Jumat, 01 April 2011

ISLAM TRADISIONAL
DALAM PERSPEKTIF SEYYED HOSSEIN NASR


PENGANTAR


Tema yang paling menonjol akhir-akhir ini dalam diskursus pembaharuan pemikiran Islam adalah mengenai ”Krisis Dunia Modern” dan ”Krisis Dunia Islam”. Tema ini menjadi sangat sering diperbincangkan karena berkaitan erat dengan realitas krisis manusia dan peradaban modern sebagai dampak modernisasi yang muncul dengan watak sekularitasnya.
Dalam hal ini, Seyyed Hossein Nasr menawarkan konsep ”Tradisionalisme Islam” sebagai gerakan counter culture terhadap modernisme, berusaha memecahkan persoalan kemodernan yang bertujuan untuk mengembalikan kesadaran manusia pada fitrahnya, pada dirinya yang asali, yang hakiki. Konsep ini ditawarkan karena manusia modern tengah mengalami ”degradasi eksistensi”. Manusia adalah makhluk Tuhan yang terikat dengan perjanjian primordialnya, sebagai makhluk yang sadar akan kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Namun, dalam perjalanan sejarah, manusia mengalami proses yang menjauhkan dirinya dari fitrah tersebut, sejak terjadinya sekularisme di Barat.
Krisis atau nestapa manusia dan peradaban Barat modern yang menderita kekosongan spiritual itu didekati oleh Nasr dari sudut perkembangan rohaniah (sufisme: tasawuf). Bagi Nasr, tasawuf bukan saja berkedudukan sebagai pengimbang sekularisme, rasionalisme, dan empirisme, bukan pula sekedar sebagai pengimbang materialisme dengan spiritualisme, tetapi lebih dari itu, jiwa (spirit) dan inti ajaran tasawuf diletakkan sebagai aksis atau pusat semua aspek kehidupan manusia, baik dalam tataran pemikiran maupun dalam tataran praktis kehidupan manusia. Nasr tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan alternatif pola kebudayaan dengan mengemukakan ajaran ”esoteris” tasawuf.
Bagi Nasr, ”Tradisionalisme Islam” adalah satu-satunya obat krisis manusia modern dan pola peradabannya. Dengan gerakan ”Tradisionalisme Islam” ini, Nasr menghendaki konformitas Islam dengan dunia modern, dan Nasr yakin bahwa Islam universal dan perennialnya akan mampu menjawab krisis dunia modern.




PEMBAHASAN


A. Latar Belakang Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr, lahir pada tanggal 7 April 1993, di kota Teheran, Iran, negara tempat lahirnya para sufi, filosof, ilmuwan dan penyair Muslim terkemuka. Ayahnya, Seyyed Valiullah Nasr, disamping dikenal sebagai seorang ulama’ tekenal di Iran pada masanya, juga dikenal sebagai seorang dokter dan pendidik pada masa dinasti Qajar. Kemudian pada masa dinasti Reza Shah, ia diangkat setingkat jabatan menteri Pendidikan (untuk masa sekarang).
Nasr dibesarkan dalam dua tradisi, yakni Islam ”tradisional” dan Barat ”modern”. Ia berasal dari dari keluarga ulama dan dibesarkan dalam tradisi dan locus ulama’ syi’ah tradisional yang mencakup nama-nama besar seperti Thabathaba’i, Hazbini, dan Muthahari. Kemudian ia memperoleh pendidikan Barat modern, melalui dua lembaga pendidikan tinggi yang termasuk terkemukan di Amerika Serikat, yaitu Massachussets Institute of Technology (MIT) dan Harvard University.
Nasr memperoleh pendidikan dasarnya selin secara informal dari keluarga, ia juga memperoleh pendidikan tradisional secara formal di Teheran. Kemudian ayahnya mengirimnya belajar kepada sejumlah ulama’ besar Iran di Qum, termasuk Thabathaba’i, penulis tafsir Mizan, untuk mendalami filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf. Di lembaga ini ia juga mendapat pelajaran menghafal al-Qur’an dan menghafal sya’ir-sya’ir Persia klasik. Pelajaran ini sangat membekas dalam jiwa dan pikiran Nasr.
Pada masa awal pendidikan Nasr di Iran, telah diwarnai ketegangan antara Barat dan Timur. Peradaban Barat yang sekuler dan kebobrokan moralnya, telah mulai mempengaruhi negeri-negeri Muslim. Ayahnya, Valiullah Nasr, sekalipun tidak pernah berkunjung ke dunia Barat, namun ia cukup paham tentang kemerosotan moral yang dibawa oleh peradaban modern, yang dalam banyak hal bertentangan peradaban Islam tradisional. Itu sebabnya, ia sangat keras dalam mendidik Nasr untuk membekalinya dengan doktrin-doktrin Islam secara kuat sejak masa kecil.
Bagi ayahnya, tidak cukup sampai di sini, untuk dapat melawan pemikiran sekuler, orang harus menguasai peradaban dan pemikiran Barat. Maka selesai mendapat pendidikan dari Qum, pada usia 13 tahun, Nasr sudah dikirim ke Amerika untuk masuk sekolah menengah tingkat atas. Namun dalam beberapa bulan Nasr berada di Amerika, ayahnya meninggal dunia. Sehingga ayahnya tidak sempta menyaksikan kesuksesan putranya, sebagaimana yang ia citakan.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya di Amerika, Nasr langsung mendaftarkan diri pada Massachussets Institute of Technology (MIT). Di perguruan tinggi ini, Nasr menekuni bidang fisika dan matematika teoritis, dibawah bimbingan seorang filosof modern, yang di mata Nasr para filosof ini dalam mengemukakan gagasannya sudah terlepas dari aturan ilmu pengegtahuan secara umum dan fisika secara khusus.
Pada masa studi di MIT, Nasr, disaping menekuni kedua bidang tersebut, juga secara autodidak menekuni ilmu-ilmu tradisional agama-agama Timur, seperti tradisi Hindu, Buddha dan khususnya tradisi pemikiran Islam. Maka, dibawah bimbingan George De Santillana, Nasr mendapat kuliah tentang tradisi Hinduisme dan diperkenalkan bahwa di Barat tengah terjadi perjuangan makna atau batin untuk mempertemukan titik pandang antara sains, filsafat, dan agama. Nasr oleh Santillana juga diperkenalkan pemikiran-pemikiran tradisi Timur lewat tulisan-tulisan Rene Guenon, A. E. Comaraswamy, F. Shcoun, dan T. Burckhardat. Perkenalannya dengan pemikiran tentang metafisika dan ajaran Timur, memberikan tempat tersendiri dalam intelektual Nasr.
Awal tahun 1950-an, nasr aktif dalam kelompok diskusi mahasiswa fisika, matematika, dan kimia di MIT. Para kelompok muda ini secara kritis da tajam mempertanyakan secara menyeluruh landasan pemikiran dan peradaban Barat. Dalam perkembangan lebih lanjut, kelompok ini di bawah pimpinan Theodore Roszak menjadi gerakan ”counter culture” terhadap peradaban Barat. Sehingga Nasr selama belajar di Barat menyaksikan sendiri dan bahkan terlibat aktif dalam gerakan tersebut.
Dari MIT ini, Nasr berhasil mendapat gelar diploma B. S. Dan M. A. pada tahun 1954 dalam bidang fisika dan matematika. Tidak puas dengan bidang studi fisika dan matematika, Nasr melanjutkan ke Harvard University. Awalnya ia mengambil program geologi dan geofisika, tapi kemudian ia tertarik untuk mendalami disiplin ilmu tradisional. Oleh karena itu, ia kemudian berubah haluan untuk menekuni bidang Filsafat dan Sejarah Ilmu Pengetahuan (Philosophy and History of Science), dengan titik tekan pada Islamic Science and Philosophy. Di perguruan tinggi ini, Nasr belajar Sejarah dan Pemikiran Islam dari H. A. R. Gibb, Sejarah Ilmu Pengetahuan pada George Sarton, dan pada Harry Wolfson dalam Sejarah Teologi dan Filsafat.
Disertasinya berjudul An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, dibimbing langsung oleh orientalis terkenal H. A. R. Gibb, Nasr berhasil meraih gelar Doktor (Ph. D) dari Harvard tahun 1958. setelah direvisi, disertasinya terbit pada tahun 1964 dengan judul yang sama.
Setelah memperoleh gelar Ph. D dalam bidang Sejarah Sains dan filsafat Islam dari universitas Harvard, Nasr kembali ke Iran pada tahun 1958. Di sini ia belajar filsafat hampir 10 tahun kepada ulama’-ulama’ Syi’ah terkenal Iran. Selama di Iran, ia memberi kuliah mata pelajaran Sejarah Sains dan Filsafat Islam di Universitas Teheran. Tahun berikutnya, ia diangkat menjadi Guru Besar bidang Sains dan Filsafat Islam pada perguruan Tinggi ini. Di sini ia juga sempat diangkat menjadi Dekan Fakultas Sastra (1968-1972), kemudian tahun 1962-1965 ia dingkat sebagai profesor tamu pada Harvard University. Ia juga menjabat pimpinan Aga Khan Chair of Islamic Studies yang baru dibentuk di American University of Beirut (1964-1965).
Pada sekitar tahun 1960-an sampai 1970-an, Nasr menjadi Guru Besar di tiga benua: Asia, Eropa, dan Amerika. Sehingga aktivitasnya terutama adalah memberikan ceramah/kuliah di beberapa negara, antara lain Amerika, Eropa, negara-negara Timur Tengah, India, Jepang dan Australia, berkisar pada pemikiran Islam dan problem manusia modern. Di samping itu, ia juga aktif menulis buku, artikel dan monograf lainnya.
Karena sikap pro-aktif Nasr terhadap Reza Shah Pahlevi, pimpinan Iran sebelum revolusi, ia sangat dibenci dan dicurigai terutama oleh para aktivis gerakan menentang Shah. Sikap politik Nashr, ada hubungannya dengan konsep tradisionalnya tentang politik, yaitu bersikap realis dalam politik (rial politic). Akibatnya, ketika situasi politik Iran mengalamiperubahan drastis dengan berakhirnya kekuasan Shah melalui kudeta revolusi Islam Iran, Nasr berada dalam posisi genting dan terancam. Maka menjelang revolusi meletus tahun 1979, ia hijrah ke Amerika Serikat. Nasr memutuskan untuk tidak kembali dan menetap di Amerika.

B. Krisis Modernisme dan Alternatif Keluarnya
Menurut Nasr, krisis peradaban modern bersumber dari penolakan (negation) terhadap hakekat ruh dan pengingkaran ma’nawiyah secara gradual dalam kehidupan manusia. Manusia modern mencoba hidup dengan roti semata; mereka bahkan berupaya ”membunuh” Tuhan dan menyatakan kebebasan dari kehidupan akhirat. Konsekuensi lebih lanjut dari perkembangan ini, menurut Nasr, kekuatan dan daya manusia mengalami eksternalisasi. Dengan eksternalisasi ini manusia kemudian ”menaklukan” dunia secara tanpa batas. Manusia menciptakan hubungan baru dengan alam melalui proses desakralisasi alam itu sendiri. Dalam kerangka hubungan baru ini, alam dipandang tidak lebih dari sekedar objek dan sumber daya yang perlu dimanfaatkan dan dieksploitasi semaksimal mungkin.
Seperti dikatakan Nasr, manusia modern memperlakukan alam sama dengan pelacur, mereka menikmati danmengeksploitasi kepuasan darinya tanpa rasa kewajiban dan tanggung jawab apa pun. Inilah yang menyebabkan berbagai krisis dunia modern, tidak hanya krisis dalam kehidupan spiritual tapi juga dalam kehidupan sosial sehari-hari. Idealnya, manusia sebagai penguasa di muka bumi ini, secara ”ke atas” berkedudukan sebagai ”hamba Allah”, sedangkan secara ”ke bawah” berkedudukan sebagai ”khalifah Allah”. Dengan begitu manusia akan dapat menjaga keseimbangan hidupnya, bukan malah mejadi budak egonya sendiri.
Krisis lingkungan muncul lantaran penolakan manusia untuk melihat Tuhan sebagai ”Lingkungan” yang sesungguhnya, yang mengelilingi sekaligus menyamai kehidupan mereka. Pengrusakan lingkungan disebabkan oleh upaya manusia modern untuk memandang lingkungan alam sebagai tatanan realitas yang secara ontologis berdiri sendiri dan dipisahkan dari ”Lingkungan” yang Ilahi.
Kata Nasr, tuhan itu sendiri adalah ”Lingkungan” tertinggi yang mengelilingi dan mengatasi manusia. Nasr mengutip ayat al-Qur’an yang menyebut Tuhan sebagai al-Muhith (yang serba mencakup). Al-Muhith itu sendiri berarti lingkungan.
Menurut Nasr, ajaran tentang lingkungan harus diperhatikan betul kaitannya dengan ajaran tentang manusia. Al-Qur’an memandang manusia sebagai khalifah Tuhan (Khalifah Allah) di atas bumi. Ini dilengkapi kehambaannya (al-Ubudiyyah) terhadap-Nya. Sebagai hamba Tuhan, manusia harus pasif di hadapan Tuhan dan menerima apa pun rahmat yang diturunkan dari-Nya. Tetapi sebagai khalifah Tuhan, manusia harus aktif di dunia, memelihara keharmonisan kosmis dan menyebarluaskan rahmat Tuhan yang memang disampaikan melaluinya sebagai pusat ciptaan.
Inilah amanah yang diemban manusia. Dalam konteks ini, Nasr menafsirkan kata ”menundukkan” (sakhkhara) dalam (Q. S. Al-Hajj / 22: 65) bukan dalam pengertian penaklukan atas alam secara liar dan tanpa kontrol. Tetapi, bagi Nasr, ”sakhkhara”, berarti penguasaan atas sesuatu yang memang diperkenankan Tuhan untuk itu. Penguasaan itu harus tetap berada dalam arah yang sejalan dengan keseimbangan hukum-hukum Tuhan di bumi dengan amanah yang diembankan kepadanya.
Dari sudut ini, ancaman paling serius bagi lingkungan adalah praktek kekhalifaan manusia oleh suatu model humanitas yang tidak lagi mau menerima posisi asalnya sebagai hamba Allah dan menjalankan amanah dan kewajibannya. Bagi Nasr, manusia-manusia inilah yang pada abad ke-17 mengembangkan sains yang didasarkan kepada dominasi dan penjajahan atas alam, yang memandang alam sebagai musuh manusia, dan yang terus memperkosa dan menghancurkan lingkungan. Semua ini dilakukan selalu atas hak manusia, yang telah diabsolutklan itu, atas alam.
Dalm perspektif inilah, Nasr menawarkan pendekatan tradisionalnya sehubungan dengan krisis lingkungan. Pertama, memformulasikan dan memperkenalkan sejelas-jelasnya, dalam bahasa kontemporer, hikmah perennial Islam tentang tatanan alam, signifikansi religiusnya dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia di bumi ini. Kedua, mengembangkan kesadaran akan ajaran-ajaran syari’ah mengenai pengakuan secara etis terhadap lingkungan alam. Di sini, hukum-hukum tentang lingkungan harus diresapi signifikansi religius dari alam dan lingkungan.
Setelah menganalisis krisis lingkungan di atas dan bagaimana untuk keluar dari krisis tersebut dalam pandangan Islam, kemudian Nasr menelaah krisis yang kini melanda manusia modern. Menurutnya, problem paling akut yang dihadapi manusia modern, dalam pengamatan Nasr tidak muncul dari situasi ”under-development” (pembangunan yang terbelakang), tapi justru dari ”over development” (pembangunan yang berlebihan). Munculnya kesadaran terhadap krisis semacam ini, mendorong terjadinya pergeseran pandangan dari ”unlimited possibility for development”, dalam pengertian fisik dan material, menjadi “limit to growth” (batasan pertumbuhan).
Nasr kemudian menyoroti kajian alternatif untuk keluar dari krisis modernisasi, seperti gagasan Limits to Growth yang muncul di MIT yang berupaya menerapkan metode-metode sains modern untuk menstudi dampak penerapan sains di masa mendatang. Para peneliti dan penulis Limits to Growth dan karya-karya lain yang mengkaji krisis ekologis, menawarkan: (1) perubahan dalam konsep manusia tentang “pertumbuhan” (growth); (2) kembali kepada upaya-upaya pengembangan kehidupan non-material; (3) kepuasan atas sedikit obyek material; dan banyak lagi usul-usul yang bermakna.
Menurut Nasr, manusia modern yang memberontak melawan Tuhan, telah menciptakan sebuah sains yang tidak berlandaskan cahaya intellect – berbeda dengan yang disaksikan di dalam sains-sains Islam Tradisional – tetapi berdasarkan kekuatan akal (rasio) manusia semata untuk memperoleh data melalui indera. Sehingga peradaban modern hanya ditegakkan di atas landasan konsep mengenai manusia yang tidak menyertakan hal yang paling essensial dari manusia itu sendiri. “Manusia modern”, demikian Nasr, “telah membakar tangan mereka di dalam api yang mereka nyalakan sendiri, ketika mereka lupa siapa mereka sebenarnya”.
Akibat dari fenomena itu, masyarakat Barat yang sering digolongkan the post industrial society, suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran materi sedemikian rupa dengan perangkat teknologi yang serba mekanis dan otomat, bukannya semakin mendekati kebahagiaan hidup, melainkan sebaliknya kian dihinggapi rasa cemas justru akibat kemewahan hidup yang diraihnya. Mereka telah menjadi pemuja ilmu dan teknologi, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaannya tereduksi, lalu terperangkap pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak human.
Proses sekularisasi kesadaran ini, menyebabkan manusia modern kehlangan self control (kendali diri) sehingga mudah dihinggapi berbagai penyakit rohaniah, ia menjadi lupa tentang siapa dirinya, dan untuk apa hidup ini, serta ke mana sesudahnya. Melihat inti pemikiran Nasr mengenai realitas kehidupan, ia telah memasuki wikayah seorang filosof dan mistikus. Menurutnya, keberadaan alam (dunia) yang profan ini jangan dijadikan terminal akhir kehidupan manusia. Agar manusia modern dapat keluar dari lilitan krisis ini, Nasr memberikan alternatif pemecahan, bahwa manusia harus kembali ke pusat eksistensi lewat latihan spiritual dan pengalaman ajaran agamanya.
Kata Nasr, manusia modern sangat jauh berbeda dengan manusia tradisional. Kalau manusia tradisional berusaha mencapai realitas transenden, tetapi manusia modern justru berusaha memutuskannya. Oleh karena itu, manusia modern mengalami kehampaan spiritual.
Di dunia Islam ,terjadi krisis ketika kolonialisme Eropa berlangsung menggenangi pantai dar-al-Islam dan sejalan dengan perjalanan waktu secara perlahan-lahan modernisme terus menggenangi pantai tersebut. Dalam hubungannya dengan ini, Nasr melihat bahwa krisis manusia Barat telah menciptakan spektrum yang cukup luas di dalam masyarakat Islam. Menghadapi masalah ini, lagi-lagi Nasr menggagaskan apa yang disebut Tradisionalisme Islam. Dengan tradisinya, Nasr ingin mengembalikan manusia modern ke pusatnya, ke tradisi primordialnya.
Pembaruan pemikiran Islam menurut Nasr adalah mengkaji kembali tradisi otentik Islam, pengkajian tersebut untuk mendapatkan konsep-konsep orisinil yang bersumber dari tradisi Islam kemudian di konformitaskan dengan modernitas. Di sisi lain, Nasr yakin bahwa Islam universal akanmampu menjawab krisis dunia modern, kembali kepada nilai-nilai tradisionalisme adalah prasyarat untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

C. Tasawuf Sebagai Alternatif Pembebasan Manusia Modern
Mengapa Nasr memilih sufisme sebagai alternatif upaya pembebasan manusia modern? Akankah mereka dapat menerimanya, atau katakanlah sebagai pilihan yang tepat? Terhadap pertanyaan ini secara tersirat ia menjawab, ”secara perlahan kekayaan Islam yang paling dalam dan peradabannya mulai menarik perhatian sejumlah besar pria dan wanita di Barat, walaupun dalam waktu yang sama, proses pembaratan (westernization) terus mengancam benteng peradaban Islam itu sendiri”.
Berbeda dengan para pembaharu Islam yang lainnya – yang memandang tasawuf sebagai biang keladi kemunduran dan kejumudan berpikir umat Islam – Nasr justru berpendapat sebaliknya, ia berpandangan sangat positif tentang peranan tasawuf dalam sejarah Islam. Menurutnya, tasawuf tidak bisa dijadikan ”kambing hitam” atas segala masalah yang dihadapi umat Islam. Kemunduran umat Islam, kata Nasr, justru antara lain disebabkan penghancuran tarekat sufi oleh bentuk-bentuk baru rasionalisme puritan, seperti wahabisme di Arabia dan Ahl-Hadith di India. Padahal, menurut Nasr, dengan menolak tasawuf dan mengkambinghitamkannya sebagai penyebab kemunduran umat, Islam direduksi sampai tinggal doktrin fiqih kaku, yang pada gilirannya juga tidak berdaya meghadapi serangan bertubi-tubi intelektual Barat.
Menurut Nasr, ajaran agama (Islam) terdiri dari dua kategori: pertama, yang berhubungan dengan dimensi lahir atau eksoterik dan kedua, berkaitan dengan aspek syari’ah (dimensi lahir atau outward), sedang yang kedua berkenaan dengan tasawuf (dimensi batin atau inward). Tasawuf tidak dapat dipraktekkan tanpa seseorang harus terlebih dahulu mempraktekkan ajaran-ajaran syari’ah secara benar. Di sini Nasr mementingkan perlu adanya rekonsiliasi antar tasawuf dengan syari’ah.
Bagi Nasr, tasawuf memberikan sarana lengkap bagi manusia untuk mencapai tujuan mulia tadi. Tuhan sendiiri memungkinkan untuk didekati dengan perjalanan dari outward ke inward, sebagaimana wahyu sendiri mempunyai dimensi ”lahir” dan dimensi ”batin”. Dalam Islam, dimensi batin atau esoteris ini sebagian besarnya berkaitan dengan tasawuf, meski dalam konteks Shi’isme, esoterisme Islam juga termanifestasikan dalam bentuk-bentuk lain.
Tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh. Dalam Islam, tasawuf merupakan jantung (the heart) dari pewahyuan Islam. Tasawuf telah meniupkan semangatnya ke dalam seluruh struktur Islam, baik dalam manifestasi sosial dan intelektual. Tarekat-tarekat sufi, sebagai institusi terorganisasi dalam matriks yang lebih besar masyarakat Muslim, memainkan pengaruh besar atas seluruh struktur masyarakat. Selain itu juga ada kelompok-kelompok pengrajin, pemuda (futuwwat) dan lain-lain. Nasr, akhirnya sampai pada kesimpulan, bahwa berbagai isu dalam sejarah Islam tidak akan bisa dipecahkan tanpa memperhitungkan peran yang dimainkan tasawuf.
Nasr mengkritik orang-orang yang mengabaikan peranan positif tasawuf dalam bidang-bidang pemerintahan sampai kepada seni panjang perjalanan sejarah Islam. Ia juga menyesalkan studi-studi Barat tentang periode modern dalam sejarah Islam yang tetap membisu mengenai keyataan tentang terjadinya pembaruan-pembaruan penting di dalam bidang tubuh tasawuf itu sendiri, khususnya pada abad 19. padahal dampak yang dimunculkan gerakan pembaruan tasawuf ini tak kurang besarnya dari dampak yang diakibatkan gerakan-gerakan modernis yang western-oriented.
Karena tasawuf merupkan the heart of Islam, Nasr berpendapat bahwa tidak semua orang bisa mencapai tingkat tertinggi spiritual tasawuf. Ia membedakan antara golongan khawass (the spiritual elites) dan golongan ’awwam (the common man). Pada golongan pertama, Nasr mempercayai adanya individu-individu istimewa (afrad), yang sangat dipilih oleh Allah sebagai penunjuk jalan bagi yang lain. Mereka, karena dipilih, tidak mustahil bisa mencapai maqam atau station tertinggi dalam tasawuf. Sementara pada golongan kedua (Muslimin umumnya), dipandang cukup untuk menempuh kehidupan sesuai dengan ajaran syari’at untuk dapat masuk ke dalam surga kelak. Tetapi bagi mereka yang ingin mencapai realisasi rohani yang lebih sempurna, maka Islam mempunyai sarana yang diperlukan untuk itu, yakni tasawuf. Nasr mengingatkan bahwa perjalanan spiritual tasawuf haruslah ditempuh dengan bimbingan seorang shaikh, murshid atau pir terpercaya.
Sejalan dengan pemikiran tentang pentingnya rekonsiliasi antara tasawuf dan syari’at di atas, maka Nasr juga mempunyai konsep ”neo-sufisme”. Menurutnya, ”neo-sufisme” adalah sufisme yang telah diperbarui (reformed sufism). Dari karya-karyanya tentang tasawuf, tampaknya Nasr menekankan perlunya diamalkan sufisme yangtidak menyebabkan pengamalannya mengisolir diri dari kehidupan dunia, tapi sebaliknya perlunya terlibat aktif dalam masyarakat.
Nasr berpendapat bahwa untuk mencapai pendakian spiritual tasawuf,orang harus melalui tahapan-tahapan atau stasiun-stasiun tersebut. Stasiun-stasiun tersebut, mulai dari bawah: taubat, zuhud, wara’, faqr. Sabar, tawakkal, ridla dan seterusnya. Ia menekankan, kalau seseorang ingin menjadi sufi secara total, stasiun-stasiun tersebut harus dilalui dari jenjang paling bawah sampai tingkat yang teratas.
Ajaran tasawuf mempunyai tempat bagi masyarakat Barat modern karena mereka mulai merasakan kekeringan batin dan kini upaya pemenuhannya di mata Nasr kian mendesak. Mereka mencari-cari, baik terhadap ajaran Kristen, Buddha atau sekedar berpetualang kembali kepada alam sebagai ’uzlah dari kebosanan karena lilitan masyarakat ilmiah-teknologis. Dalam situasi kebingungan seperti itu, sementara bagi mereka selama berabad-abad Islam dipandang dari sisinya yang legalistis-formalistis – tidak memiliki kekayaan esoteris – maka kini saatnya dimensi batiniah Islam harus diperkenalkan sebagai alternatif.
Tasawuf perlu disosialisasikan pada mereka. Menurut Nasr, setidaknya ada tiga tujuan utama. Pertama, turut serta berbagai peran dalam penyelamatan kemanusiaan dari kondisi kebingungan sebagai akibat hilangnya nilai-nilai spiritual. Kedua, memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoteris Islam, baik terhadap masyarakat Islam yang mulai melupakannya maupun non Islam, khususnya terhadap manusia Barat modern. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yakni tasawuf, adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila wilayah ini kering dan tidak lagi berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain ajaran Islam. Dalam hal ini Nasr menegaskan, ”tariqah” atau ”jalan rohani” yang biasanya dikenal sebagai tasawuf atau sufisme merupakan dimensi kedalaman dan ”kerahasiaan” (esoteric) dalam Islam, sebagaimana syari’at berakar pada al-Qur’an dan sunnah. Ia menjadi jiwa risalat Islam, seperti hati yang ada pada tubuh, tersembunyi jauh dari pandangan luar (external view). Betapapun ia tetap merupakan sumber kehidupan yang paling dalam, yang mengatur seluruh organisme keagamaan dalam Islam.
Kesulitan mencapai titik pusat dalam rangka pendakian spiritual menuju ma’rifah, kata Nasr, karena manusia modern hidup terlalu mengandalkan kekuatan nalar (rasio) dan bergelimang dengan melimpahnya materi, sehingga mata hatinya telah tertutup. Untuk mengembalikan kesadarn ilahiah ini, seseorang harus melatih kekuatan intellectusnya dengan cara melaksanakan ajaran-ajaran sufisme. Dengan cara ini terjadi equilibrium antara kekuatan rasio yang erada di otaknya dan intellectus yang bertempat di dalam dadanya.
Mengomentari pemikiran-pemikiran tersebut, sebagian pengamat mengatakan bahwa pemikiran Nasr dalam banyak segi cocok dan relevan hanya untuk amsyarakat pasca modernisme, katakanlah masyarakat Barat, tidak untuk umat Islam yang amat beragam dalam tingkat pekembangan budayanya. Dalam konteks ini Nasr mengatakan, secara psikologis, tasawuf amat berjasa bagi penyembuhan gangguan jiwa sebagaimana yang banyak diderita oleh masyarakat pasca-industri. Dikatakan oleh Nasr, ”Bagi psikologi, harus diingat bahwa tasawuf mengandung suatu cara penyembuhan penyakit jiwa yang sempurna dan secara faktual cara itu telah berhasil dengan baik, ketika cara-cara psikiater dan psikoanalisme modern dengan segala tuntutannya yang melampaui batas, gagal menyembuhkan. Hal itu, karena yang paling tinggi sajalah yang dapat memahami yang paling rendah: aspek spiritual sajalah yang mengetahui masalah psikis dan menghilangkan kegelapan-kegelapan jiwa.
Nasr begitu optimis bahwa tasawuf akan dapat memainkan peran pentingnya pada masyarakat Barat yang tengah dilanda krisis itu. Tapi bagaimana tasawuf dapat dipraktekkan pada masyarakat yang sudah modern itu? Inilah masalah yang akan dijawab Nasr. Menurutnya, tasawuf dapat mempengaruhi Barat pada tiga tataran: pertama, ada kemungkinan mempraktekkan tasawuf secara aktif. Cara ini, kata nasr, hanya untuk segelintir orang saja karena mensyaratkan penyerahan mutlak kepada disiplinnya. Pada tataran ini, orang harus mengikuti hadith Nabi: ”Matilah kamu sebelum engkau mati’. Orang harus ”mematikan” diri sebelum dilahirkan kembali secara spiritual. Pada tahap ini, orang harus membatasi kesenangan terhaadap dunia materi dan kemudian megerahkan hidupnya untuk bermeditasi, berdo’a, mensucikan batin, mengkaji hati nurani, dan melakukan praktek-praktek ibadah lain seperti yang telah dilakukan oelh lazimnya para sufi.
Kedua, tasawuf mungkin sekali mempengaruhi Barat dengan cara menyajikan Islam dalam bentuk yang lebih menarik, sehingga orang dapat menemukan praktek-praktek tasawuf yang benar. Selama ini terjadi konflik historis yang berlarut-larut, sehingga Barat menanggapi Islam dengan sangat bermusuhan. Untuk memulihkan citra Islam ini, maka Muslim harus mampu mendakwahkan Islam kepada Barat dengan menyajikan paket yang menarik antara keharmonisan hubungan aspek spiritual Islam—dengan tasawuf sebagai esensinya—dengan aktivitas duniawi yang sementara. Cara seperti inilah yang telah dipraktekkan secara sukses dalam penyiaran Islam di India, Indonesia, dan Afrika Barat. Sudah tentu metode dan aktivitasnya di Barat berbeda dengan negeri-negeri di atas, namun esensinya sama, yaitu sufise Islam membuka peluang besar bagi pencari spiritual Barat yang tengah dilanda krisis makna kehidupan.
Ketiga, dengan memfungsikan tasawuf sebagai alat bantu untuk recollection (mengingatkan) dan reawakening (membangunkan) orang Barat dai tidurnya. Karena tasawuf merupakan tradisi yang hidup dan kaya dengan doktrin-doktrin metafisis, kosmologis, sebuah psikolog dan psiko-terapi religius yang hampir tak pernah dipelajari di Barat, maka ia dapat menghidupkan kembali berbagai aspek kehidupan rohani Barat yang selama ini tercampakkan dan terlupakan.
Nasr mengakui, mengapa Islam belum dapat berkembang secara fenomena di Barat, karena: (1) terjadi konflik historis berkepanjangan antara Islam dan Barat akibat perang salib; (2) penciptaan citra negatif Islam oleh sejumlah orientalis lewat literatur dan media massa barat; (3) terdapat kecenderungan orang Barat untuk memilih agama atau aliran spiritualistik eksotik; (4) dalam pemahaman orang Barat, Islam lebih dekat kepada tradisi Yudio-Kristiani yang merekakenal selama ini tidak bisa memberi jawaban pencarian spiritual mereka; (5) Islam terlalu banyak membentuk kewajiban bagi pemeluknya.





KESIMPULAN


Munculnya pembaruan pemikiran Islam Seyyed Hossein Nasr merupakan respon terhadap krisis dunia modern, baik dunia Barat maupun dunia Timur, khususnya Islam. Kepada dunia Barat, ia menyarankan ajaran esoterisme Islam (tasawuf), yang ia tawarkan sebagai nilai alternatif (alternative values) dan way of life, untuk keluar dari krisis tersebut. Dengan kembali kepada hikmah spiritual agama, manusia modern akan dapat membimbing dirinya sendiri dari pinggir lingkaran (periphery atau rim) menuju ke arah titik pusat (centre atau axis) eksistensinya.
Sementara kepada dunia Timur (Islam), ia memberitahukan bahwa Barat tengah mengalami kebangkrutan moral dan spiritual akibat kehidupan yang semakin modernistik dan sekularistik. Untuk dapat menghindari dari pengaruh modernistik dan sekularistik Barat tersebut, Nasr menawarkan konsep pembaruan Islam yang seharusnya dilakukan dari dalam (tajdid) lewat enyucian batin, dengan jalan tasawuf, sebuah konsep tradisional Islam dan bukan pembaruan dari luar (ishlah), sebuah gagasan Barat yang dicangkokkan ke dalam tubuh Islam. Bagi Nasr, metafisika Islamlah yang dapat memberikan jawaban atas problem-problem yang disebabkan oleh ideologi-ideologi dan ”isme-isme” modern, seperti rasionalisme, humanisme, materialisme dan sekularisme.


















DAFTAR PUSTAKA


Azra, Azyumardi. “Tradisionalisme Nasr”. Dalam Ulumul Qur’an, Vol. IV, nomor 1. t. b: 1993.
__________, “Memperkenalkan Pemikiran Seyyed Hossein Nasr”, dalam seminar sehari; Spiritualitas, Krisis Dunia Modern, dan Agama Masa Depan (Jakarta: Paramadina, 1993.
Chittik, William C. “Preface” dalam Mehdi Aminrazavi and Zailan Moris, The Complete Bibliografi of Seyyed Hossein Nasr from 1958 Through 1993. Kuala Lumpur: Islamic Academy of Science of Malaysia , 1994.
Maksum, Ali. Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern, Telaah Signifikansi Konsep Tradisionalisme Islam Seyyed Hossein Nasr. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Nasr, Seyyed Hossein. Falsafah, Kesusasteraan dan Seni Halus. (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1989.
­­­__________, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen and Unwin, 1967), 18.
__________, Islam and the Plight of Modern Man. Bandung: Pustaka, 1984.
__________, Islamic Life and Thought. London: Allen and Unwin, 1981.
__________, Sufi Essays. London: Allen and Unwin, 1981.
__________, Ideals and Realities of Islam. London: George Allen & Unwin Ltd., 1975.
Smith, Jane I. “Seyyed Hossein Nasr”, dalam John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. New York-Oxford: Oxford University Press, 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AWAL PERTAMA TINGGAL DI TULUNGAGUNG DAN SERUNYA BERBELANJA DI PASAR TRADISIONAL TAMANAN TULUNGAGUNG

Saya dan Zidan (anak saya) di Alun-Alun Tulungagung saat masih seminggu tinggal di Tulungagung,   dan Zidan masih berumur 1 tahun Sudah menj...