dari apa yang pernah dilakukannya adalah pendekatan
rasional yang senantiasa melandasi karyanya.
Aristoteles lahir pada tahun 384 SM di
Stageira, suatu kota di Yunani Utara. Ayahnya adalah dokter pribadi Amyntas II,
raja Makedonia. Mungkin sekali dalam masa mudanya ia hidup di istana raja
Makedonia di kota Pella dan dapat diandaikan pula bahwa ia mewarisi minatnya
yang khusus untuk ilmu pengetahuan empiris dari ayahnya. Pada usia 17 atau 18
tahun, Aristoteles dikirim ke Athena, supaya ia belajar di Akademia Plato. Ia
tinggal di sana sampai Plato meninggal pada tahun 348/7 SM; jadi, kira-kira 20
tahun lamanya. Pada waktu ia berada dalam Akademia,
Aristoteles menerbitkan beberapa karya. Ia juga mengajar anggota-anggota
Akademia yang lebih muda, rupanya tentang mata pelajaran logika dan retorika.[7]
Aristoteles merupakan salah satu murid Plato yang sangat cepat dikenal
karena dia tidak mau sekedar bernaung dibawah keagungan sang guru. Itu pula
sebabnya dia dikenal sebagai murid “tukang kecam” dan senang mendebat sang guru
yang banyak dihormati oleh banyak muridnya yang lain, kendati kecamannya sering
kali tidak relevan, dan menunjukkan ketakfahamannya terhadap ajaran Plato.
Namun, jika ditanya mengapa dia mengecam Plato, dia akan menjawab : “Amicus
Plato, sed magis amica veritas” yang berarti “Plato kukasihi, tapi aku lebih
mengasihi kebenaran.” Oleh karena itu, sebagian pakar berpendapat bahwa
hubungan Aristoteles dan Plato sesungguhnya telah retak sejak jauh sebelum
menjelang kematian Plato. Oleh sebab itu, Plato tidak menunjuk Aritoteles untuk
menjadi penggantinya dalam memimpin Akademia, melainkan menunjuk Speusippos.
Hal itu tentu sangat mengecewakan Aristoteles.[8]
Sekitar tahun 342 SM Aristoteles
diundang raja Philipos dari Makedonia, anak Amyntas II untuk mendidik anaknya
yang bernama Alexander yang masih berusia 13 tahun. Tahun 340 SM Alexander diangkat
menjadi pejabat raja Makedonia dan empat tahun kemudian ia menggantikan ayahnya
sebagai raja Makedonia pada usia 19 tahun. Tugas
Aristoteles di istana Pella sudah selesai pada tahun itu. Setelah itu, ia
menetap di kota asalnya, Stageira. Di kemudian hari, Aristoteles menulis suatu
karangan bagi Alexander yang disebut Perihal Monarki dan suatu karanga
lain Tentang Pendirian Perantauan.
Tidak lama setelah Alexander Agung
dilantik menjadi raja, Aristoteles kembali ke Athena, di mana Xenokrates sudah
menggantikan Speusippos sebagai kepala Akademia. Namun Aristoteles tidak
kembali ke Akademia, agaknya karena pemikirannya sudah berkembang jauh dari
filsafat Akademia. Dengan bantuan dari Makedonia, ia mendirikan suatu sekolah
sendiri yang dinamakan Lykeion (dilatinkan : Lyceum), karena tempatnya
dekat halaman yang dipersembahkan kepada dewa Apollo Lykeios. Dengan semangat
besar sekali para anggota Lykeion mempelajari semua ilmu yang dkenal pada waktu
itu. Aristoteles membentuk suatu perpustakaan yang mengumpulkan macam-macam manuskrip
dan peta bumi; menurut kesaksian Strabo, seorang sejarawan Yunani-Romawi,
itulah perpustakaan pertama dalam sejarah manusia. Mungkin Aristoteles membuka
juga semacam museum yang mengumpulkan semua benda yang menarik perhatian,
terutama dalam bidang biologi dan zoologi. Diceritakan, Alexander memberi suatu
sumbangan besar untk membentuk koleksi itu dan memerintahkan semua pemburu,
penangkap unggas, dan nelayan dalam kerajaannya, supaya mereka melaporkan
kepada Aristoteles mengenai semua hasil yang menarik dari sudut ilmiah.[9]
Aristoteles mempunyai seorang istri yang
bernama Pythias yang kemudian meninggal dengan meninggalkan seorang putri,
tahun kematiannya tidak diketahui. Setelah itu ia menikah lagi dengan Herpyllis
dan dikaruniai seorang putra bernama Nikomakhos.
Pertaliannya
dengan Alexander mengandung pelbagai bahaya. Aristoteles menolak secara
prinsipil cara kediktatoran Alexander dan tatkala si penakluk Alexander
menghukum mati sepupu Aristoteles dengan tuduhan menghianat, Alexander punya
pikiran pula membunuh Aristoteles. Di satu pihak Aristoteles kelewat demokratis
di mata Alexander, dia juga punya hubungan erat dengan Alexander dan dipercaya
oleh orang-orang Athena. Tatkala Alexander mati tahun 323 SM golongan
anti-Macedonia memegang tampuk kekuasaan di Athena dan Aristoteles pun didakwa
kurang ajar kepada dewa. Aristoteles, teringat nasib yang menimpa Socrates 76
tahun sebelumnya, lari meninggalkan kota sambil berkata dia tidak akan diberi
kesempatan kedua kali kepada orang-orang Athena berbuat dosa terhadap para
filosof. Aristoteles meninggal di pembuangan beberapa bulan kemudian di tahun
322 SM pada umur enam puluh dua tahun.
- Epistemologi Aristoteles
Sebenarnya banyak sekali pemikiran dari
Aristoteles, yakni meliputi bidang logika, fisika, psikologi, metafisika, etika
dan politik. Namun dalam makalah ini, penulis membatasi hanya sebatas pemikiran
tentang logika-nya saja, karena makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah epistemologi.
1.
Nama dan Fungsi Logika
Pada hakikatnya, nama ”logika” tidak
hanya ada pada Aristoteles saja. Beberapa karangan-karangan masa kuno, nama
”logika” untuk pertama kalinya muncul pada Cicero (abad 1 SM), tetpi dalam arti
”seni berdebat”. Sedangkan orang yang pertama kali menggunakan kata ”logika”
dalam arti yang dimaksud sekarang (ilmu
yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita). Aristoteles sendiri memakai
istilah ”analitika” untuk penyelidikan mengenai argumentasi-argumentasi yang
bertitik tolak dari putusan-putusan yang benar, dan ia memakai istilah
”dialektika” untuk penyelidikan mengenai argumentasi- argumentasi yang bertitik
tolak dari hipotesis atau putusan yang tidak pasti kebenarannya.[10]
Jadi, bagi Aristoteles analitika dan dialektika merupakan
dua cabang dari ilmu yang dinamakan ”logika”.
Aristoteles membagi ilmu pengetahuan
menjadi tiga golongan:
a.
Ilmu pengetahuan praktis yang meliputi
etika dan politika.
b.
Ilmu pengetahuan produktif, yaitu yang
menyangkut pengetahuan yang sanggup menghasilkan suatu karya (teknik dan
kesenian).
c.
Ilmu pengetahuan teoretis, yang mencakup
tiga bidang: fisika, matematika, dan ”filsafat pertama” (yang sesudah
Aristoteles akan disebut ”metafisika”).
Jika dilihat dari pembagian di atas,
maka tampak jelas bahwa dalam pembagian ini tidak ada tempat untuk logika.
Memang inilah yang dimaksud Aristoteles. Meskipun ia megarang buku tentang
logika, namun ia berpendapat bahwa logika tidak termasuk ilmu pengetahuan
sendiri, tetapi mendahului ilmu pengetahuan sebagai persiapan untuk berpikir
dengan cara ilmiah. Maksud yang sama juga diekspresikan dalam karyanya tentang
logika, yakni Organon ( = alat). Artinya, logika bukan merupakan cabang
ilmu pengetahuan, tetapi suatu alat agar dapat mempraktekkan ilmu pengetahuan.
Nama Organon ini kemudian baru dipakai pada akhir masa kuno (dalam abad ke-6
M). Aristoteles mewariskan
kepada murid-muridnya enam buku yang oleh murid-muridnya dinamai Organon,
yang berarti alat, yaitu:[11]
a.
Categoriae, menguraikan pengertian-pengertian
b.
De interpretatione, membahas
keputusan-keputusan
c.
Analyticapriora, membahas tentang pembuktian
d.
Analitica posteriora, membahas tentang
silogisme
e. Topica, berisi cara berargumentasi dan cara berdebat
f. De sophisticis elenchis, membicarakan kesesatan dan kekeliruan
berpikir
Logika Aristoteles memainkan peranan
penting bagi sejarah intelektual bangsa manusia. Beberapa buku pegangan tentang
logika tradisional (yang harus dibedakan dengan logika modern) sebagian besar
diisi dengan logika Aristoteles, hingga sampai saat ini.
2.
Induksi, Deduksi, dan Investigasi
Aristoteles berpendapat bahwa
pengetahuan baru dapat dihasilkan melalui dua jalan, yaitu:
a)
Induksi, yaitu bertitik tolak dari
kasus-kasus khusus yang menghasilkan pengetahuan tentang yang umum. Dengan
perkataan lain, induksi bertitik tolak dari beberapa contoh dan atas dasar itu
menyimpulkan suatu hukum umum yang berlaku juga bagi kasus-kasus yang belum
diselidiki.[12]
b)
Deduksi, yaitu bertitik tolak dari dua
kebenaran yang tidak disangsikan dan atas dasar itu menyimpulkan kebenaran yang
ketiga.[13] Penarikan kesimpulan secara deduktif
biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan Sillogisme. Sillogisme tersusun dari dua buah
pernyataan dan sebuah kesimpulan.
Cara kerja induksi diajukan oleh
Aristoteles. Menurutnya, tidak mungkin menangkap yang universal
selain dengan jalan induksi, dan induksi dapat diperoleh melalui persepsi
inderawi. Hal ini karena hanya dengan persepsi inderawi saja yang memiliki
kemungkinan untuk dapat menangkap hal-hal yang bersifat partikular. Baginya,
karena berkepentingan dengan yang universal, maka pengetahuan ilmiah haruslah
melalui cara kerja persepsi inderawi dan induksi.
Aristoteles merumuskan sebuah metode
yang dinamakan metode penelitian (method of investigation). Cara memulai
metode ini adalah dengan mengadakan observasi terhadap sejumlah hal-hal
individual terlebih dahulu, selanjutnya memperhatikan unsur-unsur yang sama
yang berlaku secara umum. Jika unsur-unsur yang sama secara umum sudah
diketahui, maka bisa merumuskan dalam bentuk defenisi. Defenisi selalu bersifat
umum dan universal. Semua teori-teori ini merupakan metode untuk memperoleh pengetahuan.
3.
A priori dan a posteriori
Selain teori induksi, Aristoteles juga
mengajukan adanya pengetahuan yang bersifat a priori (pre existent).
Pengetahuan a priori menuntut dua hal; pertama, pengakuan akan adanya fakta,
dan kedua, pemahaman terhadap makna istilah yang dipakai. Sebagai contoh, jika
kita menyebut tentang sebuah persegi ini atau itu sebagai sebuah konsep umum,
maka di sini kita akan memiliki dua asumsi, yakni adanya makna dari istilah
tersebut dan eksistensi dari benda itu. Sebagai contoh, siswa SD mengetahui
bahwa sisi dari tiap-tiap persegi adalah sama panjang. Pengetahuan yang
berdasarkan pada kenyataan yang dilihat inilah yang akhirnya dapat membawa
kepada pengetahuan tersebut.
4.
Teori Sebab
Menurut Aristoteles, Pengetahuan ilmiah
tidak hanya berasal dari memahami dan merumuskan yang universal dari yang
partikular, melainkan juga harus mampu mengetahui sebab. Ada empat sebab yang
membuat sesuatu itu menjadi ada, pertama, sebab materi, sebagi contoh adalah
kayu dibentuk menjadi kursi. Kedua, sebab bentuk, seperti bentuk ’kursi’.
Ketiga, dari materi kayu di bentuk menjadi kayu. Keempat,
sebab tujuan seperti orang membuat kursi bertujuan agar dapat dijadikan tempat
duduk.
5.
Cikal Bakal Metode Fenomenologi
Cikal bakal metode fenomenologi bisa dikatakan berasal
dari Aristoteles. Hal ini dapat diketahui ketika ia berkata ’marilah kita
lepaskan dahulu pendapat-pendapat para pendahulu tentang jiwa sehingga jiwa itu
masih dalam wujudnya yang murni belum tercampur oleh ragam pendapat dan kita
memulai dari sesuatu yang benar-benar masih murni, kemudian berusaha memberikan
jawaban yang tepat mengenai apakah jiwa itu.[14]
6.
Sillogisme
Sillogisme (syllogismus)
merupakan salah satu temuan terbesar Aristoteles dalam bidang logika yang
mempunyai peranan sentral dalam kebanyakan karyanya tentang logika. Dalam bukunya yang berjudul Prior Analytics termuat bahwa Aristoteles
menemukan bentukan penalaran yang bergerak dari universal ke partikular
yang disebut dengan sillogisme (syllogismus). Silogisme adalah pola
berpikir deduktif yang memiliki kebenaran pasti dan niscaya; berangkat dari
hal-hal umum menuju hal-hal khusus. Kesahihan deduksi tidak tergantung kepada
pengalaman inderawi, tapi semata-mata kepada konsistensi rasio.[15]
Sillogisme merupakan argumentasi yang
terdiri dari tiga proposisi (bahasa Inggris: ’propositions’). Dalam
setiap proposisi dapat dibedakan menjadi dua unsur, yaitu 1) hal tentang apa
sesuatu dikatakan dan 2) apa yang dikatakan. Hal tentang apa sesuatu dikatakan
disebut ”subjek” dan apa yang dikatakan tentang subjek disebut ”predikat”.
Sebagai contoh proposisi ”Presiden adalah seorang manusia”, maka dalam
proposisi ini subjek adalah ”Presiden” dan predikat adalah ”seorang manusia”.
Argumentasi yang disebut sillogisme
menurunkan proposisi ketiga dari dua proposisi yang sudah diketahui. Misalnya:
-
Semua manusia akan mati
-
Gayus adalah seorang manusia
-
Dari sebab itu Gayus akan mati
Kunci untuk mengerti sillogisme ialah
term yang dipakai baik dalam putusan pertama maupun dalam putusan kedua. Term
itu disebut ”term menengah” (middle term). Jika melihat dari contoh
diatas, maka term menengahnya adalah ”manusia”. Aristoteles membedakan tiga
macam sillogisme, tergantung pada tempat term menengah dalam proposisi pertama
dan kedua. Supaya penyimpulan boleh dianggap sah, maka Aristoteles berusaha
melukiskan peraturan-peraturan yang harus ditaati dengan teliti.
KESIMPULAN
Salah satu filosuf
yang dianggap sangat berjasa dalam meletakkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat
adalah Aristoteles, yang merupakan murid Plato. Meskipun diantara keduanya
terdapat perbedaan-perbedaan pandangan, tetapi Aristoteles dianggap sebagai
murid yang mewarisi pemikiran-pemikiran gurunya, dan dianggap sebagai salah
satu tokoh penggerak zaman. Dia filosof orisinal, dia penyumbang utama dalam
tiap bidang penting falsafah spekulatif, dia menulis tentang etika dan metafisika,
psikologi, ekonomi, teologi, politik, retorika, keindahan, pendidikan, puisi,
adat-istiadat orang terbelakang dan
konstitusi Athena. Salah satu proyek penyelidikannya adalah koleksi pelbagai negeri yang digunakannya untuk studi bandingan.
konstitusi Athena. Salah satu proyek penyelidikannya adalah koleksi pelbagai negeri yang digunakannya untuk studi bandingan.
Aristoteles juga
menemukan dua alur atau cara berpikir, yaitu analitika dan dialektika.
Analitika merupakan cara berpikir yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang
benar lalu membuat kesimpulan. Dialektika merupakan cara berpikir yang bertitik
tolak dari hipotesa menuju penyimpulan yang bersifat mungkin. Dua istilah ini,
analitika dan dialektika, kini menjadi bagian dari ilmu yang sekarang disebut
logika.
Dalam logikanya, ia
menggunakan jalan berpikir induksi, karena menurutnya tidak mungkin seseorang
dapat menangkap hal-hal yang universal selain dengan jalan induksi yang
diperoleh melalui persepsi inderawi, karena hanya persepsi inderawi yang
memiliki kemungkinan untuk menangkap hal-hal yang partikular. Selain itu juga
ada pengetahuan yang bersifat a priori yang didasarkan pada apa yang
dilihat sehingga seseorang dapat sampai pada pengetahuan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Abdullah Khozin. Perkembangan
Epistemologi dari Periode Klasik sampai Modern. Surabaya: t.p, 2008.
Ahmad, Supriyadi. “Pemikiran
Aristoteles dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan
Filsafat Logika, Pengetahuan, dan Metafisika ” dalam www.darunnajah.ac.id
(10 November 2010).
Bertens, Kees. Sejarah Filsafat
Yunani : Edisi Revisi. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Hart, Michael H., Seratus
Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Terjemahan Mahbub Djunaidi. Jakarta
: Dunia Pustaka Jaya, 1983.
Pranarka, A. M. W., Epistemologi
Dasar : Sebuah Pengantar. Jakarta: CSIS, 1987.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar
Logika, Asas-asas penalaran sistematis, cet.ke-1. Yogyajakta:
Kanisius, 1996.
Sunny, “Sillogisme Hipotesis dan
Penyimpulan Lain” dalam http://caksunni.blogspot.com (20 Agustus 2009).
Sudarminta, J., Epistemologi Dasar:
Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Wahyudi, Imam. Pengantar Epistemologi.
Yogyakarta : Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2007.
[1] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar:
Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 18.
[2] A. M. W. Pranarka, Epistemologi Dasar
: Sebuah Pengantar (Jakarta: CSIS, 1987), 4
[3] Imam Wahyudi, Pengantar Epistemologi
(Yogyakarta : Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2007), 2
[4] Ibid.,
2-3.
[5] Ibid.,
4.
[6] Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh
Dalam Sejarah, Terjemahan Mahbub Djunaidi, (Jakarta : Dunia Pustaka Jaya,
1983), 101.
[7] Kees Bertens, Sejarah Filsafat
Yunani : Edisi Revisi (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 154.
[8]Supriyadi Ahmad, “Pemikiran
Aristoteles dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Filsafat Logika,
Pengetahuan, dan Metafisika ” dalam www.darunnajah.ac.id (10 November
2010).
[9] Bertens, Sejarah………, 155-156.
[10] Ibid.,
167.
[11] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika,
Asas-asas penalaran sistematis, cet.ke-1 (Yogyajakta: Kanisius, 1996), 13
[12] Bertens, Sejarah.......,
168.
[13] Ibid.,
169.
[14] Abdullah, Khozin Affandi, Perkembangan
Epistemologi dari Periode Klasik sampai Modern (Surabaya: t.p, 2008), 23.
[15] Sunny, “Sillogisme Hipotesis dan
Penyimpulan Lain” dalam http://caksunni.blogspot.com (20 Agustus 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar