Kamis, 14 April 2011

PARADIGMA DEKONSTRUKSI JACQUES DERRIDA


ABSTRAK


Sejarah filsafat Barat, bagi Derrida adalah sejarah “pergantian dari satu pusat ke pusat lain, meski dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda”. Ciri yang menonjol dari pemikiran filsafat Barat adalah adanya kecenderungan berpikir oposisi biner (binary oppositions) yang bersifat hirarkis (esensi/eksistensi, substansi/aksiden, jiwa/badan, makna/bentuk, transenden/ empiris, positif/negatif, konsep/metaphor dan seterusnya) dengan anggapan bahwa yang pertama merupakan pusat, asal muasal, fondasi, prinsip, dan ada secara niscaya; sedang yang kedua hanya sebagai derivasi, manifestasi, pinggir dan sekunder dalam kaitannya dengan yang pertama. Pada makalah ini, penulis berusaha memperkenalkan metode dekonstruksi yang dirumuskan oleh Jacques Derrida. Yang menarik dari pemikiran Derrida adalah kemampuannya untuk menggambarkan sekaligus mengubah pikiran seseorang tentang dunia, termasuk di dalamnya tentang kematian, kehidupan, budaya, filsafat, sastra, dan tentang politik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Royle, filsafat Derrida setidaknya berdasarkan pada dua tujuan, yakni menggambarkan dan mengubah cara berpikir pembacanya ataupun pendengarnya. Tentu saja di dalam pandangan umum, tindak mengubah dan menggambarkan realitas adalah dua jenis tindakan yang berbeda. Untuk menggambarkan, berarti untuk menyatakan apa adanya realitas yang ditemui, baik itu realitas alam maupun realitas sosial. Untuk menggambarkan berarti orang sudah terlebih dahulu mengandaikan adanya kondisi-kondisi obyektif nyata yang sudah ada sebelumnya (pre-existing condition) di dalam realitas. Sebaliknya, untuk mengubah, orang perlu berpikir dengan cara yang berbeda. Namun bisakah pikiran yang berbeda juga mengubah realitas ke arah yang berbeda? Inilah pertanyaan yang kiranya menjadi titik awal yang pas untuk membahas pemikiran Derrida.
Kata kunci : Jacques Derrida, dekonstruksi, filsafat.


PEMBAHASAN


A. Biografi Jacques Derrida
Jacques Derrida adalah seorang tokoh filsafat Prancis yang dilahirkan di Aljazair pada tahun 1930 dari keluarga Yahudi Sepharadic. Ketika menginjak usia 19 tahun ia kuliah ke Perancis, kemudian tahun 1956-1957 memperoleh beasiswa untuk belajar di Harvard. Sekitar tahun 1960-an, Derrida menjadi seorang intelektual muda yang menulis jurnal avant garde, Te Quel. Derrida sering dikaitkan dengan GREPH (Groupe de Recherche de L’Enseignement Philosophique), yaitu sebuah gerakan mahasiswa yang mengkhususkan diri pada masalah-masalah pengajaran filsafat secara institusional. Selain itu, ia juga menjadi profesor tamu di Johns Hopkins University dan di Yale University. Dia sangat berpengaruh di kalangan intelektual pantai timur Atlantik― Cambridge, New York, Baltimore―yang seringkali disebutnya ”Amerika”. Pada awalnya, memang hanya tempat-tempat inilah yang terpengaruh tapi lama kelamaan hampir seluruh daratan Amerika Serikat mendapat pengaruh intelektual Derrida.
Derrida termasuk seorang ilmuan dan kritikus yang produktif, hal ini terbukti dengan adanya beberapa buku yang ia kritisi dan ia beri kata pengantar. Karyanya yang pertama adalah buku terjemahan dari tulisan Edmund Husserl yang berjudul ”Origin of Geometry”. Buku yang telah diterjemahkannya ini diberi pengantar kritis yang lumayan panjang. Dari buku terjemahan tersebut, kemudian ia mulai mengeluarkan karya berikutnya dengan judul ”La Voix et le Phenomene”, yang mengkritik teori makna Husserl. Sebelum buku tersebut diterbitkan, Derrida telah menghasilkan beberapa essai yang dikumpulkan menjadi satu dan diberi judul ”L’ecriture et la Difference”. Setelah itu, Derrida memunculkan karyanya lagi dengan judul ”De la Grammatologie”, ”La Dissemination”, dan ”Marges de la Philisohie”. Selain itu, ada sebuah pengantar singkat Derrida dengan judul ”L’archeologie du Frivole” yang dimuat dalam essai karya Condilac yang berjudul ”Sui L’origine des Connaissances Humanies”. Ada juga karyanya yang lain yaitu ”Position”, yang berisi tentang wawancara Derrida terhadap beberapa tokoh. Pada tahun ini juga karyanya yang monumental berjudul ”Glas’ diterbitkan.

B. Latar Belakang Pemikiran Jacques Derrida
Jacques Derrida adalah seorang tokoh filsafat perancis yang dibesarkan dalam tradisi pemikiran era 1950-an sampai 1970-an. Pada era ini dimeriahkan oleh pergeseran besar-besaran dari pemikiran modernitas ke postmodernitas dan dari strukturalisme menuju postrukturalisme. Strukturalis-modernis diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Ferdinand de Saussure, Noam Chomsky, Roman Jakobson, Levi Strauss, sedangkan nama-nama Lacan, Kristeva, Derrida, Foucault, Barthes, Baudrillard dan sebagainya ”bisa dikatakan” sebagai wakil postrukturalis-posmodernis.

1. Posmodernitas
Istilah postmodernitas memiliki pengertian yang sangat remang, jika pengertian diartikan sebagai sesuatu yang dapat disepakati, tunggal dan bulat, karena persis kesepakatan, ketunggalan dan kebulatan itulah yang tidak dimaui postmodernis. Yang dapat dilakukan hanya mengira-ngira apa ciri-ciri postmodern, dan jika begitu, terpaksa dibuat pengelompokan, barulah arti postmodern itu dapat ditangkap, meskipun tetap dalam keadaan samar.

a. Kelompok pertama, yaitu pemikiran-pemikiran yang merevisi pemikiran modernitas. Kelompok ini, cenderung kembali ke pola pemikiran pra-modern, misalnya metafisika New Age. Biasanya para pemikir dengan gaya ini berasal dari wilayah fisika baru, seperti: F. Capra, Garry Zukav dan sebagainya.
b. Kelompok kedua, yaitu pemikiran-pemikiran yang terikat erat dengan dunia sastra dan linguistik. Para pemikir ini ingin melampaui bahasa yang secara tradisional dipandang sebagai cermin untuk menggambarkan dunia atau realitas. Salah satu caranya adalah dengan mendekonstruksi gambaran dunia, sehingga cenderung anti gambaran dunia sama sekali. Gambaran dunia yang ingin dibongkar tersebut misalnya: diri, Tuhan, tujuan, makna, kebenaran, dunia nyata, dan sebagainya. Pemikiran ini diwakili oleh Foucault, Vattimo, Lyotard, dan Derrida.
c. Kelompok ketiga, yaitu pemikiran yang ingin merevisi modernisme tanpa menolaknya mentah-mentah, melainkan melakukan perbaikan di sana-sini yang dinilai perlu. Bisa dikatakan bahwa pemikiran kelompok ini merupakan kritik imanen terhadap modernisme dalam rangka mengatasi konsekuensi negatifnya. Sebagai contoh, para pemikir ini tidak menolak sains dalam dirinya sendiri, yang mereka tolak adalah sains yang dijadikan ideologi dan saintisme. Ringkasnya, sumbangan modernisme terhadap peradaban manusia mau tak mau harus diakui keberadaannya. Tokohnya antara lain; A. N. Whitehead, Habermas, Gadamer, Rorty, Ricoueur dan sebagainya.
Mengapa modernitas perlu untuk direvisi, bahkan ada yang bersikeras membuangnya? Di sini, perlu disadari bahwa setiap pemikiran tentu ada konsekuensi-konsekuensinya, baik itu positif maupun negatif. Konsekuensi negatif inilah yang menggelisahkan manusia, khususnya para pemikir di paro pertama abad ke-20. dua perang dunia cukup kiranya membuat manusia harus merenung ulang, kalau tidak menyesali, mengapa bencana itu bisa terjadi. Hingga sampai saat ini pun,dampak negatif itu masih terasa. Krisis ekologi, carut-marut ekonomi-politik global, imperialisme budaya dan sebagainya adalah contoh konsekuensi negatif modernitas yang dapat dikemukakan.
Yang menyebabkan modernisme berdampak negatif adalah seperti yang tersimpul dalam pemikiran Hegel, yaitu ide universal tentang emansipasi progresif, rasio dan kebebasan. Menurut Hegel, manusia sebagai subjek harus menentukan sendiri landasan nilai dan kriteria-kriteria dalam kehidupannya. Manusia modern tidak memerlukan landasan nilai, kebebasan dan legitimasi kebenaran selain yang berasal dari dalam dan untuk dirinya sendiri. Landasan tersebut adalah akal budi. Manusia sebagai subjek akan selalu ”bergerak ke depan”, dia akan selalu mengacu kepada kebenaran ideal, sementara kebenaran ideal itu sendiri tetap dalam proses ”becoming”. Proses bergerak ke depan menuju kebenaran ideal inilah yang disebut ”kemajuan”, progresifitas. Manusia modern ingin selalu jadi yang paling progresif, paling di depan, paling di atas. Secara konseptual, ini adalah hal yang ideal dan luhur, tapi sesampainya di lapangan yang acap kali terjadi malah penindasan sesama manusia dan pemerkosaan alam.
Selain itu, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap dampak positifnya, karena modernitas telah berusaha memanusiakan manusia dengan segala kemajuan, rasio dan kebebasannya. Kemajuan melahirkan kesejahteraan, rasio melahirkan sains dan teknologi, dan kebebasan melahirkan demokrasi. Tapi ”cucu” dari ketiga hal tadilah yang negatif, yaitu eksploitasi, saintisme dan imperialisme politik dan budaya.
Pada tulisan di atas tadi dikatakan bahwa dekonstruksi adalah bagian dari kelompok postmodernis yang ingin lepas putus dengan modernitas, maka pandangannya terhadap modernitas itulah yang jadi intinya. Oleh karena itu, pandangan Derrida terhadap modernitas tidak bisa dilepaskan.

2. Strukturalisme
Pemikiran Derrida sangatlah sulit untuk dicerna, maka mungkin dengan melacak kronologi pemikirannya akan sedikit memudahkan kita, yaitu dengan sedikit membicarakan strukturalisme Saussurean yang nota bene bernuansa modernitas.strukturalisme merupakan paham yang mengatakan kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur. Sedangkan struktur sendiri adalah hubungan mutual dari konstituen, bagian-bagian atau unsur-unsur pembentuk keseluruhan, sebagai penyusun sifat khas, atau karakter dan koeksistensi dalam keseluruhan bagian-bagian yang berbeda.
Metode struktural ditemukan Saussure ketika menyelidiki bahasa. Oleh sebab itu, berbicara strukturalisme, setidaknya akan memperbincangkan bahasa. Bila bahasa dilihat secara struktural, maka akan di dapat kesimpulan bahwa bahasa bisa ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem perbedaan ini adalah oposisi biner (binary oposition). Oposisi biner inilah inti dari pemikiran struktural Saussurean. Oposisi antara penanda/petanda, tuturan/tulisan, language/parole. Oposisi dalam linguistik ini berjalan berdampingan dengan hal yang sama dalam tradisi filsafat Barat; makna/bentuk, jiwa/badan, transendental/imanen, baik/buruk, benar/salah dan sebagainya. Dalam oposisi biner ini, menurut tradisi filsafat Barat, istilah-istilah yang pertama lebih superior dari yang kedua.
Karena oposisi biner dalam bahasa berjalan berdampingan dengan oposisibiner dalam tradisi filsafat Barat, maka menurut Derrida istilah-istilah tersebut adalah milik Logos—kebenaran” atau ”kebenaran dari kebenaran”. Sedangkan istilah-istilah yang kedua adalah representasi palsu dari yang pertama, atau bersifat inferior. Tradisi ini dinamakannya logosentrisme dan dipergunakannya untuk menerangkan asumsi adanya hak istimewa yang disandang istilah pertama dan ”pelecehan” terhadap istilah kedua.
Dalam linguistik Saussurean, terjadi penganak emasan tuturan dan pelecehan tulisan. Tuturan menurut Saussure adalah kesatuan petanda dan penanda yang dianggap kelihatan menjadi satu dan sepadan, yang membangun sebuah tanda (sign). Kebenaran adalah petanda, yaitu isi yang diartikulasikan oleh penanda yang berupa suara/bentuk. Kebenaran yang sebelumnya eksternal dari penanda kemudian menjadi lekat dengan penanda itu sendiri dalam bahasa, dia bisa hadir lewat penanda. Kesatuan antara bentuk (penanda) dengan isi (petanda) inilah yang disebut Derrida metafisika kehadiran (metaphysics of presence). Metafisika kehdiran adalah asumsi bahwa sesuatu yang bersifat fisik (penanda) dan yang melampaui fisik (petanda) dapat hadir secara bersamaan, dan hal ini hanya mungkin dalam tuturan, bukan tulisan.
Dari sini kita bisa melihat hubungan Derrida, terutama dekonstruksinya, dengan linguistik struktural. Dekonstruksi yang dikembangkab Derrida adalah penyangkalan terhadap oposisi ucapan/tulisan, ada/tak ada, murni/tercemar dan akhirnya penolakan terhadap kebenaran tunggal atau logos itu sendiri. Tulisan menurut Derrida, bila dilihat denga cara lain, merupakan prakondisi dari bahasa, dan bahkan telah ada sebelum ucapan oral. Dengan demikian, bisa dikatakan, tulisan malah lebih ”istimewa” dari pada tuturan. Tulisan adalah bentuk permainan bebas unsur-unsur bahasa dan komunikasi. Dia merupaka proses perubahan makna terus menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos). Dalam hal ini Derrida melihat tulisan sebagai jejak—bekas-bekas tapak kaki yang harus kita telusuri terus menerus jika ingin tahu siapa si empunya kaki. Proses berpikir, menulis dan berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida sebagi Differance.
Differance adalah kata Perncis bila diucapkan, pelafalannya persis sama dengan kata difference. Berasal dari kata differer, yang bisa berarti ”berbeda” sekaligus ”menangguhkan”. Di sinilah letak keistimewaan kata in yang sekaligus membuktikan tulisan lebih unggul dari pada tuturan, sebagaimana yang diyakini Derrida. Differance adalah permainan perbedaan-perbedaan, jejak-jejak dari erbedaan-perbedaan, penjarakan (spacing) yang dengan cara tersebut unsur-unsur dikaitkan satu sama lain.
Bila dikaitkan dengan linguistik-struktural Saussurean, proses differance ini adalah penolakan terhadap adanya petanda absolut atau ”makna absolut”, makna transendental, makna universal, yang diklaim ada oleh Saussure, dan oleh pemikiran modern umumnya.
Penolakan ini mesti dilakukan, dan menurut Derrida sudah pasti terjadi, karena dengan adanya penjarakan dan proses differance tadi, apa yang dianggap sebagai petanda absolut akan selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu saja ada celah antara penanda dan petanda, anatara teks danmaknanya. Celah inilah yang menyebabkan pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah kebenaran ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak kebenaran lain yang ada dibelakangnya.
Dengan demikian, apa yang dicari dan diburu manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang ada ”di depan” tidak ada, tidak satu pun yang bisa dijadikan pegangan, karena satu-satunya yang bisa dikatakan pasti ternyata, menurut Derrida, adalah ketidakpastian, permainan. Semuanya harus ditangguhkan (deffered) sembari kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan postmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.

C. Derrida dan Dekonstruksi
1. Mengubah Teks
Mengubah realitas menurut Derrida juga berarti mengubah teks, dan teks itu sendiri adalah realitas kehidupan manusia. Untuk mengubah realitas orang perlu terlebih dahulu mampu memahami dan menggambarkan realitas. Ada keterkaitan yang mendalam antara menggambarkan (to describe) dan mengubah (to transform). Titik berangkat Derrida adalah teori tindakan tutur (speech act theory) yang banyak dikembangkan di dalam teori komunikasi maupun linguistik. Sebelum merumuskan pemikirannya sendiri secara orisinil, ia banyak mendalami teori tindakan tutur, terutama seperti yang dirumuskan oleh J.L Austin. Buku yang menjadi acuan utama Derrida adalah How to do Things with Words, karangan Austin. Menurut Austin setiap tindakan berbicara manusia dapat diartikan dengan dua cara, yakni secara konstatif, atau secara performatif.
Pernyataan konstatif adalah pernyataan tentang fakta sebagaimana adanya. Biasanya pernyataan ini sifatnya deskriptif, yakni menggambarkan sesuatu secara langsung tanpa penilaian apapun. Misalnya saya sedang menulis di notebook. Atau anda sedang membaca tulisan ini. Kedua pernyataan itu adalah pernyataan konstatif. Di sisi lain pernyataan performatif adalah pernyataan yang tidak hanya melibatkan kata-kata, tetapi juga perbuatan yang menyertai kata-kata itu. Biasanya pernyataan performatif itu berbentuk janji, ancaman, doa, pengakuan, tantangan, taruhan, deklarasi perang, dan deklarasi. Dengan kata lain pernyataan performatif tidak hanya berusaha menggambarkan fakta, melainkan juga mau mengubahnya. Menyatakan secara performatif berarti menyatakan sekaligus melakukan suatu tindakan.
Di dalam upacara pernikahan, mempelai pria dan wanita menyatakan bahwa mereka siap untuk selalu setia sampai mati, baik dalam kondisi susah maupun senang. Pernyataan “saya bersedia” tidak hanya berupa pemaparan atas keputusan masing-masing mempelai, tetapi juga pernyataan yang membuahkan tindakan. Dengan kata lain sejak hari itu, kedua mempelai siap untuk saling mencintai secara penuh satu sama lain. Hal yang sama kiranya berlaku untuk pernyataan perang. Sebuah negara yang menyatakan perang terhadap negara lain juga mengandaikan adanya tindakan nyata, seperti memobilisasi pasukan, mengungsikan warga-warga di daerah berbahaya, dan sebagainya.
Tulisan-tulisan Derrida seringkali berupa pembacaan ulang terhadap salah satu teks yang cukup berpengaruh di dalam sejarah filsafat. Di dalam proses pembacaannya, ia tidak hanya menggambarkan apa yang menjadi maksud asli pengarang teks, tetapi juga mengubah pemahaman kita tentang teks tersebut. Akan tetapi janganlah buruk sangka terlebih dahulu. Derrida adalah seorang pembaca yang sangat cermat. Ia sangat sabar meneliti teks-teks yang ia baca. Beberapa teks yang pernah dimaknainya kembali adalah tulisan Plato yang berjudul ”Phaedrus”, tulisah Shakespeare yang berjudul ”Romeo and Juliet”, tulisan Kafka yang berjudul ”Before the Law”, dan bahkan ”American Declaration of Independence”.
Sekilas orang akan mengira, bahwa Derrida hanya menggambarkan kembali apa yang sudah tertulis di dalam teks. Namun pendapat ini hanya separuh benar. Derrida memang seorang pembaca dan pengajar yang sangat tajam dan detail. Namun Derrida juga mengubah pemahaman seseorang tentang teks-teks yang sedang dibaca. Derrida berusaha menjauh dari tafsiran dominan, dan membuat tafsirannya sendiri atas teks-teks yang dibaca. Di tangan Derrida teks-teks kuno itu berubah menjadi suatu teks yang menyegarkan dan penuh dengan pemahaman-pemahaman baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dapatlah dikatakan bahwa Derrida tidak hanya melakukan tindakan konstatif, yakni menggambarkan teks, tetapi juga tindakan performatif, yakni mengubah teks tersebut menjadi sesuatu yang baru.
2. Dekonstruksi
Dengan demikian Derrida tidak hanya menggambarkan maksud teks-teks yang dibacanya secara persis, tetapi juga mengubahnya menjadi teks yang memiliki makna baru. Dua konsep itu yakni deskripsi/penggambaran (description) dan transformasi (transformation) dapat digabungkan menjadi dekonstruksi (deconstruction). Sekilas konsep dekonstruksi ini tampak aneh dan kontradiktif. Bagaimana mungkin membaca secara tepat sekaligus mengembangkan makna teks dengan mengubahnya? Namun itulah yang kiranya dilakukan Derrida. Menurut penelitian Nicholas Royle, Derrida sendiri tidak begitu suka dengan kata tersebut. Konsep itu pun melepaskan diri dari Derrida, dan mulai menjadi sebuah paham, yakni sebuah isme. Sejak saat itu konsep dekonstruksi terus menjadi subyek perdebatan banyak pemikir lintas displin ilmu.
Royle bahkan berpendapat bahwa kita dapat memahami filsafat Derrida tanpa menggunakan konsep dekonstruksi sama sekali. Memang hal itu akan sangat sulit, namun bukan berarti tidak mungkin. Di dalam kamus filsafat dan kamus Bahasa Inggris, seperti dikutip oleh Royle, dekonstruksi didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk mengubah konstruksi dari suatu benda. Di dalam kamus filsafat, dekonstruksi didefinisikan sebagai suatu strategi analisis yang dikaitkan dengan filsuf Perancis, Jacques Derrida, yang bertujuan untuk membuka pengandaian-pengandaian metafisis yang sebelumnya tidak dipertanyakan, serta membuka kontradiksi internal di dalam filsafat maupun teori-teori bahasa
Royle sendiri mendefinisikan dekonstruksi sebagai sesuatu yang bukan seperti yang dipikirkan orang banyak, pengalaman akan yang tak mungkin, cara berpikir untuk menggoyang apa yang sudah dianggap mapan, apa yang membuat identitas dari sesuatu itu juga sekaligus bukan merupakan identitas, dan masa depan yang masih belum ada itu sendiri. Tentu saja beragam definisi tersebut pasti membuat orang bingung. Namun Derrida sendiri tidak pernah secara jelas mendefinisikan arti dari konsep dekonstruksi. Ia hanya menerapkannya dan membiarkan pembacanya merumuskan sendiri. Maka dapatlah dikatakan bahwa hakekat dari dekonstruksi itu sifatnya plural. Tidak ada satu definisi utuh yang bisa menjelaskan makna terdalam dari dekonstruksi.
Dekonstruksi juga tidak hanya bergerak di tataran filsafat, melainkan juga menyentuh literatur, politik, seni, arsitektur, dan bahkan ilmu-ilmu alam. Di dalam kajian lintas ilmu, dekonstruksi dapat digambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah dan membelah kepastian dan pakem-pakem lama yang tidak lagi dipertanyakan. Di dalam tulisan-tulisannya, Derrida berulang kali menuliskan bahwa kekuatan untuk mengubah dan membelah itu sebenarnya sudah terkandung di dalam teks itu sendiri. Yang ia lakukan hanyalah mengaktifkan kekuatan itu, dan kemudian menyebarkannya ke keseluruhan teks. Derrida mau melakukan de-sedimentasi terhadap teks, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam arti ini ia mau menciptakan gempa di dalam teks.
3. Dekonstruksi sebagai Gempa Tekstual
Di dalam teks dekonstruksi hendak menciptakan gempa dengan terlebih dahulu mengungkapkan kontradiksi di dalam teks tersebut. Hal tersebut hanya bisa dilakukan, bila teks sudah dibaca dan dimengerti secara teliti. Sekecil apapun kontradiksi yang ada, tetap saja ia mampu membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tak terpikirkan bagi keseluruhan teks terkait. Di dalam proses penelusurannya terhadap teks-teks filsafat yang ada, Derrida tidak memperlakukan para filsuf sebelum dia sebagai individu, melainkan sebagai suatu teka teki yang harus dipahami dan kemudian dipecahkan. Inilah yang menyebabkan tulisan-tulisan Derrida terasa bagai labirin yang tak berujung. Ini juga yang menyebabkan sulitnya kita menentukan posisi khas Derrida.
Setiap karyanya harus selalu ditempatkan pada situasi dan konteks yang tepat, yang melatarbelakangi teks tersebut. Dekonstruksi yang diterapkan Derrida tidak mau memberikan pandangan umum mengenai filsafat, melainkan lebih tertarik bermain dengan detil-detil yang sebelumnya tidak diperhatikan. Bahkan satu kalimat kecil yang tampaknya tidak bermakna bisa menjadi titik tolak untuk mengubah makna keseluruhan teks. Derrida lebih jauh menambahkan, bahwa dekonstruksi sudah selalu berada di dalam teks itu sendiri. Dengan kata lain setiap teks sudah selalu memiliki potensi untuk medekonstruksi, atau men-destabilisasi, dirinya sendiri. Dengan dasar ini ia pernah menyatakan, bahwa segala sesuatu di dalam teks selalu bisa dipisah dan dibagi terus menerus. Tidak ada bagian dari teks yang sifatnya stagnan atau permanen. Tidak ada atom di dalam teks.
Jika tidak ada kesatuan utuh yang sifatnya permanen di dalam teks, maka teks selalu bisa dibaca dan dimengerti dengan cara yang selalu berbeda. Tidak ada tafsiran dominan yang sifatnya otoritatif. Dengan ini kita bisa memahami beberapa konsep lainnya yang kiranya identik dengan pemikiran Derrida, yaknidifferance, jejak-jejak, dan iterabilitas. Kata differance adalah kata yang aneh. Kata ini tidak terdapat di dalam kamus bahasa manapun. Kata itu sendiri terdiri dari dua kata yakni untuk membedakan (to differ), dan untuk menunda kepastian (to defer). Kebenaran dan makna di dalam teks harus terus dibedakan dan ditangguhkan kepastiannya.
Karena kebenaran selalu harus, dan mampu, ditangguhkan dan dibedakan terus menerus, maka kebenaran itu sendiri pada dasarnya tidak ada. Menurut Derrida yang bisa kita temukan dan ketahui adalah jejak-jejak dari kebenaran itu sendiri, dan bukan kebenarna pada dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud dengan konsep jejak (trace) di dalam pemikiran Derrida. Sementara iterabilitas adalah kemampuan suatu teks untuk selalu dimaknai terus menerus di dalam konteks yang berbeda-beda. Teks adalah sesuatu yang lentur dan lincah. Teks adalah tanda yang bisa terus diulang dan dibedakan sesuai dengan horison pembaca dan penafsirnya.
Di dalam bukunya tentang Derrida, Royle mengajukan tesis bahwa dekonstruksi Derrida adalah sebuah gempa tekstual. Tujuan utama dekonstruksi adalah untuk menggoyang, memindahkan, dan mengubah semua konsep bahasa, psikologis, tekstual, estetis, historis, etis, sosial, politik, dan bahkan religiusitas. Di dalam tulisannya tentang Plato, Derrida tidak hanya menggambarkan kembali apa yang ingin disampaikan oleh Plato, tetapi ia juga secara kreatif mengubah dan menafsirkan apa yang dimaksud Plato secara baru dan tak terduga. Hal yang sama juga diterapkannya pada tulisan-tulisan cerita pendek yang ditulis oleh Kafka, dan bahkan skenario drama yang ditulis oleh Shakespeare. Dalam arti ini dekonstruksi lebih dari sekedar metode, terutama jika metode dipahami secara sempit sebagai suatu cara untuk mendekati dan memahami realitas. Dekonstruksi adalah suatu upaya untuk memahami teks, baik teks literatur ataupun realitas itu sendiri, lalu mengubahnya untuk memperoleh makna yang baru. Royle bahkan menegaskan bahwa dekonstruksi itu memiliki sifat mistik untuk mengubah dan menggoyang kepastian makna teks.
Derrida juga menambahkan bahwa inti dekontruksi adalah mengaburkan perbedaan-perbedaan yang telah dibuat oleh manusia, terutama perbedaan yang sifatnya oposisi, seperti baik-buruk, ada-tidak ada, dan sebagainya. Tidak hanya itu dekonstruksi juga mau memahami arti kata ‘dan’ dengan cara berbeda. ‘Dan” fungsinya adalah membedakan sekaligus menambahkan; baik ‘dan’ buruk, Ani dan Dewi, makan nasi dan minum air. Lebih jauh Derrida juga menambahkan, bahwa karena kata ‘dan’ selalu memiliki dua arti, maka tidak ada kepastian di dalamnya. Dengan kata lain arti kata ‘dan’ tidaklah pernah stabil. ‘Dan’ bisa berarti oposisi sekaligus menambahkan. Karena itu oposisi dan menambahkan itu sifatnya saling terkait. Maka oposisi tidak pernah stabil, karena itu memiliki potensi untuk mengubah, dan menambahkan apa yang sebelumnya tidak ada.
Menurut Derrida setiap teks selalu sudah mengandung tegangan dan paradoks di dalamnya. Bahkan dapat juga dikatakan, yang terpenting di dalam teks adalah menemukan apa yang tak terkatakan, dan kemudian mengolahnya menjadi suatu pemaknaan yang baru. Di dalam pembacaannya terhadap tulisan-tulisan Austin, terutama yang terkait dengan linguistik (filsafat bahasa), Derrida menemukan kontradiksi di dalam konsep Austin mengenai pernyataan performatif. Bagi Derrida setiap bentuk pernyataan performatif, yakni pernyataan yang disertai dengan tindakan ataupun penegasan, selalu terkandung kemungkinan untuk tidak menjadi tindakan ataupun penegasan. Misalnya di dalam pernyataan “saya berjanji”, ada kemungkinan janji tersebut tidak akan terwujud, sehingga pernyataan itu tidak akan menjadi pernyataan performatif. Kemungkinan bahwa suatu pernyataan performatif tidak akan pernah menjadi tindakan bukanlah kemungkinan sampingan, melainkan sudah selalu merupakan kontradiksi di dalam pernyataan itu sendiri.

D. Dekonstruksi Jacques Derrida Sebuah Tinjauan
Dekonstruksi merupakan madzhab kontroversial yang diilhami oleh pemikiran Derrida. Pemikirannya memancing emosi yang cukup kuat bagi orang-orang yang belum membaca karyanya atau hanya sekedar mendengar tentang dirinya dan pemikiran dekonstruksinya. Belakangan ini ada lelucon yang muncul dan sering diulang-ulang bahwa perbedaan antara Mafia dan dekonstruksi adalah yang pertama memberi tawaran yang tak dapat ditolak, sedangkan yang kedua memberi tawaran yang tak dapat dipahami.
Hampir sejak permulaan karirnya yang panjang, kurangnya pemahaman pada kenyataannya telah mengiringi Derrida. Adanya suatu keadaan dimana ada ketidakjelasan yang terkesan disengaja dalam beberapa tulisannya yang tidak menawarkan sesuatu yang dapat disanggah. Christoper Norris sebagai pendukungnya pun terpaksa mengakui bahwa Derrida telah berhasil memberi masalah pemahaman yang sangat besar. Dalam bukunya, Norris memberikan pendapat tentang gaya tulisan Derrida
akan memancing kebanyakan filsuf – terutama mereka yang berada dalam tradisi Anglo – Amerika yang dominan – untuk mengatakannya sebagai gaya permainan metafor yang berlebih-lebihan. Mereka akan cenderung berpendapat bahwa permainan kata seperti ini itu paling-paling hanya akan menjadi semacam kegiatan corat-coret yang sok canggih di sepanjang pinggiran wacana yang bersungguh-sungguh dan mengupayakan kebenaran.

Beberapa kritisi memberikan kritik yang cukup pedas terhadap pemikiran Derrida ini. Bahkan beberapa dari mereka memberikan tuduhan yang bermacam-macam, mulai dari pesimisme yang tak bertanggung jawab sampai pada upaya destruksi terhadap subyek filsafat itu sendiri. Sebagai contoh kritikan yang dilontarkan oleh Wayne C. Booth yang mengkitik dengan cukup geram bahwa analisis Derrida ”tak berkesudahan, culas dan mengerikan”.
Di dalam kesusasteraan kontemporer serta debat filsafat, karya Jacques Derrida merupakan sebuah kekuatan utama. Tetapi hal ini tidak dapat diprediksi apakah pemikirannya ini merupakan kontribusinya yang paling besar. Sebagai seorang filsuf dan pembaca teks-teks filsafat, tradisi filsafat Barat yakni ’logocentrisme’ atau ’metafisikan kehadiran’ ditekuninya. Bagi Derrida, perbedaan antara teori dan tesis filsafat adalah merupakan versi dari suatu sistem tunggal, meskipun untuk meninggalkan sistem ini tidak dapat diharapkan, namunsetidaknya dapat mengidentifikasikan kondisi dari pemikiran yag ditawarkannya dengan memperhatikan pada penekanannya. Dalam keterkaitannya dengan teks-teks filsafat, suatu catatan yang sangat berpengaruh serta kritis atas pemikiran Barat telah dihasilkan oleh Derrida.
Selain sebagai seorang pembaca, Derrida juga seorang penerjemah. Adanya isyarat atas petualangan intelegensinya adalah ketika beragam teks telah dibacanya seperti teks dari – Rousseau, Saussure, Freud, Plato, Genet, Hegel, Mallarme, husserl, J. L Austin, dan Kant yang kemudian dianalisis dan diberikan penafsiran. Derrida menggunakan mode ganda dalam pembacaan dengan memperhatikan cara-cara di mana teks secara implisit dapat mengkritisi dan meruntuhkan para filsuf terkait. Ia selalu dapat menunjukkan teks yang harus dirangkai dari uraian yang tidak pernah dapat dihasilkan di dalam suatu sintesa namun secara kontinyu dapat menggantikan satu sama lainnya. Di dalam dunia kritik sastra, praktek baru pembacaan serta tulisan ini membuat proses itu sendiri dirasakan secara khusus.
Dapat dikatakan bahwa Derrida merupakan pemikir Perancis yang inovatif, selain itu Ia juga seorang poststrukturalis. Beberapa pemikirannya terhadap keragaman disiplin telah menciptakan kalau tidak sebuah pergerakan (secara tertentu ingin menekankan ketidaksetujuan satu sama lainnya), setidaknya suatu kekuatan. Derrida dan para pendukungnya menekankan berkali-kali bahwa ia tidak mengajukan suatu teori yang komprehensif serta terpadu yang akan menjelaskan sastra, bahasa, dan filsafat. Namun, Derrida selalu menulis tentang teks-teks khusus dengan tujuan untuk menginspirasikannya kepada yang lain, mengadakan penelitian secara cermat tehadap ketidakmungkinan dari penguasaan keseluruhan tersebut, ketidakmungkinan dalam mengkonstruksi suatu sistem teoritis yang bertalian serta memadai.
Yang membedakan Derrida dengan ahli teori lainnya adalah jika ahli teori lainnya membangun suatu sistem di sekitar beberapa konsep kunci, maka Derrida secara kontinyu memberikan peran yang strategis terhadap istilah baru dari teks yang sedang didiskusikan, dari sini, akhirnya istilah-istilah tersebut memperoleh suatu daya tarik dari kompleksitas struktural dari peran yang dimainkan di dalam interaksi teks Derrida dengan karya lain. Istilah-istilah baru secara kontinyu diperkenalkan Derrida untuk menggantikan yang lama, untuk mencegahnya agar tidak menjadi konsep pokok dari sistem atau teori baru.
Tentunya untuk mencegah terjadinya hal tersebut adalah sangat sulit sekali. Hal ini karena ketika karyanya dibaca serta dibahas, saat karyanya mulai mempengaruhi, secara tak terelakkan karyanya akan diperlakukan sebagai suatu teori dengan konsep pokok, dengan metode analitis, yang membuat klaim umum tentang sifat dari bahasa serta teks.
Dari ketiga karyanya (Of Gramatology, Writing and difference, dan Speech and Phenomena) menjadikan Derrida sebagai seorang tokoh utama didalam debat teoritis yang mendominasi kehidupan intelektual Perancis pada akhir tahun 1960-an. Meskipun teman-teman seangkatannya menghubung-hubungkan dirinya dengan strukturalisme, namun Derrida secara berulang-ulang menghasilkan pembacaan yang menunjukkan paradoks dari sisi strukturalis.
Penyelidikan terhadap logocentrisme Barat merupakan hasil pembacaan Derrida terhadap beberapa ragam teks serta konstruksi dari teksnya sendiri. Metafisika kehadiran menunjukkan bahwa teks-teks dapat ditunjukkan secara simultan untuk menegaskan serta merusak adalah metafisika yang orang ketahui dan mendasari semua pemikiran. Bila hal ini ditunjukkan akan menantang koherensi beserta konsistensinya. Oleh karena itu, tantangan kemungkinan merupakan penentuan atau pendefenisian wujud seperti kehadiran.
Tidaklah mudah menemukan kelemahan-kelemahan pendapat didalam setiap karya Derrida sekalipun orang telah memahami wacana Derrida sepenuhnya. Dalam wacana tersebut, sesungguhnya Derrida masih terjebak di dalam keterkuncian metafisika, meskipun Derrida telah mempertanyakannya bahwa teksnya dan teks-teks orang lain terbuka bagi interpretasi yang telah dideskripsikan? Ternyata teorinya yang sempurna belum bisa diterapkan oleh Derrida, karena sesungguhnya kesempurnaan sebuah teori akan selamanya tertangguhkan. Differance/tulisan/jejak sebagai sebuah struktur tidak lebih dari sekedar artikulasi permainan pengetahuan dan pelupaan Nietzschean.
Dekonstruksi Derrida menanggung suatu pembacaan ganda, ia menggambarkan cara-cara di mana jenis-jenis dari argumen di dalam teks yang dianalisanya mempersoalkan dasar teori mereka, serta menggunakan sistem dari konsep yang ada di dalamnya yang suatu teks berfungsi untuk menghasilkan perintah-perintah, sebagai contoh yang menantang konsistensi dari sistem tersebut adalah kata differance dan supplement. Namun pada kenyataannya bahwa antara teks Derrida maupun teks-teks yang sudah dibacanya didasarkan pada ’kohabitasi’ dari pendugaan metafisis ini dengan pola kritis sehingga memunculkan suatu persoalan yang belum bisa terpecahkan secara memuaskan sejauh ini. Dari sini, akhirnya bagaimana orang dapat membuat karakterisasi perbedaan antara ’bagian tekstual’ seperti yang disebut Derrida dalam sebuah teks grammatologis serta ’bagian tekstual’ dari tulisan-tulisan lainnya, atau perbedaan antara ’kohabitasi’ dari pola tulisan Derrida dan ’kohabitasi’ dari tulisan ahli teori kontemporer lainnya yang ia kritisi.
Jika dilakukan pendekatan dengan sudut lain, maka arti penting pertanyaan ini akan menjadi jelas. Pembacaan yang dekonstruktif, terkadang ditafsirkan sebagai serangan terhadap penulis yang sedang dibahas. Hal ini karena pembacaan dekonstruktif berusaha mengungkapkan suatu dekonstruksi diri atau pertentangan diri, sementara orang terbiasa berpikir bahwa pertentangan diri tidak mengabsahkan segala usaha intelektual. Tetapi Derrida berkata bahwa kontradiksi suatu jenis tidak dapat dihindarkan atau tidak terhindarkan oleh segala teks yang berhubungan secara mendalam dengan permasalahan utama. Kemudian, perilaku jenis apa yang harus diadopsi terhadap teks-teks ini? Derrida tampaknya memberikan tanggapan yang bermacam-macam. Husserl, Heidegger, Hegel dan Saussure diperlakukan dengan lebih hormat dari pada Rousseau ataupun Levi Strauss, sedangkan ’kekurangannya’ dicatat di dalam suatu bahasa yang sering merendahkan. Sebenarnya kekurangan dalam diri seorang pemikir selalu ada kemungkinan untuk bisa ditekan, karena penulis menulis dalam suatu bahasa serta dalam suatu logika yang sistem, aturan, serta kehidupannya yang sebenarnya tak dapat didominasi secara mutlak oleh diskursusnya. Penulis membiarkan dirinya sendiri mengikuti suatu cara dan sampai pada satu poin diatur oleh sistem. Pembacaan harus selalu tertuju pada suatu hubungan tertentu, tidak diketahui oleh penulis antara apa yang diperintahkan dan apa yang tidak diperinthakan terhadap pola-pola dari bahasa yang digunakan.
Pembacaan Derrida berusaha mengkombinasikan apa yang difikirkan seseorang sebagai permainan sastra dari bahasa dengan ketegasan filosofis, bukan dalam beberapa kompromi yang diperlakukan secara lunak, melainkan daalam bentuk yang paling radikal. Kekuatan istimewa dari tulisan Derrida adalah terletak pada kombinasi ini. Derrida memberikan pendapat di dalam suatu sistem filosofis tertentu namun pada waktu yang bersamaan berusaha melalui produktivitas bahasa untuk menerobos dan memperluas sistem itu.


KESIMPULAN


Dekonstruksi adalah sebuah metode sekaligus melampaui metode itu sendiri. Dekonstruksi tidak hanya menggambarkan teks, baik teks literatur ataupun teks sebagai realitas, apa adanya, melainkan juga mau mengungkap kontradiksi yang terletak di dalam detail teks, sehingga pemaknaan dan arti baru yang sebelumnya tidak terungkapkan bisa tampil dan justru menjadi dominan. Dalam bahasa Derrida, dekonstruksi hendak menemukan kontradiksi dan menggetarkan seluruh teks. Menurut Royle di dalam tulisannya tentang Derrida, dekonstruksi adalah sebuah gempa yang menggetarkan seluruh teks, dan mengubahnya ke arah yang sama sekali tidak terduga. Kemungkinan untuk melakukan dekonstruksi sudah selalu terkandung di dalam teks itu sendiri. Kemungkinan yang tampak seperti hantu, namun sama nyatanya seperti teks itu sendiri. Dekonstruksi itu sendiri adalah teks.




DAFTAR PUSTAKA


Booth, Wayne C. Critical Understanding: The Powers and Limits of Pluralism. Chicago and London: University of Chicago Press, 1979.
Craws, Marry. Te Quel: Text and Revolution, Diacritics 3, i. Musim Semi: t. p, 1973.
Derrida, Jacques. Speech and Phenomena, and Other Essays on Husserl’s Theory of Signs. Trans. David B. Allison. Northwestern: University Press, 1973.
Norris, Christopher. Deconstruction: Theory and Practice. Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2003.
_______________. Derrida. London: Fontana, 1987.
Royle, Nicholas. Derrida. London: Routledge, 2003.
Spivak, Gayatri Chakravorty. Membaca Pemikiran Jacques Derrida: Sebuah Pengantar. Jogjakarta: Ar-Ruuz, 2003.
Sturrock, John (ed). Structuralism and Since. Terj. Muhammad Nahar. Surabaya: Jawa Pos Press, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AWAL PERTAMA TINGGAL DI TULUNGAGUNG DAN SERUNYA BERBELANJA DI PASAR TRADISIONAL TAMANAN TULUNGAGUNG

Saya dan Zidan (anak saya) di Alun-Alun Tulungagung saat masih seminggu tinggal di Tulungagung,   dan Zidan masih berumur 1 tahun Sudah menj...