Kamis, 31 Mei 2012

IBNU SINA : PERINTIS FILSAFAT MODERN (SEBUAH TINJAUAN KRITIS ATAS AJARAN FILSAFAT IBNU SINA)


IBNU SINA : PERINTIS FILSAFAT MODERN
(SEBUAH TINJAUAN KRITIS ATAS AJARAN FILSAFAT IBNU SINA)
Oleh: Lailatuz Zuhriyah, S.Th.I. M.Fil.I

BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat Islam merupakan salah satu bidang yang menguras energi umat Islam sejak dari awal. Bukan hanya terkait dengan perdebatan konseptual (akademik), melainkan juga merambah pada wilayah nonakademik. Di satu sisi, filsafat diyakini akan mampu mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan, pencerahan akal budi, tetapi di sisi lain filsafat juga dianggap sebagai biang kerok pemecah belah umat. ”Klaim kebenaran” semakin menyulitkan sekaligus merumitkan upaya dialog dan negosiasi dari kedua kutub yang berlawanan tersebut.
Filsafat Islam, meski dengan sadar tidak mau melepaskan otoritas wahyu, namun juga dengan kesadaran penuh dan rasa hormat yang tinggi mengambil bahan-bahannya dari luar Islam, terutama Yunani. Terma filsafat Islam di sini termasuk dalam pengertian sufisme spekulatif atau tasawuf falsafi, karena pada hakikatnya ia adalah pengembangan warisan filosofis yang dibeber atas nama intuisi.
Meskipun diperselisihkan namanya atau kandungannya, namun jelas bahwa filsafat Islam mempunyai corak tersendiri dan problema-problemanya yang khas serta kepribadiannya sendiri sehingga ia memberi sumbangan yang tidak bisa diremehkan dalam kerja kemanusiaan dan telah mempunyai tempatnya sendiri dalam kebudayaan dunia.
Filsafat mulai dikenal bagi dunia timur setelah adanya gelombang hellenisme. Dengan semakin banyaknya penerjemahan buku-buku terutama buku-buku filsafat Yunani, menyebabkan bermunculanlah filosof-filosof muslim. Salah satu di antara para filosof tersebut adalah Ibnu Sina. Ia merupakan perintis filsafat modern. Penelitian kontemporer tentang pemikiran filsafat Ibnu Sina memperlihatkan aspek yang begitu signifikan dari metafisikanya. J. L. Teicher, sebagaimana yang dikutip Saeed Syaikh, berpendapat bahwa dalam sistem spekulatif Ibnu Sina kita dapat melacak pandangan Descartes,[1] Kant dan bahkan Bergson, hanya saja terminologi filsafat Ibnu Sina terasa asing bagi para mahasiswa filsafat saat ini. Descartes dipengaruhi oleh Ibnu Sina terutama dalam hal keraguan metodologis, pernyataan ”Aku berpikir, maka aku ada”, dan argumen ontologi dan kosmologi bagi keberadan Tuhan.
Sejauh ketika membaca pikiran Kant, ditemukan tidak hanya distingsi antara akal praktis dan teoritis pada Ibnu Sina, tetapi juga statement tentang The Antinomies of Pure Reason (kontradiksi pada Rasio murni). Meskipun doktrin-doktrin Bergson tentang intuisi dan evolusi kreatif dapat ditemukan sekilas pada Ibnu Sina, tetapi untuk mengatakan bahwa sungguh-sungguh ada kesamaan antara kedua filosof tersebut masih membutuhkan penelitian lebih jauh.
Ibnu sina sebagai filosof muslim memberikan banyak sumbangan intelektual bagi dunia filsafat Islam lewat pemikiran-pemikiran filsafatnya. Penulis akan memaparkan lebih jauh dalam makalah ini tentang biografi beserta pemikiran-pemikiran filsafatnya.
BAB II
BIOGRAFI IBNU SINA
A. Riwayat Hidup dan Karirnya
Abu Ali al-Husayn bin Abdullah bin Sina (980-1037M) atau yang secara umum dikenal dengan nama Ibnu Sina atau Avicenna (bahasa Latin yang terdistorsi dari bahasa Heberew Aven Sina) adalah seorang ensiklopedis, filosof, fisiologis, dokter, ahli matematika, astronomer dan sastrawan. Bahkan di beberapa tempat, ia terkenal sebagai sastrawan dari pada seorang filosof. Dia adalah ilmuwan dan filosof muslim yang sangat terkenal dan salah seorang ilmuwan dan filosof terbesar sepanjang masa. Diakui oleh semua orang bahwa pikirannya mempresentasikan puncak filsafat Arab. Dia dipanggil oleh orang Arab dengan sebutan asy-Syaikh ar-Rais.[2]
Ibnu Sina dilahirkan di Afsanah, Bukhara, Transoxiana (Persia Utara). Ketika berusia enam belas tahun, kemahirannya dalam bidang kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori-teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang sakit. Ketika usia tujuh belas tahun, beliau berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur seorang penguasa daerah Bukhara. Sejak saat itu Ibnu sina mendapat sambutan yang sangat baik dan diperkenankan mengunjungi perpustakaannya yang penuh dengan buku-buku yang langka. Karena suatu hal, perpustakaan tersebut terbakar dan orang-orang menuduh bahwa ia membakarnya agar orang lain tidak dapat ikut mengambil manfaat dari perpustakaan itu.
Dia lebih menekankan pada rasionalitas dari pada keyakinan buta. Dari sinilah akhirnya ia mendapat banyak serangan dari kalangan muslim ortodoks. Bahkan, ia di tuduh ateis.[3] Karena itu dia lebih di kenal di Barat dari pada di Timur. Pengaruhnya di Barat karena buku-bukunya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.
Pada usia dua puluh dua tahun ayahnya meninggal, kemudian ia meninggalkan Bukhara untuk menuju ke Jurjan, dan dari sini ia pergi ke Khawarazm. Di Jurjan ia mengajar dan mengarang, tetapi ia tidak lama tinggal di sini karena adanya kekacauan politik. Setelah tiu ia berpindah-pindah dari negeri satu ke negeri yang lain, dan akhirnya sampai di Hamadan. Oleh penguasa negeri ini, yaitu Sultan Syams ad-Dawlah dari dinasti Bani Buwaihi, ia diangkat menjadi perdana menterinya di Rayyand. Namun, kalangan tentara memusuhinya dan menjebloskannya ke dalam penjara. Atas bantuan Sultan, ia dikeluarkan dari penjara.
Setelah ia berhasil sekali lagi mengobati penyakit Sultan, ia diangkat lagi menjadi perdana menteri hingga sampai meninggalnya Sultan. Ketika hendak pergi ke Isfahan, ia ditangkap oleh Taj-al-Muluk, putra Sultan Syams ad-Dawlah, dan dijebloskan kepenjara selama empat bulan, tetapi ia dapat melarikan diri dengan cara menyamar.[4]
Hidup Ibnu Sina penuh dengan kesibukan bekerja dan mengarang. Hidupnya dipenuhi kesenangan dan banyak kepahitan hidup, hal ini yang menyebabkan ia tertimpa penyakit yang tidak dapat diobati lagi. Pada tahun 428 H (1037 M), ia meninggal di Hamadan pada usia 57 tahun.
B. Karya-Karya Ibnu Sina
Hidup Ibnu sina tidak pernah mengalami ketenangan, dan usianya juga tidak panjang. Meskipun kesibukannya dalam dunia politik sangat banyak, tetapi ia berusaha menyempatkan waktu untuk mengarang, sehingga ia berhasil meninggalkan berpuluh-puluh karangan. Kesuburan hasil karyanya karena beberapa faktor, yaitu:
1. Pandai mengatur waktu. Siang adalah waktu untuk pemerintahan dan malam untuk mengarang dan mengajar. Ketika bepergian, kertas dan alat tulis selalu di bawa dan ketika ia sudah letih dalam perjalanan, ia duduk kemudian berpikir dan menulis.
2. Kecerdasan otak dan kakuatan hafalan. Ia sering menulis tanpa memerlukan referensi, dan dalam sehari ia dapat menulis tidak kurang dari lima puluh lembar.
3. Sebelum Ibnu Sina telah hidup, al-Farabi juga mengarang dan mengulas buku-buku filsafat, sehinnga al-Farabi telah meratakan jalan baginya sehingga ia tidak menemui banyak kesulitan yang harus dihadapi terutama persoalan-persoalan kecil.
Adapun karangan-karangan Ibnu Sina yang terkenal adalah:
1. Al-Syifa’. Merupakan buku filsafat yang terpenting dan terbesar dar Ibnu Sina, terdiri dari empat bagian, yaitu: logika, fisika, metafisika(ketuhanan) dan matematika.
2. Al-Najat. Berupa ringkasan buku al-Syifa’ dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir.
3. Al-Isyarat wa Tanbihat. Merupakan buku terakhir dan yang paling baik.
4. Al-Hikmat al-Masyriqiyyah. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf, tetapi menurut Carlos Nallino, berisi filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat.
5. Al-Qanun atau Canon of Medicine. Buku ini pernah di terjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standar unruk universitas-universitas Eropa sampai akhir abad ke tujuh belas masehi.
BAB III
PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA
A. Logika
Filsafat logika Ibnu Sina dapat ditemukan dalam kitabnya yang berjudul Al-Najat dan dalam beberapa bagian penting karyanya yang berjudul Al-Isyarat. Dalam hal ini ia mengembangkan konsep logikanya tidak jauh beda dengan komentar al-Farabi terhadap Organonnya Aristoteles.[5] Ibnu Sina membagi pengetahuan logika ke dalam sembilan bagian yang berbeda dalam monografnya yang berisi tentang ”Klasifikasi Pengetahuan” yang berkaitan dengan delapan buku Aristoteles. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Yang berhubungan dengan Isagoge. Yaitu filsafat umum tentang bahasa yang berkaitan dengan pembicaraan dan elemen-elemen abstrak.
2. Berkaitan dengan ide-ide sederhana dan abstrak, yang dapat diterapkan pada semua hal, dan disebut oleh Aristoteles dengan kategori.
3. Berkaitan dengan kombinasi dari ide-ide sederhana tersebut untuk menyusun proposisi yang dinamakan Aristoteles dengan hermeneutika dan oleh para filosof muslim dikenal dengan al-iba>rah atau at-tafsi>r.
4. Mengombinasikan proposisi dalam bentuk-bentuk sillogisme yang berbeda dan merupakan bahasa pokok First Analytics Aristoteles, yaitu analogi (al-qiya>s).
5. Second analytics, yaitu pembuktian (al-burha>n). Mendiskusikan berbagai hal yang harus dipenuhi oleh premis-premis yang darinya rangkaian reasoning dijalankan.
6. Al-Jadl. Yaitu mempertimbangkan sifat dan batasan-batasan penalaran yang mungkin, yang berkaitan dengan topicnya Aristoteles.
7. Sophisticii atau kesalahan-kesalahan (al-Magha>lith). Yaitu membicarakan kesalahan penalaran logis, intensional atau yang lain.
8. Rhetoric atau pidato (al-Khatha>bah). Yaitu menjelaskan seni mempersuasi secara oratorikal.
9. Puisi (asy-Syi’ir). Yakni menjelaskan seni mengaduk jiwa dan imajinasi pendengar melalui kata-kata. Poeticsnya Aristoteles dianggap filosof muslim menjadi bagian dari Organon logisnya.
Logika digunakan Ibnu Sina dalam pengertian yang luas. Logika sillogistik dianggapnya hanya bagian darinya. Sekalipun Ibnu Sina memberikan posisi yang sangat penting bagi logika di antara ilmu-ilmu yang lain. Penalaran, menurut Ibnu Sina, berawal dari terma-terma khusus yang diterima dari luar. Ini merupakan data awal pengalaman atau prinsip-prinsip pertama pamahaman. Rangkaian deduksi dihasilkan dari pengetahuan, diturunkan dari pengetahuan yang mendahului, dan ini bukan tidak terbatas. Ia harus memiliki starting point yang menjadi pondasi dari keseluruhan struktur logika. starting point ini tidak didirikan dalam logika itu sendiri, tetapi diluarnya.
Deskripsi atau defenisi pertama dibentuk dari pengalaman langsung atau ide-ide dan kemudian disusun dengan menggunakan argumen-argumen. Ibnu Sina menyarankan untuk menggunakan justifikasi pragmatis terhadap definisi dan argumen dengan definisi, seseorang dapat mempresentasikan objek dan dengan argumen, dia dapat melakukan persuasi.
Ibnu Sina mengikuti logika Aristoteles yang mengakui empat sebab, yaitu materiil, formal, efisien, dan final atau tujuan. Dia menunjukkan bahwa sebab-sebab tersebut mungkin muncul secara bersamaan dalam sebuah definisi. Ibnu Sina juga menjelaskan berbagai macam predicable, misalnya genus, species, perbedaan, dan kejadian-kejadian umum, yang dengannya kita memiliki metode lain untuk formulasi definisi-definisi.
Logika memiliki kesamaan khusus dengan matematika sejauh subjek matematika adalah abstraksi dari materi. Tetapi menurut Ibnu Sina, ilmu matematika memiliki kapasitas untuk dipresentasikan oleh indera dan dikonstruksi oleh imajinasi. Sementara ilmu logika memiliki eksistensinya hanya dalam intelektual murni. Oleh karena itu ilmu logika lebih formal dari pada matematika sehingga posisinya lebih tinggi dari padanya.[6]
B. Psikologi
Dalam hal psikologi, Ibnu Sina memberikan perhitungan yang sistematis terhadap berbagai macam jiwa dan daya-dayanya. Yang diklasifikasikan secara metodis sesuai dengan susuna hierarkis.menurutnya ada tiga macam jiwa, yaitu:
1. Jiwa Tumbuhan
Jiwa tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu: kekuatan nutrisi (makan), kekuatan tumbuh (growth), dan kekuatan reproduksi. Kekuatan nutrisi ketika ada dalam satu tubuh mengubah zat yang dimakannya agar sesuai dengan tubuh. Kekuatan tumbuh (growth) adalah kekuatan yang dengannya tubuh terus berkembang tanpa merubah bentuknya sampai ia berada pada kondisi yang matang. Kekuatan reproduksi memiliki potensi untuk melahirkan sebagian dari tubuh sehingga memungkinkan untuk melahirkan tubuh yang lain yang sama secara aktual.
2. Jiwa Hewan
Jiwa hewan memiliki dua daya, yairu daya motif dan daya peseptif. Daya motif termasuk di dalamnya adalah kekuatan appetitive (hasrat) dan kekuatan efisien. Kekuatan appetitive dapat berupa attractive atau repulsive. Attractive adalah sifat ketertarikan, sedang repulsive adalah sifat marah. Kekuatan efisien adalah kekuatan yang mampu menggerakkan tubuh dan otot-otot.
Daya perseptif atau kognitif diklasifikasikan ke dalam eksternal dan internal. Yang pertama mencakup lima alat indera: melihat, mendengar, membau, merasa, dan meraba. Yang kedua, kekuatan internal adalah common sens yang terletak di depan otak, suatu titik pusat di mana seluruh persepsi menyusun pengertian sebelum dielaborasikan oleh daya yang lebih tinggi. Berikutnya adalah daya normatif atau imajinasi yang erada di tengah otak. Imajinasi berfungsi untuk melepaskan persepsi inderawi dari kondisi tempat, waktu dan materiil benda dan memungkinkan pikiran untuk membayangkan objek ketika objek tersebut lenyap dengan cara membuat kesan tenang objek tersebut.
Daya formatif diikuti dengan daya kognitif yang mampu mengabstraksikan elemen-elemen umum dari hasil persepsi dan image-image dan bentuk-bentuk objek yang dipersepsi. Daya estimasi kemudian mengatur catatan-catatan ini ke dalam apa yang disebut putusan. Putusan ini menurut Ibnu Sina lebih berkarakter instingtif dari pada intelektual. Daya estimasi yang mengkonstitusikan intelegensi binatang. Daya terakhir dalamjiwa hewan adalah memori yang ada di bagian belakang otak.
3. Jiwa Manusia
Hanya jiwa manusia yang memiliki pikiran (reason). Pikiran (reason) atau intellegence dalam pandangan Ibnu Sina, terdiri atas dua macam, yaitu akal praktis dan teoretis. Akal praktis (active intellegence) berhubungan dengan moralitas, sedangkan akal teoretis (speculative intelegence) adalah akal yang memungkinkan kita berpikir abstrak.[7]
C. Fisika
1. Gerak dan Diam
Menurut Ibnu Sina, gerak ialah pergantian keadaan yang menetap pada benda, sedikit demi sedikit, dengan menuju kepada arahnya yang tertentu.. sebelum itu, Aristoteles telah membagi gerak menjadi enam, yaitu: gerak kejadian, gerak kemusnahan, gerak pertumbuhan, gerak pengurangan, gerak perpindahan dari satu keadaan ke keadaan yang lain (istihalah), dan gerak perpindahan dari satu tempat ke tempat lain.[8]
Sesuatu dapat bergerak karena ada sebab penggeraknya. Sebab penggerak ada kalanya terdapat dalam badan (benda), dalam hal ini badan tersebut dikatakan ”perkara yang bergerak dengan sendirinya”. Ada kalanya sebab penggerak tersebut tidak berada pada bada (benda) itu, yang dalam hal ini badanbtersebut dinamakan ”perkara yang bergerak bukan dengan sendirinya.”
Tentang diam, menurut Ibnu Sina diam adalah tidak adanya gerak dari sesuatu yang bisa bergerak. Jadi perlawanan antara diam dengan gerak sama dengan perlawanan antara tiada dengan ada dengan nyata.
2. Zaman
Zaman bertalian dengan gerak. Karena itu, tidak akan terbayang adanya zaman, kecuali terbayang pula adanya gerak. Apabila gerak tidak dapat dirasakan, maka zaman juga tidak dapat dirasakan, seperti yang terjadi pada orang-orang ash}a<b al-kah}fi. Zaman tidak dijadikan dalam proses waktu, melainkan kejadian tersebut adalah sebagai ibda’ (ciptaan), dimana penciptaannya tidak mendahuluinya dari segi tingkatan dan martabat. Kalau sekiranya zaman itu memiliki sunber (asal) zaman, maka berarti bahwa zaman itu terjadi sesudah zaman lain yang mendahukuinya, sebab pengertian ”baru-dari-segi-zaman” ialah bahwa zaman itu saja asalnya tidak ada kemudian ada.
Zaman itu adalah ukuran (kadar) gerak yang bundar, dari segi maju mundurya. Kalau zaman itu adalah ukuran gerak, sedang zaman itu bukan baru (dari segi zaman), maka artinya gerak itu bukan hal yang baru (dari segi zaman).
3. Tempat, Kekosongan, Terbatas dan Tidak Terbatas
Tempat ialah suatu, di mana beda itu berada di dalamnya. Jadi tempat itu meliputi benda tersebut, memuatnya, terpisah dari padanya, ketika terjadi gerakan, dan sama (seimbang) dengan benda tersebut sebab tidak mungkin terdapat dua benda dalam tempat yang satu dan dalam masa yang satu pula. Tempat itu bukan benda (matter, hule), bukan pula form, karena kedua-duanya ini hanya berada (terdapat) pada sesuatu yang terdapat dalam tempat.
Masalah kekosongan, Ibnu Sina mengikuti argumrn Aristoteles, yaitu membenarkan adanya kekosongan, sebagaimana ia mengingkarinya adanya batas (kadar) yang tak terhingga, atau adanya bilangan yang tidak berakhir, ataupun gerak yang tidak berujung.
D. Metafisika
Ajaran metafisika Ibnu Sina yang terlihat sangat kuno untuk ukuran sekarang adalah Ibnu Sina berbicara tentang akal dan jiwa (soul) planet yang beremanasi dari Tuhan dalam sebuah tatanan hierarkis.
Dalam teori emanasi, sebagaimana yang dipahami secara umum oleh para filosof muslim, bekerja di bawah dua prinsip, yaitu:
1. Prinsip bahwa Tuhan adalah ketunggalan murni, maka tidak masuk akal bahwa sesuatu akan muncul dari-Nya kecuali bahwa sesuatu tersebut harus juga sesuatu yang tunggal. Intinya adalah yang satu hanya dapat menghasilkan yang tunggal.
2. ”Ada” memiliki dua aspek: wajib ada atau mungkin ada, esensi atau eksistensi. Hanya dalam Tuhan sajalah esensi dan eksistensi menyatu.
Di semua makhluk, esensi terpisah dari eksistensi. Dari sini kemudian disimpulkan bahwa esensi semua makhluk adalah bersifat mungkin, dan dia menjadi bereksistensi hanya karena Tuhan.
Emanasi pertama dari Wajib Ada adalah satu, yaitu akal pertama. Di satu sisi, eksistensinya adalah mungkin dan di sisi lain, dia wajib melalui Ada Yang Pertama (First Being). Ia mengetahui esensinya sendiri sebagaimana esensi the First Being. Ia memiliki eksistensi ganda, mungkin dan wajib, dan ini memunculkan keragaman karena ia memiliki tiga macam objek pengetahuan: pengetahuan Yang Pertama, esensinya sendiri sebagai wajib ada, dan keberadaannya sebagai mungkin ada. Dari akal pertama, muncul tiga makhluk: akal kedua, jiwa (soul) pertama, dan langit bintang-bintang pertama. Dari akal kedua muncul akal lain, langit kedua, dan jiwanya.
Menurut sistem Ptolemy, di samping langit pertama, hanya ada delapan planet yang mengelilingi bumi sebagai sumbunya. Maka, bermula dari Ada Yang Pertama, proses emanasi berakhir sampai pada akal kesepuluh yang bersamanya muncul langit bulan ke sembilan dan jiwanya. Akal ke sepuluh ini, juga disebut dengan active intelligence, merupakan langit yang paling bawah dan langsung berkaitang dengan kejadian di bumi. Ia memproduksi materi yang pertama (hayula) yang pasif dan tidak berbentuk, tetapi ia menjadi basis dari empat elemen dari mana semua makhluk diciptakan.[9] Komposisi dan dekomposisi elemen-elemen ini menjadi sebab dar lahir ( generation) dan matinya (dissolution) semua tubuh. Akal ke sepuluh sebagai produser materi, adalah pemberi bentuk (wa>hib ash-shuwar). Ia memberi bentuk masing-masing materi yang pad dan ia juga memberi jiwa pada masing-masing tubuh, yang merupakan bentuk (form) bagi tubuh ketika tubuh telah siap untuk menerimanya. Jadi, akal terakhir juga menjadi sebab dari eksistensi jiwa (soul) manusia. Tetapi jiwa manusia tidak kerasan dalam tubuh dan dia tetap rindu kepada First Being. Oleh karena itu, ia memulai perjalanan spiritualnya untuk kembali kepada sumber asalnya melalui berbagai tangga akal langit.
BAB IV
TINJAUAN KRITIS ATAS AJARAN FILSAFAT IBNU SINA
Setelah mempelajari konsep pemikiran filasafat Ibnu Sina, terutama dalam hal skema kosmologis yang terdiri atas akal dan jiwa (soul) langit, maka ada beberapa pertimbangan tentang teori ini, yaitu
A. Pandangan yang menjelaskan asal mula dunia sebagai ciptaan Tuhan secara langsung adalah penjelasan yang sangat sulit untuk diterima. Masalah penciptaan pasti mengimplikasikan mengubah sifat keberadaan Tuhan dan membawa kita pada problem kesempurnaan dan keabsolutan Tuhan. Kedua, akan berimplikasi ketidak sempurnaan dalam keberadaan ketuhanan. Maksudnya, Dia membutuhkan sesuatu, yang berarti bahwa Dia tidak sempurna. Ketiga, dunia ini beraeka ragam, penuh dengan elemen yang beragam. Bagaimana yang beragam muncul dari Tuhan Yang Maha Esa?
B. Teori emanasi Neoplatonisme yang menjelaskan asal-mula dunia sebagai satu keharusan yang muncul (lahir) dari Tuhan seperti cahaya dari matahari jelas belum bisa menjawab masalah di atas.
C. Bagaimanapun juga, dunia tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang keluar secara niscaya dari Tuhan, itu akan sangat problematis secara filosofis apalagi keragaman. Dapatkah dunia kita yang kotor ini dengan seluruh kekotorannya beremanasi langsung dari Tuhan yang merupakan spirit murni? Tidak,. Ini bukanlah semata-mata ajaran teori emanasi sebagaimana yang tertera di atas. Antara Tuhan di satu sisi dan dunia di sisi lain, harus ada agen-agen spiritual yang memediasi tangga-tangga proses yang menghubungkan antara keduanya. Teori, paling tidak akan didasari pada satu pandangan bahwa sesuatu yang langsung terkait dengan Tuhan dan sesuatu yang langsung mengarah ke dunia lebih seperti dunia. Elaborasi skema sejumlah akal dan jiwa akan membuat terasa masuk akal konstruksi besar ini. Akan lebih mudah dan bahkan mengagumkan untuk memahami berbagai akal dan jiwa sebagai malaikat sebagaimana dideskripsikan oleh para teolog. Versi muslim tentang emanasi kemudian memberi jawaban atas kebutuhan logis bahwa dari Tuhan Yang Satu hanya dapat muncul yang satu.
D. Alasan tentang jumlah langit dan jiwanya ada pada sistem astronomi Ptolemy saat itu. Menurut kosmogeni Ptolemy, bumi dikelilingi oleh sembilan langit seperti kulit bawang. Delapan diantaranya adalah langit untuk planet-planet dan yang kesembilan adalah langit untuk bintang-bintang.
E. Pandangan bahwa benda-benda luar angkasa, misalnya, bintang dan planet, adalah sempurna dan memiliki jiwa atau kecerdasan yang lebih tinggi dari pada manusia muncul dari Aristoteles. Keyakinan tentang kesempurnaan benda-benda luar angkasa tetap tidak dipertanyakan sampai sat Galileo mengarahkan teleskopnya ke bulan untuk pertama kali.
Sekalipun ada sekian alasan untuk menjustifikasi teori emanasi di atas, teori tersebut dalam analisis akhir tetap tidak dapat dipertahankan. Tidak ada yang bisa dikatakan kecuali bahwa itu adalah mitos-filosofis. Ibnu Sina, al-Farabi, filosof-filosof muslim lain, serta para filosof Neoplatonik memulai dengan proposisi ”dari satu hanya akan keluar satu”, tetapi ketika akan sampai pada langit bulan, mereka menjelaskan tentang jiwa dunia atau active intelligence atau active intellect. Mereka sepenuhnya mengingkari prinsip awalnya, dari satu hanya keluar satu. Akal aktif, menurut mereka tidak hanya memunculkan satu, tetapi beragam, karena semua jiwa manusia dan empat elemen keluar dari akal aktif. Selanjutnya, tangga-tangga proses penurunan ini tiba-tiba berubah arah naik dengan alasan yang hanya dketahui oleh eksponen teori tersebut. Dari empat elemen yang seluruh isi bumi berkembang. Tetapi, secara khusus, jiwa manusia memiliki kerinduan untuk kembali ke sumber aslinya, yaitu akal aktif dan dari situ kemudian kepada Tuhan.
Sebenarnya, prinsip bahwa yang satu hanya muncul satu dapat menjadi titik awal untuk melakukan analisis. Akal pertama yang muncul dari Tuhan, menurut teori ini, bukan ketunggalan yang sungguh-sungguh. Akal ini mengetahui dirinya sendiri dan Tuhan pada yang sama. Dari pengetahuan ganda ini muncul dualitas. Dualitas ini kemudian berubah menjadi ketigaan dan selanjutnya. Filosof paripatetik muslim dan Neoplatonik tetap mengakui bahwa akal pertama yang merupakan emanasi pertama dari Tuhan bukanlah Tuhan itu sendiri. Keberadaannya berbeda dengan keberadaan Tuhan. Kita mungkin akan mengatakan bahwa jika berbeda dari Tuhan, maka prinsip dari satu hanya keluar satu menjadi tidak masuk akal. Jika dari yang satu hanya keluar yang satu yang berbeda dari penciptanya, prinsip emanasi bahwa yang satu hanya keluar yang satu secara logis tidak berbeda dari prinsip penciptaan (creation). Kita berharap bahwa pandangan kritis tentang teori ini akan diambil oleh para filosof muslim sejak awal sehingga pengambilan teori emanasi Neoplatonisme sebagai landasan akan berhenti. Tetapi sayangnya, kita menemukan pengulangan terus-menerus teori ini dalam sistem filosofis hampir semua filosof muslim.
BAB V
KESIMPULAN
Ibnu Sina bisa dikatakan sebagai filosof perintis filsafat modern, karena pikiran-pikiranya yang begitu radikal dan banyak buku-bukunya yang diterjemahkan oleh Barat dan dipelajari oleh ilmuan-ilmuan Barat. Banyak sekali karya-karya yang di buahkan oleh Ibnu Sina karena ketekunannya, diantara buku-bukunya yang terkenal adalah: Asy-Syifa’, An-Najat, Al-Isyarat wa al-Tanbihat, Al-Hikmat al-Masyriqiyyah, Al-Qanun dan lain-lain.
Banyak sekali sumbangan-sumbangan intelektualnya dalam berbagai bidang kajian filsafat Islam seperti: Fisika, Logika, Psikologi, dan Metafisika. Teori yang paling terkenal dari Ibnu Sina adalah teori tentang jiwa dan kosmologi. Dalam hal logika Ibnu Sina mengikuti logika Aristoteles yang mengakui empat sebab, yaitu materiil, formal, efisien, dan final atau tujuan. Dalam bidang Psikologi, Ibnu Sina membagi jiwa menjadi tiga, yaitu jiwa tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia. Dalam bidang fisika, ia membahas tentang gerak dan diam, masalah zaman dan teori tentang tempat, kekosongan, terbatas dan tidak terbatas.
Dalam hal metafisika Ibnu Sina berbicara tentang akal dan jiwa (soul) planet yang beremanasi dari Tuhan dalam sebuah tatanan hierarkis. Ada dua prinsip utama dalam teori emanasi yaitu, pertama Prinsip bahwa Tuhan adalah ketunggalan murni, maka tidak masuk akal bahwa sesuatu akan muncul dari-Nya kecuali bahwa sesuatu tersebut harus juga sesuatu yang tunggal. Intinya adalah yang satu hanya dapat menghasilkan yang tunggal. Kedua, ”Ada” memiliki dua aspek: wajib ada atau mungkin ada, esensi atau eksistensi. Hanya dalam Tuhan sajalah esensi dan eksistensi menyatu.
DAFTAR PUSTAKA
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara. Jakarta: Pustaka Java, 1987.
Hamdi, Ahmad Zainul. Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2004.
Haque, M. Atiqul. Wajah Peradaban: Menelusuri Jejak Pribadi-Pribadi Besar Islam. Terj Budi et. al. Bandung: Zaman,1998.
Nasution, Hasyimsah Nasution. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Syaikh, Saeed Studies in Muslim Philosophy. Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1994.
Hanafi,Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.


[1] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Java, 1987), 232
[2] Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern (Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2004), 89.
[3] M. Atiqul Haque, Wajah Peradaban: Menelusuri Jejak Pribadi-Pribadi Besar Islam. Terj Budi et. al (Bandung: Zaman,1998), 67. 
[4] Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 68
[5] Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim,....................,92
[6] Saeed Syaikh, Studies in Muslim Philosophy, (Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1994), 93
[7] Ibid., 95
[8] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 118
[9] Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim,…………………., 103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AWAL PERTAMA TINGGAL DI TULUNGAGUNG DAN SERUNYA BERBELANJA DI PASAR TRADISIONAL TAMANAN TULUNGAGUNG

Saya dan Zidan (anak saya) di Alun-Alun Tulungagung saat masih seminggu tinggal di Tulungagung,   dan Zidan masih berumur 1 tahun Sudah menj...