Minggu, 10 Februari 2013

EPISTEMOLOGI ARISTOTELES



EPISTEMOLOGI ARISTOTELES
  


                        Oleh :

Lailatuzz Zuhriyah, S.Th.I, M.Fil.I



ABSTRAK


Aristoteles adalah filosof pada masa Yunani klasik yang dikenal sebagai murid dari Plato. Namun dalam segi epistemologi nampaknya Aristoteles terlihat kontra dengan gurunya. Baginya, tujuan akhir dari filsafat adalah pengetahuan tentang adanya yang umum. Aristoteles berkeyakinan bahwa dengan jalan pengertianlah kebenaran yang sebenarnya akan dapat dicapai. Lalu bagaimana memikirkan adanya ’itu’? Menurutnya, adanya ’itu’ tidak dapat diketahui dari materi, benda belaka dan tidak pula dari pikiran semata-mata yang umum, seperti pendapat Plato, melainkan adanya ’itu’ terletak dalam barang-barang satu-satunya, selama barang itu ditentukan oleh yang umum. Berbeda dengan Plato yang mendasarkan pandangannya pada yang abstrak, Aristoteles mendasarkan pandangannya lebih realis. Baginya, sesuatu dianggap ada jika dia itu konkret atau nyata. Untuk memperoleh kesimpulan yang umum, Aristoteles menjelajah lebih dahulu medan ilmu-ilmu spesial, sesudah itu baru meningkat ke bidang filosofi untuk memperoleh kesimpulan tentang yang umum. Aristoteles dikenal dengan pandangannya tentang logika, oleh karena itu dirinya dianggap sebagai pendiri cabang filsafat yang penting ini. menurutnya, tugas logika yang utama adalah mengakui hubungan yang tepat antara yang umum dan yang khusus, oleh karena itu, maka dasar-dasar berpikir dengan pengertian yang berasal dari Sokrates menjadi pusat pemikiran logikanya. Dasar ajaran Aristoteles tentang logika berdasarkan atas ajaran tentang jalan pikiran (ratio-cinium) dan bukti. Jalan pikiran itu baginya berupa syllogismus (silogisme), yaitu putusan dua yang tersusun sedemikian rupa sehingga melahirkan putusan yang ketiga. Untuk dapat menggunakan syllogismus dengan benar, seseorang harus tahu benar sifat putusan itu. Filsafat tentang logika ini menjadi dasar filsafat pengetahuan. Dalam hal ini, filsafat pengetahuan Aristoteles merupakan kebalikan dari filsafat pengetahuan Plato. Dasar filsafat pegetahuan Aristoteles bukanlah intuisi, tetapi abstraksi. Oleh karena itu, benar bila dikatakan bahwa Aristoteles tidak selalu sepaham dengan gurunya sendiri, Plato, bahkan mungkin bertentangan.

Kata kunci: Epistemologi, Aristoteles, Logika, Sillogisme.

  
PEMBAHASAN

  1. Defenisi Epistemologi
Salah satu objek kajian yang menyibukkan filsafat – paling tidak sejak munculnya kaum Sofis pada zaman Yunani Kuno sampai dewasa ini – adalah gejala pengetahuan. Cabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti pertanyaan- pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan disebut Epistemologi.[1]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi merupakan disiplin filsafat yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan.
Dalam kepustakaan yang membicarakan epistemologi terdapat sejumlah istilah yang mempunyai pengertian sama atau hampir sama dengan pengertian yang dikandung oleh epistemologi. Istilah dan kandungan maknanya dibahas dibawah ini:
1.      Epistemologi
Secara etimologis, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan; logos biasanya dipakai untuk menunjuk pengetahuan sistematik. Sehingga dapat disimpulkan epistemologi adalah pengetahuan sistematik tentang pengetahuan.
Episteme bukanlah satu-satunya kata dalam bahasa Yunani yang mempunyai arti pengetahuan, sebab terdapat kata gnosis yang juga berarti pengetahuan. J. F. Ferrier merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah epistemologi di samping Gnoseologi untuk menunjuk arti pengetahuan.[2]Epistemologi dalam bahasa Jerman sebagaimana telah dipergunakan oleh Immanuel Kant adalah erkentnistheorie, sedang dalam bahasa Belanda adalah kennisleer atau Kentheorien.
2.      Gnoselogi
Epistemologi juga disetarakan dengan Gnoseologi. Gnosis berasal dari kata gignosko, yang berarti menyelami, mendalami. Oleh karena itu, episteme berarti suatu upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu di dalam kedudukan setepatnya, sedang kata gnosis lebih merupakan pengetahuan dalam arti pengertian batin, atau pengetahuan tentang ketuhanan.[3]
3.      Criteriologi
Epistemologi kadangkala juga disamakan dengan Critica atau Criteriologi, yaitu pengetahuan sistematik tentang kriteria, patokan, untuk menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak benar. Sebenarnya criteriologi berasal dari bahasa Yunani Krinomai yang artinya adalah mengadili, memutuskan, dan menetapkan. Dalam kaitan dengan tindakan kognitif-intelektual memang mengadili pengetahuan yang benar dan yang tidak benar adalah dekat dengan episteme. Fungsi kritik dari epistemologi terhadap pengetahuan mengakibatkan ia sering disebut dengan ”kritik pengetahuan”.[4]
4.      Logika Material
Epistemologi kadangkala juga disebut Logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Namun ada perbedaan antara logika formal dan logika material, dimana logika formal mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya, misalnya: silogisme. Logika material mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi. Berpikir logis adalah berpikir dengan bertumpu pada logika, berpikir logis belum tentu berpikir kritis. Penalaran yang sudah teratur belum tentu mengandung kebenaran dan kepastian.
5.      Teori Pengetahuan
Epistemologi juga dinamakan ”teori pengetahuan” (theory of knowledge), ialah suatu ilmu yang mula-mula menanyakan, ”Apakah pengetahuan?”. Hal itu meliputi banyak pertanyaan lainnya, seperti: ”Apakah kebenaran?”, ”Apakah kepastian?”, dan lawannya, seperti: ”Apakah ketidak tahuan?”, ”Apakah kesalahan?”, ”Apakah keraguan?”. Masing-masing pertanyaan masih meliputi yang lainnya, seperti ”Apakah kesadaran?”, ”Apakah sadar?”, ”Apakah intuisi?”, ”Apakah penyimpulan?”, ”Apakah sensasi, persepsi, konsepsi, memory, imajinasi, antisipasi, berpikir, budi, kehendak, frustasi, mempertanyakan, pemecahan masalah, perasaan, emosi, interest, kegunaan, bahasa, komunikasi, bermimpi, persetujuan, mengidealisasi, menyukai, tidak menyukai, menghendaki, mengharapkan, takut, kepuasan hati, dan apati?”. Sebagai hasil penyelidikan lebih dalam ke dalam pertanyaan-pertanyaan di depan.[5]
Sedangkan pengertian Epistemologi Sain itu sendiri adalah suatu cara yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan sains dan cara mengukur benar tidaknya pengetahuan sains.

  1. Riwayat Singkat Aristoteles
Salah satu filosof yang dianggap sangat berjasa dalam meletakkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat adalah Aristoteles, yang merupakan murid Plato. Meskipun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan pandangan, tetapi Aristoteles dianggap sebagai murid yang mewarisi pemikiran-pemikiran gurunya, dan dianggap sebagai salah satu tokoh penggerak zaman.
Dia juga dianggap sebagai peletak tonggak dasar dalam sejarah pemikiran Barat. Bahkan Michael H. Hart menilai bahwa Aristoteles adalah seorang filosuf dan ilmuwan terbesar dalam dunia masa lampau. Dia memelopori penyelidikan ihwal logika, memperkaya hampir tiap cabang falsafah dan memberi sumbangsih tak terperikan besarnya terhadap ilmu pengetahuan.[6] Meskipun banyak ide-ide Aristoteles yang tampaknya kini sudah ketinggalan zaman, tetapi yang paling penting dari apa yang pernah dilakukannya adalah pendekatan rasional yang senantiasa melandasi karyanya.
Aristoteles lahir pada tahun 384 SM di Stageira, suatu kota di Yunani Utara. Ayahnya adalah dokter pribadi Amyntas II, raja Makedonia. Mungkin sekali dalam masa mudanya ia hidup di istana raja Makedonia di kota Pella dan dapat diandaikan pula bahwa ia mewarisi minatnya yang khusus untuk ilmu pengetahuan empiris dari ayahnya. Pada usia 17 atau 18 tahun, Aristoteles dikirim ke Athena, supaya ia belajar di Akademia Plato. Ia tinggal di sana sampai Plato meninggal pada tahun 348/7 SM; jadi, kira-kira 20 tahun lamanya. Pada waktu ia berada dalam Akademia, Aristoteles menerbitkan beberapa karya. Ia juga mengajar anggota-anggota Akademia yang lebih muda, rupanya tentang mata pelajaran logika dan retorika.[7]
Aristoteles merupakan salah satu murid Plato yang sangat cepat dikenal karena dia tidak mau sekedar bernaung dibawah keagungan sang guru. Itu pula sebabnya dia dikenal sebagai murid “tukang kecam” dan senang mendebat sang guru yang banyak dihormati oleh banyak muridnya yang lain, kendati kecamannya sering kali tidak relevan, dan menunjukkan ketakfahamannya terhadap ajaran Plato. Namun, jika ditanya mengapa dia mengecam Plato, dia akan menjawab : “Amicus Plato, sed magis amica veritas” yang berarti “Plato kukasihi, tapi aku lebih mengasihi kebenaran.” Oleh karena itu, sebagian pakar berpendapat bahwa hubungan Aristoteles dan Plato sesungguhnya telah retak sejak jauh sebelum menjelang kematian Plato. Oleh sebab itu, Plato tidak menunjuk Aritoteles untuk menjadi penggantinya dalam memimpin Akademia, melainkan menunjuk Speusippos. Hal itu tentu sangat mengecewakan Aristoteles.[8]
Sekitar tahun 342 SM Aristoteles diundang raja Philipos dari Makedonia, anak Amyntas II untuk mendidik anaknya yang bernama Alexander yang masih berusia 13 tahun. Tahun 340 SM Alexander diangkat menjadi pejabat raja Makedonia dan empat tahun kemudian ia menggantikan ayahnya sebagai raja Makedonia pada usia 19 tahun. Tugas Aristoteles di istana Pella sudah selesai pada tahun itu. Setelah itu, ia menetap di kota asalnya, Stageira. Di kemudian hari, Aristoteles menulis suatu karangan bagi Alexander yang disebut Perihal Monarki dan suatu karanga lain Tentang Pendirian Perantauan.
Tidak lama setelah Alexander Agung dilantik menjadi raja, Aristoteles kembali ke Athena, di mana Xenokrates sudah menggantikan Speusippos sebagai kepala Akademia. Namun Aristoteles tidak kembali ke Akademia, agaknya karena pemikirannya sudah berkembang jauh dari filsafat Akademia. Dengan bantuan dari Makedonia, ia mendirikan suatu sekolah sendiri yang dinamakan Lykeion (dilatinkan : Lyceum), karena tempatnya dekat halaman yang dipersembahkan kepada dewa Apollo Lykeios. Dengan semangat besar sekali para anggota Lykeion mempelajari semua ilmu yang dkenal pada waktu itu. Aristoteles membentuk suatu perpustakaan yang mengumpulkan macam-macam manuskrip dan peta bumi; menurut kesaksian Strabo, seorang sejarawan Yunani-Romawi, itulah perpustakaan pertama dalam sejarah manusia. Mungkin Aristoteles membuka juga semacam museum yang mengumpulkan semua benda yang menarik perhatian, terutama dalam bidang biologi dan zoologi. Diceritakan, Alexander memberi suatu sumbangan besar untk membentuk koleksi itu dan memerintahkan semua pemburu, penangkap unggas, dan nelayan dalam kerajaannya, supaya mereka melaporkan kepada Aristoteles mengenai semua hasil yang menarik dari sudut ilmiah.[9]
Aristoteles mempunyai seorang istri yang bernama Pythias yang kemudian meninggal dengan meninggalkan seorang putri, tahun kematiannya tidak diketahui. Setelah itu ia menikah lagi dengan Herpyllis dan dikaruniai seorang putra bernama Nikomakhos.
Pertaliannya dengan Alexander mengandung pelbagai bahaya. Aristoteles menolak secara prinsipil cara kediktatoran Alexander dan tatkala si penakluk Alexander menghukum mati sepupu Aristoteles dengan tuduhan menghianat, Alexander punya pikiran pula membunuh Aristoteles. Di satu pihak Aristoteles kelewat demokratis di mata Alexander, dia juga punya hubungan erat dengan Alexander dan dipercaya oleh orang-orang Athena. Tatkala Alexander mati tahun 323 SM golongan anti-Macedonia memegang tampuk kekuasaan di Athena dan Aristoteles pun didakwa kurang ajar kepada dewa. Aristoteles, teringat nasib yang menimpa Socrates 76 tahun sebelumnya, lari meninggalkan kota sambil berkata dia tidak akan diberi kesempatan kedua kali kepada orang-orang Athena berbuat dosa terhadap para filosof. Aristoteles meninggal di pembuangan beberapa bulan kemudian di tahun 322 SM pada umur enam puluh dua tahun.

  1. Epistemologi Aristoteles
Sebenarnya banyak sekali pemikiran dari Aristoteles, yakni meliputi bidang logika, fisika, psikologi, metafisika, etika dan politik. Namun dalam makalah ini, penulis membatasi hanya sebatas pemikiran tentang logika-nya saja, karena makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah epistemologi.
1.      Nama dan Fungsi Logika
Pada hakikatnya, nama ”logika” tidak hanya ada pada Aristoteles saja. Beberapa karangan-karangan masa kuno, nama ”logika” untuk pertama kalinya muncul pada Cicero (abad 1 SM), tetpi dalam arti ”seni berdebat”. Sedangkan orang yang pertama kali menggunakan kata ”logika” dalam arti  yang dimaksud sekarang (ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita). Aristoteles sendiri memakai istilah ”analitika” untuk penyelidikan mengenai argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang benar, dan ia memakai istilah ”dialektika” untuk penyelidikan mengenai argumentasi- argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesis atau putusan yang tidak pasti kebenarannya.[10] Jadi, bagi Aristoteles analitika dan dialektika merupakan dua cabang dari ilmu yang dinamakan ”logika”.
Aristoteles membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga golongan:
a.       Ilmu pengetahuan praktis yang meliputi etika dan politika.
b.      Ilmu pengetahuan produktif, yaitu yang menyangkut pengetahuan yang sanggup menghasilkan suatu karya (teknik dan kesenian).
c.       Ilmu pengetahuan teoretis, yang mencakup tiga bidang: fisika, matematika, dan ”filsafat pertama” (yang sesudah Aristoteles akan disebut ”metafisika”).
Jika dilihat dari pembagian di atas, maka tampak jelas bahwa dalam pembagian ini tidak ada tempat untuk logika. Memang inilah yang dimaksud Aristoteles. Meskipun ia megarang buku tentang logika, namun ia berpendapat bahwa logika tidak termasuk ilmu pengetahuan sendiri, tetapi mendahului ilmu pengetahuan sebagai persiapan untuk berpikir dengan cara ilmiah. Maksud yang sama juga diekspresikan dalam karyanya tentang logika, yakni Organon ( = alat). Artinya, logika bukan merupakan cabang ilmu pengetahuan, tetapi suatu alat agar dapat mempraktekkan ilmu pengetahuan. Nama Organon ini kemudian baru dipakai pada akhir masa kuno (dalam abad ke-6 M). Aristoteles mewariskan kepada murid-muridnya enam buku yang oleh murid-muridnya dinamai Organon, yang berarti alat, yaitu:[11]
a.       Categoriae, menguraikan pengertian-pengertian
b.      De interpretatione, membahas keputusan-keputusan
c.       Analyticapriora, membahas tentang pembuktian
d.      Analitica posteriora, membahas tentang silogisme
e.       Topica, berisi cara berargumentasi dan cara berdebat
f.       De sophisticis elenchis, membicarakan kesesatan dan kekeliruan berpikir
Logika Aristoteles memainkan peranan penting bagi sejarah intelektual bangsa manusia. Beberapa buku pegangan tentang logika tradisional (yang harus dibedakan dengan logika modern) sebagian besar diisi dengan logika Aristoteles, hingga sampai saat ini.
2.      Induksi, Deduksi, dan Investigasi
Aristoteles berpendapat bahwa pengetahuan baru dapat dihasilkan melalui dua jalan, yaitu:
a)      Induksi, yaitu bertitik tolak dari kasus-kasus khusus yang menghasilkan pengetahuan tentang yang umum. Dengan perkataan lain, induksi bertitik tolak dari beberapa contoh dan atas dasar itu menyimpulkan suatu hukum umum yang berlaku juga bagi kasus-kasus yang belum diselidiki.[12]
b)      Deduksi, yaitu bertitik tolak dari dua kebenaran yang tidak disangsikan dan atas dasar itu menyimpulkan kebenaran yang ketiga.[13] Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan Sillogisme. Sillogisme tersusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan.
Cara kerja induksi diajukan oleh Aristoteles. Menurutnya, tidak mungkin menangkap yang universal selain dengan jalan induksi, dan induksi dapat diperoleh melalui persepsi inderawi. Hal ini karena hanya dengan persepsi inderawi saja yang memiliki kemungkinan untuk dapat menangkap hal-hal yang bersifat partikular. Baginya, karena berkepentingan dengan yang universal, maka pengetahuan ilmiah haruslah melalui cara kerja persepsi inderawi dan induksi.
Aristoteles merumuskan sebuah metode yang dinamakan metode penelitian (method of investigation). Cara memulai metode ini adalah dengan mengadakan observasi terhadap sejumlah hal-hal individual terlebih dahulu, selanjutnya memperhatikan unsur-unsur yang sama yang berlaku secara umum. Jika unsur-unsur yang sama secara umum sudah diketahui, maka bisa merumuskan dalam bentuk defenisi. Defenisi selalu bersifat umum dan universal. Semua teori-teori ini merupakan metode untuk memperoleh pengetahuan.
3.      A priori dan a posteriori
Selain teori induksi, Aristoteles juga mengajukan adanya pengetahuan yang bersifat a priori (pre existent). Pengetahuan a priori menuntut dua hal; pertama, pengakuan akan adanya fakta, dan kedua, pemahaman terhadap makna istilah yang dipakai. Sebagai contoh, jika kita menyebut tentang sebuah persegi ini atau itu sebagai sebuah konsep umum, maka di sini kita akan memiliki dua asumsi, yakni adanya makna dari istilah tersebut dan eksistensi dari benda itu. Sebagai contoh, siswa SD mengetahui bahwa sisi dari tiap-tiap persegi adalah sama panjang. Pengetahuan yang berdasarkan pada kenyataan yang dilihat inilah yang akhirnya dapat membawa kepada pengetahuan tersebut.
4.      Teori Sebab
Menurut Aristoteles, Pengetahuan ilmiah tidak hanya berasal dari memahami dan merumuskan yang universal dari yang partikular, melainkan juga harus mampu mengetahui sebab. Ada empat sebab yang membuat sesuatu itu menjadi ada, pertama, sebab materi, sebagi contoh adalah kayu dibentuk menjadi kursi. Kedua, sebab bentuk, seperti bentuk ’kursi’. Ketiga, dari materi kayu di bentuk menjadi kayu. Keempat, sebab tujuan seperti orang membuat kursi bertujuan agar dapat dijadikan tempat duduk.
5.      Cikal Bakal Metode Fenomenologi
Cikal bakal metode fenomenologi bisa dikatakan berasal dari Aristoteles. Hal ini dapat diketahui ketika ia berkata ’marilah kita lepaskan dahulu pendapat-pendapat para pendahulu tentang jiwa sehingga jiwa itu masih dalam wujudnya yang murni belum tercampur oleh ragam pendapat dan kita memulai dari sesuatu yang benar-benar masih murni, kemudian berusaha memberikan jawaban yang tepat mengenai apakah jiwa itu.[14]
6.      Sillogisme
Sillogisme (syllogismus) merupakan salah satu temuan terbesar Aristoteles dalam bidang logika yang mempunyai peranan sentral dalam kebanyakan karyanya tentang logika. Dalam bukunya yang berjudul Prior Analytics termuat bahwa Aristoteles menemukan bentukan penalaran yang bergerak dari universal ke partikular yang disebut dengan sillogisme (syllogismus). Silogisme adalah pola berpikir deduktif yang memiliki kebenaran pasti dan niscaya; berangkat dari hal-hal umum menuju hal-hal khusus. Kesahihan deduksi tidak tergantung kepada pengalaman inderawi, tapi semata-mata kepada konsistensi rasio.[15]
Sillogisme merupakan argumentasi yang terdiri dari tiga proposisi (bahasa Inggris: ’propositions’). Dalam setiap proposisi dapat dibedakan menjadi dua unsur, yaitu 1) hal tentang apa sesuatu dikatakan dan 2) apa yang dikatakan. Hal tentang apa sesuatu dikatakan disebut ”subjek” dan apa yang dikatakan tentang subjek disebut ”predikat”. Sebagai contoh proposisi ”Presiden adalah seorang manusia”, maka dalam proposisi ini subjek adalah ”Presiden” dan predikat adalah ”seorang manusia”.
Argumentasi yang disebut sillogisme menurunkan proposisi ketiga dari dua proposisi yang sudah diketahui. Misalnya:
-          Semua manusia akan mati
-          Gayus adalah seorang manusia
-          Dari sebab itu Gayus akan mati
Kunci untuk mengerti sillogisme ialah term yang dipakai baik dalam putusan pertama maupun dalam putusan kedua. Term itu disebut ”term menengah” (middle term). Jika melihat dari contoh diatas, maka term menengahnya adalah ”manusia”. Aristoteles membedakan tiga macam sillogisme, tergantung pada tempat term menengah dalam proposisi pertama dan kedua. Supaya penyimpulan boleh dianggap sah, maka Aristoteles berusaha melukiskan peraturan-peraturan yang harus ditaati dengan teliti.


  KESIMPULAN

Salah satu filosuf yang dianggap sangat berjasa dalam meletakkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat adalah Aristoteles, yang merupakan murid Plato. Meskipun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan pandangan, tetapi Aristoteles dianggap sebagai murid yang mewarisi pemikiran-pemikiran gurunya, dan dianggap sebagai salah satu tokoh penggerak zaman. Dia filosof orisinal, dia penyumbang utama dalam tiap bidang penting falsafah spekulatif, dia menulis tentang etika dan metafisika, psikologi, ekonomi, teologi, politik, retorika, keindahan, pendidikan, puisi, adat-istiadat orang terbelakang dan
konstitusi Athena. Salah satu proyek penyelidikannya adalah koleksi pelbagai negeri yang digunakannya untuk studi bandingan.
Aristoteles juga menemukan dua alur atau cara berpikir, yaitu analitika dan dialektika. Analitika merupakan cara berpikir yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang benar lalu membuat kesimpulan. Dialektika merupakan cara berpikir yang bertitik tolak dari hipotesa menuju penyimpulan yang bersifat mungkin. Dua istilah ini, analitika dan dialektika, kini menjadi bagian dari ilmu yang sekarang disebut logika.
Dalam logikanya, ia menggunakan jalan berpikir induksi, karena menurutnya tidak mungkin seseorang dapat menangkap hal-hal yang universal selain dengan jalan induksi yang diperoleh melalui persepsi inderawi, karena hanya persepsi inderawi yang memiliki kemungkinan untuk menangkap hal-hal yang partikular. Selain itu juga ada pengetahuan yang bersifat a priori yang didasarkan pada apa yang dilihat sehingga seseorang dapat sampai pada pengetahuan tersebut.


 DAFTAR PUSTAKA


Affandi, Abdullah Khozin. Perkembangan Epistemologi dari Periode Klasik sampai Modern. Surabaya: t.p, 2008.
Ahmad, Supriyadi. “Pemikiran Aristoteles dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Filsafat Logika, Pengetahuan, dan Metafisika ” dalam www.darunnajah.ac.id (10 November 2010).
Bertens, Kees. Sejarah Filsafat Yunani : Edisi Revisi. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Hart, Michael H., Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Terjemahan Mahbub Djunaidi. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983.
Pranarka, A. M. W., Epistemologi Dasar : Sebuah Pengantar. Jakarta: CSIS, 1987.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Logika, Asas-asas penalaran sistematis, cet.ke-1. Yogyajakta: Kanisius, 1996.
Sunny, “Sillogisme Hipotesis dan Penyimpulan Lain” dalam http://caksunni.blogspot.com (20 Agustus 2009).
Sudarminta, J., Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Wahyudi, Imam. Pengantar Epistemologi. Yogyakarta : Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2007.


[1] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 18.
[2] A. M. W. Pranarka, Epistemologi Dasar : Sebuah Pengantar (Jakarta: CSIS, 1987), 4 
[3] Imam Wahyudi, Pengantar Epistemologi (Yogyakarta : Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2007), 2
[4] Ibid., 2-3.
[5] Ibid., 4.
[6] Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Terjemahan Mahbub Djunaidi, (Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983), 101.
[7] Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani : Edisi Revisi (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 154.
[8]Supriyadi Ahmad, “Pemikiran Aristoteles dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Filsafat Logika, Pengetahuan, dan Metafisika ” dalam www.darunnajah.ac.id (10 November 2010).
[9] Bertens, Sejarah………, 155-156.
[10] Ibid., 167.
[11] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika, Asas-asas penalaran sistematis, cet.ke-1 (Yogyajakta: Kanisius, 1996), 13
[12] Bertens, Sejarah......., 168.
[13] Ibid., 169.
[14] Abdullah, Khozin Affandi, Perkembangan Epistemologi dari Periode Klasik sampai Modern (Surabaya: t.p, 2008), 23.
[15] Sunny, “Sillogisme Hipotesis dan Penyimpulan Lain” dalam http://caksunni.blogspot.com (20 Agustus 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AWAL PERTAMA TINGGAL DI TULUNGAGUNG DAN SERUNYA BERBELANJA DI PASAR TRADISIONAL TAMANAN TULUNGAGUNG

Saya dan Zidan (anak saya) di Alun-Alun Tulungagung saat masih seminggu tinggal di Tulungagung,   dan Zidan masih berumur 1 tahun Sudah menj...