Kamis, 21 Oktober 2010

REVIEW BUKU "ISLAM JAWA: KESALEHAN NORMATIF VERSUS KEBATINAN KARYA MARK R. WOODWARD

PENDAHULUAN


Buku ”Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan” adalah sebuah tesis hasil karya Mark R. Woodward, seorang etnolog yang meneliti Islam Jawa sebagai tugas akhir tesisnya. Sebelum melakukan penelitian ini, ia membekali dirinya dengan mengambil kuliah indologi dan mempelajari buku-buku mengenai filsafat dan ritual Hindu-Budha, selain itu ia belajar banyak tentang Indonesia dan Islam Jawa kepada teman-temannya yang faham terhadap studi-studi Islam klasik. Penelitian ini didanai oleh Institute for International Education, The Graduate College Researcd Board, dan Department of Anthropology, University of Illionis. Sedangkan untuk penelitian teksnya didukung oleh Social Science Research Council dan The Center for Asian Studies, Arizona State University.
Awalnya ia ingin meneropong unsur-unsur “Hindu” yang terdapat dalam ritual Islam Jawa, salah satunya adalah garabeg maulud yang merupakan upacara memperingati lahirnya Nabi Muhammad yang diadakan oleh keraton Yogyakarta. Setelah ia pelajari ternyata ia tidak menemukan prototype Hindu-Budha terhadap ideologi dan modalitas ritual tersebut.
Buku Mark R. Woodward ini merupakan antitesis dari buku “The Religion of Java” karya Clifford Geertz. Namun, bagi Woodward buku karya Geertz tersebut telah banyak membantunya dalam memahami karakter Islam Jawa. Jika Geertz melahirkan paradigma kajian Islam lokal yang bercorak sinkretik, lain halnya dengan Woodward, ia memunculkan paradigma Islam yang bercorak akulturatif. Karya Geertz terlalu dipengaruhi oleh madzhab Islam modernis yang beraliran syari’ah modernis. Islam hanya diidentikkan dengan madzhab modern, sedangkan tradisi lokal yang ada di masyarakat Islam Jawa dianggapnya sebagai sesuatu yang asli atau berlatar belakang dari Hindu-Budha. Dari penelitian Geertz inilah Marshal G. S. Hodgson dalam bukunya “The Venture of Islam”, mempertanyakan mengapa Islam dapat dengan begitu cepat merambah ke seluruh aspek kehidupan orang Jawa. berawal dari keinginan untuk menjawab pertanyaan yang dimunculkan oleh Hodgson dan dari karya Geertz yang menurutnya problematik itulah akhirnya Woodward mencoba melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengurai hubungan antara kesalehan normatif dalam Islam dengan kepercayaan keraton Yogyakarta (kebatinan).




PEMBAHASAN


A. Kajian Terdahulu
Sejak abad XVII sarjana Barat telah memulai melakukan kajian terhadap Islam Nusantara, yakni ketika para teolog dan pemerintah kolonial Belanda mengalami kesulitan untuk memahami dan mengawasi masyarakat Islam Jawa, Sumatera, dan wilayah Indonesia bagian timur. Orang-orang Barat yang mengkaji Timur itulah yang kemudian disebut sebagai kaum orientalis, yakni mereka yang bekerja untuk kepentingan misionaris dan kolonialis. Beberapa teolog dan sarjana pelopor tradisi orientalisme yang telah dicatat oleh Woodward tersebut adalah: Andrian Reland, Snouck Hurgronje, Edward Gibson,J. F. C Gericke, Pigeaud, dan Rassers. Para sarjana dan teolog tersebut melakukan kajian secara intens dan menghasilkan karya-karya yang sangat berpengaruh dan mampu membentuk suatu paradigma bagi kajian Islam Indonesia seperti yang dilakukan oleh Ben Anderson dan Clifford Geertz. Di kalangan anak bangsa, ada nama Simuh, Damardjati Supadjar, Darmanto Jatman, Purwadi (Kang Pur), dan mungkin beberapa orang lain. Tetapi pengetahuan yang paripurna hanya dapat diperoleh dari pengalaman sehari-hari (sebagai orang Jawa).
Sebelum Woodward melakukan penelitian terhadap Islam Jawa, Clifford Geertz telah melakukan kajian lebih dahulu yang kemudian menghasilkan karya The Religion of Java yang menggantikan karya Hurgronje dengan judul The Acehnese yang sebelumnya telah menjadi buku rujukan standar untuk mengenal Islam Indonesia.
Geertz, dalam bukunya The Religion of Java memilah masyarakat Jawa menjadi tiga golongan, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Meskipun buku ini telah banyak dikritik oleh beberapa peneliti, tetapi karya Geertz ini masih selalu dijadikan rujukan. Beberapa peneliti yang memberikan kritik terhadap karya Geertz tersebut adalah Harsja W. Bachtiar (1972) dan Pursudi Suparlan (1976).
Secara sederhana penulis paparkan pandangan Geertz tentang tipologi masyarakat Jawa adalah sebagai berikut:
1. Abangan yaitu kelompok masyarakat desa yang bekerja sebagai petani di Jawa, meskipun Geertz juga mengakui adanya komunitas abangan di kota. Agama yang dianutnya adalah agama sinkretik, maksudnya adalah campuran dari animisme, Hinduisme, Islam, dan kepercayaan terhadap roh-roh serta ilmu hitam atau perdukunan.
2. Santri yaitu komunitas muslim ortodoks yang menitik beratkan pada kewajiban-kewajiban yang diperintahkan agama dan lebih islami. Kelompok santri terdiri dari para pedagang di kota, meskipun Geertz juga tidak menafikan adanya santri di pedesaan, terutama di pesantren.
3. Priyayi yaitu kelompok yang memiliki kecenderunagn Hindu-mistisisme dalam cara beragama mereka, sehingga mereka sering mengabaikan rukun Islam. Pada umumnya mereka bekerja sebagai pegawai.
Selain Clifford Geertz, juga ada Ben Anderson yang juga meneliti tentang kebudayaan Jawa. Gagasanya tentang kebudayaan Jawa, secara eksplisit merujuk kepada studi-studi kolonial mengenai kerajawian Hindu-Jawa dan karakterisasi Geertz mengenai Indonesia sebagai Negara Hindia.
Jika Geertz meneliti Islam Jawa melalui ketegangan antara Islam ortodoks dan sinkretisme, sebaliknya, Woodward memahami Islam Jawa telah diwarnai akan adanya ketegangan antara penafsiran legal dan penafsiran mistik.

B. Review Karya Mark R. Woodward
Bermula dari keinginan Mark R. Woodward untuk melengkapi kajian Clifford Geertz di Mojokuto, Jawa Timur pada sekitar tahun 1950-an yang menghasilkan teori aliran masyarakat jawa yang terdiri dari : abangan, santri, dan priyayi, maka Woodward membuahkan karyanya dengan judul Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, yang sebelumnya didahului dengan melakukan penelitian di keraton Yogyakarta.
Dalam desain awal penelitiannya, Woodward ingin mempelajari asal-usul keraton Jawa dan agama rakyat (popular religion) hingga prototype Indianya. Dengan bekal latihan sebagai Indolog dan sejumlah buku mengenai filsafat dan ritual Hindu-Budha, ia dating tepat empat hari sebelum di adakan upacara garebeg maulud, yaitu sebuah ritual keraton untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Ia menghabiskan beberapa hari untuk menelusuri elemen Hindu dari modalitas dan ritual upacara tersebut, tetapi hasilnya nihil. Usahanya untuk menemukan prototipe-prototipe Hindu-Budha dari mistisisme Jawa sangat mengecewakan. Hasil penelitiannya menunjukkan tidak adanya sistem Teravada, Mahayana, Siva, atau Vaisnava, kecuali hanya kesamaan yang sepele menurut informan Jawanya. Selain itu filsafat wayang Jawa yang bersumber pada epik besar Hindu yakni dalam cerita Mahabarata dan Ramayana, secara khusus tidak nampak India lagi.
Berawal dari kekecewaannya itu akhirnya Woodward mulai mempelajari doktrin dan ritual Islam kepada seorang anggota pengurus masjid lingkungan ia tinggal. Informan tersebut meyakinkannya bahwa ritual-ritual keraton dan sistem mistik kejawen diderivasi dari Islam. Walaupun tidak murni dari ajaran Nabi Muhammad, tapi menurutnya tetap Islam. Dari sinilah akhirnya ia mulai mempelajari segala hal yang bisa ia temukan di Indonesia berkaitan dengan ritual, doktrin dan sejarah Islam dan ia mulai menyisihkan koleksi buku Indologinya.
Dari sini akhirnya Woodward merancang penelitiannya untuk membahas hubungan antara teks-teks keagamaan, wacana sosial dan keagamaan. Usahanya adalah dengan menyatukan teori neo-Tylorian yakni agama merupakan suatu sistem penjelasan (explanatory system) dengan antropologi kognitif kontemporer seperti apa yang disebut Ortner sebagai teori praktek (practice theory). Untuk mencapai al itu maka harus melalui analisis kebudayaan sebagai sebuah sistem pengetahuan aksiomatik sehingga dapat memberikan penyelesaian teoritis, baik historis maupun etnografis terhadap pertanyaan Hodgson.
Sebagai jawaban atas pertanyaan Hodgson tersebut adalah Islam masuk begitu cepat dan mendalam ke dalam struktur kebudayaan Jawa sebab ia dipeluk oleh keraton sebagai basis untuk negara teokratik. Sufisme (Islam mistik) membentuk inti kepercayaan negara (state cult) dan teori kerajawian sebagaimana tampak dari kerajaan-kerajaan Bali yang terindianisasi dan daratan Asia Selatan, merupakan model utama agama rakyat.
Metode yang digunakan Woodward adalah dengan membandingkan teks-teks Jawa dengan data etnografis. Metode tersebut sangat fundamental untuk menganalisis agama Jawa, terutama menyangkut hubungan antara kebatinan (mysticism) dan kesalehan Islam normatif. Inilah yang membedakan antara Geertz dengan Woodward. Dengan kedua metode tersebut, Woodward menilai bahwa selametan adalah bagian dari ritus Islam. Jadi sorang peneliti tidak boleh menjudgement suatu ritual tanpa melakukan analisis terhadap tradisi lokal dan tradsisi tekstual. Selain itu Woodward juga menggunakan metode penelitian lapangan observasi partisipatif (penelitian terlibat). Dalam hal ini Woodward melakukan wawancara berulang-ulang kepada informan dengan tujuan untuk menentukan bagaimana individu membuat masuk akal seluruh agama Jawa, yakni tidak hanya untuk memahai kepercayaan mereka, tapi bagaimana juga mereka memandang kepercayaan orang lain.
Bagi Woodward Islam dan budaya lokal itu adalah sesuatu yang bersifat akulturatif sesuai dengan prosesnya masing-masing. Jadi, antara Islam dan budaya lokal (Jawa) bukanlah suatu yang antonim, tetapi bersifat kompatobel. Hasil kajian Woodward mengenai Islam Jawa inilah dapat dikatakan telah memberi perspektif lain di tengah-tengah dominasi paradigma Geertz dan peneliti-peneliti sebelumnya.
Sebagai hasil akhir dari penelitiannya itu, akhirnya ia menyimpulkan bahwa cerminan dari,ogika teoretis bahwa agama dan masyarakat Jawa adalah Islam, sebab aspek-aspek doktrin Islam telah menggantikan Hinduisme dan Budhisme sebagai aksioma kebudayaan Jawa.

C. Hubungan Kesalehan Normatif versus Kebatinan
Untuk menghindari karakteristik berpikiran shari>’ah (shari>’ah mindedness) dalam kajiannya, Woodward menggunakan istilah kesalehan normatif. Hal ini karena di Jawa seorang muslim paling saleh sekalipun umumnya tidak menjalankan seluruh bagian shari>’ah secara kaku. Shari>’ah adalah hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’a>n dan h}adi>th nabi Muhammad, sehingga shari>’ah membentuk inti Islam normatif. Kesalehan normatif dipahami sebagai seperangkat tingkah laku yang telah digambarkan Allah melalui utusan-Nya, yaitu Muhammad bagi umat Islam. Kesalehan normatif merupakan bentuk tingkah laku agama di mana ketaatan dan ketundukan merupakan hal yang sangat penting.
Sufisme merupakan variasi dalam Islam yang doktrin sucinya adalah bahwa gnosis atau kesatuan dengan Allah bisa dicapai melalui jalan mistik. Sufisme lebih mengatur bentuk-bentuk mental dari pada tingkah laku, dengan tujuan transformasi jiwa, yakni membebaskannya dari segala keinginan dan hawa nafsu duniawi yang menghalangi manusia dari perwujudan sebagai citra, dan akhirnya menyatu dengan Allah. Kalangan sufi kebanyakan meyakini bahwa doktrin ini melampaui shari>’ah, penjelmaan kebenaran dan kunci keselamatan.
Adapun hubungan antara kesalehan normatif dengan sufisme pada umumnya sering digambarkan dalam istilah perbedaan antara lahir dan batin. Salah satu prinsip utama dalam pemikiran keagamaan Jawa adalah segala sesuatu yang ada tersusun dari wadah dan isi. Alam, bentuk fisik tubuh dan kesalehan normatif semuanya adalah wadah. Allah, sultan, jiwa, iman, dan mistisisme semua merupakan isi. Tujuan wadah adalah untuk menjaga, menahan dan membatasi isi, sebaliknya isi, justru untuk ”meruntuhkan” itu semua. Kalangan mistikus Jawa meyakini, pada akhirnya isi lebih berarti dari pada wadah sebab merupakan kunci kesatuan mistik. Tetapi dengan menerima hubungan kosmologis dan metafisik, dua konsep tersebut, maka tidak ada yang bisa diabaikan. Meskipun sebagian besar orang Jawa setuju wadah normatif diperlukan untuk mengembangkan pengetahuan mistik, persoalannya justru apakah wadah yang sempurna tetap terbuka. Dalam istilah-istilah perilakuan (behavioral), ini berarti bahwa pada tingkat mana kalangan mistik harus sesuai dengan norma-norma tingkah laku shari>’ah menjadi kontroversi besar. Dengan demikian, kendati telah dibangun dalam bentuk kosmologi yang lebih koheren, hubungan antara kesalehan normatif dan sufisme tetap problematik.
Menurut Woodward, baik Islam normatif dan berbagai versi Islam Jawa berkaitan dengan kepercayaan keraton (royal cult), hubungan antara shari>’ah dan doktrin mistik adalah termasuk tema penting dalam teks-teks keagamaan yang menjadi dasar agama keraton. Terhadap problem ini, teks-teks Jawa sampai pada dua pemecahan. Pertama, Islam normatif menurut para mistikus harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan shari>’ah. Kedua, praktek-praktek ritual yang digariskan shari>’ah dapat dikesampingkan. Pembedaan secara umum dalam seluruh tradisi Islam ini digunakan sebagai basis teokrasi sufi.

PENUTUP
Seperti halnya karya Clifford Geertz, karya Mark R. Woodward juga tidak lepas dari kritik-kritik mendasar dari beberapa penulis sesudahnya, seperti Andre Beatty dalam bukunya Varieties of Javanese dan Andre Moller dalam bukunya Ramadhan di Jawa Pandangan dari Luar. Meskipun banyak mendapat kritikan, tetapi karya Woodward ini tetap menjadi rujukan terhadap kajian-kajian terhadap studi tentang agama dan kebudayaan Jawa. Yang paling menarik dalam tesis Woodward ini adalah kedua corak religiusitas (normatif dan kejawen) tersebut dikatakan sama-sama Islam, bahkan dalam karyanya yang lain ia berani mengatakan bahwa selametan merupakan salah satu dari ritus Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AWAL PERTAMA TINGGAL DI TULUNGAGUNG DAN SERUNYA BERBELANJA DI PASAR TRADISIONAL TAMANAN TULUNGAGUNG

Saya dan Zidan (anak saya) di Alun-Alun Tulungagung saat masih seminggu tinggal di Tulungagung,   dan Zidan masih berumur 1 tahun Sudah menj...