Kamis, 14 April 2011

UPAYA MERETAS KERUKUNAN ANTAR UMAT BERGAMA MELALUI DIALOG ANTAR AGAMA



PENGANTAR


Tuhan telah menciptakan manusia terdiri dari berbagai jenis suku bangsa dan membekali manusia dengan berbagai agama. Model penciptaan manusia seperti itu jelas sekali-kali tidak dimaksudkan untuk memecah belah manusia atau menjadikan mereka saling bermusuhan satu sama lain. Sebaliknya, berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada manusia didorong untuk saling mendekat dan saling berkerjasama berlandaskan kesadaran bahwa sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, yaitu umat yang bernama manusia.
Ketika berhadapan dengan masalah perbedaan, dibenak kita biasanya akan muncul anggapan bahwa perbedaan itu adalah sebuah bentuk permusuhan atau pertikaian. Anggapan itu terkadang ada benarnya, karena beberapa kasus pertikaian yang terjadi di negeri ini disebabkan karena perbedaan. Baik itu perbedaan pendapat, perbedaaan suku, partai, agama, dan masih banyak lagi pertikaian yang terjadi akibat sebuah perbedaan. Hal ini bukanlah fenomena yang baru.
Bentuk perbedaan yang akan tetap abadi hingga akhir nanti adalah perbedaan agama. Karena, sentuhan wilayah agama begitu panjang sampai pada hidup sesudah mati. Belum lagi persoalan tentang cara pandang mengenai Tuhan, surga, neraka, dan keyakinan-keyakinan lain yang membuat pemahaman kita tentang agama menjadi berbeda. Kita ambil contoh negeri yang didalamnya terdapat banyak hal yang berbeda, Indonesia namanya. Kemajemukan bangsa Indonesia-- termasuk dalam hal agama—selain kebanggaan nasional juga kekayaan konflik. Tidak ada yang salah dengan perbedaan, yang salah hanyalah sudut pandang kita. Perbedaan bukan alasan untuk kita dapat saling memahami. Maka, disinilah letak pentingnya toleransi.
Pandangan setiap agama akan “absolutisme ajaran” kalau dilihat dari kepentingan eksistensi masing-masing agama sendiri memang sudah semestinya, mengingat agama adalah menyangkut kualitas hidup dan pilihan rohani manusia, dan dengan pandangan seperti ini akan kemungkinan setiap agama mampu mempertahankan kemurnian ajaran dan identitasnya masing-masing. Namun, dari sudut yang lain, akibat logis dari rasa keyakinan ini adalah meunculnya sikap “fanatisme” dari masing-masing pemeluk agama yang tidak saja mempercayai “kebenaran mutlak” ajaran agama yang dipilihnya, melainkan juga, meminjam istilahnya Moeslim Abdurrahaman— merasa menanggung “tugas suci”,-- bagaimana harus meyakinkan orang lain akan kebenaran mutlak ajaran agamanya tersebut. Sikap semacam itu hampir merata pada setiap pemeluk agama, sekalipun dalam kadar yang berbeda-beda. Sebab utama, mengapa kadang-kadang tampak hubungan sosial yang kurang serasi dan seringkali justru menjadi tegang antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain, diduga adalah karena faktor “fanatisme” ini, sekalipun harus diakui pula kemungkinan adanya faktor-faktor lain seperti faktor struktural dan kultural yang ikut mendorong terjadinya konflik semacam itu.
Pada perkembangan terakhir, kini telah tumbuh suatu “kesadaran baru” khususnya di kalangan tokoh agama, yaitu perlunya di selenggarakan dialog antar agama. Kesadaran itu muncul diduga karena mereka merasa dihadapkan pada tanda-tanda peradaban “modern” yang dinilai semakin hari cenderung irreligious, atau apa yang disebut oleh mereka dengan “kegersangan spiritual”, terutama akibat kemajuan teknologi yang sangat pesat. Sehingga menuntut adanya tanggung jawab bersama di antara pimpinan agama untuk mengatasi kecenderungan yang memprihatinkan tersebut.
Kita menghargai jerih payah yang dilakukan para tokoh agama dalam melakukan sosialisasi wacana toleransi, inklusivisme dan pluralisme. Dengan jalan sering melaksanakan kegiatan dialog antar agama, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Namun, yang lebih penting lagi, wacana toleransi, inklusivisme, dan pluralisme itu selama ini belum mengalami proses pembumian ke level bawah (grass root society). Oleh karena itu, dialog antar agama menjadi agenda strategis agar perlu segera “dibumikan” ke masyarakat bawah, agar masyarakat bawah mengalami proses penyerapan intelektual dan pencerahan keagamaan. Sehingga masyarakat bawah mengalami proses dialektika dan dialogis antar-umat, yang pada tahap selanjutnya dapat mempercepat proses objektivikasi ke level kesadaran umat dan menciptakan kerukunan antar umat beragama.



PEMBAHASAN



Kenyataan sosial budaya menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, bangsa yang agamis, bangsa yang beragama, bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kehidupan bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kehadiran dan perkembangan agama-agama besar: Hindhu, Budha, Islam, Kristen (Katolik dan Protestan) dan Konghucu. Oleh karena itu pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia sangat dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai agama, karena itu pula, maka kehidupan beragama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia.
Masalah hubungan antar umat beragama di Indonesia nampaknya selalu saja rawan dan dapat "meletup-letup" sewaktu-waktu. Berbagai peristiwa keretakan hubungan antar umat beragama telah terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu, menjadi sangat penting bagi para intelektual Indonesia untuk turut mengupayakan peningkatan kerukunan dan toleransi hidup antar umat beragama. Kegiatan yang nyata diantaranya dapat dilakukan melalui dialog antar umat beragama diantara para intelektual Indonesia di mancanegara dan domestik. Dialog bertujuan untuk mencari "titik temu" dalam berbagai permasalahan yang ada dan menghasilkan cara / upaya untuk "mengobatinya" guna pencapaian tujuan pembangunan dan untuk turut memelihara keberadaan negara kesatuan republik Indonesia.
Salah satu "kesepakatan bersama dan utama" yang perlu diperhatikan dan dijaga sehubungan dengan hal ini adalah hal keberadaan negara kesatuan Indonesia: dari Sabang sampai Merauke, di bawah dasar dan falsafah negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan.
Seperti telah diketahui, bahwa dalam rangka membina dan memelihara kerukunan antar umat beragama di Indonesia, pemerintah telah mencarikan jalan keluar melalui berbagai cara dan upaya, antara lain dengan menyelenggarakan dialog antartokoh agama dan memfungsikan pranata-pranata agama sebagai media penyalur gagasan dan ide. Salah satu pranata agama yang selama ini diandalkan dalam menyalurkan program pemerintah tersebut adalah tokoh-tokoh agama. Tokoh-tokoh agama ini mempunyai kedudukan dan pengaruh besar di tengah-tengah masyarakatnya, karena mereka mempunyai beberapa kelebihan yang dimiliki, baik dalam ilmu pengetahuan, jabatan, keturunan dan lain sebagainya. Tokoh agama juga merupakan pemimpin informal dalam masyarakatnya, dan secara umum mereka tidak diangkat oleh pemerintah tetapi ditunjuk atas kehendak dan persetujuan dari masyarakat setempat.

A. Pengertian Dialog Antar Agama
Kata dialog berasal dari kata Yunani “dia-logus”, artinya antara dua pihak, atau “dwiwacara”. Lawannya ialah “monolog” yang berarti “bicara sendiri”. Arti sesumgguhnya (defenisi) dari dialog ialah: percakapan antara dua orang (atau lebih) di mana diadakan pertukaran nilai yang dimiliki masing-masing pihak. Lebih lanjut berarti pula: pergaulan antar pribadi-pribadi yang saling memberikan diri dan berusaha mengenal pihak lain apa adanya. Sedang yang dimaksud dengan dialog antar umat beragama ialah percakapan antara umat beragama yang satu dengan yang lain untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh umat beragama.
Adapun defenisi dialog antaragama menurut Mukti Ali seperti yang dikutip oleh Dadang Kahmad adalah pertemuan hati dan pikiran antarpemeluk berbagai agama yang bertujuan mencapai kebenaran dan kerja sama dalam masalah-masalah yang dihadapi bersama. Dalam hal ini dialog antar agama harus menghindari perdebatan teologis antarpemeluk (tokoh) agama, sehingga pesan-pesan agama yang sudah direinterpretasi yang selaras dengan universalitas kemanusiaan menjadi modal terciptanya dialog yang harmonis.
Dialog antar agama adalah satu bentuk aktivitas yang menyerap ide keterbukaan. Sebab, dialog tidak mungkin dilakukan tanpa adanya sikap terbuka antara masing-masing pihak yang berdialog. Dialog agama dinilai penting justru untuk menyingkap ketertutupan yang selama ini menyelimuti hubungan antar agama. Ketertutupan hubungan antar agama mudah memicu kesalahpahaman. Kesalahpahaman mudah terjerembab ke dalam prasangka yang berakibat kontraproduktif bagi hubungan antaragama itu sendiri.
Berdialog merupakan kebutuhan hakiki dari manusia sebagai makhluk sosial. Dari studi psikologi-patologi disimpulkan bahwa manusia yang normal membutuhkan dialog, membuka diri kepada orang lain. Prinsip psikologis itu memang harus mendasari dialog yang sejati: (a) Keterbukaan terhadap pihak lain, (b) Kerelaan berbicara dan memberikan tanggapan kepada pihak lain, (c) saling percaya bahwa kedua belah pihak memberikan informasi yang benar dengan caranya sendiri.
Dialog berbeda dengan polemik dan dialog berbeda dengan apologi. Apologi bersifat defensive. Seorang penulis apologi berusaha membuktikan kebenaran kaidah-kaidahnya namun apabila diserang kadang-kadang bernada polemis juga. Kedua-duanya, yaitu apologi dan polemik tidak keluar dari alam pemikirannya dan tidak berusaha memasuki dan memahami pemikiran orang lain. Yang dicari dalam dialog ialah kebenaran universal yang tidak dimiliki sepenuhnya oleh masing-masing pihak. Jadi kedua belah pihak harus mengakui kebenaran universal. Dialog antar agama bukan saja untuk mencari saling pengertian akan tetapi juga untuk mengambil bagian dalam pengalaman batin orang lain. Ketentuan-ketentuan dialog yang paling baik diperhatikan ialah keterbukan, hormat, komunikasi, kesabaran, refleksi, keinginan menerima, kesediaan memberi, koreksi diri, ketaatan batin terhadap kebenaran dan kebaikan.
Dialog bukan debat, melainkan saling memberi informasi tentang agama masing-masing, baik mengenai persamaan maupun perbedaannya. Dialog antaragama tidak sama dengan usaha seseorang untuk meyakinkan orang lain terhadap kebenaran agama yang ia peluk, atau menjadikan orang, atau pasangan berrdialognya itu memeluk agama yang ia peluk. Dialog bukan menjadikan orang lain berpindah agama, ia hanya berbicara dalam teori tanpa pelaksanaan dalam perbuatan. Dialog bukan suatu usaha untuk menjadikan semua agama menjadi satu, menciptakan suatu ”agama gado-gado” yang ajarannya diambil dari berbagai macam agama. Dialog adalah suatu kerjasama di antara para pemeluk agama yang berbeda.

B. Tujuan Dialog antar Agama
Tujuan dialog diarahkan kepada penciptaan hidup rukun, pembinaan toleransi, membudayakan keterbukaan, mengembangkan rasa saling menghormati, saling pengertian, membina integrasi, berkoeksistensi di antara penganut beragama dan sebagainya.
Selain itu, dialog bisa mencapai tujuan yang lebih penting dari ko-eksistensi, yaitu pro-eksistensi. Kalau dalam ko-eksistensi dialog hanya mengutamakan terciptanya toleransi sebagai satu-satunya tujuan, maka pro-eksistensi lebih sekedar toleransi, yaitu selain mencari dan mengumpulkan segala macam persamaan doktriner, tradisi, semangat dan sejarah, melainkan juga unsur-unsur yang meliputi perbedaan, bahkan yang menyimpan konflik pun harus dinyatakan. Tujuan paling penting adalah penciptaan perdamaian dunia. Tidak akan ada damai diantara bangsa-bangsa selama tidak ada damai di antara agama-agama kalau tidak ada dialog antaragama.
Dalam konteksnya dengan kenyataan dialog umat antaragama yang berlangsung di Indonesia, maka dialog itu nampaknya mempunyai tujuan untuk melestarikan persatuan dan kesatuan bangsa, mendukung dan menyukseskan pembangunan nasional, memerangi kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan, serta kerja keras bersama mendukung terwujudnya kesejahteraan bagi semua penduduk, menghilangkan kesenjangan, dan menegakkan keadilan.

C. Bentuk-Bentuk Dialog Antaragama
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa dialog antar agama dapat berlangsung dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah dialog kehidupan, dialog kerja sosial, dialog teologis, dan dialog spiritual. Kerangka ini diadaptasi dari model Kimball yang menyebut beberapa bentuk dialog, sebagai berikut: (1) dialog parlementer (parliamentary dialogue), contohnya World’s Parliament of Religions pada 1893 di Chicago; (2) dialog kelembagaan (institutional dialogue), contohnya di Indonesia adalah yang diadakan MUI, PGI, KWI, bersama-sama dengan lembaga-lembaga dari agama Hindu, Budha, dan lain-lain; (3) dialog teologi (theological dialogue), dengan tema-tema teologis maupun ritual tertentu, contoh di Indonesia adalah seperti yang dilaksanakan di Paramadina, Interfidei, dan lain-lain; (4) dialog dalam masyarakat (dialogue in community) dan dialog kehidupan (dialogue of life); (5) dialog spiritual (spiritual dialogue), yaitu dialog yang mengambil lokus dan tema-tema esoterik dan pengalaman-pengalaman sufistik. Kadangkala juga disebut ”inner dialogue” atau dialog batini.

1. Dialog Kehidupan
Dialog kehidupan merupakan bentuk yang paling sederhana dari pertemuan antargama yang dilakukan oleh umat beragama. Di sini, para pemeluk agama yang berbeda saling bertemu dalam kehidupan sehari-hari. Mereka berbaur dalam aktivitas kemasyarakatan secara normal. Mereka melakukan kerjasama dalam berbagai bidang kegiatan sosial tanpa memandang identitas agama masing-masing.
Biasanya, dalam kehidupan sehari-hari di mana terjadi pertemuan antaruma beragama yang berbeda, agama tidak menjadi topik perbincangan mereka. Tetapi penting ditekankan bahwa di sini agama juga tidak menjadi penghalang bagi persahabatan dan kerjasama antara mereka. Dalam hal ini, problem-problem menyangkut kehidupan keagamaan antarumat diletakkan di luar agenda pergaulan sehari-hari. Karena itu, umat Kristiani, misalnya tidak mau tahu urusan umat Islam yang sedang kesulitan mencari dana untuk membangun atau memperbaiki masjid. Begitu juga umat Islam tidak akan membayar zakatnya kepada tetangganya yang non-Muslim kendatipun dia tahu tetangganya itu hidup dalam keadaan miskin. Para penganut agama yang berbeda hanya bertemu dalam aktivitas ”umum” yang relatif tidak terkait dengan agama seperti gotong-royong membersihkan parit, menggalakkan sistem pengamanan lingkungan swadaya (siskamling), mengadakan acara agustusan, dan yang sejenis itu. Inilah yang disebut Paul F. Knitter sebagai toleransi yang malas (lazy tolerance). Orang hanya bersedia mengakui hak hidup agama lain tanpa mau peduli bagaimana kehidupan agama itu sendiri di tengah-tengah mereka; apakah gereja atau pura atau kelenteng atau masjid berdiri atau sudah roboh, mereka saling tidak mau tahu. Tidak saling mengganggu atau mengusik diantara pemeluk agama, itu sudah dianggap cukup.
Dalam kehidupan sehari-hari ini, penting adanya suatu dialog antar umat beragama, terutama pada masyarakat bawah karena selama ini dialog hanya sering dilakukan oleh para pemuka dan cendekiawan agama. Dalam dialog kehidupan inilah kerjasama sosial dan dialog antaragama di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan secara intensif agar masyarakat bawah mengalami proses penyerapan intelektual dan pencerahan keagamaan. Sehingga masyarakat bawah mengalami proses dialektika dan dialogis antarumat. Inilah yang dimaksud penulis dengan ”membumikan” dialog dalam masyarakat bawah.
2. Dialog Kerja Sosial
Dialog kerja sosial merupakan kelanjutan dari dialog kehidupan, dan telah mengarah pada bentuk-bentuk kerjasama yang dimotivasi oleh kesadaran keagamaan. Dasar historis dari dialog kerja sosial dan kerjasama antaragama banyak ditemukan dalam tradisi berbagai agama. Dasar sosiologisnya adalah pengakuan akan prularisme sehingga tercipta suatu masyarakat yang saling percaya (trust society). Dalam konteks ini, pluralisme sebenarnya lebih dari sekedar pengakuan akan kenyataan bahwa kita majemuk, melainkan juga terlibat aktif di dalam kemajemukan itu. Sedangkan dasar doktrinalnya adalah keharusan untuk mencari titik temu (dalam bahasa al-Qur’an disebut kalimat sawa), dan menghindari hal-hal yang akan menghalangi dialog dan kerjasama.
Dalam pergaulan sosial sehari-hari, kaum Muslim dan Kristen di AS juga relatif bersahabat, kendati di sana-sini masih ada letupan. Dalam hal ini, Alwi Shihab mengutip hasil penelitian Katheline M. Moore, asisten Guru Besar pada Universitas Connecticut, AS, yakni umat Kristen yang berpendidikan tinggi menampakkan sikap bersahabat dengan kaum Muslim.
Dalam dialog kerja sosial, tema-tema yang dibicarakan adalah banyak hal yang menyangkut kerjasama sosial, seperti kebersihan lingkungan, penanggulangan narkoba, penanganan kenakalan remaja, membangun koperasi, membangun pusat bermain anak-anak dan perpustakaan. Tema-tema seperti itu dapat menjadi agenda kerjasama agama-agama. Untuk sampai pada kerjasama-kerjasama yang bersifat sosial semacam itu, dialog-dialog pada level tokoh harus terlebih dahulu diintensifkan. Kemudian unsur-unsur masyarakat seperti pemuda, aktivis perempuan, remaja masjid / gereja / dan sebagainya, juga dilibatkan.
Sebenarnya, sebelum digerus oleh gaya hidup modernisasi dan perkotaan, masyarakat kita sangat akrab dengan tradisi dan pola hidup gotong-royong. Sayangnya hal itu kini digantikan oleh gaya hidup individualistik. Namun demikian, tradisi gotong royong itu tidak hilang sepenuhnya. Di sinilah agama memiliki peranan untuk merevitalisasi atau menghidupkan kembali pola hidup kebersamaan, karena setiap agama memiliki spirit untuk membangun masyarakat, dan menjaga norma-norma di dalam masyarakat supaya dapat berjalan dengan baik.
3. Dialog Teologis
Dialog teologis tidak bisa diabaikan apabila kita ingin membangun hubungan antaragama yang sejati, yang melahirkan persahabatan yang juga sejati. Sebab, mengambil contoh hubungan Islam-Kristen, selama hampir 500 tahun kedua agama samawi itu berhubungan dan bersahabat usai perang salib, namun pertemuan keduanya malah melahirkan banyak sekali problem teologis. Karena itu dialog teologis kian disadari semakin penting dilakukan sebagai landasan kerukunan umat beragama.
Dialog teologis bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa di luar keyakinan dan keimanan kita selama ini, ternyata ada banyak sekali keyakinan dan keimanan dari tradisi agama-agama selain kita. Jika dialog sosial berangkat dari problem bagaimana kita menempatkan agama kita di tengah-tengah agama-agama orang lain. Maka, dialog teologis pertama-tama menghadapi persoalan bagaimana kita memposisikan iman kita kita di tengah-tengah iman orang lain.
Di kalangan Islam, dialog agama dimulai dengan pengembangan teologi inklusif-pluralis. Sumber teologis pertama adalah doktrin Islam itu sendiri yang secara inheren bersifat terbuka. Islam mengakui nabi-nabi terdahulu, dan membenarkan kitab-kitab suci yang dibawa oleh mereka. Pengakuan Islam terhadap agama lain ini dinilai unik sehingga dikatakan bahwa ”tidak ada agama mana pun di dunia ini yang menjadikan kepercayaan pada kebenaran agama lain sebagai syarat yang perlu bagi keimanan agamanya sendiri.” bahkan Cyril Glasse menyatakan, ”Kenyataan bahwa satu wahyu (Islam) menyebut wahyu-wahyu yang lain sebagai absah adalah sebuah kejadian yang luar biasa dalam sejarah agama-agama.”
Sementara itu di kalangan agama lain, Kristen misalnya, dialog juga telah menjadi semacam perintah, bahkan tugas suci, sebagaimana dideklarasikan oleh Dewan Gereja Sedunia pada 1970. dewan menganjurkan gereja-gereja untuk menciptakan dialog dengan penganut agama-agama lain. Dewan bahkan mengeluarkan pedoman dialog dan menyebut kegiatan dialog sebagai perjalan dan tugas suci gereja-gereja (the common pilgrimage of the churches). Tidak dapat dipungkiri, hasil konsili itu telah mendorong lahirnya suasana baru bagi hubungan antaragama, sebab orang mulai berani keluar dari benteng pertahanan teologinya selama ini yang bersifat eksklusif.
Sejauh mana dialog teologis antaragama bisa dilakukan? Menurut Iknas Kleden, suatu dialog antaragama adalah sama dengan dialog keselamatan yang dicita-citakan oleh masing-masing agama. Bila keselamatan dibenarkan tiap agama, dan karena keselamatan selalu tidak mentolerir usaha yang merugikan keselamatan orang lain, maka sebetulnya apapun cara yang diajarkan suatu agama untuk mencapai keselamatan, yang berarti tujuan itu, keselamatan itu sendiri akan menjaga cara yang ditempuh jangan sampai merugikan keselamatan orang lain. Karena itu, kata Ignas Selanjutnya, keselamatan yang menyiapkan kemungkinan suatu dialog antaragama, memberikan juga batas-batas yang harus dijaga agar dialog itu menjadi mungkin dapat dikembangkan dan tetap menyelamatkan semua pihak.
Dengan dialog, para pemeluk agama juga dapat belajar dari pengalaman masing-masing tentang bagaimana ajaran-ajaran agama itu dipraktekkan. Sebab memang tujuan utama dialog, sebagaimana dikatakan Leonard Swidler, Guru Besar Studi Agama dari Temple University, AS, adalah belajar. Belajar haruslah dilakukan dengan sikap tulus dan jujur, bukan dengan pretensi untuk menghakimi atau mencari-cari kesalahan orang lain. Oleh karena itu, perlu dicatat bahwa setiap pendialog tidak dibenarkan mengintervensi kebenaran teologis yang diyakini oleh umat agama lain, baik yang merupakan sistem keimanan maupun yang menjelma dalam berbagai ritus ibadahnya. Dalam setiap dialog, kata Swidler lagi, hendaknya jangan dibandingkan wawasan ideal kita dengan realitas praktis orang lain. Dalam dialog hendaklah kenyataan real dihadapkan dengan yang real, dan prinsip ideal keagamaan dengan prinsip ideal keagamaan yang lain.
4. Dialog Spiritual
Dialog spiritual bergerak dalam wilayah esoteris, yaitu ”sisi dalam” agama-agama. Sebagaimana diketahui bahwa setiap agama memiliki aspek lahir (eksoteris) dan aspek batin (esoteris). Sistem teologi dan ritus agama-agama merupakan sisi eksoteris. Sementara itu, pengalaman iman atau pengalaman akan Tuhan yang bersifat individual merupakan sisi esoteris dari agama. Dalam studi agama-agama, aspek esoterisme ini biasanya disebut dengan istilah mistik (Mysticism). Dalam Islam, dimensi mistik ini diperkenalkan di dalam tradisi tasawuf.
Pada dasarnya, pengalaman mistik atau sufistik ini adalah pengalaman ’berjumpa” dengan Tuhan yang oleh kalangan sufi disebut sebagai Sang Kekasih. Pengalaman ini merupakan pengalaman yang paling manis di dalam hidup, yang bersifat sangat pribadi, dan tidak bisa diterangkan dengan kata-kata. Kendati demikian, pengalaman ini bisa dibagi (shared) dengan orang lain yang mengalami hal yang sama. Inilah yang menjadi titik masuk bagi dilakukannya dialog spiritual.
Dialog spiritual malampaui sekat-sekat dan batas-batas formalisme agama. Sebab, sekat dan batas mengindikasikan perpecahan. Sementara kaum sufi meyakini bahwa Tuhan hanya bisa dijumpai di tempat dimana tidak ada perpecahan. Perpecahan itu, kata Muhammad R. B. Muhayyadin, menjauhkan kita dari sifat-sifat Tuhan, dari keagungan-Nya, dari kekayaan-Nya, dari keadilan-Nya. Orang-orang yang memiliki rasa perbedaan itu dalam dirinya, kata Muhayyadin lebih lanjut, tidak akan pernah menemukan kedamaian.
Dialog spiritual telah lama dilakukan oleh para mistikus dari berbagai agama. Tujuannya adalah untuk memperkaya pengalaman batin, yang dengan itu mereka menjadi semakin yakin bahwa ”semua agama mesti benar, semuanya hanyalah jalan-jalan yang berbeda yang menuju kepada satu tujuan.....”. bagi para mistikus, berbagai pengalaman spiritual bukanlah sesuatu yang tabu atau asing. Lebih-lebih dengan berbagi pengalaman itu mereka justru semakin mengenal khazanah tradisi dan kekayaan spiritual agama lain, tanpa harus berpindah agama.
Beberapa contoh dialog dan pengembaraan spiritual yang dilakukan kalangan mistikus dikemukakan di sini sebagai gambaran bahwa hal itu merupakan sesuatu yang mungkin dilakukan. Di dalam dunia Hindu, Sri Ramakrishna dan muridnya Swami Vivekanda adalah tokoh yang terkenal karena dialog spiritual mereka. Ramakrishna (1834-1886) adalah seorang mistikus Hindu yang berani melakukan pengembaraan spiritual. Selain mempelajari dan mempraktekkan berbagai aliran dalam agamanya sendiri, ia mempelajari dan mempraktekkan pula agama-agama Buddhisme, Kristen dan Islam (sufisme), namun demikian Ramakrishna tetap seorang Hindu. Pengalaman spiritualnya itu tidak membuatnya berpindah agama ke dalam (salah satu) agama-agama lain.
Contoh-contoh pengalaman spiritual seperti diatas juga terjadi pada kalangan mistikus Islam, Budha, Kristen dan lain-lain. Yang terpenting dalam dialog spiritual adalah menyatukan para pemeluk agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang berbeda dalam kearifan. Tanpa megubah agama masing-masing, setiap agama dapat memperkuat kepercayannya dan memperkaya pengalaman keagamaannya.
Demikianlah apabila seseorang ingin melakukan dialog yang sejati, maka ia harus berani memasuki jantung pengalaman-pengalaman keagamaan dan spiritual agama-agama lain untuk memperkaya dan menyuburkan pengalaman keagamaannya sebagaimana telah dilakukan oleh para mistikus, para pendukung filsafat perenial, dan para teolog yang mempunyai perhatian serius terhadap dialog. Ia harus menjumpai agama-agama lain bukan hanya sebagai bahaya yang megancam, tetapi sebagai kekayaan yang sangat berharga bagi agamanya tanpa melakukan konversi dan jatuh ke dalam sinkretisme.

D. Etika Dalam Berdialog
Dari sekian banyak pedoman etik yang telah disepakati bersama dapat dikemukakan beberapa pedoman, yang perlu diperhatikan secara khusus adalah:

1. Kesaksian yang jujur dan saling menghormati (frank witness and mutual respect).
Semua pihak tidak menghendaki supaya keyakinannya masing-masing ditekan ataupun dihapus. Justru sebaliknya, supaya setiap pihak membawa kesaksian yang terus terang tentang kepercayaan di hadapan Tuhan dan sesamanya. Dengan demikian rasa curiga dan takut dapat dihindarkan. Rasa saling menghormati mencakup juga perhatian yang halus terhadap hati nurani dan keyakinan pihak lain, simpati kepada kesukaran-kesukaran dan kekaguman akan kemajuannya.
2. Prinsip kebebasan beragama (religious freedom).
Prinsip kebebasan tersebut meliputi prinsip kebebasa perorangan dan kebebasan sosial (individual freedom and social freedom). Yang pertama cukup jelas, setiap orang mempunyai kebebasan untuk menganut agama yang disukainya, bahkan kebebasan untuk berpindah agama. Tetapi kebbasan individual tanpa adanya kebebasan sosial tidak ada artinya sama sekali. Jika seseorang benar-benar mendapat kebebasan agama, ia harus dapat mengartikan itu sebagai kebebasan sosial, tegasnya supaya agama dapat hidup tanpa tekanan sosial (social pressure).
3. Prinsip acceptance
yaitu mau menerima orang lain seperti adanya. Dengan kata lain, tidak menurut proyeksi yang dibuat sendiri. Jika kita memproyeksikan penganut agama lain menurut keinginan kita, maka pergaulan antar golongan beragama tidak akan dimungkinkan. Jadi untuk konkretnya, seorang Kristen misalnya harus rela menerima seorang penganut Islam menurut adanya; menerima seorang Hindu seperti adanya. Sebaliknya seorang Muslim atau hindu harus rela menerima orang Kristen seperti adanya, artinya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan cara berpikir dan perasaannya.
4. Berpikir positif dan percaya (positive thinking dan trustworthy)
Berpikir secara positif itu perlu dijadikan suatu sikap (attitude) yang terus menerus. Orang yang biasa berpikir secara negatif akan menemui kesulitan besar untuk bergaul dengan orang yang beragama lain. Tetapi jika ia dapat melihat hal-hal yang positif dari agama itu, sesungguhnya ia menemukan dasar untuk bergaul dengan penganut-penganut agama itu.
Prinsip percaya. Dasar pergaulan anatrumat beragama yang pertama-tama adalah saling percaya. Kesulitan yang paling besar untuk umat beragama di dalam berdialog adalah tidak adanya kepercayaan yang kolektif yang kurang disadari. Ketidakpercayaan kolektif ini mengendap di bawah sadar sebagai ”prasangka” (prejudice). Selama prasangka kolektif ini masih menguasai golongan beragama, maka dialog antaragama masih sulit dilaksanakan.

E. Hambatan-Hambatan Dialog
Dalam berdialog ada beberapa hambatan yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan utama dialog untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama. Secara umum, sifat eksklusif terhadap agama inilah yang seharusnya dibuang jauh-jauh, karena dengan adanya sikap eksklusif inilah yang sering kali menimbulkan konflik antar umat beragama.
Dalam dialog antaragama ada faktor internal yang dapat menghambat terjadinya dialog yang harmonis. Faktor internal tersebut berasal dari sekte atau sempalan-sempalan dari suatu agama itu sendiri. Terkadang masih saja ada dari sekte atau sempalan dari agama yang masih menutup diri terhadap adanya upaya dialog dan tidak bersikap inklusif terhadap sempalan lain atau agama lain. Kecenderungan pemahaman radikal-ekstrim dan fundamental-subjektif, eksklusifisme, dan literalisme terhadap ajaran agama yang dianut yang berlebihan inilah yang dapat menghambat proses dialog. Pada awalnya, term radikal dan fundamental bermakna positif, namun belakangan istilah ini telah diberi konotasi negatif seiring implikasi yang ditimbulkan gerakan pemahaman ini dalam kehidupan sosial secara universal.
Menurut Said Agil Husin al-Munawwar Sikap hedonitas dan oportunitas dengan mengatasnamakan agama sebagai komoditas kepentingan telah menjadi petaka kemanusiaan yang berkepanjangan. Sikap fanatisme terhadap agama yang berlebihan juga merupakan faktor penghambat tercapainya dialog antar umat beragama. Selain itu, hambatan-hambatan dialog juga dapat disebabkan adanya faktor eksternal, yaitu:

1. Rintangan bahasa.
Sebuah kata yag persis sama ucapannya dapat menimbulkan pengertian yang berbeda bagi orang lain. Dengan demikian, pembicaran tidak sambung, karena terjadi salah paham. Hampir setiap perkataan mempunyai latar belakang kultural dalam pembentukannya dan hampir selalu diwarnai dengan setumpuk emosi dan asosiasi yang hidup dalam situasi tertentu. Misalnya, kata ”bapa” yang sudah mempunyai arti standar. Akan tetapi setiap orang dari satuan budaya lain dapat memberikan arti khusus kepada kata ”bapa” itu yang mungkin berbeda besar dengan arti yang diberikan pihak pembicara. Apalagi kalau kata ”bapa” itu dikenakan pada masalah kegamaan, orang harus lebih berhati-hati. Demikian pula penggunaan kata ”penciptaan”, ”dosa”, ”surga”, ”neraka”, ”penebusan”, dan lain-lain.
2. Gambaran tentang orang lain yang keliru.
Kesalahan besar yang dibuat para peserta dialog ialah bahwa pihak masing-masing mempunyai gambaran keliru tentang diri kawan bicara. Biasanya gambaran itu didominasi oleh sifat kurang baik yang diperoleh dari kelompoknya atau dari sumber informasi lain yang tidak lengkap, tetapi terutama dari prasangka yang ada pada seseorang terhadap pihak lain. Misalnya, seorang Muslim mempunyai gambaran yang lain tentang seorang Kristen dan sebaliknya. Gambaran tentang pihak masing-masing merupakan warisan dari zaman ke zaman dan ditambah dengan pengalaman kawan bicara masing-masing yang biasanya kurang menyenangkan. Dengan kata singkat, gambaran-gambaran itu semuanya berbobot karikatur. Dalam keadaan yang demikian, tidak mungkin diadakan dialog yang menghasilkan buah yang bermutu.
3. Nafsu membela diri.
Peserta dalam dialog adalah manusia-manusia yang lemah, jelasnya manusia-manusia yang tidak bebas dari nafsu ingin menang, tidak senang dikalahkan, dan secara spontan mau membela diri sendiri dan kedudukannya sendiri atau kedudukan golongannya. Justru dalam dialog, nafsu bela diri tidak boleh mendapatkan tempat. Adalah lebih sulit untuk menahan nafsu itu dalam dialog antarumat beragama, karena setiap peserta berpegang teguh pada keyakinan bahwa agamanya adalah paling benar. Dan apabila tujuan dialog dibelokkan kepada mencari kemenangan dengan membela diri sekuat tenaga, lebih baik dialog itu dibatalkan saja.


F. Beberapa Dialog Antar Agama di Indonesia, Regional dan Internasional
Di Indonesia, istilah toleransi dan kerukunan antar umat beragama pertama kalinya adalah diprakarsai oleh Departeman Agama. Dalam konteks ini, perlu disebut nama Mukti Ali yang ketika itu menjadi Menteri Agama periode 1971-1978, beliau membentuk Proyek Kerukunan Hidup antar Umat Beragama yang menyelenggarakan dialog antar tokoh-tokoh agama. Depag juga membentuk Wadah Musyawarah antar Umat Bergama yang rutin menyelenggarakan pertemuan bersama. Wadah ini dibentuk bersama-sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Wali-wali Gereja se-indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi). Proyek kerukunan antarumat beragama atau toleransi dilakukan pemerintah dalam konteks integrasi nasional, atau secara spesifik untuk menciptakan stabilitas dalam menunjang pembangunan nasional.
Pada tingkat regional, khususnya di kawasan Asia Tenggara terdapat pusat dialog dari umat Katolik dan Protestan. Dari pihak Gereja Katolik yaitu ”Federation of the Asian Bishops Conferences” (FABC). Pertemuan dialog yang pertama diadakan di kota Sampran, Thailand, bulan Oktober 1979. yang kedua, diadakan di Kuala Lumpur pada November 1979 dengan tema: Hubungan Gereja Katolik dengan umat Islam. Para peserta yang hadir dari Indonesia, Malaysia, India, Bangladesh, Thailand, dan Filipina.
Untuk dialog internasional seperti yang dikutip Hendropuspito dalam Christians Meeting Moslems (WCC) Papers on Ten years of Christians-Moslem Dialogue diantaranya adalah:
1. Dialog yang diadakan di Kandy, Sailon pada 27 Pebruari- 6 Maret 1967 yang dihadiri oleh Protestan, Katolik ortodoks, Muslim dan Kristen dengan tema “Masalah Dialogi dengan Kepercayaan Lain”.
2. Dialog Muslim Kristen di Hongkong pada Januari 1975 dengan tema “Good Will, Konsultasi & Kerja Sama”.
3. Dialog di Kolombo, Srilangka pada April 1974 yang dihadiri oleh perwakilan Hindu, Yahudi, Buddha, Kristen, dan Muslim dengan tema ”Menuju ke Komunitas dunia.
4. Dialog di Cordova, Spanyol pada September 1974 yang dihadiri oleh perwakilan Muslim dan Katolik dengan tema ”Da’wah, Pendekatan & Kerjasama”. Dan lain-lain.



KESIMPULAN


Pluralitas merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari, perbedaan seringkali dapat menimbulkan konflik sewaktu-waktu, apalagi perbedaan itu adalah dalam hal agama. Dalam hal ini agenda yang paling penting adalah bagaimana upaya untuk menciptakan kerukunan antarumat beragama. Salah satu bagian penting untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama adalah perlu dilakukannya dialog antar agama. Dalam hal ini, dialog bukanlah berdebat untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi lebih kepada mencari titik temu antar agama.
Salah satu tujuan utama dari dialog adalah menciptakan rasa toleransi dan hidup rukun antar umat beragama, selain itu juga untuk melestarikan persatuan dan kesatuan bangsa, serta mendukung dan menyukseskan pembangunan nasional. Dialog dapat meliputi banyak bentuk, seperti dialog kehidupan yakni dialog dalam kehidupan sehari-hari, dialog kerja sosial, dialog teologis, dan dialog spiritual.
Dalam berdialog diperlukan sikap-sikap saling menghormati, saling percaya, sikap terbuka dan berpikir positif supaya dialog dapat berjalan dengan lancar dan membuahkan hasil. Sikap-sikap seperti fanatisme, eksklusivisme dan truth claim yang berlebihan sebaiknya dihindari agar tidak menghambat proses dialog antarumat beragama.
Dialog antaragama merupakan sebuah agenda penting bagi umat beragama di dunia untuk menciptakan kerukunan. Oleh karena itu pemuka-pemuka agama baik dari wilayah lokal, nasional, regional maupun internasional selalu mengupayakan untuk diadakannya dialog antaragama demi terciptanya kerukunan umat beragama. Mengingat pentingnya dialog antaragama ini, maka wacana dialog ini sangat penting disosialisasikan kepada masyarakat bawah juga, supaya agenda dialog ini dapat membumi. Hal ini karena masyarakat merupakan bagian mendasar dari suatu negara. Jika pada level masyarakat kerukunan sudah tercipta, maka kerukunan pada tingkat nasional dan internasional juga akan tercipta.





DAFTAR PUSTAKA


Al-Faruqi, Isma’il R. The Cultural Altas of Islam. New York: Mcmillan: Publishing Company, 1986.
Al-Munawwar, Said Agil Husin. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Andito (ed.). Atas Nama Agama dalam Dialog Bebas Konflik. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina, 1999.
Daradjat, Zakiah. Perbandingan Agama. Jakarta: Bumi Aksara, 1984.
Daya, Burhanuddin. Agama Dialogis: Merenda Dialektika, Idealita dan Realita Hubungan Antaragama. Yogyakarta: LkiS, 2004.
Glasse, Cyril. “Ahl al-Kitab”, dalam The Concise Encyclopedia of Islam. San Fransisco: Harper, 1991.
Hendropuspito, Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Hidayat, Komaruddin. Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1998.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. Passing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia dan Paramadina, 1998.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Kimball, A. Charles. “Muslim-Christian Dialogue”, dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol 3. New York: Oxford University Press, 1995.
Kleden, Ignas. “Dialog Antar Agama: Kemungkinan dan Batas-Batasnya”, Majalah Prisma, Nomor 5 (Juni, 1978).
Knitter, Paul F. No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religion. New York: Orbis Book, 1985.
Madjid, Nurcholish. Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta: Paramadina, 2004.
Muhayyadin, M. R. Bawa. Tasawuf Mendamaikan Dunia. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Nasr, Sayyed Hossein. “Dialog Kristen-Islam: Suatu Tanggapan terhadap Hans Kung”. dalam PARAMADINA, Jurnal Pemikiran Islam, Volume 1, Nomor 1, 1998.
Panitia Wali Gereja Indonesia. “Hak Kerukunan”, Terbitan Berkala Panitia Wali Gereja Indonesia Hubungan antar Agama dan Kepercayaan (untuk kalangan sendiri). Tahun. 1 Nomor 5 (November, 1979).
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimension of Islam. Chapel Hill: The University of North Carolina Press, 1990.
Shihab, Alwi. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan, 1997.
Swidler, Leonard. Theoria Praxis: How Jews, Christians, and Muslims Can Together Move from Theory to Practice. Leuven: Peeters, 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AWAL PERTAMA TINGGAL DI TULUNGAGUNG DAN SERUNYA BERBELANJA DI PASAR TRADISIONAL TAMANAN TULUNGAGUNG

Saya dan Zidan (anak saya) di Alun-Alun Tulungagung saat masih seminggu tinggal di Tulungagung,   dan Zidan masih berumur 1 tahun Sudah menj...